Idul Fitri bisa memiliki banyak makna bagi tiap-tiap orang. Ada yang memaknai Idul Fitri sebagai hari yang menyenangkan karena tersedianya banyak makanan enak, baju baru, banyaknya hadiah, dan lainnya. Ada lagi yang memaknai Idul Fitri sebagai saat yang paling tepat untuk pulang kampung dan berkumpul bersama handai tolan.
Sebagian lagi rela melakukan perjalanan yang cukup jauh untuk mengunjungi tempat-tempat wisata, dan berbagai aktivitas lain yang bisa kita saksikan. Namun, barangkali hanya sedikit yang mau memaknai Idul Fitri sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam “memaknainya”.
Pendahuluan
Idul Fitri memang hari istimewa. Secara syariat pun dijelaskan bahwa Idul Fitri merupakan salah satu hari besar umat Islam selain Idul Adha. Karena itu, agama ini membolehkan umatnya untuk mengungkapkan perasaan bahagia dan bersenang-senang pada hari itu.
Sebagai bagian dari ritual agama, prosesi perayaan Idul Fitri sebenarnya tak bisa lepas dari aturan syariat. Ia harus didudukkan sebagaimana keinginan syariat. Bagaimana masyarakat kita selama ini menjalani perayaan Idul Fitri yang datang menjumpai?
Secara lahir, kita menyaksikan perayaan Hari Raya Idul Fitri masih sebatas sebagai rutinitas tahunan yang memakan biaya besar dan melelahkan. Kita sepertinya belum menemukan esensi Idul Fitri yang sebenarnya sebagaimana yang dimaukan oleh syariat.
Bila Ramadan sudah berjalan tiga minggu atau sepekan lagi ibadah puasa usai, “aroma” Idul Fitri seolah mulai tercium. Ibu-ibu pun sibuk menyusun menu makanan dan kue-kue, baju-baju baru ramai diburu, transportasi mulai padat karena banyak yang bepergian, arus mudik mulai meningkat, dan berbagai aktivitas lainya. Semua itu seolah-olah sudah menjadi aktivitas “wajib” menjelang Idul Fitri.
Untuk mengerjakan sebuah amal ibadah, bekal ilmu syariat memang mutlak diperlukan. Jika tidak demikian, ibadah hanya dikerjakan berdasar apa yang dilihat dari para orang tua. Tak ayal, bentuk amalannya pun menjadi demikian jauh dari yang dimaukan oleh syariat.
Demikian pula dengan Idul Fitri. Apabila kita paham bagaimana bimbingan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam masalah ini, tentu berbagai aktivitas yang selama ini kita saksikan bisa diminimalkan. Beridul Fitri tidak harus menyiapkan makanan enak dalam jumlah banyak. Tidak pula harus beli baju baru karena baju yang bersih dan dalam kondisi baik pun sudah mencukupi. Tidak harus mudik juga karena bersilaturahim dengan sanak famili sebenarnya bisa dilakukan kapan saja. Dengan mengetahui bimbingan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, beridul Fitri tidak lagi membutuhkan biaya besar. Semuanya akan terasa lebih mudah.
Berikut ini sedikit penjelasan tentang bimbingan syariat dalam beridul Fitri.
Definisi Id (Hari Raya)
Ibnu A’rabi mengatakan, “Id[1] dinamakan demikian karena setiap tahun terulang dengan kebahagiaan yang baru.” (al-Lisan, hlm. 5)
Ibnu Taimiyah berkata, “Id adalah sebutan untuk sesuatu yang selalu terulang, berupa perkumpulan yang bersifat massal, baik tahunan, mingguan, maupun bulanan.” (Dinukil dari Fathul Majid, hlm. 289, tahqiq al-Furayyan)
Id (hari raya) dalam Islam adalah Idul Fitri, Idul Adha, dan hari Jumat.
Dari Anas bin Malik ia berkata,
قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ: مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ؟ قَالُوا: كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ
“Rasulullah datang ke Madinah dalam keadaan orang-orang Madinah mempunyai dua hari (raya) yang mereka bermain-main padanya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata, “Apa (yang kalian lakukan) dengan dua hari itu?” Mereka menjawab, “Kami bermain-main padanya waktu kami masih jahiliah.”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menggantikannya untuk kalian dengan yang lebih baik daripada keduanya, yaitu Idul Adha dan Idul Fitri.” (Sahih, HR. Abu Dawud no. 1004, dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani)
Hukum Shalat Id
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Para ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat Id menjadi tiga pendapat:
-
Shalat Id merupakan amalan sunnah yang dianjurkan, seandainya orang-orang meninggalkannya maka tidak berdosa.
Ini adalah pendapat Imam ats-Tsauri dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
-
Shalat Id hukumnya fardu kifayah
Dengan demikian, jika penduduk suatu negeri sepakat untuk tidak melakukannya, mereka semua berdosa dan mesti diperangi karena meninggalkannya. Ini yang tampak dari mazhab Imam Ahmad dan pendapat sekelompok orang dari mazhab Hanafi dan Syafi’i.
-
Hukumnya fardu ain (atas setiap orang), seperti halnya shalat Jumat.
