Kepada Ustadz, semoga Allah merahmati Ustadz dan kita semua. Saya ingin menanyakan beberapa hal kepada Ustadz.
1. Bagaimana apabila orang tua tidak mau menikahkan anak laki-lakinya dengan alasan belum punya pekerjaan atau tidak punya ketrampilan sehingga menyebabkan anaknya itu mengalami gangguan saraf karena tidak menikah?
– Salahkah perbuatan orang tua itu?
– Apa yang harus diperbuat si anak?
2. Bagaimana hukum orang tua yang mengatakan kepada anaknya “Lebih baik saya mati daripada punya anak senakal kau.” Anak itu berusia enam atau tujuh tahun.
Demikian pertanyaan saya. Atas jawaban Ustadz, saya ucapkan Jazakumullah khairan katsira.
(UF di Makassar)
Dijawab oleh
Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim:
1. Sesungguhnya Allah I menyatakan:
“Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berbuat adil dan ihsan.” (An-Nahl: 90)
“Berbuat baiklah kalian, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Al-Baqarah: 195)
Dari kedua ayat ini kita diperintah untuk berbuat baik dan berbuat adil karena dengan melakukan kedua perbuatan ini kita dicintai Allah I.
Sebagai orang tua hendaknya dia membantu anaknya dalam segala kebaikan, termasuk membantu pernikahannya, karena ini termasuk perkara kebaikan dan keadilan tersebut.
Terlebih lagi bila anak itu telah sampai pada saat yang wajib untuk menikah, agar tidak terjadi fitnah di muka bumi ini. Adapun mengenai persyaratan orang tua yang mengharuskan kerja atau mengatakan anak tidak punya ketrampilan, dalam hal ini anak sendirilah yang lebih mengerti akan dirinya. Kalau yang dimaksud pekerjaan adalah pegawai negeri, maka orang yang menikah itu tidak harus pegawai negeri. Orang bisa menikah walaupun bukan pegawai negeri atau tidak memiliki pekerjaan tetap namun bisa berwiraswasta.
Menganggap anak tidak punya ketrampilan, maka hal itu adalah suatu kekeliruan. Banyak orang yang dianggap tidak punya ketrampilan ternyata menjadi orang besar, karena ketrampilan itu sendiri banyak dan tidak terbatas. Tidak hanya sebatas menguasai teknik mesin, teknik bangunan atau yang semacamnya.
Sedangkan yang harus diperbuat oleh anak tersebut, yang pertama ia harus menunjukkan bahwa ia mampu menghidupi keluarga setelah menikah dan mampu bekerja, melakukan pekerjaan apa saja yang halal sehingga nantinya ia bisa memberi makan anak istrinya. Namun kalau toh setelah diusahakan orang tua tetap melarangnya, maka anak itu bisa melangkah untuk menikah walaupun orang tua tidak memperkenankannya, bila kewajiban telah melekat pada dirinya. Maka ia berhak untuk menikah.
Di dalam syariat Islam, anak laki-laki bisa menikah walaupun tanpa izin orang tuanya, tidak seperti anak perempuan, karena anak perempuan harus ada izin walinya (orang tuanya).
“Wanita mana pun yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil, batil, batil.” (Shahih, HR. Al-Imam Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah. Dikatakan Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/493: Ini hadits shahih)
Sementara anak laki-laki tidak mensyaratkan adanya wali dalam pernikahan. Namun sebagai anak yang shalih tentunya dia harus memberitahukan kepada kedua orang tuanya apa yang hendak dilakukannya tersebut. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
2. Untuk jawaban pertanyaan berikutnya, sebaiknya orang tua memiliki pandangan bijaksana terhadap anaknya. Ini bila ditinjau dari beberapa sisi:
Pertama, anak ini masih kecil, belum bisa membedakan mana yang benar dan yang salah.
Kedua, kalaupun berbuat salah, maka dosanya belum tercatat di sisi Allah I dengan dalil hadits yang sanadnya shahih:
“Diangkat pena dari tiga golongan (di antaranya) dari anak kecil hingga dia mencapai usia baligh.” (Diriwayatkan Ashabus Sunan, Al-Imam Al-Hakim dan Al-Imam Ahmad, dan sanad hadits ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiq beliau terhadap kitab Musnad Al-Imam Ahmad no. 940 dan 1183)
Ketiga, anak pada usia tersebut tumbuh untuk berkembang dan beraktivitas. Apabila dilontarkan perkataan semacam itu, dikhawatirkan akan mengakibatkan anak takut untuk berbuat sehingga cenderung menjadi orang yang penakut dan minder.
Para ulama mengatakan bahwa usia ini adalah usia yang dapat menerima masukan apa pun, baik dari bapaknya, ibunya atau yang lainnya. Perkataan semacam ini bila sering didengar anak akan masuk dan mempengaruhi jiwanya.
Keempat, dilihat dari sisi syariat perkataan ini tidak syar’i karena kita dilarang untuk minta mati seperti datang dalam hadits yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim:
“Janganlah kalian mengharapkan kematian karena suatu musibah yang menimpa. Apabila kalian mesti berharap, hendaklah mengatakan “Ya Allah, hidupkanlah aku selama kehidupan itu baik bagiku dan matikanlah aku bila kematian itu baik bagiku.”
Wallahu a’lamu bish-shawab.