(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah)
Terpisahnya jarak antara suami dengan istrinya adalah hal lumrah. Terlebih karena didesak oleh kebutuhan dan situasi yang syar’i. Namun demikian seyogianya suami tidak meninggalkan istrinya untuk waktu yang sangat lama. Sebaliknya juga, dibutuhkan kesabaran seorang istri manakala situasi menuntut yang demikian.
Sudah menjadi kewajiban bagi seorang suami untuk bergaul dengan istrinya dengan ma’ruf. Karena Allah k memerintahkan dalam firman-Nya yang agung:
“Bergaullah kalian (wahai para suami) dengan mereka (para istri) dengan cara yang ma’ruf.” (An-Nisa`: 19)
Hak untuk mendapatkan pergaulan dengan ma’ruf ini merupakan hak yang wajib ditunaikan suami terhadap istrinya. Sebagaimana pula seorang istri dituntut untuk berlaku demikian terhadap suaminya karena istri pun punya kewajiban. Sebagaimana Allah k berfirman:
“Mereka (para istri) punya hak yang sebanding dengan kewajiban mereka dengan cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)
Al-Imam Al-Qasimi t berkata dalam tafsirnya, “Dalam ayat di atas Allah l menetapkan adanya hak seorang istri terhadap suaminya, seperti halnya suami punya hak yang harus ditunaikan istrinya. Maka masing-masingnya melaksanakan apa yang semestinya mereka tunaikan untuk pasangannya dengan cara yang ma’ruf.” (Mahasinut Ta`wil, 2/175)
Termasuk bergaul dengan ma’ruf adalah seorang suami tidak bepergian meninggalkan istrinya dalam waktu yang lama. Adalah merupakan hak istri untuk menikmati pergaulan suaminya, sebagaimana seorang suami menikmati pergaulan dengan istrinya. Namun terkadang sepasang suami istri terpaksa “berpisah” dalam waktu lama dengan alasan suami harus mencari pekerjaan di kota lain, atau bahkan di luar negeri untuk menghidupi keluarganya. Atau suami harus bepergian lama dengan alasan tugas/dinas, atau suami merantau ke negeri orang dalam rangka mencari ilmu. Lalu timbullah pertanyaan, bolehkah hal ini dilakukan oleh suami? Berdosakah dia?
Bila perginya si suami karena menunaikan kewajiban yang khusus baginya atau yang berkaitan dengan istrinya atau kepentingan umum bagi dirinya dan bagi umat, maka tidak ada dosa bagi si suami. Demikian pula bila ia pergi dalam waktu lama tanpa udzur dan bukan karena menunaikan kewajiban namun istrinya ridha, ia tidaklah berdosa. Akan tetapi bila istrinya tidak ridha maka si suami berdosa dan pantas mendapatkan hukuman. Karena dia telah menyia-nyiakan kewajiban dalam hidup berkeluarga. Walaupun si istri tercukupi dari sisi penghasilan, pakaian, tempat tinggal dan makanan, namun ia juga punya hak untuk memperoleh nafkah batin. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, fatwa no. 606, 19/338)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t berkata, “Bila seorang istri ridha dengan kepergian suami walaupun dalam masa yang lama, maka itu merupakan hak istri. Si suami tidaklah berdosa. Namun dengan syarat si suami meninggalkan istrinya di tempat aman, yang tidak dikhawatirkan akan terjadi apa-apa pada istrinya. Apabila seorang suami pergi jauh untuk mencari rizki dalam keadaan istrinya ridha maka suami tersebut tidak berdosa walaupun ia tidak pulang hingga dua tahun atau lebih. Adapun bila si istri menuntut haknya agar suaminya kembali/pulang, maka perkaranya dalam hal ini dikembalikan kepada mahkamah syar’iyah. Apa yang ditetapkan mahkamah syar’iyah maka itulah yang dilaksanakan.” (Fatawa Nurun ‘Alad Darb, hal. 17)
Dengan demikian, bila istri ridha untuk sementara berjauhan dengan suaminya baik dalam waktu singkat ataupun waktu yang lama, dan masing-masing dapat menjaga kehormatan diri, maka tidak ada dosa bagi keduanya. Namun bila si istri khawatir dirinya atau suaminya akan terjatuh ke dalam fitnah meski ada kebutuhan untuk mencari penghidupan, ia bisa menuntut untuk berkumpul kembali dalam rangka menjaga kehormatan diri dan menjaga kemaluan. Akan tetapi bila si suami enggan untuk segera kembali, istri dapat mengangkat perkaranya kepada hakim agama (mahkamah syar’iyah) agar memutuskan perkara antara dia dan suaminya sesuai dengan apa yang Allah k syariatkan. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, fatwa no. 1545, 19/339, 340)
Berapa Lama Seorang Suami Diperkenankan Meninggalkan Istrinya?
