Manusia Hamba yang Terhormat
Manusia adalah makhluk Allah ‘azza wa jalla yang paling terhormat di muka bumi ini karena Allah ‘azza wa jalla mengangkat martabat mereka serta memosisikan pada tempat yang tinggi dan terhormat di hadapan makhluk yang lain, memuji dan menyanjung mereka dalam banyak kesempatan. Merekalah yang telah dinobatkan oleh Allah ‘azza wa jalla untuk mengurus urusan dunia ini di hadapan para malaikat.
“Dan ingatlah di saat Rabbmu berkata kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikan khalifah di muka bumi’.” (al-Baqarah: 30)
Para malaikat dengan keterbatasan ilmunya tentang manusia seraya berkata,
“Apakah Engkau akan menjadikan di atasnya orang yang akan melakukan perusakan dan melakukan pertumpahan darah?” (al-Baqarah: 30)
Ini adalah batas ilmu para malaikat tentang manusia yang akan diciptakan oleh Allah ‘azza wa jalla di muka bumi, dan mereka bermaksud menyucikan dan mengagungkan Allah ‘azza wa jalla dari hal seperti itu. Mereka memberitakan bahwa mereka adalah makhluk yang taat kepada Allah ‘azza wa jalla dan bebas dari perbuatan merusak, dan mereka mengatakan,
“Dan kami menyucikan dengan memuji Engkau dan membersihkan Engkau.” (al-Baqarah: 30)
Allah ‘azza wa jalla menjelaskan bahwa Dia Maha Mengetahui makhluk manusia, lahiriah dan batiniah mereka. Allah Maha Mengetahui kebaikan yang berlipat ganda dalam penciptaan manusia dibanding dengan kekhawatiran para malaikat atas kejelekan yang akan muncul dari mereka.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang kalian tidak mengetahuinya.” (al-Baqarah: 30)
Menjadi makhluk yang terhormat tidak otomatis menjadi yang termulia di sisi Allah ‘azza wa jalla karena jati dirinya sebagai manusia. Akan tetapi, kemuliaan itu akan diperoleh di saat manusia itu beriman kepada Allah ‘azza wa jalla dan beramal saleh.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.” (al-Bayyinah: 7)
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.” (al-Hujurat: 13)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah akan mengangkat dengan al-Qur’an ini suatu kaum dan merendahkan dengannya kaum yang lain.” (HR. Muslim no. 1353 dari sahabat Umar Ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla mengangkat derajat seorang hamba sesuai dengan berpegang teguhnya dia dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Kebanyakan Manusia Memilih Kerendahan dan Kehinaan
Itulah realita yang dijelaskan oleh Allah ‘azza wa jalla di dalam al-Qur’an dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam as-Sunnah, mayoritas manusia memilih kerendahan dan kehinaan di dalam hidup. Firman Allah ‘azza wa jalla,
“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba- Ku yang berterima kasih.” (Saba’: 13)
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (al-An’am: 116)
“Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini.” (Shad: 24)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, dan semuanya di neraka kecuali satu, yaitu al-Jamaah.” (HR. Ibnu Majah no. 3993)
Maka dari itu, jangan heran bila kita sulit untuk mendapatkan yang satu tersebut di tengah umat ini. Jangan heran apabila seseorang dengan gampang dan mudah tersesat jalannya di dalam beragama. Kalaulah bukan karena taufik dan hidayah dari Allah ‘azza wa jalla, niscaya seseorang tidak akan bertemu dan berjumpa dengan satu golongan yang selamat tersebut.
Urusan Manusia Segalanya di Tangan Allah ‘azza wa jalla
Sering sekali manusia ini mengungkapkan penolakan atas segala yang berlangsung di dalam hidup mereka, lebih-lebih bila terjadi apa yang tidak sesuai dengan harapannya. Banyak yang akan dijadikan kambing hitam, dijadikan tumpuan kesalahan, tentunya dengan mengangkat dan membersihkan dirinya bahwa bukan dia yang salah dan keliru.
Manusia seringnya berangan-angan dan bercita-cita bahkan menggantungnya setinggi langit, angan-angan pada sesuatu yang dia tidak berilmu tentangnya dan setelah itu memastikan dirinya untuk bisa menggapai segala yang dicita-citakan.
