Kisah Dua Putra Adam

Sesungguhnya, setiap muslim wajib mengimani segala yang diberitakan di dalam Al-Qur’an.

Termasuk dalam hal ini, kisah dua putra Adam alaihis salam yang dikisahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam Al-Qur’an al-Karim. Kisah ini menjelaskan betapa buruknya akibat kedengkian, kezaliman, dan kejahatan serta permusuhan dalam kisah dua putra Adam tersebut. Terlepas dari sahih atau tidaknya pemberian nama mereka.[1] Terlepas pula dari sebabnya, apakah perebutan calon istri, sebagaimana dinukil sebagian ulama, ataukah sebab lainnya. Yang jelas, tujuannya adalah kita memahami sebab dan akibat yang sama berikut hukum yang diberlakukan di balik kisah tersebut.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَٱتۡلُ عَلَيۡهِمۡ نَبَأَ ٱبۡنَيۡ ءَادَمَ بِٱلۡحَقِّ إِذۡ قَرَّبَا قُرۡبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنۡ أَحَدِهِمَا وَلَمۡ يُتَقَبَّلۡ مِنَ ٱلۡأٓخَرِ قَالَ لَأَقۡتُلَنَّكَۖ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ ٱللَّهُ مِنَ ٱلۡمُتَّقِينَ ٢٧

Ceritakanlah kepada mereka kisah dua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya. Ketika keduanya mempersembahkan kurban, kemudian diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia (Qabil) berkata, “Aku pasti membunuhmu!” Habil berkata, “Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa.”

Baca juga: Pembunuh 100 Jiwa

لَئِنۢ بَسَطتَ إِلَيَّ يَدَكَ لِتَقۡتُلَنِي مَآ أَنَا۠ بِبَاسِطٍ يَدِيَ إِلَيۡكَ لِأَقۡتُلَكَۖ إِنِّيٓ أَخَافُ ٱللَّهَ رَبَّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٢٨

“Sungguh, kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Rabb semesta alam.”

إِنِّيٓ أُرِيدُ أَن تَبُوٓأَ بِإِثۡمِي وَإِثۡمِكَ فَتَكُونَ مِنۡ أَصۡحَٰبِ ٱلنَّارِۚ وَذَٰلِكَ جَزَٰٓؤُاْ ٱلظَّٰلِمِينَ ٢٩

“Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosaku (dosa karena membunuhku) dan dosamu sendiri, maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim.”

فَطَوَّعَتۡ لَهُۥ نَفۡسُهُۥ قَتۡلَ أَخِيهِ فَقَتَلَهُۥ فَأَصۡبَحَ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ ٣٠

Hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah (Habil). Jadilah ia seorang di antara orang-orang yang merugi.

فَبَعَثَ ٱللَّهُ غُرَابًا يَبۡحَثُ فِي ٱلۡأَرۡضِ لِيُرِيَهُۥ كَيۡفَ يُوَٰرِي سَوۡءَةَ أَخِيهِۚ قَالَ يَٰوَيۡلَتَىٰٓ أَعَجَزۡتُ أَنۡ أَكُونَ مِثۡلَ هَٰذَا ٱلۡغُرَابِ فَأُوَٰرِيَ سَوۡءَةَ أَخِيۖ فَأَصۡبَحَ مِنَ ٱلنَّٰدِمِينَ ٣١

Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana dia seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Qabil berkata, “Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” Karena itu, jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal. (al-Maidah: 27—31)

Baca juga: Godaan Hawa Nafsu

Itulah kisah yang disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam Al-Qur’an. Kisah yang pasti mengandung pelajaran. Allah subhanahu wa ta’ala menegaskan dalam ayat yang lain,

لَقَدۡ كَانَ فِي قَصَصِهِمۡ عِبۡرَةٌ لِّأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِۗ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفۡتَرَىٰ

“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat.” (Yusuf: 111)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَٱتۡلُ عَلَيۡهِمۡ نَبَأَ ٱبۡنَيۡ ءَادَمَ بِٱلۡحَقِّ

“Ceriterakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya.” (al-Maidah: 27)

Dalam ayat-ayat yang mulia ini, Allah subhanahu wa ta’ala memerintah Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam, “Ceritakanlah—wahai Rasul—kepada Bani Israil, cerita tentang dua putra Adam alaihis salam secara utuh, tanpa menambah atau menguranginya. Ceritakanlah agar orang yang mau mengambil pelajaran dapat memetik faedahnya, dengan penuh kejujuran, tanpa kedustaan, sungguh-sungguh, dan bukan main-main.”