Ini pendapat Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
Imam asy-Syafi’i (sendiri) mengatakan dalam (buku) Mukhtashar al-Muzani,
“Barang siapa memiliki kewajiban untuk mengerjakan shalat Jumat, dia juga wajib menghadiri shalat dua hari raya. Ini menegaskan bahwa hukumnya fardu ain.” (Diringkas dari Fathul Bari, Ibnu Rajab, 6/75—76)
Yang terkuat dari pendapat yang ada—wallahu a’lam—adalah pendapat ketiga dengan dalil berikut ini.
Dari Ummu Athiyah radhiyallahu anha ia mengatakan,
أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ، فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلَاةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ. قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِحْدَانَا لَا يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ؟ قَالَ: لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintah kami untuk mengajak keluar (kaum wanita) pada (hari raya) Idul Fitri dan Idul Adha, yaitu gadis-gadis, wanita yang haid, dan wanita-wanita yang dipingit. Adapun yang haid, dia menjauhi tempat shalat, tetapi ikut menyaksikan kebaikan dan dakwah muslimin.
Aku berkata, “Wahai Rasulullah, salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab?” Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Hendaknya saudaranya meminjamkan jilbabnya.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim, ini lafaz Muslim, “Kitabul ‘Idain”, “Bab Dzikru Ibahati Khurujinnisa”)
Perhatikanlah perintah Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits di atas untuk pergi menuju tempat shalat, sampai-sampai yang tidak punya jilbab pun tidak mendapatkan uzur. Dia tetap harus keluar dengan dipinjami jilbab oleh yang lain.
Shidiq Hasan Khan rahimahullah berkata,
“Perintah untuk keluar berarti perintah untuk shalat bagi yang tidak punya uzur … Sebab, keluarnya (ke tempat shalat) merupakan sarana untuk shalat. Wajibnya sarana tersebut berkonsekuensi wajibnya yang diberi sarana (yakni shalat).
Di antara dalil yang menunjukkan wajibnya shalat Id adalah bahwa shalat Id menggugurkan shalat Jumat bila keduanya bertepatan dalam satu hari. Sesuatu yang tidak wajib tidak mungkin menggugurkan suatu kewajiban.” (ar-Raudhatun Nadiyyah, 1/380 dengan at-Ta’liqat ar-Radhiyyah. Lihat pula lebih rinci dalam Majmu’ Fatawa, 24/179—186, as-Sailul Jarrar, 1/315, Tamamul Minnah, hlm. 344)
Wajibkah Shalat Id Bagi Musafir?
Sebuah pertanyaan telah diajukan kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, yang intinya, “Apakah untuk shalat Id disyaratkan pelakunya seorang yang mukim (tidak sedang bepergian)?”
Beliau rahimahullah menjawab yang intinya,
“Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Ada yang mengatakan disyaratkan mukim. Ada yang mengatakan tidak disyaratkan mukim.”
Lalu beliau mengatakan, “Yang benar tanpa keraguan, adalah pendapat yang pertama, yaitu shalat Id tidak disyariatkan bagi musafir. Sebab, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sering melakukan safar dan melakukan tiga kali umrah selain umrah haji. Beliau juga berhaji wada’ dan ribuan manusia menyertai beliau. Beliau pun berperang lebih dari dua puluh kali. Namun, tidak seorang pun menukilkan bahwa beliau melakukan shalat Jumat dan shalat Id dalam safarnya ….” (Majmu’ Fatawa, 24/177—178)
Mandi Sebelum Melakukan Shalat Id
عَنْ مَالِك عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْفِطْرِ قَبْلَ أَنْ يَغْدُوَ إِلَى الْمُصَلَّى
Dari Malik, dari Nafi, ia berkata bahwa Abdullah bin Umar radhiyallahu anhu dahulu mandi pada hari Idul Fitri sebelum pergi ke mushalla (lapangan). (Sahih, HR. Malik dalam al-Muwaththa’, dan Imam asy-Syafi’i dari jalannya dalam al-Umm)
Dalam atsar lain dari Zadzan, seseorang bertanya kepada Ali radhiyallahu anhu tentang mandi. Ali radhiyallahu anhu berkata, “Mandilah setiap hari jika kamu mau.”
