Menjawab Kejanggalan

  1. Alasan kaum musyrikin

Bagaimana memahami firman Allah subhanahu wa ta’ala:

“Ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Rabbmu, tidak ada Ilah selain Dia, dan berpalinglah dari orang-orang musyrik. Dan kalau Allah menghendaki niscaya mereka tidak mempersekutukan(Nya). Dan Kami tidak menjadikan kamu pemelihara bagi mereka; dan kamu sekali-kali bukanlah pemelihara bagi mereka.” (al-An’am: 106—107)

Dalam ayat tersebut, Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa kesyirikan yang diperbuat kaum musyrikin, terjadi dengan masyi’ah (kehendak) Allah subhanahu wa ta’ala.

Akan tetapi, dalam ayat yang lain, Allah mencela kaum musyrikin yang beralasan dengan kehendak Allah atas perbuatan syirik mereka. Allah berfirman:

“Orang-orang yang menyekutukan Allah akan mengatakan, “Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak menyekutukan-Nya dan tidak pula kami mengharamkan barang sesuatu pun.” Demikian pula orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah, “Adakah kalian mempunyai suatu pengetahuan sehingga kalian dapat mengemukakannya kepada Kami?” Kalian tidak mengikuti selain persangkaan belaka, dan kalian tidak lain hanyalah berdusta.” (al-An’am: 148)

Jawaban:
Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan dalam ayat ini, kesyirikan mereka terjadi dengan masyi’ah (kehendak) Allah subhanahu wa ta’ala sebagai bentuk hiburan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan sebagai pembelaan atau pembenaran atas kesyirikan mereka. Sangat berbeda dengan alasan kaum musyirikin, “Kami melakukannya (kesyirikan) dengan masyi’ah (kehendak) Allah.”

Dengan alasan semacam ini, kaum musyrikin ingin menghindari celaan. Selain itu, alasan ini juga merupakan bentuk pembenaran atas kesyirikan yang terus-menerus mereka perbuat. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala menolak alasan mereka. Namun, Allah subhanahu wa ta’ala tidak menafikan bahwa kesyirikan itu terjadi atas masyi’ah (kehendak)-Nya. (Taqrib at-Tadmuriyah, Ibnul Utsaimin, hlm. 109—112)

  1. Hadits Adam dan Musa ‘alaihissalam

Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6614) dan Muslim (no. 2652) dari sahabat Abu Hurairah z menjelaskan bahwa Nabi Adam ‘alaihissalam dan Nabi Musa ‘alaihissalam berdialog.

Nabi Musa berkata, “Wahai Adam, engkau adalah ayah kami. Engkau membuat kami rugi dan menyebabkan kami keluar dari al-Jannah (surga).” Nabi Adam ‘alaihissalam menjawab, “Engkau, wahai Musa, Allah subhanahu wa ta’ala memilihmu menjadi rasul secara langsung dengan Kalam-Nya, Dia menuliskan Taurat untukmu dengan tangan-Nya. Apakah engkau ingin mencela diriku disebabkan sesuatu yang telah ditakdirkan Allah subhanahu wa ta’ala untukku, empat puluh tahun sebelum Allah subhanahu wa ta’ala menciptakanku?” Nabi Adam ‘alaihissalam pun mengalahkan Nabi Musa ‘alaihissalam.

Jawaban:
Untuk memahami hadits di atas dengan benar, diperlukan dua keterangan.
1. Nabi Adam ‘alaihissalam beralasan dengan takdir untuk sebuah musibah yang telah terjadi.

Musibah itu adalah dikeluarkannya beliau dan istrinya dari al-Jannah. Nabi Musa ‘alaihissalam juga tidak bertujuan mencela Nabi Adam ‘alaihissalam karena maksiat yang Nabi Adam ‘alaihissalam telah bertaubat darinya. Dengan taubat itu, Allah subhanahu wa ta’ala memilihnya, memberikan taubat dan hidayah untuknya. Sangat jauh kemungkinannya Nabi Musa ‘alaihissalam mencela dan menyalahkan ayahnya, Nabi Adam ‘alaihissalam, karena maksiat yang diperbuat.

Akan tetapi, Nabi Musa ‘alaihissalam bermaksud membicarakan tentang musibah yang terjadi pada diri Nabi Adam ‘alaihissalam dan anak keturunannya, yaitu dikeluarkannya dari al-Jannah, yang telah ditakdirkan Allah subhanahu wa ta’ala dengan sebab adanya maksiat. Maka dari itu, Nabi Adam ‘alaihissalam pun mengemukakan alasan “takdir”. Jadi, hal ini masuk dalam pembahasan “beralasan dengan takdir atas musibah”, bukan dalam pembahasan “beralasan dengan takdir atas maksiat”.

Ini mirip dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا تَعْجَزْ، وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ: لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا؛ وَلَكِنْ قُلْ: قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ؛ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

“Bersemangatlah untuk hal-hal yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan dari Allah, dan janganlah merasa lemah. Jika ada sesuatu yang menimpa dirimu, jangan katakan, ‘Andaikata saya melakukan begini, tentu akan begini dan begitu.’ Akan tetapi, katakanlah, ‘Allah subhanahu wa ta’ala telah menakdirkan, apa yang Allah subhanahu wa ta’ala kehendaki pasti Allah subhanahu wa ta’ala lakukan.’ Sebab, kata-kata ‘andaikata’ akan membuka amalan setan.” (HR. Muslim no. 2664)

Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membimbing kita untuk mengembalikan segenap urusan kepada takdir Allah subhanahu wa ta’ala saat tujuan gagal tercapai, setelah berusaha melakukan sebab-sebab terwujudnya.

Sama kejadiannya dengan seseorang yang melakukan sebuah perjalanan jauh. Di tengah perjalanan ia mengalami musibah kecelakaan. Ketika ia ditanya, “Mengapa kamu melakukan perjalanan jauh?” Kemudian ia menjawab, “Ini sesuatu yang telah ditakdirkan. Sesuatu yang telah ditakdirkan, tidak dapat dihindari.”

Pada jawaban di atas, orang tersebut tidak beralasan dengan takdir pada perjalanan jauh yang ia tempuh. Sebab, tidak ada yang memaksanya untuk melakukan perjalanan jauh. Ia juga melakukan perjalanan jauh tidak bertujuan agar mendapat musibah kecelakaan. Akan tetapi, ia beralasan dengan takdir atas musibah kecelakaan yang menimpanya saat melakukan perjalanan jauh.

  1. Beralasan dengan takdir pada kewajiban yang ditinggalkan atau keharaman yang diperbuat, setelah bertaubat, boleh hukumnya dan bisa diterima.
    Akibat perbuatan tersebut telah terhapus dengan taubat. Oleh karena itu, terhapus juga sisi celaan yang disebabkan oleh pelanggaran. Maka dari itu, tidak ada lagi alasan yang tersisa selain semata-mata takdir. Ia tidak beralasan dengan takdir untuk terus dan tetap meninggalkan kewajiban atau melanggar larangan. Namun, ia mengembalikannya (kesalahan yang diperbuat sebelum bertaubat) kepada takdir Allah subhanahu wa ta’ala yang pasti terjadi.

(Taqrib at-Tadmuriyah, Ibnul Utsaimin, hlm. 109—112)

 Ditulis oleh al-Ustadz Mukhtar Ibnu Rifai