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Batasan yang ditetapkan secara syar’i tentang perginya suami meninggalkan istrinya adalah selama empat bulan, tidak boleh lebih. Kecuali bila si istri ridha, dengan catatan aman dari fitnah baik bagi si istri maupun bagi si suami. Terkecuali orang yang dipaksa oleh keadaan darurat untuk pergi dalam waktu yang lama, maka ia diberi udzur karenanya.
Dalam masa kepergiannya itu, ketika memungkinkan bagi si suami untuk kembali guna bertemu istrinya, menjaganya dan menunaikan kebutuhannya maka wajib baginya untuk kembali. Khususnya di zaman kita ini, yang banyak terjadi fitnah dan perkara-perkara menipu yang dapat merusak akhlak. Maka tidak sepantasnya suami berjauhan dari istrinya kecuali karena kebutuhan dan karena darurat disertai keinginan yang besar untuk cepat-cepat menyelesaikan keperluan lalu segera kembali kepada istri sesuai kesempatan yang ada.” (Al-Muntaqa min Fatawa Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan, 3/248)
Sebagaimana yang kita maklumi, seorang istri tidak hanya berhak mendapatkan nafkah lahir, namun juga nafkah batin. Sehingga seorang suami tidak cukup sekadar mencukupi kebutuhan lahiriah istrinya berupa sandang, pangan, dan papan. Namun juga harus menaruh perhatian terhadap kebutuhan batin istrinya. Bila ia bepergian dalam waktu lama berarti kebutuhan yang satu ini akan terabaikan. Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-’Ilmiyyah wal Ifta`(Komisi Tetap untuk Pembahasan dan Fatwa, Dewan Ulama Besar, KSA) yang saat itu diketuai oleh Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz t, ketika ditanya tentang berapa lama seorang istri harus bersabar ditinggalkan suaminya tanpa memperoleh nafkah batin, memberikan jawaban, “Masa yang mungkin bagi seorang istri untuk bersabar dalam masalah jima’ secara umum adalah empat bulan. Empat bulan ini adalah masa yang ditetapkan secara syar’i bagi seorang yang meng-ilaa` istrinya, yaitu suami yang bersumpah tidak akan menggauli istrinya. Waktu empat bulan ini lebih pantas ditetapkan sebagai batasan waktu seorang istri dapat bersabar tidak mendapat nafkah batin dari suaminya. Allah k berfirman:
“Bagi orang-orang (para suami) yang meng-ilaa` istrinya diberi tangguh empat bulan. Kemudian bila mereka kembali kepada istrinya (mau kembali menggauli istrinya) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang.” (Al-Baqarah: 226) [Fatwa no. 606, 19/338, 339]
Diriwayatkan sebuah atsar dari Umar ibnul Khathathab z saat beliau menjadi Amirul Mukminin. Dikisahkan, suatu malam Umar mengelilingi kota Madinah guna memeriksa keadaan rakyatnya. Bertepatan ketika melewati sebuah rumah, Umar mendengar suara seorang wanita yang sedang mendendangkan syair:
Amat panjangnya malam ini dan tertutup sisinya
Ia menaruh belas kasihan kepadaku karena tidak ada teman berbaring yang kudapat bersenda gurau dengannya
Aku bersenda gurau dengannya setingkat demi setingkat
Seakan-akan bulan yang memunculkan alisnya dalam kegelapan malam
Orang yang bermain dengannya dibuat senang karena berdekatan dengannya
