Meraih Kebahagiaan Hakiki

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abdurrahman Lombok)

Tak ada orang yang ingin hidupnya tidak bahagia. Semua orang ingin bahagia. Namun hanya sedikit orang yang mengerti arti kebahagiaan yang sesungguhnya.

Hidup bahagia merupakan idaman setiap orang, bahkan menjadi simbol keberhasilan sebuah kehidupan. Tidak sedikit manusia yang mengorbankan segala-galanya untuk meraihnya. Menggantungkan cita-cita menjulang setinggi langit dengan puncak tujuan tersebut, yaitu bagaimana meraih kebahagiaan hidup. Dan ini menjadi cita-cita tertinggi setiap orang baik yang mukmin atau yang kafir kepada Allah.
Apabila kebahagiaan itu terletak pada harta benda yang bertumpuk-tumpuk, mereka telah mengorbankan segala-galanya untuk meraihnya. Nyatanya, itu tak pernah diraih dan  membuat pengorbanannya sia-sia. Apabila kebahagiaan itu terletak pada ketinggian pangkat dan jabatan, mereka juga telah siap mengorbankan apa saja demi memperoleh apa yang diinginkannya. Tapi tetap saja kebahagiaan itu tidak pernah didapatkannya. Apabila kebahagiaan itu terletak pada ketenaran nama, mereka telah berusaha untuk meraihnya dengan apapun juga dan mereka tidak mendapati apa yang disebut kebahagiaan.
Apakah tercela orang-orang yang menginginkan kebahagiaan? Apakah salah bila seseorang bercita-cita untuk bahagia dalam hidup? Lalu apakah hakikat hidup bahagia itu?

Hakikat Hidup Bahagia
Mendefinisikan hidup bahagia sangatlah mudah untuk diungkapkan dengan kata-kata dan sangat mudah untuk disusun dalam bentuk kalimat. Prakteknya, telah banyak orang yang tampil untuk mendefinisikannya sesuai dengan sisi pandang masing-masing. Ahli ekonomi mendefinisikannya sesuai dengan bidang dan tujuan ilmu perekonomian. Ahli kesenian mendefinisikannya sesuai dengan ilmu kesenian. Ahli jiwa akan mendefinisikannya sesuai dengan ilmu jiwanya. Demikian seterusnya, tak pernah ada titik terang. Mari kita melihat bimbingan Allah dan Rasul-Nya Muhammad tentang hidup bahagia. Allah berfirman:
“Kamu tidak akan menemukan satu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling cinta kepada orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya walaupun mereka adalah bapak-bapak mereka, anak-anak mereka, saudara-saudara mereka dan keluarga-keluarga mereka. Merekalah orang-orang yang telah Allah catat dalam hati-hati mereka keimanan dan diberikan pertolongan, dan memasukkan mereka ke dalam surga yang mengalir dari bawahnya sungai-sungai dan mereka kekal di dalamnya. Allah meridhai mereka dan mereka ridha kepada Allah. Ketahuilah mereka adalah hizb (pasukan) Allah dan ketahuilah bahwa pasukan Allah itu pasti menang.” (Al-Mujadilah: 22)
Dari ayat ini, Allah I dengan jelas menyebut orang-orang yang bahagia dan mendapatkan kemenangan di dunia dan di akhirat. Mereka adalah orang-orang yang beriman kepada Allah I dan hari akhir, dan orang-orang yang bisa menempatkan al-wala’ (berloyalitas) dan al-bara’ (kebencian) sesuai dengan apa yang dimaukan Allah I dan Rasulullah r.
As-Sa’di dalam tafsirnya mengatakan: “Orang-orang yang memiliki sifat ini adalah orang-orang yang keimanan telah dicatat di dalam hati-hati mereka . Artinya Allah I mengokohkan dalam dirinya keimanan dan mencegah agar tidak goncang dan terpengaruh sedikitpun dengan syubhat dan keraguan. Dialah yang telah  Allah I kuatkan dengan pertolongan-Nya yaitu menguatkannya dengan wahyu-Nya, ilmu dari-Nya, pertolongan, dan dengan segala kebaikan. Merekalah orang-orang yang mendapatkan kebahagiaan dalam hidup di dunia dan akan mendapatkan segala macam kenikmatan surga yang di dalamnya terdapat segala apa yang diinginkan setiap jiwa yang menyejukkan hatinya, dan segala apa yang diinginkan. Mereka juga akan mendapatkan nikmat paling utama dan besar yaitu mendapatkan keridhaan Allah I dan tidak akan mendapatkan kemurkaan selama–lamanya. Mereka ridha dengan apa yang diberikan Rabb mereka dari segala macam kemuliaan, pahala yang banyak, kewibawaan, dan derajat yang tinggi. Hal ini karena mereka tidak melihat sesuatu yang lebih dari yang diberikan Allah I.”
Abdurrahman As-Sa’di dalam mukadimah risalah Al-Wasailul Mufiidah lil hayati As-Sa’idah hal. 5 mengatakan: “Sesungguhnya ketenangan dan ketenteraman hati serta hilangnya kegundahgulanaan darinya, itulah yang dicari oleh setiap orang. Karena dengan dasar itulah akan didapati kehidupan yang baik dan kebahagiaan yang hakiki.”
Allah I berfirman:

