Mengusap Khuf (2)

Menyambung bahasan tentang “Mengusap Khuf” yang telah lalu, kami lanjutkan beberapa hal yang masih berkaitan dengan bahasan.

 

Waktu Pengusapan

Syuraih ibnu Hani rahimahullah berkata, “Aku pernah mendatangi ‘Aisyah radhiallahu ‘anha untuk bertanya kepadanya tentang mengusap di atas dua khuf. ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata, ‘Hendaknya engkau mendatangi ‘Ali bin Abi Thalib, tanyakan kepadanya karena ia pernah safar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Kami pun bertanya kepada Ali radhiallahu ‘anhu. Beliau berkata,

جَعَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلاَثَةَ وَ لَيَالِيَهُنَّ لِلْمُسَافِرِ وَيَوْمًا وَلَيْلَةً لِلْمُقِيْمِ أَيَّامٍ

‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan waktu pengusapan khuf bagi seorang musafir selama tiga hari tiga malam. Sedangkan bagi seorang yang bermukim (tidak safar) selama sehari semalam.’ (HR. Muslim no. 276).”

Pendapat ini dipegangi oleh jumhur ulama dan mayoritas sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tabi’in dan orang-orang setelah mereka dari kalangan fuqaha seperti Sufyan ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq, yang mereka berdalil dengan hadits di atas. Sementara itu, kalangan ahlul ilmi lainnya menyelisihi pendapat ini. Mereka mengatakan tidak ada pembatasan waktu untuk pengusapan khuf seperti pendapat Malik, al-Laits, dan diriwayatkan pendapat ini dari ‘Umar, ‘Uqbah bin ‘Amir, al-Hasan, asy-Sya’bi, dan selain mereka. (Nailul Authar, 1/261, al-Majmu’, 1/509, Aunul Ma’bud, 1/181—182)

Namun yang rajih (kuat) dalam masalah ini dan ini yang menenangkan penulis adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, wal ‘ilmu ’indallah. Namun awal perhitungan waktu dibolehkannya mengusap khuf ini pun diperselisihkan oleh ulama:

– Pendapat pertama mengatakan, bagi muqim (orang yang menetap/ tidak bepergian) dimulai saat memakai khuf pertama kali sampai 24 jam berikutnya, sedangkan musafir (orang yang bepergian) sampai 72 jam berikutnya (tiga hari). Ini adalah pendapat al-Hasan.

– Pendapat kedua, dimulai saat si pemakai berhadats untuk pertama kali setelah memakai khuf, demikian pendapat jumhur ulama.

– Pendapat ketiga, dimulai saat ia mengusap khufnya pada kali yang pertama dan pendapat inilah yang rajih menurut penulis sebagaimana hal ini dipegangi oleh al-Auza’i, Abu Tsaur, satu riwayat dari al-Imam Ahmad dan Dawud. Pendapat ini dipilih oleh Ibnul Mundzir dan ats-Tsauri. (al-Majmu’, 1/513)

Berdasarkan pendapat yang ketiga ini, misalkan seseorang berwudhu untuk shalat subuh dan setelahnya ia mengenakan khuf. Ia terus di atas thaharah sampai pukul 9 pagi (pada hari Senin, misalnya) kemudian ia berhadats, namun ia baru berwudhu pada pukul 12 siang dengan mengusap khufnya. Perhitungan waktu dibolehkan baginya untuk mengusap khuf dihitung mulai pukul 12 siang dan berakhir sampai pukul 12 siang hari berikutnya (hari Selasa) bila ia muqim, bila musafir berakhir pada pukul 12 siang hari keempat (hari Kamis). (asy-Syarhul Mumti’, 1/187)

 

Waktu Berakhirnya Pengusapan

Bila seseorang telah habis masa pengusapan khufnya, maka ia harus melepas khuf tersebut bila memang berhadats, untuk berwudhu secara sempurna dengan mencuci kembali kakinya (al-Muhalla, 1/332), dan setelahnya boleh baginya menggunakan kembali khufnya sebagaimana hukum yang awal.