Lunak pangkuannya, tidak dimiliki oleh kerabatnya
Maka demi Allah, seandainya bukan karena Allah, aku tidak peduli dengan selain-Nya
Niscaya akan bergerak sisi-sisi tempat tidur ini
Akan tetapi aku takut dengan malaikat yang dekat yang ditugasi mencatat amal diri-diri kita
Pencatat amal itu tidak pernah berhenti mencatat sepanjang masa
Karena takut kepada Rabbku dan juga rasa malu menahanku
Demikian pula karena memuliakan suamiku untuk dicapai martabatnya
Umar pun menanyakan kepada orang-orang tentang siapa wanita tersebut. Dikabarkan kepada Umar, wanita itu adalah Fulanah yang suaminya sedang pergi jauh untuk berperang fi sabilillah. Maka ‘Umar pun mengirim utusan untuk memanggil suami wanita itu agar pulang menjumpai istrinya. Kemudian Umar masuk ke tempat putrinya, Hafshah c untuk bertanya, “Wahai putriku, berapa lama seorang wanita dapat bersabar berpisah dengan suaminya dan tidak bergaul dengan suaminya?”
Hafshah menjawab, “Subhanallah, orang yang semisal ayah bertanya kepadaku tentang perkara seperti ini?”
“Kalaulah bukan karena ingin memerhatikan urusan kaum muslimin, aku tidak akan bertanya kepadamu,” tukas Umar.
“Lima bulan… dan bisa juga enam bulan,” Hafshah menjelaskan.
Setelah mendapatkan keterangan dari putrinya, ‘Umar pun menetapkan waktu peperangan bagi pasukannya selama enam bulan. Dengan perincian mereka berjalan selama sebulan, tinggal di tempat peperangan empat bulan dan berjalan pulang selama sebulan. (Tuhfatul ‘Arus, Al-Istambuli, hal. 200)
Bila ada yang bertanya, apakah dengan meninggalkan istri dalam waktu bertahun-tahun berarti telah jatuh talak kepada si istri, dan ketika suaminya kembali dari bepergiannya tersebut harus menjalin akad nikah yang baru? Maka dijawab oleh Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-’Ilmiyyah wal Ifta’, “Meninggalkan istri dalam waktu sekian lama tersebut tidaklah teranggap jatuh talak kepada si istri, sehingga jelas tidak butuh akad nikah yang baru bila si suami kembali kepada istrinya.” (Fatwa no. 9822, 19/341)
Seorang penanya mengajukan permasalahannya kepada Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah, “Saya tinggal di Sudan. Ketika berusia 17 tahun, saya menikahi seorang gadis. Setelah menikahinya saya hanya sempat mendampinginya selama tiga bulan karena saya harus safar ke Libia dalam rangka mencari rizki yang halal. Sekarang telah lewat masa dua tahun, saya belum juga dapat kembali ke negara saya dan kepada istri saya karena tidak punya biaya untuk pulang, karena musibah kecelakaan mobil yang berakibat patahnya tangan saya hingga saya tidak dapat bekerja. Lalu apa jalan keluar terhadap keadaan ini? Apakah saya harus mengirim surat cerai kepada istri saya yang telah saya tinggalkan lebih dari dua tahun dan mungkin akan terus bertambah waktu yang ada disebabkan kecelakaan yang menimpa saya ini? Namun perlu diketahui, istri saya tersebut tinggal bersama ayah dan keluarga saya. Ia tidak mengalami kekurangan sedikitpun dari sisi penghidupan/nafkah. Berilah kami fatwa, jazakumullah khairan!”