Adam dan Hawa Turun ke Dunia

Adam alaihis salam sudah turun ke bumi. Hawa pun demikian. Iblis tak ketinggalan, dia diusir dan diturunkan ke dunia disertai laknat hingga hari pembalasan.

Para ulama berbeda pendapat tentang di mana Adam dan Hawa diturunkan. Ada yang mengatakan bahwa Adam diturunkan di India, sedangkan Hawa di Jeddah. Ada pula yang berpendapat Adam turun di Shafa, sedangkan Hawa di Marwah.

Yang jelas, mereka semua diturunkan ke dunia ini. Wallahu a’lam.

Adam dan Hawa mulai merasakan pahit getir yang belum pernah mereka dapatkan di dalam surga. Beberapa waktu kemudian Hawa mulai mengandung. Tak lama dia pun melahirkan anaknya. Kemudian lahir pula putra mereka berikutnya.

Anak-anak tersebut tumbuh dewasa di bawah pengawasan kedua orang tua mereka. Mulailah mereka berusaha mengolah bumi ini, mencari rezeki Allah subhanahu wa ta’ala.

Setan yang telah bersumpah untuk menghancurkan manusia dan menyeret mereka agar menyertainya di dalam neraka, tidak pernah berhenti mencari jalan untuk menyesatkan mereka. Akhirnya dia melihat kesempatan tersebut.

Ketika dua anak tersebut sudah tumbuh dewasa dan masing-masing mempunyai usaha untuk penghidupannya, mereka diperintahkan untuk mengeluarkan sebagian harta mereka sebagai kurban untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Baca juga: Hikmah Penciptaan Adam

Qabil yang bekerja sebagai petani, memilih harta yang akan dikurbankannya dari hasil panen sawah ladangnya. Dia pun mengambil buah atau tanaman yang buruk sebagai kurbannya. Adapun Habil, bekerja sebagai penggembala ternak. Dia memilih salah satu ternaknya yang terbaik, paling gemuk dan sehat, untuk kurbannya.

Dalam syariat umat terdahulu, tanda diterimanya suatu kurban adalah dengan turunnya api membakar kurban tersebut.

Hari berikutnya terlihatlah bahwa hasil panen yang dipersembahkan Qabil masih utuh di tempatnya. Adapun ternak gemuk yang dikurbankan Habil tidak ada lagi, tanda bahwa kurbannya diterima. Kenyataan ini menumbuhkan kedengkian dalam diri Qabil. Dia berkata (sebagaimana dalam ayat),

لَأَقۡتُلَنَّكَۖ

“Aku pasti membunuhmu!”

Habil berkata kepadanya (seperti dalam ayat),

إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ ٱللَّهُ مِنَ ٱلۡمُتَّقِينَ

“‘Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa.’

Apa dosa dan kesalahanku hingga harus kau bunuh? Tidak lain karena aku bertakwa kepada Allah, yang takwa itu wajib atasku, atasmu, dan atas setiap orang.”

Qabil tetap meradang dan ingin membunuh Habil. Sementara itu, Habil tidak ada ucapan selain mengingatkannya,

لَئِنۢ بَسَطتَ إِلَيَّ يَدَكَ لِتَقۡتُلَنِي مَآ أَنَا۠ بِبَاسِطٍ يَدِيَ إِلَيۡكَ لِأَقۡتُلَكَۖ

“Sungguh, kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu.”

Artinya, seandainya engkau memulai untuk membunuhku, aku tidak akan memulainya. Aku pun tidak akan membalas seperti yang engkau lakukan. Akan tetapi, aku hanya mengingatkan engkau kepada Allah Rabb semesta alam.

