Siapakah Sufi?

siapakah sufi ?

Kelompok Shufiyah (sufi) telah menyebar di dunia Islam. Kaum muslimin pun terbagi dua dalam menyikapi mereka. Ada yang mendukung dan ada yang menentang. Agar seseorang bisa menentukan berada di pihak yang mana dan bisa menyikapi mereka dengan benar, hendaknya ia mengetahui hakikat sufi yang sebenarnya. Benarkah pengakuan mereka sebagai pengikut Imam asy-Syafi’i rahimahullah? Apakah mereka sesuai dengan ajaran Ahlus Sunnah wal Jamaah?

Untuk mengetahui siapakah sufi, tentunya kita harus merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman salafus saleh disertai penjelasan para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Baca juga: Jalan Salaf Jaminan Kebenaran

Siapakah Sufi?

Perlu diketahui, nama sufi tidak dikenal pada masa sahabat, juga tidak masyhur pada masa generasi utama (sahabat, tabiin, dan tabi’ut tabi’in). Mereka muncul setelah masa tiga generasi utama. Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan awal mula munculnya sufi adalah di Bashrah, Irak. (Lihat Fatawa, 11/5, dan Haqiqatu ash-Shufiyah, hlm. 13)

Syaikh Muqbil rahimahullah berkata, “Sesungguhnya, bid’ah tasawuf muncul setelah tahun 200 H. Tasawuf tidak ada pada zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam, zaman sahabat, dan zaman tabiin.” (Mushara’ah, hal. 376)

Nukilan di atas menunjukkan bahwa sufi adalah kelompok baru dalam Islam ini.

Pemikiran Sufi

Apabila seseorang mau adil menelaah pemikiran dan akidah amalan sufi, dia akan dapati banyak sekali pemikiran, akidah, dan amalan sufi yang menyimpang dari Islam yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.

Baca juga: Mewaspadai Sufi

Sebagai bentuk keadilan, marilah kita perhatikan apa yang akan kami paparkan mengenai beberapa penyimpangan prinsip, amalan, dan akidah sufi dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

  1. Sufi terpecah menjadi kelompok-kelompok atau thariqat (tarekat-tarekat).

Ada tarekat Tijaniyah, Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Syadziliyah, Rifaiyah, dan lainnya. Demikianlah mereka berpecah-belah, padahal Islam melarang perpecahan dan hanya mengenal satu jalan saja.

Baca juga: Jalan Kebenaran Hanya Satu

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

مُنِيبِينَ إِلَيۡهِ وَٱتَّقُوهُ وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَلَا تَكُونُواْ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ ٣١ مِنَ ٱلَّذِينَ فَرَّقُواْ دِينَهُمۡ وَكَانُواْ شِيَعًاۖ كُلُّ حِزۡبِۢ بِمَا لَدَيۡهِمۡ فَرِحُونَ ٣٢

“Dengan kembali bertobat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah. Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (ar-Rum: 31—32)

  1. Sebagian sufi juga berdoa kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala.

Mereka berdoa kepada Nabi dan wali mereka, baik yang masih hidup maupun yang telah mati. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَلَا تَدۡعُ مِن دُونِ ٱللَّهِ مَا لَا يَنفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَۖ فَإِن فَعَلۡتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِّنَ ٱلظَّٰلِمِينَ

“Janganlah kamu menyembah sesuatu selain Allah yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudarat kepadamu; sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang zalim.” (Yunus: 106)

Baca juga: Apa yang Bisa Menjadi Perantara dalam Doa

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyatakan,

الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ

“Doa adalah ibadah.” (Sahih, HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi)

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah mengatakan, “Barang siapa memalingkan satu macam ibadah kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala, dia adalah musyrik kafir. Dalilnya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,

مَن يَدۡعُ مَعَ ٱللَّهِ إِلَٰهًا ءَاخَرَ لَا بُرۡهَٰنَ لَهُۥ بِهِۦ فَإِنَّمَا حِسَابُهُۥ عِندَ رَبِّهِۦٓۚ إِنَّهُۥ لَا يُفۡلِحُ ٱلۡكَٰفِرُونَ

