السلام عليكم ورحمة الله و بركاته
Sebagai produk intepretasi, tafsir niscaya akan beragam. Walaupun objek tafsirnya sama, namun keilmuan penafsir, serta pemikiran dan kultur yang memengaruhi, akan membedakan hasilnya.
Benar memang jika dikatakan bahwa al-Qur’an bagaikan permata, dipandang dari sudut mana pun akan tetap memancarkan cahaya. Namun, bukan berarti semua “sudut pandang” ini lantas dikatakan benar semua.
Objektivitas tetaplah dibutuhkan. Secara akal sehat, tafsir yang benar adalah tafsir yang penafsirnya tidak menaruh pemikirannya di dalamnya. Ketika tafsir sudah dirancukan oleh pemikiran penafsir atau menitikberatkan pada paham tertentu, produk tafsirnya jelas akan berkurang nilainya.
Tafsir yang dalam memahami kandungan ayat al-Qur’an lebih menitikberatkan pada ayat al-Qur’an dan riwayat hadits, tentunya akan lebih selamat. Karena tafsir sejatinya menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai sisi, baik konteks historisnya maupun sebab turunnya, dengan menggunakan penjelasan yang dapat menunjuk kepada makna yang dimaukan.
Sebagai hasil penalaran, kajian, dan ijtihad para mufassir (baca: manusia) yang terbatas, tafsir memang bisa saja salah. Para sahabat yang secara umum menyaksikan turunnya wahyu, memahami konteksnya, serta mengerti struktur bahasa dan makna kosa katanya, bisa berbeda pendapat dalam memahaminya, tentu kita yang ilmunya dangkal dan dipisahkan oleh rentang waktu yang panjang dari turunnya wahyu, sangat mungkin salah.
Oleh karena itu, seseorang yang mengaku ahli tafsir atau suka menafsirkan ayat tapi tidak paham ilmu bahasa Arab, ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu ma’any, ilmu bayan, ilmu badi’, ilmu qiraah, asbabun nuzul, nasikh dan mansukh, musthalah hadits, dan ilmu lain yang dipersyaratkan dimiliki oleh seorang mufassir, dijamin dia akan gegabah dalam menafsirkannya.
Maka menjadi aneh jika muncul metode-metode tafsir kontemporer seperti: hermeneutik, tematik, dan semiotik, yang tidak berpijak pada ilmu-ilmu tersebut, bahkan tidak menggunakan sumber penafsiran yang jelas: yakni al-Qur’an sendiri, hadits-hadits Nabi n yang berkaitan dengan topik penafsiran, riwayat para sahabat dan tabi’in, kaidah-kaidah bahasa Arab, pendapat salafush shalih, dan lain sebagainya. Bisa dibayangkan, produk tafsir macam apa yang dihasilkannya.
Wajar jika tafsir berlabel “kontekstualisasi” yang kuat bersentuhan dengan pemikiran Barat ini, tidaklah dianggap sama sekali. Di saat Rasulullah masih hidup, umat memang tidak menemukan kesulitan dalam memahami “petunjuk” karena mereka memiliki tempat untuk bertanya. Namun, sepeninggal Rasulullah n, umat Islam banyak menemukan kesulitan. Meskipun ada yang mengerti bahasa Arab al-Qur’an, namun dalam kenyataannya, tidak semua orang bisa dengan mudah memahami al-Qur’an.
Oleh sebab itu, mereka membutuhkan tafsir yang bisa membimbing dan mengantarkan mereka untuk memahami kandungan yang terpendam di dalamnya.
Maka dari itu, ulama tafsir memegang posisi yang sentral. Melalui produk tafsirnya, mereka banyak memberikan kemaslahatan bagi umat. Tinggal kita sebagai umat sekaligus masyarakat pembacanya, bisa memilih dan memilah produk tafsir yang benar dan selamat.