Tidak diperbolehkan memakai pakaian ‘syuhrah’ (kemasyhuran). Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ فِي الدُّنْيَا أَلْبَسَهُ اللهُ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، ثُمَّ أَلْهَبَ فِيهِ نَارًا
“Barang siapa memakai baju (untuk) kemasyhuran di dunia, kelak di hari kiamat Allah Subhanahu wata’ala akan memakaikan kepadanya baju kehinaan, kemudian Allah Subhanahu wata’ala mengobarkan api di dalamnya.” (HR. Ibnu Majah no. 3606—3607 dan ini adalah lafadz beliau, Abu Dawud no. 4029)
Hadits ini dikuatkan oleh hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu dengan lafadz, “Barang siapa memakai baju (untuk) kemasyhuran, Allah Subhanahu wata’ala berpaling darinya hingga dia melepaskannya, kapan pun dia lepaskan.” (HR. Ibnu Majah no. 3608 dan Abu Nu’aim dalam al-Hilyah 4/190—191)
Hadits yang semakna juga diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma oleh ath-Thabarani rahimahullah, namun pada sanadnya ada perawi yang tertuduh memalsukan hadits. Al-Imam al-Baihaqi rahimahullah dalam Sunan-nya (3/273) meriwayatkan dari jalur Kinanah bin Nu’aim rahimahullah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang dua kemasyhuran: (seseorang) memakai baju mewah yang dengan itu dipandang (menarik oleh orang lain), atau (memakai) baju jelek yang dengan itu diperhatikan (oleh orang lain). Sanadnya sahih namun mursal karena Kinanah, seorang tabi’in, tidak berjumpa dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Walhasil, hadits di atas hasan lighairihi dengan penguat yang ada. (Lihat Jilbab al- Mar’ah al-Muslimah hlm. 213—215)
Ibnu Atsir rahimahullah menjelaskan, الشُّهْرَةُ maknanya menampakkan sesuatu. Maksudnya, pakaiannya menjadi masyhur di tengah-tengah manusia karena warnanya berbeda dengan warna-warna pakaian mereka. Orang-orang pun mengarahkan pandangan kepadanya dan dia pun menunjukkan keangkuhan, ujub, dan kesombongannya di hadapan mereka.” (Nailul Authar 2/111 dan Aunul Ma’bud 11/58)
Al-Imam Muhammad bin Ali asy- Syaukani rahimahullah menjabarkan, “Hadits ini menunjukkan haramnya memakai pakaian kemasyhuran. Namun, hadits ini tidak hanya berlaku untuk pakaian yang mewah. Bisa jadi terjadi pada seseorang yang memakai pakaian orang fakir yang berbeda dengan keumuman orang, supaya dipandang oleh orang lain sehingga takjub dengan pakaiannya dan meyakini (kezuhudan)nya. Demikian yang dijelaskan oleh Ibnu Raslan rahimahullah.”
Apabila memakai pakaian tersebut bertujuan agar terkenal (masyhur) di tengah-tengah masyarakat, tidak ada perbedaan antara pakaian mewah dan pakaian jelek, baik pakaiannya sama dengan pakaian masyarakat secara umum maupun pakaian yang berbeda dengan mereka. Sebab, keharaman tersebut berporos pada niat kemasyhuran. Yang dianggap adalah maksud (niat) nya walaupun tidak sama dengan kenyataannya.” (Nailul Authar 2/111, cet. II, Darul Fikr Beirut, 1983 M/1403 H)
Al-‘Allamah Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah menjelaskan definisi ‘pakaian kemasyhuran’, “Semua pakaian yang dimaksudkan (diniatkan) untuk masyhur (terkenal) di tengah-tengah masyarakat, baik pakaian mewah yang ia kenakan untuk berbangga dengan dunia dan perhiasannya, maupun pakaian jelek yang dia kenakan untuk menampakkan kezuhudannya dan karena riya’….” (Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah hlm. 213)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, apabila ada seorang laki-laki memakai pakaian sunnah, seperti jubah, gamis, dan semisalnya, dengan tujuan mengamalkan dan menghidupkan sunnah di tengah masyarakat yang tidak memakainya, atau dalam kondisi masyarakat justru tasyabuh dengan pakaian orang kafir, hal ini tidaklah termasuk berpakaian syuhrah yang terlarang. Justru ia yang mendapatkan pahala atas perbuatannya. Begitu pula seorang muslimah yang keluar rumah dengan pakaian syar’i, berhijab, menutup seluruh tubuhnya dengan jilbab syar’i di tengah-tengah masyarakat yang tidak mengenal hal tersebut, bahkan cenderung merasa asing dan aneh, dengan tujuan menjalankan kewajiban menutup aurat, mengamalkan sunnah hijab, dan menjaga kehormatan diri, hal ini tidaklah termasuk berpakaian syuhrah.
Sebaliknya, seorang laki-laki atau wanita yang memakai pakaian masa kini, model terkini, yang sedang tren di masyarakat luas saat ini, dengan harga mahal, supaya disanjung dan dipuji, karena mirip atau bergaya hidup layaknya selebritas, seperti artis pujaan hatinya, dia termasuk dalam ancaman hadits ini. Apalagi jika pakaian tersebut mengumbar aurat dan tasyabuh dengan pakaian orang kafir, dosa dan ancamannya lebih berat lagi.
Demikian pula halnya seseorang yang berpakaian lusuh, compangcamping, penuh tambalan, tampak seperti gelandangan di jalanan supaya tampak kezuhudannya, diakui kesufiannya, dianggap tinggi tingkat kewaliannya, atau sekadar mencari perhatian orang lain, dia pun masuk dalam ancaman hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia di atas. Contoh lain, seseorang memakai pantalon serasi dengan hem dan jas, berpadu indah dengan dasi dan ikat pinggangnya, begitu tampan dan gagah dengan gaya sisir rambutnya, supaya orang lain melihat kemewahannya, tampak berhasil usahanya, banyak kekayaannya, atau modern gaya penampilannya, dia pun masuk di dalam ancaman hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia walaupun hampir seluruh masyarakat berpenampilan serupa. Sekali lagi, yang dianggap adalah niat dan tujuannya, bukan mewah atau murah pakaiannya, beda atau sama dengan masyarakatnya. Wallahul muwaffiq.
Ditulis oleh Al-Ustadz Muhammad Afifuddin