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah memberikan jawaban, “Apa yang disebutkan penanya bahwa ia safar meninggalkan istrinya dan ada penghalang yang membuatnya tidak dapat kembali kepada istrinya, lalu apakah ia harus mengirim surat cerai kepada si istri? Jawabannya: Anda, wahai penanya, diberi udzur dalam apa yang anda sebutkan. Anda tidak harus menceraikan istri anda selama anda punya udzur. Karena anda sebutkan tentang musibah yang menimpa anda dan ketidakmampuan anda untuk melakukan perjalanan/safar. Ini merupakan udzur bagi anda dan tidak ada alasan untuk menggugat anda. Kecuali kalau anda mampu menempuh perjalanan guna bertemu istri anda dan berkumpul kembali dengannya tapi anda tidak mau melakukannya. Bila seperti ini keadaannya, istri anda diberi pilihan; ia mau bersabar menanti anda kembali, ataukah ia menuntut haknya terhadap anda. Karena itu, anda lihat keadaan anda. Jalan keluar itu dekat, Insya Allah, bila niat dan ketetapan hati anda benar. Terlebih lagi ayah anda telah menanggung kebutuhan hidup istri anda. Maka tidak ada alasan bagi anda untuk gundah gulana dan gelisah.” (Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, hal. 283-283)
Contoh Kesabaran Seorang Istri Berpisah dengan Suaminya
Kami ingin membawakan sebuah contoh dari kisah orang terdahulu berkaitan dengan kesabaran seorang istri ditinggal pergi dalam waktu lama oleh suaminya. Perpisahan itu terjadi karena si suami hendak menuntut ilmu agama ke negeri lain, untuk duduk di hadapan seorang alim yang besar dan terdepan di masa itu.
Dikisahkan, Abdullah bin Al-Qasim Al-’Ataki Al-Mishri hendak safar meninggalkan Kairo menuju ke Madinah guna menuntut ilmu di sisi Al-Imam Malik t. Istri Abdullah ketika itu sedang hamil maka ia berkata kepada istrinya, “Aku telah berketetapan hati untuk melakukan perjalanan guna menuntut ilmu dan aku tidak melihat akan kembali ke negeri Mesir ini kecuali setelah berlalu masa yang panjang. Bila engkau ingin agar aku menceraikanmu, aku akan ceraikan sehingga engkau bisa menikah dengan siapapun yang engkau inginkan. Namun bila engkau tetap ingin menjadi istriku, aku pun akan melakukannya akan tetapi aku tak tahu kapan aku dapat kembali kepadamu.”
Istri Abdullah memilih untuk tetap menjadi istrinya. Abdullah atau yang lebih sering disebut dengan Ibnul Qasim kemudian menempuh perjalanan untuk bertemu dengan Al-Imam Malik dan tinggal di Madinah untuk mulazamah dengan Al-Imam Malik selama 17 tahun. Ia tidak tersibukkan dengan jual beli/perdagangan, tapi semata-mata perhatiannya ditujukan untuk menimba ilmu. Dalam masa tersebut, istrinya telah melahirkan seorang anak laki-laki dan jelas telah tumbuh besar. Namun Ibnul Qasim tidak mengetahui berita kelahiran putranya ini, karena hubungan/komunikasinya dengan istrinya telah terputus sejak ia pergi.
Ibnul Qasim berkisah sendiri, “Ketika suatu hari aku sedang berada di sisi Al-Imam Malik dalam majelis beliau, tiba-tiba datang menemui kami seorang pemuda dari Mesir dalam keadaan menutup wajahnya. Ia mengucapkan salam kepada Al-Imam Malik kemudian bertanya, “Apakah di antara kalian ada Ibnul Qasim?” Orang-orang yang hadir pun menunjuk Ibnul Qasim yang ditanya si pemuda. Pemuda itu menghadap kepadaku, merangkulku, dan mengecup di antara dua mataku. Aku mendapati perasaan bahwa ia adalah anakku. Ternyata ia memang anakku yang dulunya aku tinggalkan masih dalam kandungan istriku. Sekarang ia telah besar dan menjadi seorang pemuda.” (Waratsatul Anbiya`, hal. 41)
Lihatlah kesabaran yang mencengangkan dari istri Ibnul Qasim. Dalam keadaan mengandung ditinggal oleh sang suami, hingga ia melahirkan dan membesarkan anaknya, sampai si anak dapat menyusul sang ayah di negeri penuntutan ilmunya, di sisi alim besar di masanya, imam Darul Hijrah.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.