“Barangsiapa yang melakukan amal shalih dari kalangan laki-laki dan perempuan dan dia dalam keadaan beriman, maka Kami akan memberikan kehidupan yang baik dan membalas mereka dengan ganjaran pahala yang lebih baik dikarenakan apa yang telah dilakukannya.” (An-Nahl: 97)
As-Sa’di dalam Al-Wasailul Mufiidah lil hayati As Sa’idah hal. 9 mengatakan: “Allah I memberitahukan dan menjanjikan kepada siapa saja yang menghimpun iman dan amal shalih dengan kehidupan yang bahagia di dunia ini dan membalasnya dengan pahala di dunia dan akhirat.”
Dari kedua dalil ini, kita bisa menyimpulkan bahwa kebahagiaan hidup terletak pada dua hal yang sangat mendasar: Baiknya jiwa yang dilandasi iman yang benar dan baiknya amal seseorang yang dilandasi keikhlasan dan kesesuaian dengan Sunnah Rasulullah r.

Kebahagiaan yang Hakiki dengan Aqidah
Orang yang beriman kepada Allah I dan mewujudkan keimanannya tersebut dalam amal mereka adalah orang yang bahagia di dalam hidup. Merekalah yang apabila mendapatkan ujian hidup merasa bahagia dengannya karena mengetahui bahwa semuanya berasal dari Allah I. Dan di balik kejadian ini ada hikmah-hikmah yang belum terbetik pada dirinya yang dirahasiakan Allah I sehingga menjadikan dia bersabar menerimanya. Dan jika mereka mendapatkan kesenangan, mereka bahagia dengannya karena mereka mengetahui bahwa semuanya itu datang dari Allah I yang mengharuskan dia bersyukur kepada-Nya.
Alangkah bahagianya hidup kalau setiap waktunya selalu dalam kebaikan. Bukankah sabar itu merupakan kebaikan? Dan bukankah bersyukur itu merupakan kebaikan? Di antara sabar dan syukur ini orang-orang yang beriman berlabuh dengan bahtera imannya dalam mengarungi lautan hidup. Allah  berfirman:
“Jika kalian bersyukur (atas nikmat-nikmat-Ku), niscaya Aku akan benar-benar menambahnya kepada kalian. Dan jika kalian mengkufurinya maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim: 7)
Rasulullah r bersabda:
“Dan tidaklah seseorang diberikan satu pemberian yang lebih baik dan lebih luas dari pada kesabaran.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)

