Kami melihat beberapa orang yang berpegang dengan agama tidak memerhatikan kebersihan dan kerapian penampilan mereka. Jika ditanya tentang hal tersebut, mereka menjawab dengan hadits,
إِنَّ الْبَذَاذَةَ مِنَ الْإِيمَانِ
“Sesungguhnya bersahajanya penampilan itu termasuk keimanan.”[1]
Kami berharap penjelasan Fadhilatusy Syaikh, sejauh mana kebenaran pendalilan mereka tersebut. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membalas Anda dengan kebaikan.
Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjawab:
Sepantasnya pakaian dan penampilan seorang (muslim) terlihat indah sesuai dengan kemampuannya. Sebab, tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan hadits kepada para sahabat tentang sifat sombong, para sahabat berkata,
يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبَّ أَنْ يَكُوْنَ نَعْلُهُ حَسَنًا وَثَوْبُهُ حَسَنًا
“Wahai Rasulullah, sungguh ada orang yang senang memakai sandal yang bagus dan pakaian yang bagus (apakah hal tesebut termasuk sifat sombong?).”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda menafikan sifat senang berpenampilan indah sebagai pertanda kesombongan,
إِنَّ اللهَ جَمِيْلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ
“Sungguh, Allah itu Mahaindah dan mencintai keindahan[2].”
Maksudnya, Allah subhanahu wa ta’ala menyukai tajammul (berhias/berpenampilan indah). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari kesenangan mereka mengenakan pakaian dan sandal yang bagus.
Berdasarkan hal ini, kami katakan bahwa yang dimaksud dengan hadits adalah agar seseorang tidak memberat-beratkan diri dalam segala sesuatu. Semuanya apa adanya.
Jadi, jika hadits ini dikompromikan dengan hadits tentang tajammul, maknanya adalah tajammul termasuk hal yang dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala, tetapi dengan syarat tajammul tersebut tidak dilakukan dengan berlebih-lebihan atau melampaui tingkatan yang tidak sepantasnya dilakukan oleh seorang lelaki.”
(Fatawa Ulama al-Balad al-Haram, hlm. 1730—1731)
Pakaian Wanita di Hadapan Wanita dan Mahram
Bagaimana batasan pakaian yang dikenakan oleh wanita di hadapan sesama wanita dan di hadapan lelaki mahramnya (selain suami)?
Jawab:
Al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta’ dalam keterangan (No. 21032, tanggal 21/1/1421 H) menyatakan,
“Wanita-wanita orang beriman di awal Islam benar-benar mencapai puncak kesucian, iffah (menjaga kehormatan diri), dan rasa malu dengan berkah iman kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta mengikuti al-Qur’an dan as-Sunnah.
Para wanita pada zaman tersebut biasa mengenakan pakaian yang menutupi tubuh mereka. Tidak dikenal di kalangan mereka kebiasaan membuka bagian-bagian tubuh saat berkumpul sesama mereka atau di hadapan lelaki mahram mereka.
Di atas kebiasaan yang lurus inilah perilaku para wanita umat ini, alhamdulillah, dari generasi ke generasi. Sampai akhirnya pada masa yang tidak terlalu jauh (dari sekarang), masuklah kerusakan pada kebanyakan kaum wanita dalam hal pakaian dan akhlak[3] karena banyak faktor. Namun, bukan di sini tempat menjelaskannya.
Mempertimbangkan banyaknya permintaan fatwa yang tertuju kepada al-Lajnah tentang sejauh mana batasan bolehnya seorang wanita memandang wanita lain dan pakaian seperti apa yang harus dikenakan wanita (di hadapan sesama wanita atau di hadapan mahramnya), Lajnah menerangkan bahwa kaum wanita wajib terikat dengan akhlak malu. Sebuah akhlak yang dijadikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bagian keimanan dan salah satu cabangnya.