Baca juga: Memaafkan Kesalahan dan Mengubur Dendam

Artinya, dia tidak ingin membela dirinya[2] bila dibunuh oleh saudaranya meskipun dia lebih kuat dan mampu mengalahkan saudaranya. Lalu Habil menerangkan alasan dia tidak ingin membalas (sebagaimana ayat),

إِنِّيٓ أَخَافُ ٱللَّهَ رَبَّ ٱلۡعَٰلَمِينَ

“Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Rabb semesta alam.”

Itulah alasan mengapa dia tidak ingin membalas. Orang yang takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala, tidak akan berani berbuat dosa, terlebih dosa-dosa besar.

Namun, Qabil bergeming mendengar nasihat tersebut. Dia tetap pada keinginannya membunuh Habil. Kemudian Habil beralih menakut-nakutinya dengan azab Allah subhanahu wa ta’ala, memberikan targhib dan tarhib. Habil berkata kepada Qabil (sebagaimana dalam ayat),

أُرِيدُ أَن تَبُوٓأَ بِإِثۡمِي وَإِثۡمِكَ فَتَكُونَ مِنۡ أَصۡحَٰبِ ٱلنَّارِۚ وَذَٰلِكَ جَزَٰٓؤُاْ ٱلظَّٰلِمِينَ

“Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali membawa dosaku (dosa karena membunuhku) dan dosamu sendiri, maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim.”

Artinya, aku ingin agar kamu kembali kepada Rabb kita pada hari kiamat dengan dosa pembunuhan yang kau lakukan terhadapku dan dosa yang kau bawa selama hidupmu. Dengan sebab itu, engkau menjadi penghuni neraka, kekal di dalamnya. Na’udzubillahi min dzalik.

Baca juga: Sifat-Sifat Penghuni Neraka

Namun, targhib dan tarhib ini pun tidak berguna bagi Qabil. Sebab, setan telah menguasai dan memenuhi hatinya dengan hasad dan dendam kepada saudaranya. Akhirnya,

ٓفَطَوَّعَتۡ لَهُۥ نَفۡسُهُۥ قَتۡلَ أَخِيهِ

“Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap remeh membunuh saudaranya.”

Hawa nafsunya membangkitkan keberaniannya, bahkan membuatnya memandang indah sehingga dia pun membunuhnya.

فَأَصۡبَحَ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ

“Maka jadilah ia seorang di antara orang-orang yang merugi.”

Dia menyesal karena tidak tahu apa yang harus diperbuatnya terhadap mayat saudaranya.

Itulah kejahatan pertama dalam sejarah peradaban manusia. Pemicunya adalah hasad. Jadi, hasad adalah kemaksiatan pertama yang dengan itu Allah subhanahu wa ta’ala didurhakai di muka bumi. Inilah salah satu pangkal terjadinya kekafiran di muka bumi.

Kisah ini menunjukkan pula kepada kita bahwa setiap orang yang memperoleh nikmat tentu akan menjadi sasaran kedengkian dari orang yang bersifat dengki. Seperti diungkapkan,

وَإِذا أَرادَ اللهُ نَشْرَ فَضيلَةٍ              طُوِيَتْ أَتاحَ لَها لِسانَ حَسُودِ

لَوْلَا اشْتِعَالُ النَّارِ فِيمَا جاوَرَتْ       مَا كَانَ يُعرَفُ طِيبُ عُرْفِ الْعَوْدِ

Jika Allah ingin tersebarnya keutamaan yang tergulung

     Dia bentangkan untuknya lisan orang yang dengki

Kalau bukan karena nyala api pada apa yang di dekatnya

     Niscaya tak akan dikenal harumnya kayu gaharu

Baca juga: Hasad Sumber Kesesatan

Orang yang dengki itu tidak ridha dengan qadha dan qadar Allah subhanahu wa ta’ala serta pembagian-Nya.

Al-Hasan al-Bashri rahimahullah menasihatkan, “Wahai Bani Adam (manusia), mengapa engkau mendengki saudaramu? Kalau sesuatu yang diberikan kepadanya itu adalah kemuliaan baginya, maka mengapa engkau dengki kepada orang yang dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala? Dan kalau bukan, maka untuk apa engkau dengki kepada orang yang tempat kembalinya adalah neraka?”[3]

Baca juga: Amalan-Amalan Perisai Api Neraka

Orang yang dengki adalah musuh bagi kenikmatan yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan.