Selesainya masa pengusapan khuf ini tidaklah membatalkan thaharah selama dia tidak berhadats dan masih dalam keadaan suci (thaharah yang sebelumnya belum batal) ketika masa pengusapan khufnya berakhir dan boleh baginya shalat dengan thaharahnya tersebut. Masalah ini memang juga diperselisihkan di kalangan ulama namun yang rajih (kuat) di sisi penulis apa yang telah disebutkan[1].

Ibnu Qudamah rahimahullah menukilkan ucapan al-Hasan al-Bashri rahimahullah, ia berkata, “Selesainya masa pengusapan khuf tidaklah membatalkan wudhu seseorang, hingga ia boleh shalat sampai ia berhadats. Bila ia telah berhadats, ia tidak boleh lagi mengusap khufnya namun ia harus melepaskannya (untuk berwudhu secara sempurna).” (al- Mughni, 1/178)

Ibrahim an-Nakha’i, al-Hasan al-Bashri, Ibnu Abi Laila, dan Dawud berkata, “Orang tersebut boleh shalat selama belum batal thaharahnya disebabkan satu hadats yang membatalkan wudhu.” (al-Muhalla, 1/330)

Ibnu Hazm rahimahullah menguatkan pendapat ini dengan pernyataannya, “Thaharah itu tidak akan batal kecuali dengan hadats. Sementara itu, orang yang selesai masa pengusapan khufnya ini sah thaharahnya karenanya ia tidak terhitung sebagai seorang yang berhadats sehingga ia dihukumi masih dalam thaharah. Orang yang masih dalam keadaan thaharah, boleh baginya mengerjakan shalat selama ia belum berhadats atau selama tidak adanya keterangan nash yang jelas bahwa thaharahnya itu batal walaupun ia tidak berhadats[2].

Adapun orang yang selesai masa pengusapan khufnya belumlah dikatakan berhadats dan tidak ada nash sama sekali yang menyatakan thaharahnya batal, baik pada sebagian anggota badannya maupun secara keseluruhan. Dengan demikian orang ini tetaplah dihukumi suci, ia boleh mengerjakan shalat sampai ia berhadats, sehingga ketika itu ia harus membuka khufnya (bila ia masih mengenakannya) dan berwudhu (secara sempurna dengan mencuci kaki). Setelahnya ia boleh mengenakan khufnya dan boleh mengusapnya (bila ia berhadats setelah itu), dan dimulailah waktu pengusapan yang berikutnya.” (al-Muhalla, 1/331)

 

Pembatal-Pembatal Pengusapan Khuf

Bila seseorang tidur, buang air besar, ataupun buang air kecil, itu tidaklah membatalkan pengusapan khufnya bahkan dibolehkan baginya untuk terus mengusap khufnya ketika berwudhu (tidak melepasnya) sampai batas waktu yang ditetapkan. Dikecualikan dalam masalah ini apabila terjadi hadats besar seperti junub karena bersetubuh atau mimpi hingga keluar mani maka hal ini membatalkan kebolehan pengusapan khuf, sehingga wajib baginya untuk melepas khufnya untuk mandi dalam rangkaian thaharah untuk membersihkan hadats besarnya tersebut. Hal ini dinyatakan oleh hadits Shafwan bin ‘Assal radhiallahu ‘anhu, ia berkata,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنَا إِذَا كُنَّا سَفَرًا أَلاَّ نَنْزِعَ خِفَافَنَا ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيهِنَّ إِلاَّ مِنْ جَنَابَةٍ وَلَكِنْ مِنْ غَائِطٍ وَنَوْمٍ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami, bila kami sedang safar agar tidak melepaskan khuf-khuf kami selama tiga hari tiga malam kecuali bila ditimpa janabah. Akan tetapi bila hanya buang air besar, kencing, dan tidur (tidak perlu melepaskannya).” (HR. at-Tirmidzi no. 96. Dinyatakan hasan oleh asy- Syaikh Muqbil dalam al-Jami’us Shahih, 1/538)

 

Hukum Orang yang Membuka Khufnya Setelah Mengusapnya

Ada tiga pendapat ulama dalam masalah ini:

  1. Membatalkan wudhu dan wajib mengulanginya seperti pendapat Abu Hanifah.
  2. Kedua kaki dicuci seperti pendapat al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah.
  3. Wudhu tetap sah dan tidak ada ketentuan apa-apa bagi yang melakukannya.

