Konon, sebagian besar muslim Indonesia bermadzhab Syafi’i. Penggunaan istilah madzhab ini “hendak” menyiratkan bahwa sebagian besar umat Islam Indonesia berakidah dan berfikih sebagaimana yang dipahami serta dipraktikkan Al-Imam Asy-Syafi’i t.
Al-Imam Syafi’i t sendiri adalah salah satu ulama besar yang dikenal gigih membela As-Sunnah serta menentang segala bentuk penyelisihan terhadap As-Sunnah.
Namun, apa yang beliau kukuhi tersebut ternyata malah sulit ditemukan di kalangan orang-orang yang mengaku-aku bermadzhab Syafi’i saat ini. Jangankan soal akidah, dalam hal fikih pun banyak yang tidak konsekuen dengan klaim mereka terhadap madzhab Syafi’i.
Selama ini, orang-orang yang paling bersemangat mengaku bermadzhab Syafi’i justru merupakan orang-orang yang getol mengampanyekan bid’ah dan memberantas As-Sunnah, sebuah praktik yang tidak ditemukan pada diri Al-Imam Asy-Syafi’i t. Makanya, dilihat dari akidah dan amaliahnya, mereka tidaklah bermadzhab Syafi’i. Sejatinya mereka adalah sufi.
Mereka kuat dipengaruhi paham Asy’ariyah, yang menyimpang dalam memahami nama dan sifat Allah l. Tidak sedikit dari mereka yang lekat dengan ibadah-ibadah di kuburan dan beragam bentuk kesyirikan lainnya. Menjadikan mimpi-mimpi para syaikhnya layaknya dalil syariat. Memaknai karamah dengan tidak semestinya, meyakini adanya tahapan syariat-ma’rifat-hakikat dalam Islam, dan sebagainya dari keyakinan-keyakinan batil yang mereka kukuhi.
Dalam hal amaliah, setali tiga uang. Mereka lebih suka mengamalkan bacaan zikir yang bid’ah kemudian meninggalkan zikir-zikir yang diajarkan Rasulullah n. Mereka suka bershalawat dengan shalawat yang mengandung kesyirikan ketimbang yang disyariatkan. Bahkan mereka pun gandrung dengan ritual-ritual berbau Hindu ketimbang yang dari Islam.
Kala mereka ”diusik”, dinasihati bahwa akidah dan praktik ibadah tersebut tidak ada tuntunannya dari Rasulullah n atau karena mengandung kesyirikan, fanatisme butalah yang muncul. Tak segan-segan, para penganut sufi tersebut akan menampilkan hadits-hadits lemah dan palsu untuk melegitimasi amalan mereka. Tentu saja, cara beragama demikian, yang mengedepankan hawa nafsu ketimbang dalil syariat, yang menonjolkan taklid ketimbang sikap ilmiah, tidak pernah dicontohkan ulama besar sekaliber Al-Imam Asy-Syafi’i t.
Namun demikian kajian dalam majalah ini akan lebih menyoroti perkara akidah. Karena dalam hal amaliah (praktik ibadah), mereka sangatlah mudah dipatahkan dengan dalil. Biasanya jika sudah kehabisan dalil (argumen), para penganut sufi akan memunculkan istilah Wahabi. Saking membabi buta –buah dari kebodohan mereka dalam memahami Islam, semua pihak yang “ajaran”nya dianggap mengusik atau bertentangan dengan mereka akan dicap Wahabi. Lebih-lebih terhadap dakwah yang mengajak kepada kemurnian Islam, yang menggemakan tauhid dan As-Sunnah, sebagaimana diusung Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab t.
Maklum saja, orang-orang sufi, dari zaman dahulu hingga sekarang, demikian lekat dengan praktik-praktik kesyirikan dan kebid’ahan. Makanya jika ada yang menyerukan antikesyirikan, memerangi bid’ah, dan memberantas kemaksiatan, bersiaplah mendapat cemoohan dari mereka.
Oleh karena itu, jika kita mau menelaah lebih dalam madzhab Syafi’i, tentu akan menemukan perbedaan yang teramat jauh dengan ajaran sufi. Tak cuma jauh panggang dari api, namun bisa diibaratkan minyak dan air, karena sufi sangatlah bertentangan dengan Sunnah Rasulullah n yang didakwahkan Al-Imam Asy-Syafi’i t.