Aun bin Abdillah memberi nasihat kepada al-Fadhl bin al-Muhallab yang saat itu menjadi gubernur Wasith, “Hati-hatilah, jauhilah olehmu sifat dengki. Sebab, yang mendorong anak Adam membunuh saudaranya adalah ketika dia dijangkiti rasa dengki kepada saudaranya.”

Iri dan dengki adalah kezaliman. Sebab, dia mengharapkan hilangnya nikmat yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepada seseorang.

Dengki[4] ini asalnya diharamkan, kecuali pada dua tempat. Disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٍ آتَاهُ اللهُ مَالاً فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ؛ وَرَجُلٍ آتَاهُ اللهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا

“Tidak boleh dengki kecuali pada dua hal: seseorang yang Allah beri harta lalu dipakai untuk dihabiskan di jalan al-haq dan seseorang yang diberi Allah hikmah lalu dia memberi keputusan dengan hikmah itu dan mengajarkannya.”[5]

Baca juga: Bersedekahlah

Dengki merupakan penyakit berbahaya yang pernah menjangkiti bangsa manusia sebelum kita. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

دَبَّ إِلَيْكُمْ دَاءُ الْأُمَمِ قَبْلَكُمُ الْحَسَدُ وَالْبَغْضَاءُ هِيَ الْحَالِقَةُ، لاَ أَقُولُ تَحْلِقُ الشَّعَرَ وَلَكِنْ تَحْلِقُ الدِّينَ

“Telah datang dan menyebar kepadamu penyakit umat manusia sebelum kamu, (yaitu) dengki dan kebencian. Hal ini merupakan pencukur. Saya tidak katakan dia mencukur rambut, tetapi mencukur agama.”[6]

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa rukun kekafiran ada empat[7], yaitu:

  • Kibr (sombong, merasa besar)
  • Hasad (iri, dengki)
  • Marah
  • Syahwat

Kibr ini didefinisikan sendiri oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

“Kibr (sombong) artinya ialah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim)

Bersemayamnya sifat ini di dalam diri seorang manusia akan menjadi penghalang baginya untuk tunduk.

Baca juga: Berani Mengakui Kesalahan dan Kembali kepada Kebenaran

Adapun hasad adalah keinginan agar lenyapnya kenikmatan yang diperoleh orang lain walaupun dia sendiri tidak memperolehnya. Sifat ini akan menghalangi pemiliknya untuk menerima dan memberi nasihat.

Rasa marah akan menghalangi pemiliknya dari sifat adil dan tawadhu (rendah hati). Sementara itu, syahwat akan menghalangi pemiliknya dari ibadah.

Apabila kesombongan itu runtuh, mudahl bagi seseorang untuk tunduk. Jika sifat hasad ini lenyap, niscaya mudah baginya menerima dan memberi nasihat. Apabila rasa marah runtuh, mudah dia bersikap adil dan rendah hati (tawadhu). Jika rukun syahwat ini juga runtuh, mudah baginya untuk bersabar, memiliki sifat ‘iffah (menjaga kehormatan dirinya), lebur dalam ibadah.

Hancur leburnya gunung-gunung dari tempatnya lebih mudah dibandingkan lenyapnya keempat pilar ini dari mereka yang diuji dengannya. Terlebih lagi jika keempatnya telah menjadi watak atau kepribadian yang melekat dan kokoh. Sebab, tidak akan mungkin suatu amal dikerjakan dengan lurus jika keempat hal ini bersemayam dalam hati seseorang. Jiwa tidak akan menjadi suci dengan kekalnya keempat pilar ini.

Semakin dia bersungguh-sungguh (ijtihad) dalam beramal, maka keempat rukun ini justru merusak amalan tersebut. Bahkan, seluruh kerusakan dan kekurangan itu terlahir dari keempat perkara ini. Apabila keempatnya semakin kokoh tertanam di dalam hati, niscaya ia akan memperlihatkan kebatilan sebagai suatu kebenaran, yang benar sebagai suatu kebatilan, yang makruf sebagai kemungkaran, dan kemungkaran sebagai suatu yang makruf. Dunia memang semakin dekat kepadanya, tetapi akhirat semakin jauh darinya.