Ia menjawab, “Tidak, mandi yang benar-benar mandi.” Ali radhiyallahu anhu berkata, “Hari Jumat, hari Arafah, hari Idul Adha, dan hari Idul Fitri.” (HR. al-Baihaqi, dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam al-Irwa’, 1/176—177)
Memakai Wewangian
عَنْ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ يَغْتَسِلُ وَيَتَطَيَّبُ يَوْمَ الْفِطْرِ
Dari Musa bin Uqbah, dari Nafi, bahwa Ibnu Umar mandi dan memakai wewangian di hari Idul Fitri. (Sahih, Riwayat al-Firyabi dan Abdurrazzaq)
Al-Baghawi berkata, “Disunnahkan untuk mandi pada hari Id. Diriwayatkan dari Ali bahwa beliau mandi pada hari Id. Demikian pula yang diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Salamah bin Akwa. Disunnahkan juga untuk memakai pakaian terbagus yang dia dapati serta memakai wewangian.” (Syarhus Sunnah, 4/303)
Memakai Pakaian yang Bagus
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma,
أَخَذَ عُمَرُ جُبَّةً مِنْ إِسْتَبْرَقٍ تُبَاعُ فِي السُّوقِ فَأَخَذَهَا فَأَتَى بِهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ابْتَعْ هَذِهِ تَجَمَّلْ بِهَا لِلْعِيدِ وَالْوُفُودِ. فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّمَا هَذِهِ لِبَاسُ مَنْ لَا خَلَاقَ لَهُ
Umar radhiyallahu anhu mengambil sebuah jubah dari sutera yang dijual di pasar. Kemudian dia membawanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Umar radhiyallahu anhu berkata, “Wahai Rasulullah, belilah ini dan berhiaslah dengan pakaian ini untuk hari raya dan menyambut utusan-utusan.”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun berkata, “Ini adalah pakaian orang yang tidak akan dapat bagian (di akhirat) ….” (Sahih, HR. al-Bukhari, “Kitabul Jum’ah”, “Bab Fil ‘Idain wat Tajammul fihi”, dan Muslim, “Kitab Libas waz Zinah”)
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan disyariatkannya berhias untuk hari raya dan bahwa ini hal yang biasa di antara mereka.” (Fathul Bari)
Makan Sebelum Berangkat Shalat Id
Anas bin Malik radhiallahu anhu berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ. وَقَالَ مُرَجَّأُ بْنُ رَجَاءٍ: حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ قَالَ: حَدَّثَنِي أَنَسٌ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَأْكُلُهُنَّ وِتْرًا
“Rasulullah tidak keluar di hari Idul Fitri sebelum beliau makan beberapa kurma.” Murajja’ bin Raja berkata, “Abdullah berkata kepadaku, ia mengatakan bahwa Anas berkata kepadanya, “Nabi memakannya dalam jumlah ganjil.” (Sahih, HR. al-Bukhari, “Kitab al-’Idain”, “Bab al-Akl Yaumal ‘Idain Qablal Khuruj”)
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Mayoritas ulama menganggap sunnah untuk makan pada Idul Fitri sebelum keluar menuju tempat shalat Id. Di antara mereka adalah Ali dan Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma.”
Di antara hikmah dalam aturan syariat ini, yang disebutkan oleh para ulama adalah:
- Menyelisihi ahlul kitab, yang tidak mau makan pada hari raya mereka sampai mereka pulang.
- Untuk menampakkan perbedaan dengan Ramadhan.
- Shalat Idul Fitri disunnahkan dilaksanakan lebih siang (dibandingkan dengan Idul Adha) sehingga makan sebelum shalat lebih menenangkan jiwa. Berbeda halnya dengan shalat Idul Adha, yang sunnah adalah segera dilaksanakan. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/89)
Bertakbir ketika Keluar Menuju Tempat Shalat
كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ فَيُكَبِّرُ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلَاَةَ، فَإِذَا قَضَى الصَّلَاةَ قَطَعَ التَّكْبِيرَ
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam keluar di hari raya Idul Fitri lalu beliau bertakbir sampai datang ke tempat shalat hingga shalat dimulai. Apabila telah selesai shalat beliau berhenti bertakbir.” (Sahih, Mursal az-Zuhri, HR. Ibnu Abi Syaibah dan dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani dengan syawahid-nya dalam ash-Shahihah, no. 171)
Syaikh al-Albani rahimahullah berkata,
“Dalam hadits ini ada dalil disyariatkannya apa yang diamalkan kaum muslimin, yaitu bertakbir dengan keras selama perjalanan menuju tempat shalat. Namun, banyak di antara mereka mulai menggampangkan sunnah (ajaran Nabi) ini sehingga hampir-hampir menjadi sekadar berita (tentang yang dahulu terjadi). Hal itu karena lemahnya mental keagamaan mereka dan karena rasa malu untuk menampilkan sunnah serta menampakkannya terang-terangan.
Dalam kesempatan ini, amat baik untuk kita ingatkan bahwa mengeraskan takbir di sini tidak disyariatkan dengan berpadu dalam satu suara sebagaimana dilakukan sebagian manusia[2] ….” (ash-Shahihah, 1 bagian 1 hlm. 331)
Lafaz Takbir
Tentang hal ini tidak terdapat riwayat yang sahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Wallahu a’lam. Yang ada adalah dari sahabat, dan itu ada beberapa lafaz.
Syaikh al-Albani berkata, “Telah sahih mengucapkan dua kali takbir dari sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu.
أَنَّهُ كَانَ يُكَبِّرُ أَيَّامَ التَّشْرِيقِ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَلِلهِ الْحَمْدُ
Ibnu Mas’ud bertakbir di hari-hari tasyriq dengan lafaz, “Allaahu akbar, allaahu akbar; Laa ilaaha illallaahu wallahu akbar; Allaahu akbar wa lillaahil hamd.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, 2/2/2 dan sanadnya shahih)
Namun, Ibnu Abi Syaibah menyebutkan juga di tempat yang lain dengan sanad yang sama dengan takbir tiga kali. Demikian pula diriwayatkan al-Baihaqi (3/315) dan Yahya bin Said dari al-Hakam dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dengan tiga kali takbir. Dalam salah satu riwayat Ibnu Abbas disebutkan,
اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، اللهُ أَكْبَرُ وَأَجَلُّ، اللهُ أَكْبَرُ وَلِلهِ الْحَمْدُ
(Lihat Irwa`ul Ghalil, 3/125)
Tempat Shalat Id
Banyak ulama menyebutkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam selalu melaksanakan shalat dua hari raya di mushalla. Mushalla yang dimaksud adalah tempat shalat berupa tanah lapang dan bukan masjid, sebagaimana dijelaskan sebagian riwayat hadits berikut ini.