Pendapat ini diriwayatkan dari Ibrahim an-Nakha’i, pendapat al-Hasan al-Bashri, ‘Atha, Abul Aliyah, Qatadah, Sulaiman bin Harb, al-Bukhari, Dawud adz-Dzahiri, Ibnul Mundzir, dan Ibnu Hazm rahimahumullah ( al- Majmu’, 1/558—559, al-Muhalla, 1/338—341).

Pendapat ini pula yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah rahimahullah, demikian pula asy-Syaikh al-Albani rahimahullah (Tamamul Minnah, hlm. 114—115), karena tidak adanya dalil yang menunjukkan batalnya wudhu orang yang melepas khufnya tersebut. Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Orang yang mengusap khuf dan imamah tidaklah batal wudhunya dengan melepaskan khuf dan imamahnya. Tidak pula batal wudhu tersebut dengan selesainya waktu pengusapan sehingga tidak wajib baginya untuk mengusap kepalanya dan mencuci kedua kakinya setelah itu.” (al-Ikhtiyarat dalam al-Fatawa al-Kubra, 5/306)

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Apabila seseorang melepas khuf atau kaos kakinya setelah ia mengusapnya, thaharahnya tidaklah batal menurut pendapat yang sahih. Akan tetapi yang batal adalah pengusapannya bukan thaharahnya. Apabila ia kembali mengenakan khufnya sementara wudhunya telah batal, maka ia harus melepas khufnya tersebut dan berwudhu dengan mencuci kedua kakinya.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail, 4/179)

 

Faedah

Ditanyakan kepada asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, “Apabila seseorang melepas kaos kakinya (dan tentunya khuf masuk dalam permasalahan ini, -pen.) dalam keadaan ia masih memiliki wudhu kemudian ia mengenakannya kembali sebelum batal wudhunya, apakah boleh baginya mengusap kaos kaki tersebut?”

Beliau rahimahullah berkata, “Apabila seseorang melepas kaos kakinya kemudian ia mengenakan kembali dalam keadaan masih memiliki wudhu, sedangkan wudhu itu adalah wudhu yang pertama kali—maksudnya belum batal wudhunya setelah ia mengenakan kaos kaki tersebut—, maka tidak mengapa baginya untuk mengenakannya kembali dan mengusapnya jika ia berwudhu (lagi).

Namun, apabila wudhu itu adalah wudhu pengusapan yang dengannya ia mengusap kaos kakinya, sedangkan setelah ia melepaskannya kemudian mengenakannya kembali, maka tidak diperkenankan lagi baginya untuk mengusapnya. Karena mengenakan kaos kaki itu harus didahului dengan thaharah dengan memakai air. Sementara, ini adalah thaharah dengan mengusap, demikian yang saya ketahui dari ucapan ahlul ilmi.

Akan tetapi, bila ada orang yang berkata bahwa ia mengusap kaos kakinya yang ia kenakan kembali setelah melepaskannya dalam keadaan thaharah, walaupun itu adalah thaharah dengan pengusapan, maka hal itu boleh baginya selama waktu pengusapannya belum habis. Ini merupakan pendapat yang kuat akan tetapi saya tidak mengetahui ada seorang pun dari kalangan ahlul ilmi yang berkata demikian sehingga hal ini mencegah saya untuk berpendapat demikian.

Bila memang ada dari kalangan ahlul ilmi yang berkata demikian maka pendapat itu yang benar menurut saya, karena thaharah pengusapan adalah thaharah yang sempurna. Sepantasnya dikatakan apabila ia dibolehkan mengusap dalam keadaan ia mengenakannya di atas thaharah pencucian (yang awal), maka tentunya boleh ia mengusap dalam keadaan ia mengenakannya di atas thaharah pengusapan. Namun saya tidak mendapati seorang pun dari ahlul ilmi yang berpandangan demikian.” (Buhuts wa Fatawa fil Mashi ‘alal Khuffain, soal ke-11)

 

Mana yang Lebih Utama, Mencuci Kaki atau Mengusap Khuf ?

Dari sisi hukum, telah jelas bagi kita akan kokohnya sunnah mengusap khuf ini. Mungkin yang jadi permasalahan: manakah yang lebih utama ketika seseorang berwudhu, apakah mencuci kaki atau mengusap khuf?

Dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Di antara sahabat ada yang berpendapat mencuci kaki lebih utama karena ia merupakan asal dalam berwudhu. Mereka yang berpendapat seperti ini adalah Umar ibnul Khaththab, Ibnu ‘Umar, dan Abu Ayyub al-Anshari radhiallahu ‘anhum.

Mengusap khuf lebih utama, pendapat ini dipegangi oleh sekelompok tabi‘in seperti asy-Sya’bi, al-Hakam, Hammad, satu riwayat dari Ahmad (ini yang paling sahih darinya), dan Ishaq rahimahumullah. (al-Ausath, 1/439—440, al-Mughni, 1/176)

Pendapat yang lain dari kalangan ahlul ilmi adalah antara mencuci kaki dan mengusap khuf sama keutamaannya. Pendapat ini yang dipilih oleh Ibnul Mundzir dan riwayat lain dari al-Imam Ahmad. (Syarah Shahih Muslim, 3/164)

Adapun pendapat keempat yang merupakan pendapat yang pertengahan, yaitu yang lebih utama adalah melihat keadaan. Bila sedang mengenakan khuf maka lebih utama mengusapnya, namun bila sedang tidak mengenakan khuf, lebih utama mencuci kaki. Demikian pendapat ini dipegangi oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah dan murid beliau Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah sebagaimana dalam Zadul Ma’ad, 1/50.

Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan, “Yang lebih utama pada diri setiap orang adalah sesuai dengan keadaannya. Bila ia mengenakan khuf maka cukup baginya untuk mengusap di atas khufnya dan tidak perlu ia melepaskannya dalam rangka mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Adapun yang lain, yang kakinya telanjang maka yang utama ia mencuci keduanya dan tidak perlu ia bersengaja mengenakan khuf ketika itu untuk diusapnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencuci kedua kakinya bila dalam keadaan telanjang (tidak mengenakan khuf) dan beliau mengusap khuf bila bertepatan saat itu beliau sedang mengenakan khuf.” (al-Ikhtiyarat dalam al-Fatawa al-Kubra, 5/305)

Inilah pendapat yang rajih yang dipegangi oleh penulis.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab wal ‘ilmu ‘indallah.

Ditulis oleh al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari


[1] Perselisihan tersebut dapat kita uraikan sebagai berikut:

Pendapat pertama: Wudhunya tidak batal dan tidak ada keharusan baginya untuk melakukan apapun, ia boleh shalat dengan wudhu tersebut selama ia belum berhadats. Demikian dihikayatkan pendapat ini oleh Ibnul Mundzir (dan pendapat ini yang beliau pilih) dari Al-Hasan Al-Bashri, Qatadah, dan Sulaiman bin Harb. Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Ini adalah pendapat yang terpilih dan paling kuat.” Pendapat ini pula yang dipilih oleh Ibnu Hazm dan beliau menyatakan bahwasanya tidak boleh ada pendapat lain selain ini. Dan ini pula yang dipegangi penulis sebagaimana di atas.

Pendapat kedua: Wajib baginya untuk mencuci kaki saja, demikian pendapat ‘Atha, ‘Alqamah, Al-Aswad. Dan ini merupakan madzhab Abu Hanifah dan murid-muridnya, Ats-Tsauri, Abu Tsaur, Al-Muzani, dan satu riwayat dari Ahmad.

Pendapat ketiga: Wajib baginya berwudhu, demikian pendapatnya Mak-hul, Az-Zuhri, Al-Auza’i, Al-Hasan ibnu Shalih dan Ishaq dan ini yang paling shahih dari dua riwayat dari Al-Imam Ahmad.

Pendapat keempat: Wajib baginya berwudhu apabila panjang waktunya antara ia melepas khuf dengan mencuci kedua kaki. Bila waktu yang ada sedikit, maka cukup baginya mencuci kedua kaki. Demikian pendapat Al-Laits dan Malik. (Buhuts wal Fatawa fil Mas-hi ’alal Khuffain, pembahasan yang kelima, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah)

[2] Seperti pembatal-pembatal wudhu selain hadats besar dan hadats kecil.