Baca juga: Apa Itu Kemungkaran?

Keempat rukun ini muncul dari kebodohan pemiliknya tentang Allah subhanahu wa ta’ala (Rabb-nya) dan tentang keadaan dirinya. Sebab, kalau dia mengenal Rabb-nya melalui sifat-sifat dan keadaan-keadaan-Nya Yang Mahasempurna dan Mahamulia, mengenal pula keadaan dirinya yang penuh kekurangan, niscaya dia tidak akan merasa besar (sombong/takabur), marah, dan tidak dengki kepada siapa pun terhadap apa yang telah Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepadanya.

Kedengkian itu hakikatnya merupakan salah satu bentuk permusuhan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Sebab, pelakunya tidak senang dengan nikmat Allah subhanahu wa ta’ala yang tercurah kepada hamba-Nya, padahal Allah subhanahu wa ta’ala mencintainya. Dia ingin nikmat itu lenyap dari orang tersebut, padahal Allah subhanahu wa ta’ala tidak menyukai hal itu. Ini berarti dia menentang Allah subhanahu wa ta’ala dalam hal qadha dan qadar-Nya, cinta dan benci-Nya.

Karena itulah, hakikatnya Iblis menjadi musuh Allah subhanahu wa ta’ala. Sebab, dosa yang dilakukannya berangkat dari sifat kibr dan hasad.

Kedua sifat ini bisa ditumpas dengan mengenal Allah subhanahu wa ta’ala dan mentauhidkan-Nya, ridha kepada-Nya, dan senantiasa kembali kepada-Nya. Adapun rasa marah dicabut dengan mengenal keadaan jiwa kita sendiri, bahwasanya ia tidak pantas serta tidak berhak marah dan membalas karena pribadi. Sebab, hal itu berarti mementingkan dirinya daripada Penciptanya. Cara yang paling ampuh untuk memperbaiki hal ini adalah dengan mengembalikannya agar merasa marah dan ridha karena Allah subhanahu wa ta’ala semata.

Baca juga: Mengenal Allah

Adapun syahwat, obatnya adalah lurusnya ilmu dan makrifat. Setiap kali dia membuka pintu syahwat ini, semakin terhalanglah dia dari ilmu dan makrifat tersebut.

Terakhir, rasa marah. Seperti binatang buas, jika pemiliknya melepasnya, niscaya ia akan menerkam pemiliknya. Syahwat itu seperti api yang dinyalakan pemiliknya lalu membakar segalanya. Adapun kesombongan (kibr) seperti pemberontak yang menggulingkan seorang raja dari kekuasaannya. Kalau dia tidak membinasakanmu, dia tentu mengusirmu dari dekatnya. Hasad seperti permusuhan yang kita lancarkan kepada orang yang lebih kuat dan berkuasa daripada kita.

Orang yang mampu mengalahkan syahwat dan rasa marahnya, niscaya setan pun takut mendekati bayangan orang tersebut. Sebaliknya, orang yang dikalahkan oleh syahwat dan rasa marahnya, maka dia justru takut kepada bayangan khayalnya sendiri.

Demikian uraian Ibnul Qayyim rahimahullah.

Baca juga: Menepis Godaan Syubhat dan Syahwat

Qabil semakin panik. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya terhadap mayat saudaranya. Akhirnya, dia memikul jenazah itu beberapa hari sampai Allah subhanahu wa ta’ala kirim dua ekor gagak, lalu salah satunya mengorek tanah untuk menutupi bangkai gagak lainnya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَبَعَثَ ٱللَّهُ غُرَابًا يَبۡحَثُ فِي ٱلۡأَرۡضِ لِيُرِيَهُۥ كَيۡفَ يُوَٰرِي سَوۡءَةَ أَخِيهِۚ قَالَ يَٰوَيۡلَتَىٰٓ أَعَجَزۡتُ أَنۡ أَكُونَ مِثۡلَ هَٰذَا ٱلۡغُرَابِ فَأُوَٰرِيَ سَوۡءَةَ أَخِيۖ فَأَصۡبَحَ مِنَ ٱلنَّٰدِمِينَ

Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana dia seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Qabil berkata, “Aduhai celaka aku, apakah aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” Karena itu, jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal.

