Setelah membahas letak penting takdir dan syariat yang harus diimani oleh setiap hamba, kali ini kita akan membahas pemahaman atau pendirian orang terhadap takdir dan syariat. Jika dikelompokkan, umat manusia dalam menyikapi takdir dan syariat akan terbagi menjadi dua.
- Hamba yang memperoleh petunjuk dan kebahagiaan.
Mereka adalah orang-orang yang beriman kepada takdir dan qadha dari Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka juga beriman kepada syariat-Nya sehingga melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan. Mereka juga beriman kepada balasan yang dipersiapkan, pahala atau hukuman. Mereka tidak beralasan dengan takdir untuk meninggalkan syariat. Mereka juga tidak beralasan dengan syariat untuk mengingkari takdir. Mereka tidak mempertentangkan atau membenturkan antara takdir dan syariat dari Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka adalah para pengusung kebenaran yang mewujudkan tingkatan:
“Hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.” (al-Fatihah: 5)
Mereka beriman kepada konsekuensi firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah, Rabb semesta alam.” (al-A’raf: 54)
- Hamba yang tersesat dan celaka, menyelisihi kebenaran.
Mereka terbagi dalam tiga tingkatan.
- Al-Majusiyah
Tingkatan ini alur pemikiran agama Majusi dalam memahami takdir.Mereka adalah kelompok qadariyah: beriman kepada syariat, namun mendustakan takdir. Di antara mereka ada yang berlebihan dalam mengingkari kesempurnaan ilmu Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka menyatakan, “Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala tidak menakdirkan perbuatan hamba. Allah subhanahu wa ta’ala tidak mengetahui perbuatan hamba sebelum terjadinya.”
Tingkatan di bawah mereka berpendapat, “Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui perbuatan hamba sebelum terjadinya.” Namun, mereka mengingkari perbuatan tersebut terjadi karena takdir Allah subhanahu wa ta’ala atau diciptakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka adalah kaum mu’tazilah dan yang sepemikiran.
Pendapat kelompok ini terbantah pada pembahasan “Maratibul Qadar”.
2. Al-Musyrikiyah
Dalam hal memahami takdir, tingkatan ini mengikuti alur pemikiran kaum musyrikin. Mereka adalah orang-orang yang mengakui keberadaan takdir Allah subhanahu wa ta’ala, namun menetapkannya sebagai alasan untuk meninggalkan syariat.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang mereka:
Orang-orang yang memper-sekutukan Allah, akan mengatakan, “Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya, tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apa pun.” Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah, “Apakah kalian memiliki ilmu sehingga kalian bisa menyampaikannya kepada kami? Kalian tidak mengikuti selain persangkaan belaka, dan kalian tidak lain hanya berdusta.” (al-An’am: 148)
3. Al-Iblisiyah
Kelompok ini mengikuti alur pemikiran Mereka adalah orang-orang yang mengakui keberadaan takdir dan syariat, namun membenturkan dan mempertentangkan keduanya.
Mereka mencela dan menyalahkan hikmah-Nya. Mereka menyatakan, “Bagaimana mungkin Allah subhanahu wa ta’ala sebagai Dzat yang memberi perintah dan larangan untuk hamba-Nya, lantas menetapkan takdir untuk mereka, lalu ada yang menentang perintah dan larangan itu? Bukankah hal ini kontradiktif? Bukankah hal ini ketetapan yang bertentangan dengan hikmah-Nya?”
Mereka adalah para pengikut Iblis. Iblis beralasan di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala, sebagai sikap penentangan, saat ia diperintahkan untuk bersujud kepada Nabi Adam q dengan mengatakan:
Allah berfirman, “Apakah yang menghalangimu bersujud (kepada Adam) ketika Aku menyuruhmu?” Iblis menjawab, “Aku lebih baik daripadanya. Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.” (al-A’raf: 12)
Pendapat kelompok ini terbantah pada pembahasan “Maksiat dengan Alasan Takdir.” (Taqrib at-Tadmuriyah, Ibnu ‘Utsaimin, hlm. 115—116)
Ditulis oleh al-Ustadz Mukhtar Ibnu Rifai