Termasuk malu yang diperintahkan secara syariat dan menjadi adat kebiasaan (‘urf) adalah wanita harus berpakaian tertutup (tasattur, tidak ‘buka-bukaan’). Wanita harus memiliki rasa malu yang besar. Selain itu, dia pun harus berperangai dengan akhlak yang dapat menjauhkan dirinya dari tempat-tempat buruk dan keraguan (yang membuat orang menyangsikan kesucian dirinya dan meragukan dirinya sebagai perempuan baik-baik).
Al-Qur’an menyebutkan bahwa seorang wanita tidak boleh menampakkan tubuhnya kecuali yang biasa ditampakkan di hadapan mahram-mahramnya dengan batasan yang biasa tampak.
Maksudnya, yang dianggap biasa terbuka di dalam rumah dan saat si wanita bekerja dalam rumahnya. Hal ini sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala (tentang pihak-pihak yang diperkenankan melihat perhiasan wanita yang biasa tampak dalam kesehariannya),
وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوۡ ءَابَآئِهِنَّ أَوۡ ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآئِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوۡ إِخۡوَٰنِهِنَّ أَوۡ بَنِيٓ إِخۡوَٰنِهِنَّ أَوۡ بَنِيٓ أَخَوَٰتِهِنَّ أَوۡ نِسَآئِهِنَّ
“Dan janganlah mereka (para muslimah) menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami-suami mereka, atau ayah-ayah mereka, atau ayah mertua mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka atau putra-putra dari saudara laki-laki mereka (keponakan), atau putra-putra dari saudari perempuan mereka, atau perempuan-perempuan mereka….” (an-Nur: 31)
Ayat di atas adalah nash al-Qur’an. Demikian pula yang berlangsung dari amalan istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, istri-istri para sahabat radhiallahu ‘anhum, dan para wanita yang mengikuti mereka dengan kebaikan hingga masa kita ini.
Bagian tubuh yang biasa tampak dari wanita di hadapan sesamanya dan di hadapan lelaki kalangan mahramnya—sebagaimana yang tersebut dalam ayat yang mulia di atas—adalah bagian yang secara umum biasa terlihat dari si wanita saat berada dalam rumahnya dan saat dia beraktivitas (di dalam rumah) yang akan memberatkan si wanita untuk menutupnya[4]. Misalnya, kepala yang terbuka (tidak memakai kerudung), dua tangan, leher, dan dua telapak kaki.
Adapun dalam menampakkan bagian tubuh (melebihi apa yang telah disebutkan), tidak ada dalil yang menunjukkan kebolehannya dalam al-Qur’an ataupun as-Sunnah. Di samping itu, hal tersebut menjadi jalan munculnya fitnah (keburukan dan musibah) terhadap wanita dan tergodanya sebagian wanita dengan sebagian yang lain sebagaimana yang terjadi di antara mereka[5].
Selain itu, perbuatan tersebut menjadi contoh yang buruk bagi wanita lain (mereka akan meniru, ikut-ikutan membuka bagian tubuhnya yang semestinya tertutup di hadapan sesama atau di hadapan mahramnya[6]).
Ditambah lagi, ada unsur tasyabbuh dengan wanita-wanita kafir dan wanita-wanita “nakal” dalam hal (cara) berpakaian. Sementara itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Siapa yang menyerupai suatu kaum, dia termasuk golongan mereka.” (HR. al-Imam Ahmad dan Abu Dawud)[7]
Disebutkan dalam Shahih Muslim dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya memakai dua pakaian yang dicelup dengan ushfur. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda,
إِنَّ هَذِهِ مِنْ ثِيَابِ الْكُفَّارِ فَلاَ تَلْبَسْهَا
“Pakaian ini termasuk pakaian orang-orang kafir maka jangan kamu pakai.”[8]
Dalam Shahih Muslim juga, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا: قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ يَضْرِبُوْنَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيْلاَتٌ مَائِلاَتٌ، رُؤُوْسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلةِ، لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيْحَهَا وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ كَذا وَكَذا
“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang aku belum melihat mereka. (1) Suatu kaum yang bersama mereka ada cemeti seperti ekor-ekor sapi yang dengannya mereka memukul manusia, dan (2) wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang, yang berjalan berlenggak-lenggok. Kepala-kepala mereka miring seperti punuk unta yang miring. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium wangi surga, padahal wanginya dapat tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian.”[9]
Makna كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ adalah wanita yang mengenakan pakaian namun tidak menutupi tubuhnya. Jadi, dia berpakaian, namun hakikatnya telanjang. Misalnya, wanita mengenakan pakaian yang tipis/transparan hingga membayang tubuh di baliknya, mengenakan pakaian ketat yang membentuk lekuk-lekuk tubuhnya, atau pakaian pendek yang tidak menutupi sebagian tubuhnya.