Pelajaran dari Kisah Qabil dan Habil

Di dalam kisah ini terdapat banyak pelajaran yang dapat diambil, di antaranya:

  1. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا

“Dan siapa yang melakukan satu sunnah yang buruk, lalu diamalkan (orang lain) sepeninggalnya, dia menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah itu sepeninggalnya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.”[8]

Beliau shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda,

مَا مِنْ نَفْسٍ تُقْتَلُ ظُلْمًا إِلاَّ كَانَ عَلَى ابْنِ آدَمَ اْلأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا، ذَلِكَ بِأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ سَنَّ الْقَتْلَ

“Tidak ada satu pun jiwa yang terbunuh secara zalim kecuali putra Adam yang pertama mendapatkan bagian dari darahnya. Sebab, dialah yang mula-mula melakukan sunnah (tuntunan/contoh) pembunuhan.”[9]

Karena itu pula, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

مِنۡ أَجۡلِ ذَٰلِكَ كَتَبۡنَا عَلَىٰ بَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ أَنَّهُۥ مَن قَتَلَ نَفۡسَۢا بِغَيۡرِ نَفۡسٍ أَوۡ فَسَادٍ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ ٱلنَّاسَ جَمِيعًا وَمَنۡ أَحۡيَاهَا فَكَأَنَّمَآ أَحۡيَا ٱلنَّاسَ جَمِيعًاۚ

“Oleh karena itu, Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil bahwa barang siapa membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, bukan pula karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (al-Maidah: 32)

  1. Kejinya tindak pembunuhan dan betapa besar hukumannya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.

Bahkan, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَن يَقۡتُلۡ مُؤۡمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَآؤُهُۥ جَهَنَّمُ خَٰلِدًا فِيهَا وَغَضِبَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِ وَلَعَنَهُۥ وَأَعَدَّ لَهُۥ عَذَابًا عَظِيمًا ٩٣

“Dan barang siapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (an-Nisa: 93)

Di dalam hadits sahih, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ

“Sungguh, lenyapnya dunia ini lebih ringan atas Allah dibandingkan terbunuhnya seorang muslim.”[10]

Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan dunia ini untuknya agar dia melintasinya menuju kampung akhirat dan menjadikan dunia ini sebagai ladang. Jadi, siapa yang melenyapkan orang, yang dunia ini diciptakan untuknya, berarti dia sedang berusaha untuk melenyapkan dunia.

Baca juga: Menyikapi Nikmat Dunia Sebagai Ujian

Di dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللهُ لِصَاحِبِهِ الْعُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْبَغْيِ وَقَطِيعَةِ الرَّحِمِ

“Tidak ada satu dosa yang lebih pantas disegerakan Allah hukumannya di dunia bersamaan dengan apa yang Allah persiapkan untuk pelakunya di akhirat, daripada kezaliman dan memutuskan silaturahmi.”[11]

Sementara itu, kedua dosa ini dilakukan oleh Qabil terhadap Habil. Dia melakukan kezaliman dengan membunuh Habil saudara kandungnya sekaligus memutuskan silaturahmi.

  1. Hasad (dengki) itu sudah ada di dalam diri manusia.

Al-Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Tidak ada satu jasad pun melainkan ada hasad di dalamnya.”

Akan tetapi, orang yang beriman tentu berusaha menjauhinya, karena yakin akan kejelekannya. Alangkah tepat ungkapan ini,

أَلاَ قُلْ لِمَنْ بَاتَ لِي حَاسِدًا        أَتَدْرِي عَلَى مَن أَسَأْتَ الْأَدَبَ

أَسَأْتَ عَلَى اللهِ سُبْحَانَهُ            لِأَنَّكَ لَمْ تَرْضَ لِي مَا وَهَبَ

Ingatlah, katakan kepada yang bermalam dalam keadaan hasad kepadaku

     Tahukah engkau, kepada siapa sesungguhnya engkau berbuat kejelekan?

