Allah subhanahu wa ta’ala memiliki nama-nama yang indah dan mulia serta sifat-sifat yang tinggi dan agung. Tentang keindahan nama-nama dan ketinggian sifat-Nya, tidak ada seorang makhluk pun yang akan mengingkarinya karena mereka secara fitrah mengakui hal tersebut. Saat rusak fitrahnya, di sinilah penentangan, pengingkaran, penyimpangan, dan penyelewengan manusia terjadi.
Orang-orang yang beriman akan mengimani dan meyakininya, setelah itu mengaplikasikan segala konsekuensinya dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, tidak cukup hanya mengilmui bahwa Allah subhanahu wa ta’ala memiliki nama-nama yang indah serta sifat-sifat yang tinggi dan mulia, tetapi tidak mewujudkannya dalam amal nyata.
Kenyataan hidup yang mereka lakoni dan segala bukti yang mereka lihat adalah wujud konkret keindahan nama-nama Allah subhanahu wa ta’ala dan ketinggian sifat-sifat-Nya. Ketika kita melihat keindahan alam ini dan mengetahui berbagai jenis makhluk yang ada, kita menyimpulkan dan mengatakan bahwa tidak mungkin semua ini terjadi dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakannya. Keindahannya yang sangat menakjubkan ini tentu ada Yang Mahaindah yang menciptakannya. Itulah Allah subhanahu wa ta’ala, al-Jamiil, Yang Mahaindah.
Dialah al-Mudabbir, yang mengatur segala urusan hidup makhluk-Nya yang menghuni alam yang indah ini. Tidak ada satu makhluk pun kecuali berada dalam aturan-Nya. Segala yang telah terjadi, yang sedang terjadi, dan yang akan terjadi ada dalam pengaturan Allah, Yang Maha Mengatur semua urusan. Allah subhanahu wa ta’ala mengatur mereka sesuai dengan maslahat hidup setiap makhluk. Kemaslahatan mereka ada bersama aturan itu. Allah subhanahu wa ta’ala mengatur mereka di atas ilmu dan kebijaksanaan-Nya.
Dialah al-’Alim, Yang Maha Mengetahui segala apa yang terjadi di muka bumi ini. Tidak ada sesuatu pun yang luput dari pengetahuan Allah subhanahu wa ta’ala, yang rahasia atau yang bukan, yang tampak atau yang tidak tampak.
Dialah al- Hakim, Yang Mahabijaksana, yang meletakkan segala sesuatu pada tempatnya. Dia menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dia memberi siapa yang dikehendaki-Nya dan tidak memberi orang yang dikehendaki-Nya. Dia menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya karena dosanya dan mengampuni siapa yang diinginkan-Nya. Karena kebijaksanaan-Nya, tidak ada satu pun makhluk yang merasa terzalimi.
Dialah al-Qadir, Yang Mahakuasa di alam ciptaan-Nya ini. Tidak ada satu pun makhluk-Nya yang sanggup melakukan seperti yang diperbuat oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Dialah yang berkuasa atas mereka tanpa ada yang menyaingi kekuasaan-Nya. Dialah yang berkuasa dan tidak membutuhkan sekutu, pembantu, atau ajudan.
Dialah al-Bashir, Yang Maha Melihat. Ia melihat segala yang diperbuat oleh makhluk-Nya, tidak ada sesuatu pun yang tidak terlihat oleh-Nya.
Dialah ash-Shamad, Dzat tempat bergantung setiap hamba-Nya. Artinya, Dialah yang dituju dalam segala hajat mereka. Dialah ar-Rahman dan ar-Rahim, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, tiada satu makhluk pun melainkan mendapatkan kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala.
Dialah ar-Razzaq, Yang Maha Memberi rezeki, yang tidak ada satu pun makhluk yang melata di muka bumi ini melainkan tertuangkan padanya rezeki dari-Nya.
Dialah al-Mannan, Yang Maha Memberi, tidak ada satu makhluk pun kecuali mendapatkan karunia Allah subhanahu wa ta’ala.