“Barang siapa menyembah sesembahan yang lain disamping Allah, padahal tidak ada suatu dalil pun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Rabb-nya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung.” (al-Mu’minun: 117) (Lihat kitab Tsalatsatul Ushul)

  1. Sufi meyakini adanya badal dan quthub.

Badal dan quthub adalah orang-orang yang mereka yakini sebagai wali dan diyakini ikut andil mengatur alam.[1] Padahal Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

قُلۡ مَن يَرۡزُقُكُم مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ أَمَّن يَمۡلِكُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَٰرَ وَمَن يُخۡرِجُ ٱلۡحَيَّ مِنَ ٱلۡمَيِّتِ وَيُخۡرِجُ ٱلۡمَيِّتَ مِنَ ٱلۡحَيِّ وَمَن يُدَبِّرُ ٱلۡأَمۡرَۚ فَسَيَقُولُونَ ٱللَّهُۚ فَقُلۡ أَفَلَا تَتَّقُونَ

“Katakanlah, ‘Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, serta siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati serta mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?’ Maka mereka akan menjawab, ‘Allah.’ Maka katakanlah, ‘Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?’” (Yunus: 31)

  1. Sebagian Sufi meyakini wihdatul wujud (manunggaling kawula gusti).

Menurut mereka, tidak ada Khalik dan makhluk (Pencipta dan yang dicipta). Semuanya adalah makhluk dan semuanya adalah ilah.

  1. Sufi membolehkan berjoget sambil menabuh rebana dan berzikir dengan suara keras.

Padahal Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتۡ قُلُوبُهُمۡ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka.” (al-Anfal: 2)

Syaikh Muqbil rahimahullah menerangkan, “Ibnul Qayyim rahimahullah pernah menerangkan bahwa beliau pernah melihat orang-orang sufi berjoget di Arafah. Beliau melihat mereka berjoget diiringi rebana. Beliau juga melihat mereka berjoget di Masjid Khaif.” (Mushara’ah, hlm. 388 secara ringkas)

Syaikh Muqbil rahimahullah juga mengatakan, “Pernah suatu hari aku naik ke Masjidilharam bagian atas. Aku dapati sekelompok besar manusia dari Turki, Sudan, dan Yaman, mereka berjoget sambil berputar-putar[2]….” (Mushara’ah, hlm. 387)

Di antara mereka juga adalah Muhammad Kabbani[3], yang berkunjung ke Jakarta dan berzikir serta mengajak yang hadir berjoget.

Mereka juga berzikir dengan semata menyebut lafaz  (اللهُ). Sebagian mereka hanya menyebut lafaz hu. Padahal Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyatakan,

أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ

“Zikir yang paling utama adalah ucapan la ilaha illallah….” (HR. at-Tirmidzi)

  1. Sebagian sufi mengklaim tahu ilmu gaib.

Padahal pengetahuan ilmu gaib adalah kekhususan Allah subhanahu wa ta’ala.

Baca juga: Menyoal Urusan Gaib

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

قُل لَّا يَعۡلَمُ مَن فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ ٱلۡغَيۡبَ إِلَّا ٱللَّهُۚ

“Katakanlah, ‘Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib, kecuali Allah’.” (an-Naml: 65)

  1. Sufi mengklaim bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam dari cahaya-Nya, kemudian Allah menciptakan segala sesuatu dari cahaya Nabi Muhammad.

Namun, Al-Qur’an mendustakan mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an,

قُلۡ إِنَّمَآ أَنَا۠ بَشَرٌ مِّثۡلُكُمۡ يُوحَىٰٓ إِلَيَّ أَنَّمَآ إِلَٰهُكُمۡ إِلَٰهٌ وَٰحِدٌۖ

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu yang diwahyukan kepadaku, ‘Sesungguhnya sembahan kamu itu adalah sembahan yang Esa’’.” (al-Kahfi: 110)

Baca juga: Pokok-Pokok Keimanan Kepada Nabi dan Rasul

Firman-Nya tentang penciptaan Nabi Adam alaihissalam,

إِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّي خَٰلِقُۢ بَشَرًا مِّن طِينٍ

“(Ingatlah) ketika Rabb-mu berfirman kepada malaikat, ‘Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah’.” (Shad: 71)

Adapun hadits, “Yang pertama diciptakan adalah cahaya Nabimu, wahai Jabir” adalah hadits maudhu’ (palsu).