Wanita kaum muslimin semestinya meneladani contoh yang ditunjukkan oleh ummahatul mukminin, para wanita kalangan sahabat—semoga Allah meridhai mereka—dan para wanita umat ini yang mengikuti mereka dengan kebaikan.
Selain itu, hendaknya para muslimah tidak ‘enggan-engganan’ untuk menutup tubuhnya dan selalu berpegang dengan rasa malu. Hal ini tentu lebih menjauhkannya dari sebab-sebab godaan dan menjauhkannya dari hal-hal yang dapat membangkitkan hawa nafsu dan menjatuhkan pelakunya ke dalam perbuatan keji.
Wanita kaum muslimin juga wajib berhati-hati, menjaga diri agar tidak jatuh ke dalam hal yang Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya haramkan, yaitu berupa berpakaian dengan busana yang menyerupai wanita kafir dan wanita pelacur. Semuanya dilaksanakan dalam rangka menaati Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, mengharapkan pahala Allah subhanahu wa ta’ala dan takut akan siksa-Nya.
Setiap muslim juga wajib bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam hal mengurusi para wanita yang berada di bawah perwaliannya. Jangan biarkan mereka mengenakan pakaian yang diharamkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, yakni pakaian yang mengumbar aurat dan menyebabkan godaan. Hendaklah seorang muslim mengetahui bahwa dia adalah pemimpin (bagi keluarganya) dan akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang dipimpinnya pada hari kiamat.
Kita mohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar Dia memperbaiki keadaan kaum muslimin dan memberi petunjuk kepada kita semua kepada jalan yang lurus.
Sungguh, Allah Maha Mendengar lagi Mahadekat. Shalawat dan salam semoga selalu terlimpah untuk Nabi kita Muhammad, keluarga beliau, dan sahabat-sahabat beliau.
(Dinukil dalam Fatawa Ulama al-Balad al-Haram, hlm. 1178—1181)
[1] Catatan kaki dari penerjemah:
إِنَّ الْبَذَاذَةَ مِنَ الْإِيمَانِ
- Abu Dawud, kitab at-Tarajjul, hadits no. 4161, dari sahabat Abu Umamah al-Haritsi radhiallahu ‘anhu.
[2] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian menerangkan bahwa sombong adalah,
بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Menolak kebenaran dan merendahkan manusia.” (HR. Muslim dalam Shahihnya, “Kitab al-Iman” no. 91)
[3] Mulailah terjadi pergeseran dari kebiasaan yang lurus; wanita mulai berpakaian terbuka.
[4] Apabila bagian tubuh tersebut harus ditutup saat berada di dalam rumah dan saat beraktivitas melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, niscaya akan menyulitkan dan memberatkan si wanita. Sementara itu, tidak ada seorang pun lelaki ajnabi di rumah tersebut yang akan melihat auratnya.
[5] Walaupun sama-sama wanita, bisa jadi ada yang tergoda dan tergerak syahwatnya ketika melihat aurat wanita lain terbuka di hadapannya.
[6] Kecuali di hadapan suami karena tidak ada batasan aurat antara suami dan istri.
[7] HR. Abu Dawud no. 4031 dan Ahmad no. 5093, 5094, 5634.
[8] HR. Muslim dalam “Kitab al-Libas” no. 2077
[9] HR. Muslim dalam “Kitab al-Libas” no. 2127