قُلِ ٱدۡعُواْ ٱللَّهَ أَوِ ٱدۡعُواْ ٱلرَّحۡمَٰنَۖ أَيّٗا مَّا تَدۡعُواْ فَلَهُ ٱلۡأَسۡمَآءُ ٱلۡحُسۡنَىٰۚ
“Katakanlah, ‘Berdoalah kalian kepada Allah atau kepada ar-Rahman dengan (nama) mana saja kamu menyeru-Nya maka Dia memiliki nama yang baik’.” (al-Isra’: 110)
وَلِلَّهِ ٱلۡأَسۡمَآءُ ٱلۡحُسۡنَىٰ فَٱدۡعُوهُ بِهَاۖ
“Dan bagi Allah nama-nama yang baik maka berdoalah kepada-Nya dengan itu.” (al-A’raf: 180)
Seluruh nama di atas adalah penghubung dan jembatan untuk menyampaikan seseorang kepada pengabdian yang mendalam, penuh ketulusan dan keikhlasan kepada Allah subhanahu wa ta’ala semata. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.
Baca Juga:
Sikap Manusia terhadap Anugerah Allah
Sikap manusia terhadap anugerah Allah subhanahu wa ta’ala berbeda-beda, ada yang terpuji dan ada pula yang tercela. Yang terpuji adalah mereka yang bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan mengetahui bahwa nikmat tersebut bersumber dari Allah subhanahu wa ta’ala. Golongan yang tercela adalah yang kufur terhadap anugerah tersebut.
Golongan yang bersyukur akan menggunakannya dalam ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan menjadikannya sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan surga-Nya. Mereka mengetahui bahwa anugerah tersebut hanya sebuah titipan dari Allah subhanahu wa ta’ala yang di belakangnya ada pertanggungjawaban. Dengan demikian, tidak ada pintu kewajiban yang terkait dengannya melainkan dia memasuki pintu tersebut untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Golongan inilah yang dalam hidupnya menyandang banyak pujian dan sanjungan, seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٞ قَدۡ خَلَتۡ مِن قَبۡلِهِ ٱلرُّسُلُۚ أَفَإِيْن مَّاتَ أَوۡ قُتِلَ ٱنقَلَبۡتُمۡ عَلَىٰٓ أَعۡقَٰبِكُمۡۚ وَمَن يَنقَلِبۡ عَلَىٰ عَقِبَيۡهِ فَلَن يَضُرَّ ٱللَّهَ شَيۡٔٗاۗ وَسَيَجۡزِي ٱللَّهُ ٱلشَّٰكِرِينَ
“Tiadalah Muhammad itu melainkan seorang rasul. Telah berlalu para rasul sebelumnya, dan jika dia wafat atau terbunuh, apakah kalian akan kembali menjadi kafir? Barang siapa kembali menjadi kafir setelah itu, niscaya tidak akan membahayakan Allah sedikit pun dan Allah akan membalas orang-orang yang bersyukur.” (Ali Imran: 144)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh menakjubkan urusan setiap mukmin, semua urusannya adalah baik. Hal itu tidak dimiliki selain oleh seorang mukmin. Apabila dia mendapatkan kesenangan dia bersyukur, itu adalah kebaikan baginya. Apabila ditimpa kemalangan, dia bersabar, itu kebaikan pula baginya.” (HR. Muslim no. 5318 dari sahabat Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu)
As-Sa’di rahimahullah berkata, “Jadilah engkau orang yang bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala taufik-Nya, sebagaimana engkau bersyukur atas nikmat-nikmat duniawi, seperti sehatnya jasmani, mendapatkan rezeki, dan sebagainya. Selain itu, engkau harus bersyukur pula atas nikmat-nikmat yang bersifat agama, seperti taufik untuk menjadi orang yang ikhlas, orang yang bertakwa.
Bahkan, nikmat agama adalah nikmat yang hakiki. Ketika seseorang mengkaji dan mendalami sebuah anugerah lantas mensyukurinya, tentu hal itu akan menyelamatkannya dari bahaya sikap ujub yang telah menghinggapi kebanyakan orang karena kejahilan mereka. Apabila setiap hamba mengerti segala kondisi, niscaya dia tidak akan bersikap ujub atas nikmat, justru yang pantas baginya adalah menambah rasa syukur.” (Lihat Tafsir as-Sa’di hlm. 729)
Adapun golongan yang kufur terhadap nikmat Allah subhanahu wa ta’ala juga beragam. Di antara bentuk kufur nikmat adalah:
- Menyandarkan nikmat tersebut kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَإِذَا مَسَّ ٱلۡإِنسَٰنَ ضُرّٞ دَعَانَا ثُمَّ إِذَا خَوَّلۡنَٰهُ نِعۡمَةٗ مِّنَّا قَالَ إِنَّمَآ أُوتِيتُهُۥ عَلَىٰ عِلۡمِۢۚ بَلۡ هِيَ فِتۡنَةٞ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَهُمۡ لَا يَعۡلَمُونَ
“Maka apabila manusia ditimpa bahaya ia menyeru Kami, kemudian apabila Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami, ia berkata, ‘Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku.’ Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui.” (az-Zumar: 49)
قَالَ إِنَّمَآ أُوتِيتُهُۥ عَلَىٰ عِلۡمٍ عِندِيٓۚ
“Qarun berkata, ‘Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku’.” (al-Qashash: 78)
2. Menggunakan nikmat tersebut pada jalan yang tidak diridhai oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Ini bisa terjadi dalam bentuk tidak melaksanakan kewajiban atau melanggar larangan-larangan Allah subhanahu wa ta’ala.