Dari al-Bara bin Azib radhiyallahu anhu ia berkata,
خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ أَضْحًى إِلَى الْبَقِيعِ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ وَقَالَ إِنَّ أَوَّلَ نُسُكِنَا فِي يَوْمِنَا هَذَا أَنْ نَبْدَأَ بِالصَّلَاةِ ثُمَّ نَرْجِعَ فَنَنْحَرَ فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ وَافَقَ سُنَّتَنَا
“Nabi shallallahu alaihi wa sallam pergi pada hari Idul Adha ke Baqi lalu shalat dua rakaat. Beliau menghadap kepada kami dengan wajahnya dan mengatakan, ‘Sesungguhnya, awal ibadah kita pada hari ini dimulai dengan shalat. Lalu kita pulang dan menyembelih kurban. Barang siapa yang sesuai dengan itu, berarti telah sesuai dengan sunnah ….’” (Sahih, HR. al-Bukhari, “Kitab al-’Idain”, “Bab Istiqbalul Imam an-Nas Fi Khuthbatil ‘Id”)
Ibnu Rajab rahimahullah berkata,
“Dalam hadits ini dijelaskan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam keluar dan shalat di Baqi’. Namun, yang dimaksud bukanlah Nabi shalat di kuburan Baqi’, melainkan tempat lapang yang bersambung dengan kuburan Baqi’. Nama Baqi’ meliputi seluruh daerah tersebut.
Ibnu Zabalah juga telah menyebutkan dengan sanadnya bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat Id di luar Madinah (sampai) di lima tempat, hingga pada akhirnya shalatnya tetap di tempat yang dikenal (untuk pelaksanaan Id, -pent.). Orang-orang sepeninggal beliau shalat di tempat itu.” (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/144)
Dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu anhu, ia mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلَاةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ جُلُوسٌ عَلَى صُفُوفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وَيُوصِيهِمْ وَيَأْمُرُهُمْ فَإِنْ كَانَ يُرِيدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ أَوْ يَأْمُرَ بِشَيْءٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ
“Rasulullah dahulu keluar pada hari Idul Fitri dan Idhul Adha ke mushalla. Yang pertama kali beliau lakukan adalah shalat. Beliau kemudian berpaling dan berdiri di hadapan manusia, sedangkan mereka duduk di saf-saf mereka. Kemudian beliau menasihati dan memberi wasiat kepada mereka serta memberi perintah kepada mereka. Apabila beliau ingin mengutus suatu utusan, beliau melakukannya saat itu; atau beliau ingin memerintahkan sesuatu, beliau perintahkan saat itu, lalu beliau pergi.” (Sahih, HR. al-Bukhari, “Kitab al-’Idain”, “Bab al-Khuruj Ilal Mushalla bi Ghairil Mimbar” dan Muslim)
Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, “Mushalla yang dimaksud dalam hadits adalah tempat yang telah dikenal. Jarak antara tempat tersebut dan Masjid Nabawi sejauh seribu hasta.”
Ibnul Qayyim berkata, “Itu adalah tempat jamaah haji meletakkan barang bawaan mereka.”
Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “Tampaknya, tempat itu dahulu di sebelah timur Masjid Nabawi, dekat dengan kuburan Baqi’ ….” (dinukil dari Shalatul ‘Idain fil Mushalla Hiya Sunnah karya Syaikh al-Albani, hlm. 16)
Waktu Pelaksanaan Shalat
Yazid bin Khumair ar-Rahabi berkata,
خَرَجَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بُسْرٍ صَاحِبُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ النَّاسِ فِي يَوْمِ عِيدِ فِطْرٍ أَوْ أَضْحَى فَأَنْكَرَ إِبْطَاءَ الْإِمَامِ فَقَالَ: إِنَّا كُنَّا قَدْ فَرَغْنَا سَاعَتَنَا هَذِهِ. وَذَلِكَ حِينَ التَّسْبِيحِ
“Abdullah bin Busr, salah seorang sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, pergi bersama orang-orang pada hari Idul Fitri atau Idhul Adha. Ia mengingkari lambatnya imam. Ia pun berkata, ‘Kami dahulu telah selesai pada saat seperti ini.’ Waktu itu adalah ketika tasbih.” (Sahih, HR. al-Bukhari secara mua’llaq, “Kitabul ‘Idain”, “Bab at-Tabkir Ilal ‘Id”, 2/456; Abu Dawud, “Kitabush Shalat”, “Bab Waqtul Khuruj Ilal ‘Id”, 1135; Ibnu Majah “Kitab Iqamatush Shalah was Sunan fiha”, “Bab Fi Waqti Shalatil ’Idain”, dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud)
Yang dimaksud dengan kata “ketika tasbih” adalah ketika waktu shalat sunnah. Waktu tersebut adalah ketika telah berlalunya waktu yang dibenci shalat padanya. Dalam riwayat yang sahih yang dikeluarkan oleh ath-Thabarani disebutkan, ketika waktu shalat sunnah Dhuha.