Dengan menutup mata bahwa semua perjalanan hidup yang telah terjadi, yang sedang terjadi, dan yang akan terjadi, ada dalam ilmu dan pengaturan Allah ‘azza wa jalla. Dia menyadari bahwa banyak peristiwa di luar dugaan dan di luar batas daya pikirnya, terjadi dengan spontan dan tanpa pendahuluan. Tentu saja, orang yang beriman kepada Allah ‘azza wa jalla akan menerima segala peristiwa di dalam hidupnya dengan lapang dada dan mengatakan seperti yang dikatakan oleh Nabi Musa ‘alaihissalam,
Musa menjawab, “Pengetahuan tentang itu ada di sisi Rabbku, di dalam sebuah kitab, Rabb kami tidak akan salah dan tidak (pula) lupa.” (Thaha: 52)
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (al-An’am: 59)
“Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi, apa yang keluar darinya, apa yang turun dari langit, dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia-lah yang Maha Penyayang lagi Maha Pengampun. Dan orang-orang yang kafir berkata, “Hari berbangkit itu tidak akan datang kepada kami.” Katakanlah, “Pasti datang, demi Rabbku yang mengetahui yang gaib, sesungguhnya kiamat itu pasti akan datang kepadamu. Tidak ada yang tersembunyi dari-Nya sebesar zarrah pun yang ada di langit dan yang ada di bumi dan tidak ada (pula) yang lebih kecil dari itu dan yang lebih besar, melainkan tersebut dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Saba’: 2—3)
Manusia Memiliki Kehendak, Allah ‘azza wa jalla Berkehendak
Termasuk prinsip Ahlus Sunnah adalah manusia memiliki kehendak dan kehendak mereka di bawah kehendak Allah ‘azza wa jalla. Prinsip ini membantah dua bentuk keyakinan sesat dan paham berbahaya:
- Keyakinan bahwa manusia memiliki kehendak mutlak, sanggup mewujudkan semua kehendaknya tanpa terkait dengan kehendak Allah ‘azza wa jalla. Paham dan keyakinan ini diusung dan diproklamirkan oleh kaum Qadariyah.
- Keyakinan bahwa manusia tidak memiliki kehendak sedikit pun dan mereka berada dalam keterpaksaan untuk berbuat segala-galanya di dalam hidup ini dan semuanya karena kehendak Allah ‘azza wa jalla. Apabila Allah ‘azza wa jalla menyiksa manusia karena dipaksa—dalam pandangan mereka—Allah ‘azza wa jalla telah berbuat zalim atas mereka. Paham ini diusung dan disuarakan oleh kaum Jabriyah.
Mari kita menyimak apa kata Rabb kita di dalam masalah ini.
“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (al- Insan: 30)
“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” (at-Takwir: 29)
“Kalau sekiranya Kami turunkan malaikat kepada mereka, dan orangorang yang telah mati berbicara dengan mereka dan Kami kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan mereka, niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (al-An’am: 111)
Dalil-dalil di atas menjelaskan bahwa, segala apa yang dikehendaki oleh Allah ‘azza wa jalla pasti terjadi. Sebaliknya, apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak mungkin terjadi, dan bagaimana mungkin terjadi dalam kekuasaan-Nya apa yang tidak dikehendaki. Kalau demikian siapa lagi yang paling sesat dan paling kufur dari seseorang yang menganggap Allah ‘azza wa jalla menghendaki keimanan dari seorang kafir sementara si kafir menginginkan kekufuran, lalu kehendak sang kafir mengalahkan kehendak Allah ‘azza wa jalla, Mahatinggi Allah ‘azza wa jalla dari apa yang mereka katakan.” (Syarah Aqidah Thahawiyyah, Ibnu Abil ‘Izzi hlm. 161)
Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Salamah bin Salamah al-Azdi al- Hajari al-Mishri ath-Thahawi al-Hanafi dalam Aqidah Thahawiyyah berkata,
“Segala sesuatu terjadi dalam ketentuan takdir dan kehendak Allah ‘azza wa jalla, dan kehendak-Nya pasti terlaksana, dan tidaklah terlaksana kehendak hamba kecuali apa yang Allah ‘azza wa jalla kehendaki buat mereka, sehingga apa yang dikehendaki oleh Allah ‘azza wa jalla buat mereka pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi.”
Jujur dalam Menggantungkan Harapan kepada Allah ‘azza wa jalla
Seringkali manusia berharap akan sebuah karunia Allah ‘azza wa jalla, namun sangat sedikit dari mereka yang mau menyambut panggilan Allah ‘azza wa jalla. Manusia juga sangat gampang dan mudah melupakan Dzat yang telah memberinya nikmat. Mudah berkeluh kesah di dalam hidup. Apabila Allah ‘azza wa jalla tidak memberikannya atau belum menganugerahkan kepadanya apa yang diharapkan, ia tampakkan kekufuran dan kekafiran.
Sebaliknya, bila Allah ‘azza wa jalla memberikan apa yang dimintanya dia justru menyombongkan diri, sehingga tidak sedikit dari mereka melontarkan ungkapan-ungkapan keangkuhan seperti; ‘Ini karena ilmu dan keahlian saya’, ‘Ini karena keturunan saya’, ‘Ini memang kesuksesan yang sudah turun-temurun’, ‘Ini karena strategi-strategi saya yang tepat dan jitu’, ‘Ini karena anak buah saya yang handal dan berpengalaman’, ‘Ini karena kemuliaan saya, maka pantas saya mendapatkannya’, dan sebagainya.