Hukum Allah dalam Keluasan Anugerah-Nya
Dari sinilah kita mengetahui luasnya ilmu Allah subhanahu wa ta’ala dan ketinggian hikmah-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala telah mempersiapkan segala yang dibutuhkan oleh makhluk dalam hidup mereka. Allah subhanahu wa ta’ala juga telah menggariskan sebuah ketentuan yang harus dijalani oleh setiap hamba-Nya. Dialah yang telah menentukan halal dan haram dalam hidup mereka.
Kita juga menemukan bahwa halal dan haram itu sejalan dan seiring dengan kemaslahatan hidup manusia. Ketika terjadi pelanggaran terhadap ketentuan tersebut, terjadilah kehancuran dan malapetaka besar dalam hidup mereka. Orang yang paling berbahagia dengan ketentuan ini adalah orang-orang yang beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Allah subhanahu wa ta’ala telah menceritakan tentang mereka,
وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٍ وَلَا مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمۡرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلۡخِيَرَةُ مِنۡ أَمۡرِهِمۡۗ وَمَن يَعۡصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَٰلٗا مُّبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata.” (al-Ahzab: 36)
Ulama Sunnah dan Hukum Ilahi
Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Aku khawatir akan turun batu dari langit. Aku berkata, ‘Rasulullah bersabda demikian,’ tetapi kalian mengatakan, ‘Abu Bakr dan Umar berkata demikian’.”
Al-Imam Malik rahimahullah berkata, “Tidak ada seorang pun dari kita melainkan ucapannya bisa diterima dan bisa ditolak, selain pemilik kuburan ini (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ucapannya harus diterima).”
Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Aku heran melihat suatu kaum yang telah mengetahui kesahihan sebuah sanad, tetapi dia berpendapat dengan pendapat Sufyan (ats-Tsauri rahimahullah, -red.). Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَلۡيَحۡذَرِ ٱلَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنۡ أَمۡرِهِۦٓ أَن تُصِيبَهُمۡ فِتۡنَةٌ أَوۡ يُصِيبَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٌ
‘Maka hendaklah takut orang-orang menyelisihi perintahnya (Rasulullah) untuk ditimpakan kepada mereka fitnah dan menimpa mereka azab yang pedih.’ (an-Nur: 63)
Tahukah kalian apa yang dimaksud dengan fitnah? Fitnah adalah kesyirikan. Jika dia menolak suatu perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan terjadi penyimpangan dalam hatinya, lalu dia binasa.”
Abu Hanifah rahimahullah berkata, “Apabila datang sebuah hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, harus diterima. Apabila datang (ucapan) dari sahabat, harus diterima. Apabila datang dari tabiin, kita laki-laki, mereka juga laki-laki.”
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Telah sepakat para ulama bahwa barang siapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia tidak boleh meninggalkannya karena ucapan seseorang.”
Masih banyak lagi ucapan-ucapan ulama sunnah dalam masalah sikap menerima aturan-aturan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. (Lihat Fathul Majid hlm. 463, Jami’ Bayan Ilmu wa Fadhlih 2/132, dan I’lamul Muwaqqi’in 2/171)
Itulah sikap ulama kaum mukminin dalam menerima segala keputusan dan ketentuan serta aturan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sikap tegas dan tanggap mereka merupakan jalan yang lurus yang diridhai Allah subhanahu wa ta’ala.