Ibnu Baththal rahimahullah berkata,
“Para ahli fikih bersepakat bahwa shalat Id tidak boleh dilakukan sebelum terbitnya matahari atau ketika terbitnya. Shalat Id hanyalah diperbolehkan ketika diperbolehkannya shalat sunnah.” Demikian dijelaskan Ibnu Hajar. (al-Fath, 2/457)
Ada yang berpendapat bahwa awal waktunya adalah ketika terbit matahari, walaupun waktu dibencinya shalat belum lewat. Ini adalah pendapat Imam Malik.
Adapun pendapat yang pertama adalah pendapat Abu Hanifah, Ahmad, dan salah satu pendapat pengikut Syafi’i. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/104)
Pendapat yang kuat adalah pendapat yang pertama. Sebab, menurut Ibnu Rajab rahimahullah, “Sesungguhnya telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, Rafi bin Khadij, dan sekelompok tabiin bahwa mereka tidak keluar menuju shalat Id kecuali ketika matahari telah terbit. Bahkan, sebagian mereka shalat Dhuha di masjid sebelum keluar menuju Id. Ini menunjukkan bahwa shalat Id dahulu dilakukan setelah lewatnya waktu larangan shalat.” (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105)
Apakah Waktu Idul Fitri Lebih Didahulukan daripada Idul Adha?
Dalam hal ini ada dua pendapat:
1. Keduanya dilakukan dalam waktu yang sama.
2. Waktu pelaksanaan shalat Idul Fitri disunnahkan diakhirkan, sedangkan waktu pelaksanaan shalat Idul Adha disunnahkan disegerakan. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, asy-Syafi’i, dan Ahmad.
Pendapat kedua ini dianggap kuat oleh Ibnu Qayyim. Beliau mengatakan, “Dahulu Nabi shallallahu alaihi wa sallam melambatkan shalat Idul Fitri serta menyegerakan Idul Adha. Ibnu Umar, dengan semangatnya untuk mengikuti As-Sunnah, tidak keluar hingga matahari telah terbit dan bertakbir dari rumahnya menuju mushalla.” (Zadul Ma’ad, 1/427; Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105)
Hikmah melambatkan shalat Idul Fitri ialah semakin meluas waktu yang disunnahkan untuk mengeluarkan zakat fitrah. Adapun hikmah menyegerakan shalat Idul Adha ialah semakin luas waktu untuk menyembelih dan tidak memberati manusia untuk menahan diri tidak makan hingga mereka memakan hasil kurban mereka. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105—106)
Tanpa Azan dan Iqamah
Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu anhu ia berkata,
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلَا مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ
“Aku shalat dua hari raya bersama Rasulullah, bukan hanya satu atau duakali, tanpa azan dan tanpa iqamah.” (Sahih, HR. Muslim)
Dari Ibnu Abbas dan Jabir bin Abdillah al-Anshari radhiyallahu anhum keduanya berkata,
لَمْ يَكُنْ يُؤَذَّنُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَلَا يَوْمَ الْأَضْحَى. ثُمَّ سَأَلْتُهُ بَعْدَ حِينٍ عَنْ ذَلِكَ فَأَخْبَرَنِي قَالَ: أَخْبَرَنِي جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيُّ: أَنْ لَا أَذَانَ لِلصَّلَاةِ يَوْمَ الْفِطْرِ حِينَ يَخْرُجُ الْإِمَامُ وَلَا بَعْدَ مَا يَخْرُجُ، وَلَا إِقَامَةَ وَلَا نِدَاءَ وَلَا شَيْءَ، لَا نِدَاءَ يَوْمَئِذٍ وَلَا إِقَامَةَ
“Tidak ada azan pada hari Fitri dan Adha.” Kemudian aku bertanya kepada Ibnu Abbas tentang itu, maka ia mengabarkan kepadaku bahwa Jabir bin Abdillah al-Anshari mengatakan, “Tidak ada azan dan iqamah di hari Fitri saat imam keluar, tidak pula setelah keluarnya. Tidak ada iqamah, tidak ada panggilan, tidak ada apa pun, tidak pula iqamah.” (Sahih, HR. Muslim)
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama dalam hal ini, yaitu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakr, dan Umar radhiyallahu anhuma melakukan shalat Id tanpa azan dan iqamah.”
Imam Malik rahimahullah berkata, “Itu adalah sunnah yang tiada diperselisihkan menurut kami. Para ulama bersepakat bahwa azan dan iqamah dalam shalat dua hari raya adalah bid’ah.” (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/94)
Bagaimana dengan Panggilan Lain Semacam, “Ash-Shalatu Jami’ah”?
Imam asy-Syafi’i dan pengikutnya menganggap hal itu sunnah. Mereka berdalil dengan:
- Riwayat mursal dari seorang tabiin, yaitu az-Zuhri.
- Mengkiaskannya dengan shalat Kusuf (gerhana).