  1. Sufi mengklaim bahwa ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala tidaklah dilakukan karena takut kepada neraka atau mengharapkan surga.

Mereka berpendapat bahwa ibadah karena mengharapkan surga adalah kesyirikan, sebagaimana diucapkan oleh tokoh mereka, Sya’rawi. (Lihat ash-Shufiyah fi Mizanil Kitab was Sunnah, hlm. 20—21)

Baca juga: Doa Meminta Surga dan Berlindung dari Neraka

Padahal Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّهُمۡ كَانُواْ يُسَٰرِعُونَ فِي ٱلۡخَيۡرَٰتِ وَيَدۡعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًاۖ وَكَانُواْ لَنَا خَٰشِعِينَ

“Maka Kami memperkenankan doanya, Kami anugerahkan kepadanya Yahya, dan Kami jadikan istrinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami.” (al-Anbiya: 90)

Ibadah haruslah memenuhi tiga rukunnya: khauf (rasa takut), raja’ (rasa harap), dan mahabbah (rasa cinta).

  1. Sebagian sufi mengklaim bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan dunia karena Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.

Allah subhanahu wa ta’ala mendustakan mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an,

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (adz-Dzariyat: 56)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman kepada Rasul-Nya, Muhammad shallallahu alaihi wa sallam,

وَٱعۡبُدۡ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأۡتِيَكَ ٱلۡيَقِينُ

“Dan sembahlah Rabb-mu sampai datang kepadamu al-yakin (ajal).” (al-Hijr: 99)

  1. Mereka membaca shalawat-shalawat yang tidak diajarkan oleh Rasulullah.

Bahkan, mereka membaca shalawat-shalawat yang mengandung kesyirikan, yang tak akan diridhai oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.[4]

  1. Sufi mengklaim bisa melihat Allah subhanahu wa ta’ala di dunia.

Al-Qur’an menunjukkan kedustaan mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman kepada Nabi Musa alaihissalam,

وَلَمَّا جَآءَ مُوسَىٰ لِمِيقَٰتِنَا وَكَلَّمَهُۥ رَبُّهُۥ قَالَ رَبِّ أَرِنِيٓ أَنظُرۡ إِلَيۡكَۚ قَالَ لَن تَرَىٰنِي

“Tatkala Musa datang untuk (bermunajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Rabb-nya telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa, ‘Ya Rabb-ku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau.’ Allah berfirman, ‘Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku’.” (al-Araf: 143) (Lihat ash-Shufiyah fi Mizanil Kitabi was Sunnah hlm. 8—21)


Catatan Kaki

[1] Keyakinan seperti ini adalah keyakinan yang syirik. Berbeda halnya apabila yang dimaksud dengan istilah ini tidak sampai pada tingkatan rububiyah (ikut mengatur alam). (-red)

[2] Tarian ini sekarang lebih dikenal dengan sebutan Whirling Dervish. Dervish (darwis) adalah sebutan untuk penarinya. (-red)

[3] Muhammad Hisham Kabbani, tokoh tarekat Naqsyabandiyah Haqqani. Oleh media, ia disebut-sebut sebagai “syaikh” sufi paling berpengaruh di dunia saat ini. (-red)

[4] Di antaranya ialah yang mereka namakan shalawat Nariyah. Ini adalah shalawat yang berisi kesyirikan karena disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mampu menghilangkan kesulitan, melapangkan kesusahan, dan menunaikan kebutuhan. (Lihat al-Firqatun Najiyah)

 

Ditulis oleh Ustadz Abu Abdillah Abdurrahman Mubarak