Menentang Hukum Ilahi, Merongrong Keyakinan
Peletakan hukum syariat yang dijalani oleh setiap hamba dalam hal ibadah, muamalah, bahkan setiap sendi kehidupan mereka, yang akan memutus segala bentuk perselisihan yang mungkin terjadi dan yang akan mengakhiri segala perselisihan itu adalah semata-mata hak Allah subhanahu wa ta’ala sebagai Rabb manusia dan pencipta mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَلَا لَهُ ٱلۡخَلۡقُ وَٱلۡأَمۡرُۗ تَبَارَكَ ٱللَّهُ رَبُّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
“Ketahuilah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah.” (al-A’raf: 54)
Dialah yang mengetahui segala maslahat bagi hamba-Nya sehingga meletakkan syariat yang sesuai dengan kemaslahatan mereka. Seluruh hukum yang telah ditetapkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala bagi mereka adalah demi kemaslahatan mereka juga, sebagaimana firman-Nya,
فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٌ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا
“Jika kalian berselisih dalam satu permasalahan, kembalikanlah urusannya kepada Allah dan Rasulullah apabila kalian beriman kepada Allah dan hari akhir. Itu lebih baik dan lebih bagus akibatnya.” (an-Nisa: 59)
Allah subhanahu wa ta’ala juga telah mengingkari perbuatan hamba-hamba-Nya yang menjadikan selain Allah subhanahu wa ta’ala sebagai pembuat syariat,
أَمۡ لَهُمۡ شُرَكَٰٓؤُاْ شَرَعُواْ لَهُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا لَمۡ يَأۡذَنۢ بِهِ ٱللَّهُۚ
“Apakah mereka memiliki sekutu yang akan membuat syariat untuk mereka yang tidak ada izin dari Allah?” (asy-Syura: 21)
Demikian juga halnya dalam masalah halal dan haram. Keduanya adalah hak mutlak bagi Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak boleh ada seorang pun yang menandingi-Nya dalam masalah ini. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَا تَأۡكُلُواْ مِمَّا لَمۡ يُذۡكَرِ ٱسۡمُ ٱللَّهِ عَلَيۡهِ وَإِنَّهُۥ لَفِسۡقٌۗ وَإِنَّ ٱلشَّيَٰطِينَ لَيُوحُونَ إِلَىٰٓ أَوۡلِييَآئِهِمۡ لِيُجَٰدِلُوكُمۡۖ وَإِنۡ أَطَعۡتُمُوهُمۡ إِنَّكُمۡ لَمُشۡرِكُونَ
“Dan jangan kamu memakan binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu dan jika kamu menuruti mereka, tentulah kamu menjadi orang-orang musyrik.” (al-An’am: 121)
Dalam ayat di atas, Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan ketaatan kepada setan dan wali-walinya dalam hal penghalalan apa yang diharamkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala sebagai bentuk kesyirikan.
Baca juga:
Demikian pula, barang siapa menaati ulama dan para pemimpin dalam hal pengharaman yang dihalalkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala atau menghalalkan apa yang diharamkan-Nya berarti telah menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah subhanahu wa ta’ala.
Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
ٱتَّخَذُوٓاْ أَحۡبَارَهُمۡ وَرُهۡبَٰنَهُمۡ أَرۡبَابًا مِّن دُونِ ٱللَّهِ وَٱلۡمَسِيحَ ٱبۡنَ مَرۡيَمَ وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُوٓاْ إِلَٰهًا وَٰحِدًاۖ لَّآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَۚ سُبۡحَٰنَهُۥ عَمَّا يُشۡرِكُونَ
“Dan mereka menjadikan ulama dan pendeta-pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah dan mereka juga mempertuhankan al-Masih putra Maryam padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah yang satu dan tidak ada sesembahan yang berhak selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (at-Taubah: 31)
Dalam sebuah hadits sahih yang dikeluarkan oleh al-Imam at-Tirmidzi, Ibnu Jarir, dan selain keduanya, disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan ayat ini di hadapan Adi bin Hatim ath-Tha’i radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, kami tidak menyembah mereka.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukankah mereka menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah lantas kalian menghalalkannya? Bukankah mereka telah mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah lantas kalian mengharamkannya?”
Dia menjawab, “Ya.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda, “Itulah bentuk penyembahan kepada mereka.”
Ketaatan kepada mereka dalam hal menghalalkan apa yang diharamkan dan mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala adalah wujud peribadahan kepada mereka. Ini termasuk syirik besar yang membatalkan ketauhidan yang dituntut oleh kalimat syahadat La ilaha illallah. Padahal, salah satu makna yang terkandung dalam kalimat syahadat tersebut adalah bahwa penghalalan dan pengharaman hanyalah hak Allah subhanahu wa ta’ala.
Demikianlah hukum orang yang menaati ulama dan ahli ibadah dalam masalah halal dan haram yang menyelisihi syariat dalam keadaan dia mengetahui bentuk penyelisihan tersebut. (Lihat Aqidah at-Tauhid karya asy-Syaikh Shalih Fauzan, hlm. 149—152)