Namun, pendapat yang kuat bahwa seruan ini juga tidak disyariatkan.
Adapun riwayat dari az-Zuhri merupakan riwayat mursal, yang tentu tergolong dha’if (lemah). Sementara itu, pengkiasan dengan shalat Kusuf tidaklah tepat karena keduanya memiliki perbedaan. Di antaranya, pada shalat Kusuf orang-orang masih berpencar sehingga diperlukan seruan semacam itu, sementara pada shalat Id tidak demikian. Orang-orang justru sudah berangkat menuju tempat shalat dan berkumpul di sana. (Fathul Bari, karya Ibnu Rajab, 6/95)
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah berkata, “Pengkiasan di sini tidak sah. Sebab, ada dalil sahih yang menunjukkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak ada azan dan iqamah atau apa pun untuk shalat Id. Dari sini diketahui bahwa panggilan untuk shalat Id adalah bid’ah, dengan lafaz apa pun.” (Ta’liq terhadap Fathul Bari, 2/452)
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Apabila Nabi shallallahu alaihi wa sallam sampai ke tempat shalat, beliau memulai shalat tanpa azan dan iqamah, juga tanpa ucapan “ash-shalatu jami’ah.” Sunnah Nabi adalah tidak dilakukan sesuatu pun dari (panggilan-panggilan) itu.” (Zadul Ma’ad, 1/427)
Kaifiat (Tata Cara) Shalat Id
-
Shalat Id dilakukan dua rakaat.
-
Pada prinsipnya, tata caranya sama dengan shalat-shalat yang lain. Namun, ada sedikit perbedaan, yaitu ditambah takbir pada rakaat yang pertama 7 kali, dan pada rakaat yang kedua ditambah 5 kali takbir, selain takbiratul intiqal (takbir perpindahan gerakan).
Adapun takbir tambahan pada rakaat pertama dan kedua itu tanpa takbir rukuk, sebagaimana dijelaskan oleh Aisyah radhiyallahu anha,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى سَبْعًا وَخَمْسًا سِوَى تَكْبِيرَتَيْ الرُّكُوعِ
“Rasulullah bertakbir pada (shalat) Fitri dan Adha 7 kali dan 5 kali, selain dua takbir rukuk.” (HR. Abu Dawud dalam “Kitabush Shalat”, “Bab at-Takbir fil ’Idain”, ‘Aunul Ma’bud, 4/10; Ibnu Majah no. 1280; dinilai sahih oleh Syaikh al-Abani dalam Shahih Sunan Abu Dawud, no. 1149)
-
Pertanyaan, “Apakah lima takbir pada rakaat yang kedua termasuk takbiratul intiqal (takbir perpindahan dari sujud menuju berdiri)?”
Ibnu Abdil Bar menukilkan kesepakatan para ulama bahwa lima takbir tersebut adalah selain takbiratul intiqal. (al-Istidzkar, 7/52, dinukil dari Tanwirul ‘Ainain)
-
Pertanyaan, “Tentang tujuh takbir pertama, apakah termasuk takbiratul ihram atau tidak?”
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat.
- Pendapat Imam Malik, Imam Ahmad, Abu Tsaur dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma bahwa tujuh takbir itu termasuk takbiratul ihram. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/178; Aunul Ma’bud, 4/6; Istidzkar, 2/396 cet. Darul Kutub al-Ilmiyah)
- Pendapat Imam asy-Syafi’i, bahwa tujuh takbir itu tidak termasuk takbiratul ihram. (al-Umm, 3/234 cet. Dar Qutaibah dan referensi sebelumnya)
Tampaknya yang lebih kuat adalah pendapat Imam asy-Syafi’i, berdasarkan riwayat yang mendukungnya. Riwayat tersebut dari Amr bin Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia mengatakan,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْعِيدَيْنِ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ تَكْبِيرَةً، سَبْعًا فِي الْأُولَى وَخَمْسًا فِي الْآخِرَةِ، سِوَى تَكْبِيرَتَيِ الصَّلَاةِ
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bertakbir pada dua hari raya sebanyak 12 takbir, 7 takbir pada rakaat yang pertama dan 5 takbir pada rakaat yang terakhir, selain 2 takbir shalat.” (Ini lafaz ath-Thahawi)
Adapun lafaz ad-Daraquthni,
سِوَى تَكْبِيرَةِ الْإِحْرَامِ
“Selain takbiratul ihram.” (HR. ath-Thahawi dalam Ma’ani al-Atsar, 4/343 no. 6744 cet. Darul Kutub al-Ilmiyah; ad-Daruquthni, 2/47—48 no. 20)
Dalam sanad hadits ini ada seorang perawi yang diperselisihkan. Namanya Abdullah bin Abdurrahman ath-Thaifi. Akan tetapi, hadits ini dinilai sahih oleh Imam Ahmad, Ali bin al-Madini, dan Imam al-Bukhari sebagaimana dinukilkan oleh at-Tirmidzi. (lihat at-Talkhis, 2/84, tahqiq as-Sayyid Abdullah Hasyim al-Yamani; at-Ta’liqul Mughni, 2/18; dan Tanwirul ‘Ainain, hlm. 158)
-
Bacaan surah pada dua rakaat shalat Id: semua surah yang ada boleh dan sah untuk dibaca.
Akan tetapi, dahulu Nabi shallallahu alaihi wa sallam membaca pada rakaat yang pertama “sabbihisma” (surah al-A’la) dan pada rakaat yang kedua “hal ataaka” (surah al-Ghasyiah). Pernah pula pada rakaat yang pertama beliau membaca surat Qaf dan pada rakat kedua membaca surah al-Qamar. (Keduanya riwayat Muslim, lihat Zadul Ma’ad, 1/427—428)
Apakah Mengangkat Tangan di Setiap Takbir Tambahan?
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama.
- Jumhur ulama berpendapat mengangkat tangan.
- Salah satu pendapat Imam Malik menyebutkan tidak mengangkat tangan, kecuali takbiratul ihram.
Pendapat kedua ini dikuatkan oleh Syaikh al-Albani dalam Tamamul Minnah (hlm. 349), lihat juga al-Irwa‘ (3/113).
Tidak ada riwayat dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang sahih dalam hal ini.
Kapan Membaca Doa Istiftah?
Imam asy-Syafi’i dan jumhur ulama berpendapat bahwa doa istiftah dibaca setelah takbiratul ihram dan sebelum takbir tambahan. (al-Umm, 3/234 dan al-Majmu’, 5/26. Lihat pula Tanwirul ‘Ainain hlm. 149)
Khotbah Id
Dahulu Nabi shallallahu alaihi wa sallam mendahulukan shalat sebelum khotbah. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma ia berkata,
شَهِدْتُ الْعِيدَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ فَكُلُّهُمْ كَانُوا يُصَلُّونَ قَبْلَ الْخُطْبَةِ
“Aku mengikuti shalat Id bersama Rasulullah, Abu Bakr, Umar, dan Utsman. Mereka semua shalat dahulu sebelum khotbah.” (Sahih, HR al-Bukhari, “Kitab ‘Idain”, “Bab al-Khutbah Ba’dal Id”)
Dalam berkhotbah, Nabi shallallahu alaihi wa sallam berdiri dan menghadap manusia tanpa memakai mimbar. Beliau mengingatkan mereka untuk bertakwa kepada Allah subhanahu wata’ala. Bahkan, beliau mengingatkan kaum wanita secara khusus untuk banyak melakukan sedekah, karena kebanyakan penduduk neraka adalah kaum wanita.
Jamaah Id dipersilahkan memilih, duduk mendengarkan atau tidak.
Ini berdasarkan hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam dari Abdullah bin Saib, ia berkata,
شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيدَ فَلَمَّا قَضَى الصَّلَاةَ قَالَ: إِنَّا نَخْطُبُ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ
“Aku menyaksikan shalat Id bersama Rasulullah. Ketika selesai shalat, beliau berkata, ‘Kami berkhotbah, barang siapa ingin duduk untuk mendengarkan khotbah, silakan duduk. Barang siapa ingin pergi, silakan.” (Sahih, HR. Abu Dawud dan an-Nasai; dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud, no. 1155)
Namun, alangkah baiknya untuk mendengarkan khotbah apabila itu berisi nasihat-nasihat untuk bertakwa kepada Allah shallallahu alaihi wa sallam dan berpegang teguh dengan agama dan As-Sunnah serta menjauhi bid’ah. Berbeda keadaannya apabila mimbar Id berubah menjadi ajang kampanye politik atau mencaci maki pemerintah muslim yang tiada menambah kecuali kekacauan di masyarakat. Wallahu a’lam.
Wanita yang Haid Tetap Berangkat
Wanita yang sedang haid tetap mengikuti acara shalat Id walaupun tidak boleh melakukan shalat, bahkan haram dan tidak sah. Ia diperintahkan untuk menjauh dari tempat shalat sebagaimana hadits yang telah disebutkan dalam pembahasan hukum shalat Id.
Sutrah bagi Imam
Sutrah adalah benda—bisa berupa tembok, tiang, tongkat, atau lainnya—yang diletakkan di depan orang shalat sebagai pembatas shalatnya. Tingginya kurang lebih satu hasta.
Ada larangan Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk melewati orang yang shalat. Dengan sutrah ini, seseorang boleh melewati orang yang shalat dari belakang sutrah, tidak boleh antara seorang yang shalat dan sutrahnya.
Sutrah ini disyariatkan untuk imam dan orang yang shalat sendirian atau munfarid. Adapun makmum tidak memerlukan dan diperbolehkan lewat di depan makmum. Ini adalah sunnah yang ditinggalkan oleh mayoritas manusia. Oleh karena itu, marilah kita menghidupkan sunnah ini, termasuk dalam shalat Id.
Dari Ibnu Umar,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا خَرَجَ يَوْمَ الْعِيدِ أَمَرَ بِالْحَرْبَةِ فَتُوضَعُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَيُصَلِّي إِلَيْهَا وَالنَّاسُ وَرَاءَهُ وَكَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ فِي السَّفَرِ فَمِنْ ثَمَّ اتَّخَذَهَا الْأُمَرَاءُ
“Dahulu, apabila Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam keluar pada hari Id, beliau memerintahkan untuk membawa tombak kecil, lalu ditancapkan di depannya. Kemudian beliau shalat ke hadapannya, sedangkan orang-orang di belakangnya. Beliau melakukan hal itu dalam safarnya. Dari situlah, para pimpinan melakukannya juga.” (Sahih, HR. al-Bukhari, “Kitabush Shalat”, “Bab Sutratul Imam Sutrah liman Khalfah” dan “Kitabul ‘Idain”, “Bab ash-Shalat Ilal Harbah Yaumul ‘Id”;’ lihat al-Fath, 2/463 dan Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/136)
Apabila Masbuk (Tertinggal) Shalat Id, Apa yang Dilakukan?
Imam al-Bukhari membuat bab dalam Shahih-nya berjudul, “Apabila seseorang tertinggal shalat Id, dia shalat dua rakaat; demikian pula wanita dan orang-orang yang di rumah dan desa-desa, berdasarkan sabda Nabi, ‘Ini adalah Id kita, pemeluk Islam’.”
Atha rahimahullah (seorang tabiin), apabila beliau tertinggal shalat Id, beliau shalat dua rakaat.
Bagaimana dengan takbirnya? Menurut al-Hasan, an-Nakha’i, Malik, al-Laits, asy-Syafi’i, dan Ahmad dalam satu riwayat, dia shalat dengan takbir seperti takbir imam. (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/169)
Pulang dari Shalat Id Melalui Rute yang Berbeda
Dari Jabir, ia berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ
“Pada hari Id, Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengambil jalan yang berbeda.” (Sahih, HR. al-Bukhari, “Kitab al-’Idain”, “Bab Man Khalafa Thariq Idza Raja’a”; Fathul Bari karya Ibnu Hajar, 2/472 dan 986; Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/163 no. 986)
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Banyak ulama menganggap sunnah bagi imam atau selainnya, apabila pergi melalui suatu jalan menuju shalat Id agar pulang dari jalan yang berbeda. Itu adalah pendapat Imam Malik, ats-Tsauri, asy-Syafi’i, dan Ahmad … Seandainya dia pulang dari jalan yang sama, tidak dimakruhkan.”
Para ulama menyebutkan beberapa hikmahnya. Di antaranya agar lebih banyak bertemu sesama muslimin untuk memberi salam dan menumbuhkan rasa cinta. (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/166—167. Lihat pula Zadul Ma’ad, 1/433)
Apabila Id Bertepatan dengan Hari Jumat
Dari Iyas bin Abi Ramlah asy-Syami, ia berkata,
شَهِدْتُ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَهُوَ يَسْأَلُ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ قَالَ: أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَكَيْفَ صَنَعَ؟ قَالَ: صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ فَقَالَ: مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ
“Aku menyaksikan Muawiyah bin Abi Sufyan sedang bertanya kepada Zaid bin Arqam, “Apakah kamu menyaksikan dua Id berkumpul dalam satu hari bersama Rasulullah?”
Zaid menjawab, “Ya.”
Muawiyah berkata, “Bagaimana yang beliau lakukan?”
Zaid menjawab, “Beliau shalat Id lalu memberikan keringanan pada shalat Jumat dan mengatakan, ‘Barang siapa ingin mengerjakan shalat Jumat, silakan shalat’.”
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
قَدِ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ، فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ
“Telah berkumpul pada hari kalian ini dua Id. Barang siapa berkehendak, (shalat Id) telah mencukupinya dari shalat Jumat, dan sesungguhnya kami tetap melaksanakan shalat Jumat.”
Kedua riwayat di atas dikeluarkan oleh Abu Dawud dan dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abu Dawud, no. 1070 dan 1073.
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Pendapat yang ketiga dan inilah yang benar, bahwa yang ikut shalat Id, maka gugur darinya kewajiban shalat Jumat. Akan tetapi, imam hendaklah tetap melaksanakan shalat Jumat supaya orang yang ingin mengikuti shalat Jumat dan orang yang tidak ikut shalat Id bisa mengikutinya. Inilah yang diriwayatkan dari Nabi dan para sahabatnya.” (Majmu’ Fatawa, 23/211)
Beliau mengatakan juga bahwa yang tidak shalat Jumat tetap melaksanakan shalat Zuhur.
Ada sebagian ulama yang berpendapat tidak shalat Zuhur pula, di antaranya Atha. Akan tetapi, ini pendapat yang lemah dan dibantah oleh para ulama. (Lihat at-Tamhid, 10/270—271)
Ucapan Selamat Saat Hari Raya
Ibnu Hajar mengatakan, “Kami meriwayatkan dalam al-Muhamiliyyat dengan sanad yang hasan dari Jubair bin Nufair bahwa ia berkata, ‘Apabila para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam bertemu pada hari Id, sebagian mereka mengatakan kepada sebagian yang lain,
تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ
“Semoga Allah menerima (amal) dari kami dan dari kamu.” (Majmu’ al-Fatawa, 24/253; Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/167—168)
Wallahu a’lam.
[1] Id artinya kembali.
[2] Sebab, Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak memberi contoh demikian dalam ibadah ini. Berbeda halnya—wallahu a’lam—apabila kebersamaan itu tanpa disengaja.
Ditulis oleh Ustadz Qomar ZA, Lc.