Dia tidak merasa jika semuanya ini datang dari Allah ‘azza wa jalla yang menuntutnya untuk bersyukur bila menyenangkan dan sabar bila tidak sesuai dengan harapan.
“Sesungguhnya apabila Kami merasakan kepada manusia suatu rahmat dari Kami Dia bergembira ria karena rahmat itu. Jika mereka ditimpa kesusahan disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri (niscaya mereka ingkar) karena sesungguhnya manusia itu amat ingkar (kepada nikmat).” (asy-Syura: 48)
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa apabila dia mendapatkan nikmat, dia menjadi jahat dan sombong dan bila dia diuji, dia berputus asa, sebagaimana ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kaum wanita,
“Wahai kaum wanita, bersedekahlah kalian! Sebab, aku benar-benar melihat kebanyakan kalian penghuni neraka.”
Seorang wanita bertanya, “Mengapa, wahai Rasulullah?”
Beliau bersabda, “Sesungguhnya kalian itu banyak mengeluh dan jelek pergaulan (bersama suami kalian) dan jika kamu (suami) berbuat baik kepada salah seorang dari mereka sepanjang tahun, lalu suatu hari kamu meninggalkan kebaikan itu, wanita itu berkata, ‘Aku tidak pernah melihat kebaikan darimu sama sekali’.” (HR. Muslim no. 79, dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma dan pada no. 80 dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Ini adalah kondisi kebanyakan orang, kecuali yang telah mendapatkan hidayah dari Allah ‘azza wa jalla dan mendapatkan bimbingan-Nya, serta termasuk golongan orangorang yang beriman dan beramal saleh.
Orang yang beriman itu seperti yang dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Bila dia mendapatkan kesenangan, dia bersyukur dan bila menimpanya sesuatu yang menyedihkan, dia bersabar. Itu adalah kebaikan baginya, dan hal itu tidak didapatkan selain oleh orang yang beriman’.” (HR. Muslim no. 299 dari sahabat Shuhaib bin Sinan radhiallahu ‘anhu) Lihat Tafsir Ibnu Katsir 4/121.
Berharap Keturunan, Allah ‘azza wa jalla yang Menentukan dan Memutuskan
Allah ‘azza wa jalla bercerita tentang para nabi dan rasul serta orang-orang saleh di dalam al-Qur’an bahwa mereka sangat berharap untuk mendapatkan keturunan yang baik dan beberkah. Seperti di dalam firman-Nya,
“Di sanalah Zakariya mendoa kepada Rabbnya seraya berkata, “Ya Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa.” (Ali ‘Imran: 38)
“Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang saleh.” (ash-Shaffat: 100)
“Wahai Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (al-Furqan: 74)
Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa para nabi dan rasul serta orangorang saleh mengharapkan keturunan yang baik di dalam hidup. Mereka menggantungkan harapannya kepada Allah ‘azza wa jalla. Karena tidak ada sesuatu yang sulit bagi Allah ‘azza wa jalla jika mengatakan kun (jadilah) maka akan terjadi apa yang diinginkan-Nya. Walaupun hal itu dalam catatan ilmu manusia tidak mungkin terjadi.
Allah ‘azza wa jalla yang memberi siapa yang dikehendaki-Nya dan tidak memberi siapa yang diinginkan-Nya, tidak ada yang sanggup menghalangi bila Dia akan memberi dan tidak ada yang akan sanggup untuk memberi, bila Allah ‘azza wa jalla menghalanginya. Allah ‘azza wa jalla-lah yang akan menciptakan segala sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya, berkuasa atas mereka serta Dia Allah ‘azza wa jalla memutuskan di atas ilmu dan keadilan-Nya.
Dia Allah ‘azza wa jalla yang akan memberi keturunan kepada seseorang dan tidak memberinya kepada yang lain. Menjadikan seseorang wanita itu subur dan tidak subur bahkan menjadikan seseorang itu mandul. Menganugerahkan hanya anak-anak wanita kepada seseorang, seperti anugerah-Nya kepada Nabi Luth ‘alaihissalam, atau semuanya lelaki seperti anugerah-Nya kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, atau memberinya keturunan laki-laki dan wanita seperti anugerah-Nya kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah ‘azza wa jalla pula yang tidak menganugerahkan keturunan seperti kepada Nabi Yahya dan Nabi Isa ‘alaihimassalam.
Hal ini telah dijelaskan oleh Allah ‘azza wa jalla di dalam firman-Nya,
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki. Atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Mahakuasa.” (asy-Syura: 49-50)
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman