Menebar Pesona Dakwah

Tahun 1986 geliat dakwah di berbagai perguruan tinggi mulai menyembul. Sebelum tahun itu, di salah satu perguruan tinggi ternama di kota Bandung, dakwah yang menawarkan kajian keislaman mulai semarak.

Tak tanggung-tanggung, dakwah di kampus ternama itu dilengkapi pula buku panduan berisi materi yang dikaji. Sasaran pesertanya para remaja yang tengah duduk di bangku sekolah lanjutan. Setiap Ahad pagi, ratusan anak remaja duduk bersimpuh di hadapan mentor yang membimbingnya. Sistem mentoring, begitulah sebagian orang menyebut acara kajian tersebut.

Melalui acara mentoring banyak anak remaja perkotaan yang tergugah untuk belajar Islam. Apalagi bila kelak para remaja itu berhasil meraih kursi di perguruan tinggi ternama itu, pembinaan pun akan berlanjut. Kampus menjadi basis dakwah.

Geliat dakwah di kampus mengundang perhatian berbagai kalangan. Syiah, Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, Aliran Isa Bugis, dan berbagai pergerakan Islam lainnya, tergiur untuk turut menanam bibit di ladang kampus. Mereka berlomba memberi warna dakwah. Mereka berebut menanam pengaruh. Pertarungan kepentingan begitu menggebu.

Setelah 1986 dakwah di berbagai kampus makin marak. Lebih-lebih setelah munculnya Lembaga Dakwah Kampus (LDK), sebuah lembaga yang mengurusi dakwah di kalangan mahasiswa, yang berhasil masuk dan diakui secara struktural oleh pihak penguasa perguruan tinggi.

Metode mentoring yang sempat “booming” di Bandung lantas meruyak ke berbagai daerah. Materi kajian pun lantas banyak dimodifikasi sesuai alur pemikiran yang merancang di kampus masing-masing. Saat itu, warna pemikiran Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir banyak bercokol di kampus. Tak kalah agresif, Syiah.

 

Syiah Menebar Pesona?

Keberadaan Syiah di berbagai perguruan tinggi sangat ditunjang oleh pantauan aktif pihak kedutaan besar negara Syiah yang ada di Indonesia. Pihak kedutaan aktif menebarkan misi melalui majalah, buku, hingga merekrut anak muda untuk belajar ke Iran.

Walau ingar-bingar revolusi di negeri Syiah Iran mulai redup, karena banyak kaum muslimin di Indonesia mulai sadar bahwa paham Syiah itu sesat, pada periode itu gerakan Syiah terus menusuk ke jantung kampus. Mereka menerbitkan buku-buku (terjemahan) para pemikir Syiah Iran, seperti Ali Syariati, Murtadha Muthahhari, dan lainnya.

Arus deras paham Syiah terus diguyurkan ke tubuh umat. Saat itu banyak kalangan dosen dan mahasiswa yang teracuni pemikiran Syiah. Melalui buku, Syiah mengemas paham sesatnya.

Satu di antara tebar pesona dakwah Syiah yaitu taqrib (mendekatkan paham) Sunni-Syiah. Seakan-akan Sunni dan Syiah itu sama, tak ada perbedaan. Para pengusung dakwah Syiah menyembunyikan taring kesesatan Syiah di hadapan kaum muslimin. Melalui kamuflase taqrib Sunni-Syiah tak sedikit kaum muslimin terkelabui.

Sebagian kaum muslimin larut, bahkan memompakan semangat persatuan antara penganut paham sesat Syiah dan kalangan Ahlus Sunnah. Melalui metodologi taqrib antara Sunni-Syiah, diharapkan tidak ada sikap permusuhan terhadap Syiah dari kalangan Ahlus Sunnah.

Dengan itu, diharapkan tumbuh persatuan antara Sunni-Syiah. Saat persatuan itu terbina, maka kaum Syiah secara bebas mendakwahkan ajaran sesatnya kepada kaum muslimin.

Apa yang dijajakan kaum Syiah sungguh merupakan tipuan memesona. Kaum muslimin yang masih belum mengenal hakikat Syiah bisa tergoda lalu terjerumus ke dalamnya.

Seiring perjalanan waktu, kedok kaum Syiah pun terbuka. Wajah busuk yang selama ini disembunyikan tersingkap. Kaum muslimin pun waspada. Gerakan anti-Syiah berkumandang di mana-mana. Paham pencela para sahabat Nabi ini pun mengubah makarnya. Akhirnya, mereka bergerak terang-terangan. Era baru dalam upaya tebar pesona.