“Kesabaran itu adalah cahaya.” (Shahih, HR. Ahmad, Al-Bukhari, dan Muslim)
‘Umar bin Al-Khaththab z berkata: “Kami menemukan kebahagiaan hidup bersama kesabaran.” (HR. Al-Bukhari)
Mari kita mendengar bagaimana keheranan Rasululah r atas kehidupan orang-orang yang beriman di mana mereka selalu dalam kebaikan siang dan malam:
“Sungguh sangat mengherankan urusannya orang yang beriman, di mana semua urusannya adalah baik dan yang demikian itu tidak didapati kecuali oleh orang yang beriman. Kalau dia mendapatkan kesenangan dia bersyukur, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya. Dan kalau dia ditimpa mudharat dia bersabar, maka itu merupakan satu kebaikan baginya.” (Shahih, HR. Muslim)
As-Sa’di t mengatakan: “Rasulullah r memberitakan bahwa seorang yang beriman kepada Allah I berlipat-lipat ganjaran kebaikan dan buahnya yang diperoleh dalam setiap keadaan yang dilaluinya baik senang atau duka. Dari sini, bila dua orang ditimpa dua hal tersebut kamu akan mendapati perbedaan yang jauh pada dua orang tersebut. Yang demikian itu disebabkan karena perbedaan tingkat keimanan yang ada pada mereka berdua.” (Lihat Kitab Al-Wasailul Mufiidah lil hayati As-Sa’idah hal. 12)
Dalam meraih kebahagiaan hidup, manusia terbagi menjadi tiga golongan.
Pertama, orang yang mengetahui jalan tersebut dan berusaha untuk menempuhnya walaupun harus menghadapi resiko yang sangat dahsyat. Dia mengorbankan segala apa yang disyaratkan perjuangan itu meski harus mengorbankan nyawa. Dia mempertahankan diri dari amukan badai kehidupan dan berusaha menggandeng tangan keluarganya untuk bersama-sama menyelamatkan diri. Yang menjadi syi’arnya adalah firman Allah :
“Hai orang-orang yang beriman jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka.”
Karena perjuangan yang gigih tersebut, Allah I mencatatnya termasuk ke dalam barisan orang-orang yang tidak merugi dalam hidup dan selalu mendapat kemenangan di dunia dan di akhirat sebagaimana telah disebutkan dalam surat Al-‘Ashr ayat 1-3 dan surat Al-Mujadalah ayat 22. Mereka itulah orang-orang yang beriman dan beramal shalih. Dan merekalah pemilik kehidupan yang hakiki.
Kedua, orang yang mengetahui jalan kebahagiaan yang hakiki namun dikarenakan kelemahan iman yang ada pada dirinya menyebabkan dia menempuh jalan lain dengan cara menghinakan dirinya di hadapan hawa nafsu. Mendapatkan kegagalan demi kegagalan ketika bertarung melawannya. Mereka adalah orang-orang yang lebih memilih kebahagiaan yang semu daripada harus meraih kebahagiaan yang hakiki di dunia dan di akhirat kelak. Menanggalkan baju ketakwaannya, mahkota keyakinannya, dan menggugurkan ilmu yang ada pada dirinya. Mereka adalah barisan orang-orang yang lemah imannya.
Ketiga, orang yang sama sekali tidak mengetahui jalan kebahagiaan tersebut sehingga harus berjalan di atas duri-duri yang tajam dan menyangka kalau yang demikian itu merupakan kebahagiaan yang hakiki. Mereka siap melelang agamanya dengan kehidupan dunia yang fana dan siap terjun ke dalam kubangan api yang sangat dahsyat. Orang seperti inilah yang dimaksud Allah I dalam surat Al-‘Ashr ayat 2 yaitu “Orang-orang yang pasti merugi” dan yang disebutkan Allah I dalam surat Al­Mujadalah ayat 19 yaitu “Partai syaitan yang pasti akan merugi dan gagal.” Dan mereka itulah yang dimaksud Rasulullah r dalam sabda beliau:
“Di pagi hari seseorang menjadi mukmin dan di sore harinya menjadi kafir dan di sore harinya mukmin maka di pagi harinya dia kafir. Dan dia melelang agamanya dengan harga dunia.” (Shahih, HR. Muslim)
Banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari hadits Rasulullah r. Di antaranya bahwa kebahagiaan hidup dan kemuliaan ada bersama keteguhan dalam berpegang dengan agama dan bersegera mewujudkannya dalam bentuk amal shalih. Selain itu juga larangan menunda amal yang pada akhirnya seseorang terjatuh ke dalam perangkap syaitan yaitu merasa aman dari balasan tipu daya Allah I. Hidup harus bertarung dengan fitnah. Maka, jangan sampai kita menemukan kegagalan dan terjatuh pada kehinaan di hadapan Allah I dan di mata makhluk-Nya. Wallahu A’lam.