Engkau berbuat jelek kepada Allah yang Mahasuci

     Karena sesungguhnya engkau tidak ridha terhadap apa yang diberikan-Nya kepadaku

Memang, hal itu menunjukkan dia menentang qadha dan qadar Allah subhanahu wa ta’ala, menyia-nyiakan dirinya serta benci kepada karunia Allah subhanahu wa ta’ala yang diberikannya kepada seseorang.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

أَمۡ يَحۡسُدُونَ ٱلنَّاسَ عَلَىٰ مَآ ءَاتَىٰهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦۖ فَقَدۡ ءَاتَيۡنَآ ءَالَ إِبۡرَٰهِيمَ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ وَءَاتَيۡنَٰهُم مُّلۡكًا عَظِيمًا

“Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar.” (an-Nisa: 54)

  1. Adanya cobaan di antara sesama saudara ketika yang satu dilebihkan dari yang lain.

Inilah yang menjadi salah satu penyebab kedengkian. Sebab lainnya di antaranya adalah hidup berdampingan, bertetangga, persaingan, berdampingan dalam segala hal. Seorang pedagang kaki lima dengan pedagang lainnya, salah satu dari mereka dengki kepada lainnya. Begitu pula wanita-wanita yang dimadu, dengki kepada madunya, kecuali mereka yang dirahmati Allah subhanahu wa ta’ala.

Demikian pula dalam hal cinta kedudukan dan jabatan tinggi yang diperebutkan oleh mereka yang berlomba meraihnya. Masing-masing dengki kepada saingannya sehingga saingannya tidak berhasil menduduki jabatan tersebut. Kedengkian inilah yang menjadi sebab kemunafikan Abdullah bin Ubay bin Salul.

Oleh karena itu, setiap orang yang dihinggapi penyakit ini wajib bertobat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, berlindung kepada-Nya ketika hawa nafsunya mendorongnya untuk berbuat keji terhadap orang yang dihasadinya. Bahkan, dianjurkan agar dia banyak melakukan kebaikan terhadap orang yang dihasadinya.

Baca juga: Mengutamakan Orang Lain Atas Diri Sendiri

Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala melindungi kita dari penyakit yang berbahaya ini. Membersihkan hati kita dari semua kekotorannya sehingga kita bertemu dengan Allah subhanahu wa ta’ala betul-betul dalam keadaan membawa hati yang selamat.


Catatan Kaki

[1] Penamaan Habil dan Qabil bagi kedua putra Adam ini, berasal dari nukilan para ulama ahli kitab. Tidak ada satu pun nas Al-Qur’an menerangkannya, demikian pula sunnah yang tsabit (sahih). Jadi, kita tidak bisa memastikannya begitu saja. Lihat ‘Umdatut Tafsir, Syaikh Ahmad Syakir (4/123). Akan tetapi, untuk sekadar memudahkan kita memahami alur cerita, kita sebut juga kedua nama tersebut. Semoga dimaklumi.

[2] Al-Qurthubi mengatakan, “Ulama kita menyatakan bahwa dalam syariat kita dibolehkan untuk membela diri berdasarkan ijmak. Namun, tentang wajib atau tidaknya, ada perbedaan pendapat. Yang benar adalah wajib membela diri, karena di dalamnya terkandung nahi mungkar (melarang dari kemungkaran).” (ed)

[3] Lihat al-Lubab fi ‘Ulumil Kitab 7/282.

[4] Dalam masalah ini, ulama mengistilahkan dengan ghibthah.

[5] HR. al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu.

[6] HR. at-Tirmidzi dan lainnya, dinyatakan sahih oleh Imam al-Albani dalam al-Irwa’ (2/290).

[7] Lihat al-Fawaid (hal. 174—176), dengan sedikit perubahan.

[8] HR. Muslim

[9] HR. al-Bukhari (2/79) dan Muslim (3/1303).

[10] HR. at-Tirmidzi dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 5077.

[11] HR. at-Tirmidzi dari Abu Bakrah radhiyallahu anhu, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 5704.

Ditulis oleh Ustadz Abu Muhammad Harits