Walau telah terang-terangan, untuk acara peringatan Asyura yang berdarah-darah, belum mereka lakukan di hadapan publik. Kaum Syiah memperingati Asyura dengan melukai tubuh menggunakan senjata tajam. Darah bercucuran mewarnai tubuh dan pakaian mereka. Bahkan, bayi pun mereka lukai pada peringatan Asyura.

Itu sejatinya ajaran Syiah. Termasuk ajaran mut’ah (kawin kontrak) belum dipublikasikan secara masif. Entah, apa reaksi masyarakat bila ajaran Syiah yang dua tadi disebar ke tengah masyarakat.

 

Akankah Syiah bisa terus menebar pesonanya?

Kini, saat berbagai kesesatan ajaran Syiah terbongkar, pendekatan dakwah yang dilakukan pun diubah sesuai dengan situasi yang berkembang. Mereka luaskan makar melalui infiltrasi (penyusupan) ke dalam tubuh berbagai lembaga pemerintahan, partai politik, dan media masa. Strategi memanfaatkan era kebebasan dan demokratisasi pun ditempuh. Dengan senjata kebebasan dan hak asasi manusia, kaum Syiah menuntut pengakuan dari berbagai pihak. Mereka menuntut perlindungan hukum. Mereka meminta kebebasan dalam melaksanakan dan mendakwahkan ajarannya.

Pendekatan inilah yang kini tengah digencarkan kalangan Syiah. Keran kebebasan yang dibuka secara tak terukur menjadikan negeri ini menyemai bom waktu terjadinya konflik horisontal secara terbuka.

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menyelamatkan kaum muslimin dan negeri ini serta menyadarkan para pemimpinnya dari ancaman bahaya pemahaman sesat Syiah yang mengatasnamakan Islam.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

          وَيَمۡكُرُونَ وَيَمۡكُرُ ٱللَّهُۖ وَٱللَّهُ خَيۡرُ ٱلۡمَٰكِرِينَ ٣٠

        “Mereka membuat makar, Allah pun membuat makar. Dan Allah sebaik-baik pembuat makar.” (al-Anfal:30)

 

Jangan Tertipu Dakwah Menyesatkan

Banyak kelompok menawarkan pemahamannya. Banyak pemahaman yang ditawarkan tak sesuai syariat. Pemahaman menyimpang yang dikemas secara apik bisa menjadikan orang teperdaya. Tak bisa berkutik, seakanakan yang dicerna adalah kebenaran. Padahal senyatanya adalah kebatilan.

Ikhwanul Muslimin, al-Qaidah, dan ISIS, menawarkan jihad. Namun, ternyata bukan jihad yang selaras syariat. Namanya jihad, tetapi hakikatnya membetot masyarakat untuk melawan penguasa, menumpahkan darah sesama muslim, dan mengkafirkan kaum muslimin yang tak sehaluan dengan mereka.

Kata-kata jihad dijadikan stempel untuk melegalisasi perbuatan merusak, sesat, dan menyesatkan. Makna jihad pun dibonsai hingga mengandung pengertian yang kerdil, sempit, dan menceng. Bagi mereka jihad cuma angkat senjata melulu. Membunuh atau dibunuh. Jihad identik dengan darah manusia yang mengalir, tubuh yang tercabik-cabik mesiu, dan suara desingan peluru. Padahal dalam sebuah hadits sahih disebutkan,

الْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللهِ

        “Seorang yang berjihad ialah yang bersungguh-sungguh menunaikan ketaatan kepada Allah.” (HR . al-Bazzar dari sahabat Fadhalah bin Ubaid al-Anshari radhiallahu ‘anhu. Lihat Shahih al-Musnad karya asy-Syaikh Muqbil al-Wadi’i)

Karena itu, jangan tertipu dengan tampilan mereka. Bisa jadi, secara lahiriah mereka menampakkan syiar keislaman. Pakaian mereka tampak islamis, ibadah mereka tampak rajin, sehingga orang yang tak benar-benar mengenal akan tersamarkan. Dikira seorang berpemahaman lurus dan benar, ternyata pemikirannya radikal dan gemar teror.

 

Untuk mengenali siapa sesungguhnya mereka, perhatikan hal berikut:

  1. Perhatikan pertemanan yang ada pada mereka.

Relasi berteman akan memberi gambaran peta jaringan yang ada. Semakin intensif seseorang melakukan relasi dengan lainnya, semakin kuat kedekatan orang tersebut dengan lawan relasinya. Seseorang bisa dilihat dari teman dekatnya.

الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

“Seseorang tergantung atas agama teman dekatnya. Maka, perhatikan siapakah yang menjadi teman dekatnya.” (Lihat ash-Shahihah, no. 927)

 

  1. Cermati literatur yang menjadi rujukannya.

Kitab, buku, dokumen dalam bentuk tulisan bisa menjadi acuan awal menilai sosok yang berpenampilan terkesan islami. Apabila sumber bacaan yang sering dicerna adalah karya orang seperti Sayid Quthub, Salman al-Audah, Safar Hawali, Hasan al-Banna, dan yang semisal, akan terpetakan alur pemikiran dan keyakinannya. Mereka adalah orang-orang yang menebar pesona dengan menawarkan pemikiran Khawarij.

Begitu pula apabila literatur yang dijadikan acuan berpikirnya buku-buku atau kitab-kitab dari kalangan yang (di antaranya) mencela para sahabat Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wa sallam, berarti mereka adalah kalangan Syiah.

 

  1. Telusuri orang yang dijadikan sumber rujukan, pengampu materi, ustadz, atau instruktur pelatihan.

Orang yang dijadikan rujukan pengambilan ilmu, dialah yang memberi pengaruh dalam pembentukan sikap mental para pengikutnya. Muhammad bin Sirin rahimahullah mengatakan,

إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ

        “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Maka dari itu, perhatikan dari siapa kalian mengambil agama kalian.” (Lihat Muqaddimah Shahih Muslim)

Dengan dasar di atas, deteksi dini setidaknya bisa dilakukan untuk mengidentifikasi sosok orang yang baru dikenal sehingga kita tidak terkecoh oleh penampilan luar yang penuh tipuan.

 

Merujuk kepada Salafus Shalih

Era kebebasan telah memberi ruang bagi setiap orang menyatakan pikiran, perasaan, dan sikapnya. Termasuk di antaranya mengekspresikan rasa keberagamaannya. Pada era kebebasan yang seakan tanpa batas ini, seseorang diberi kebebasan untuk memiliki keyakinan dengan mengatasnamakan Islam.

Sebut saja fenomena yang mengaku menjadi nabi. Sejak kran kebebasan dibuka lepas tanpa batas, muncul banyak kasus nabi palsu. Walaupun sudah ditindak secara hukum, nyatanya ada yang tak jera. Bahkan, semakin menjadi-jadi dalam menyebarkan ajaran sesatnya.

Kasus kelompok sempalan pun makin mengotori kehidupan beragama. Kelompok sempalan Syiah makin berani untuk unjuk dada. Ajaran Syiah yang secara nyata telah menyimpang dari Islam, masih diposisikan sebagai bagian dari agama Islam. Padahal, Syiah telah menistakan Islam itu sendiri.

Fenomena kelompok sempalan dengan menyeret-nyeret Islam begitu mengemuka. Ahmadiyah, ISIS, al-Qaidah, Islam Liberal, Gafatar, Syiah adalah sederet nama yang telah memberi andil keresahan di tengah umat.

Ketika negara masih melakukan pembiaran, hendaknya kaum muslimin merujuk pada ajaran Islam yang lurus. Ajaran Islam yang telah diwariskan dari Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya. Dari para sahabat diwariskan kepada para tabi’in (orang-orang setelah para sahabat). Dari generasi tabi’in menurun ke generasi berikutnya, tabi’ut tabi’in (para pengikut generasi tabi’in).

Tiga generasi inilah yang disebut generasi salaf yang saleh. Allah subhanahu wa ta’ala telah menyebutkan generasi yang telah mendapat ridha-Nya. Firman-Nya,

          وَٱلسَّٰبِقُونَ ٱلۡأَوَّلُونَ مِنَ ٱلۡمُهَٰجِرِينَ وَٱلۡأَنصَارِ وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحۡسَٰنٖ رَّضِيَ ٱللَّهُ عَنۡهُمۡ وَرَضُواْ عَنۡهُ

        “Dan orang-orang terdahulu yang awal dari kalangan Muhajirin dan Anshar, dan orang-orang yang mengikutinya secara baik, Allah subhanahu wa ta’ala telah meridhainya dan mereka pun telah ridha kepada Allah….” (at-Taubah:100)

Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan hal itu sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits berikut.

Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu menuturkan, Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

“Sebaik-baik manusia adalah semasa kurun saya. Kemudian orang-orang setelahnya, kemudian yang setelahnya.” (HR . al-Bukhari dan Muslim)

Hadits Aisyah radhiallahu ‘anha juga mengisahkan, “Ada seseorang bertanya kepada Nabi shalllallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Siapakah sebaik-sebaik manusia?’

Dijawab oleh beliau shalllallahu ‘alaihi wa sallam,

الْقَرْنُ الَّذِي فِيهَا أَنَا فِيهِ ثُمَّ الثَّانِي ثُمَّ الثَّالِثُ

        “Kurun yang saya berada pada masa itu. Kemudian (generasi) kedua. Lantas  (generasi) ketiga.” (HR . Muslim)

Menurut asy-Syaikh Prof. Dr. Abdullah al-Bukhari hafizhahullah, guru besar di Universitas Islam Madinah, Saudi Arabia, tidak diragukan lagi bahwa generasi salafush shalih yang terdahulu memiliki keutamaan, ilmu, dan keimanan. (Lihat Ma Hiya as-Salafiyyah, hlm.14—15)

Seorang muslim wajib mengikuti jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau.

          وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلۡهُدَىٰ وَيَتَّبِعۡ غَيۡرَ سَبِيلِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصۡلِهِۦ جَهَنَّمَۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرًا ١١٥

“Barang siapa menentang Rasul setelah petunjuk (kebenaran) itu jelas nyata baginya dan ia mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang beriman, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, kemudian Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburukburuk tempat kembali.” (an-Nisa’:115)

Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan dalam I’lamul Muwaqqi’in tentang kewajiban mengikuti para sahabat Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wa sallam. Firman-Nya,

          وَٱتَّبِعۡ سَبِيلَ مَنۡ أَنَابَ إِلَيَّۚ

        “Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku.” (Luqman:15)

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan lebih lanjut, setiap sahabat adalah orang yang kembali kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Maka dari itu, wajib hukumnya mengikuti jalan sahabat, perkataan, dan keyakinannya. (Lihat idem hlm. 28)

Kemudian disebutkan pula oleh al-Imam Ahmad rahimahullah,

أُصُولُ السُّنَّةِ عِنْدَنَا التَّمَسُّكُ بِمَا كَانَ عَلَيْهِ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْاِقْتِدَاءُ بِهِمْ

“Prinsip-prinsip sunnah menurut kami adalah berpegang teguh (dengan apa) yang para sahabat Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wa sallam berada di atasnya dan mengikuti jejak mereka.” (Lihat Ma Hiya as-Salafiyah, hlm. 16)

Keterangan di atas semakin menegaskan prinsip seorang muslim untuk mengikuti generasi terbaik umat ini. Semakin terang benderang jalan yang harus ditempuh oleh seorang muslim dalam kehidupan beragama. Karena itu, tidak sepatutnya seorang muslim mengambil pemahaman agamanya dari kelompok sempalan yang sesat dan menyesatkan.

Pelajari Islam dari narasumber terpercaya. Jangan mengambil sembarang rujukan. Betapa banyak orang menawarkan pemahaman “keislaman”, namun senyatanya merupakan kesesatan. Jangan terpesona dengan berbagai dakwah yang memikat, membangkitkan semangat, dan decak kagum. Hendaknya berhati-hati.

Dakwah salafiyah sangat jelas dan tegas menebarkan tauhid, mengenyahkan kesyirikan. Dakwah salafiyah sangat transparan mengajak hamba Allah subhanahu wa ta’ala untuk mencintai dan menghidupkan sunnah, menepis berbagai penyelisihan terhadap perintah Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wa sallam.

Sungguh, para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, seperti al-Imam az-Zuhri rahimahullah, telah menyebutkan sederet pesan mendalam,

الْاِعْتِصَامُ بِالسُّنَّةِ نَجَاةٌ

        “Berpegang teguh dengan sunnah adalah keselamatan.” (Diriwayatkan oleh ad-Darimi dalam Sunan-nya. Lihat al-Hujajul Qawiyyah, asy-Syaikh Abdus Salam Barjas, hlm. 29)

Allahu a’lam.

Ditulis oleh al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin