(ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi)
Dalam sistem waris Islam, ada beberapa perkara yang sangat menentukan bagi terealisasinya proses waris-mewarisi. Ia meliputi rukun waris, syarat waris, sebab waris dan penghalang waris.
Tiga perkara pertama (rukun waris, syarat waris, dan sebab waris) keberadaannya diharuskan, sedangkan perkara keempat (penghalang waris) keberadaannya tidak diperbolehkan. Mengingat betapa pentingnya memahami rincian empat perkara tersebut, maka ikutilah penjelasan berikut ini.
Rukun Waris
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan berkata: “Proses waris-mewarisi mempunyai tiga rukun yang tidak akan terealisasi suatu proses waris-mewarisi kecuali dengan keberadaannya.” (At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 28)
Tiga rukun waris tersebut adalah:
1. Muwarrits: si mayit yang meninggalkan harta waris/pemilik harta waris.
2. Warits: ahli waris/pewaris yang berhak mendapatkan harta waris.
3. Mauruts/tarikah: harta waris yang ditinggalkan oleh si mayit. (Lihat Tashilul Faraidh, hal. 18)
Kalau tidak ada muwarrits (si mayit yang meninggalkan harta waris) maka tidak akan ada harta waris, demikian pula orang yang mewarisinya. Jika tidak ada ahli waris, maka harta waris yang ditinggalkan si mayit pun tidak ada yang mewarisinya (dari ahli waris yang sesungguhnya). Demikian pula ketika tidak ada harta waris, tidaklah mungkin bisa terjadi proses waris-mewarisi. Dari sini jelaslah bahwa keberadaan tiga rukun waris tersebut mutlak ada demi terealisasinya proses waris-mewarisi.
Syarat Waris
Syarat waris merupakan salah satu penentu bagi terealisasinya proses waris-mewarisi. Karena betapapun telah terpenuhi rukun waris sementara syarat warisnya belum terpenuhi, maka proses waris-mewarisi pun tidak bisa dilakukan. Apa sajakah syarat waris itu?
Syarat waris dalam hukum waris Islam ada tiga:
1. Kejelasan tentang meninggalnya si pemilik harta waris (muwarrits), baik meninggalnya bisa dipastikan maupun sebatas didasari dugaan yang kuat (hukmi). Bisa dipastikan, maksudnya bahwa proses kematian si pemilik harta waris tersebut benar-benar bisa dipastikan, baik dengan melihatnya secara langsung, dengan kemasyhuran akan kematiannya, atau dengan persaksian dua orang lelaki yang adil (bisa dipertanggungjawabkan). Sedangkan yang dimaksud dengan didasari dugaan yang kuat adalah bahwa vonis kematian yang dijatuhkan kepada pemilik harta waris tersebut atas dasar dugaan yang kuat. Seperti seseorang yang diduga kuat telah mati, karena sejak lama menghilang dan tak didapati lagi tanda-tanda kehidupannya.
2. Kejelasan tentang hidupnya ahli waris setelah meninggalnya si pemilik harta waris/muwarrits walau sesaat, baik secara pasti maupun didasari oleh dugaan kuat (hukmi). Maksud secara pasti adalah bahwa ahli waris tersebut dipastikan masih hidup saat meninggalnya pemilik harta waris. Kepastian ini bisa dibuktikan dengan melihatnya secara langsung, dengan kemasyhuran bahwa dia masih hidup, atau dengan persaksian dua orang lelaki yang adil (bisa dipertanggungjawabkan). Sedangkan yang dimaksud dengan didasari oleh dugaan yang kuat adalah bahwa vonis tentang hidupnya ahli waris tersebut didasari atas dugaan yang kuat. Seperti seorang anak yang masih berada di perut ibunya saat meninggalnya pemilik harta waris (muwarrits-nya) walaupun belum ditiupkan ruh kepadanya. Maka dia digolongkan ke dalam jajaran ahli waris dan bisa mendapatkan harta waris, dengan syarat dilahirkan dalam kondisi hidup.
3. Mengetahui segala hal yang terkait dengan sebab terjadinya proses waris-mewarisi tersebut dan mengetahui keterkaitan masing-masing ahli waris dengan pemilik harta waris (muwarrits)-nya. (Lihat Tashilul Faraidh, hal. 18-19)
Sebab Waris
Waris-mewarisi dalam hukum waris Islam tidaklah terjadi begitu saja. Akan tetapi amat terkait dengan sebab waris yang dengannya bisa terjadi proses waris-mewarisi. Sebab waris tersebut ada tiga:
1. Perkawinan yang dibangun di atas akad nikah yang sah. Manakala telah terlaksana suatu perkawinan yang sah, maka suami istri tersebut mempunyai hak untuk saling mewarisi walaupun belum terjadi khalwat (berduaan) maupun jima’ (hubungan sebadan) di antara mereka. Lebih-lebih lagi bila telah terjadi khalwat ataupun jima’ antara keduanya. Dalilnya adalah keumuman firman Allah l:
“Dan bagi kalian (para suami) setengah (1/2) dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kalian, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istri kalian itu mempunyai anak, maka kalian mendapat seperempat (1/4) dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat (1/4) harta yang kalian tinggalkan jika kalian tidak mempunyai anak. Jika kalian mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan (1/8) dari harta yang kalian tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kalian buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utang kalian.” (An-Nisa’: 12)
Sebab pertama ini akan terus berlaku hingga terjadinya talak bain (cerai yang ketiga kalinya, atau cerai yang pertama/kedua dan telah habis masa ‘iddah/tenggangnya) atau fasakh (pembatalan nikah). Dengan terjadinya talak bain atau fasakh, maka sejak saat itu pula mereka tidak bisa saling mewarisi lagi. Kecuali jika talak bain tersebut dijatuhkan oleh suami menjelang kematiannya yang (diduga kuat) bertujuan untuk menghalangi istri tersebut dari hak warisnya, maka dalam kondisi semacam ini si istri tetap mendapatkan jatah warisnya menurut pendapat yang rajih. Adapun talak raj’i (cerai yang pertama/kedua) dan masih dalam masa ‘iddah/tenggang, maka masih memungkinkan bagi mereka untuk saling mewarisi jika saat itu salah satunya ada yang meninggal dunia, karena statusnya masih terhitung sebagai suami-istri. (Lihat Tashilul Faraidh, hal. 20 dan 22, dan At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 32-35)
2. Ikatan nasab, yaitu hubungan kekerabatan antara dua orang baik secara dekat maupun jauh. Hubungan kekerabatan ini meliputi ushul (bapak, ibu, kakek, dan nenek si mayit), furu’ (anak, cucu dari anak lelaki si mayit, dan terus ke bawahnya), dan hawasyi (saudara-saudara si mayit dan anak-anak lelakinya, paman-paman si mayit dan ke atasnya, anak-anak lelaki paman dan terus ke bawahnya). Dalilnya adalah firman Allah l:
“Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat di dalam Kitab Allah). Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Al-Anfal: 75) [Lihat At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 37 dan Tashilul Faraidh, hal. 21]
3. Ikatan wala’, yaitu pembebasan seseorang terhadap budak tertentu, baik karena berderma semata atau karena suatu kewajiban; seperti nadzar, zakat, dan kafarah. Gambaran kasusnya adalah bila seorang mantan budak meninggal dunia dan tidak ada yang mewarisi dari kalangan ahli warisnya, maka seseorang yang dahulu membebaskannya dari perbudakan itulah yang mewarisi hartanya. Menurut jumhur (mayoritas) ulama, proses waris-mewarisi antara mantan budak dan yang membebaskannya itu hanya satu arah saja, yakni yang bisa mewarisi hanyalah pihak yang membebaskan saja, dan tidak sebaliknya. Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t dan para ulama yang bersama beliau berpandangan bahwa proses waris-mewarisi bisa terjadi dari dua arah, yakni antara mantan budak dan yang membebaskannya tersebut bisa saling mewarisi. Mereka bisa saling mewarisi manakala tidak didapati ahli waris (asli) yang mewarisi dari masing-masingnya. (Lihat At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 37 dan Tashilul Faraidh, hal. 21)
Demikianlah tiga sebab yang dengannya bisa terjadi proses waris-mewarisi menurut kesepakatan jumhur (mayoritas) ulama.
Penghalang Waris
Penghalang waris adalah sesuatu yang dapat menghalangi ahli waris untuk mendapatkan hak warisnya (baik secara keseluruhan ataupun sebagian besarnya, pen.), meskipun telah terpenuhi padanya sebab-sebab waris. (Lihat Al-Khulashah Fi Ilmil Faraidh, hal. 45)
Penghalang waris, secara garis besar terbagi menjadi dua:
Pertama: Penghalang dalam bentuk sifat/kriteria tertentu yang dapat menghalangi ahli waris dari jatah warisnya secara keseluruhan. Penghalang jenis ini bisa menimpa seluruh ahli waris tanpa terkecuali,1 yang dalam ilmu al-faraidh dikenal dengan istilah mawani’ul irtsi (penghalang-penghalang waris). Adapun rinciannya ada tiga:
1) Perbudakan: Seorang yang berstatus budak tidaklah bisa mewarisi, karena dia dan hartanya menjadi milik tuannya. Tidak adanya hak milik bagi seseorang, merupakan penghalang syar’i baginya untuk mendapatkan harta waris. Jika si budak tersebut mendapatkan harta waris, maka harta waris itu akan menjadi milik tuannya, padahal si tuan tersebut bukan bagian dari ahli waris si mayit. Atas dasar itulah, jika seorang mayit muslim meninggalkan seorang anak muslim yang berstatus budak dan seorang cucu muslim dari kalangan merdeka, maka yang mewarisi hartanya adalah sang cucu walaupun ada bapaknya. Mengapa? Karena si bapak statusnya masih budak dan budak tidak bisa mewarisi, sedangkan sang cucu dari kalangan merdeka. (Lihat At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 46 dan Tashilul Faraidh, hal. 28)
2) Pembunuhan yang dilakukan terhadap pemilik harta waris (muwarrits): Jika seorang ahli waris membunuh muwarrits-nya, maka si pembunuh tersebut tidak berhak mendapatkan harta waris darinya. Gambaran kasusnya adalah seorang anak (ahli waris) membunuh bapaknya (pemilik harta waris), maka si anak tersebut tidak berhak mendapatkan harta waris yang ditinggalkan bapaknya. Di antara hikmah dari ketentuan di atas adalah mencegah bermudahannya ahli waris dari perbuatan keji tersebut hanya karena untuk mendapatkan harta waris.
Lalu, apakah setiap jenis pembunuhan dapat menghalangi seseorang dari jatah warisnya? Para ulama berbeda pendapat dalam permasalahan ini. Namun menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t dan Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah bahwa pembunuhan yang menyebabkan terhalangnya seseorang dari jatah warisnya adalah pembunuhan yang bersifat bighairil haq (tidak dibenarkan secara syar’i),2 yaitu pembunuhan yang mengakibatkan qishash, membayar diyat (tebusan), atau membayar kafarah. Seperti pembunuhan dengan sengaja (qatlul ‘amd), pembunuhan semi sengaja (syibhul ‘amd),3 dan pembunuhan karena kekeliruan (khatha’an).4 (Lihat At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 50-52 dan Tashilul Faraidh, hal. 29)
3) Perbedaan agama antara pemilik harta waris (muwarrits) dengan ahli warisnya. Gambaran kasusnya: si mayit yang meninggalkan harta waris adalah seorang muslim, sedangkan ahli warisnya non muslim (kafir). Atau sebaliknya, si mayit yang meninggalkan harta waris adalah seorang non muslim (kafir), sedangkan ahli warisnya seorang muslim. Menurut jumhur (mayoritas) ulama, masing-masingnya tidak bisa saling mewarisi. Karena secara tinjauan syar’i, hubungan di antara mereka telah terputus. Dalilnya adalah firman Allah l kepada Nabi Nuh q:
“Allah berfirman: ‘Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan) dia adalah perbuatan yang tidak baik’.” (Hud: 46)
Demikian pula sabda Rasulullah n:
لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلَا الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ
“Tidaklah seorang muslim mewarisi seorang non muslim (kafir) dan tidak pula seorang non muslim (kafir) mewarisi seorang muslim.” (HR. Al-Bukhari no. 6383 dan Muslim no. 1614, dari hadits Usamah bin Zaid c) [Lihat At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 53 dan Tashilul Faraidh, hal. 31]
Kedua: Penghalang dalam bentuk ahli waris yang berposisi lebih kuat. Artinya keberadaan ahli waris yang secara posisi lebih kuat itu bisa menyebabkan terhalangnya ahli waris tertentu untuk mendapatkan hak warisnya, baik secara keseluruhan ataupun sebagian besarnya. Proses penghalangan ini dalam ilmu al-faraidh dikenal dengan istilah hajb. Seorang yang terhalang dari harta warisnya disebut mahjub, sedangkan penghalangnya disebut hajib. Penghalang jenis ini terbagi menjadi dua:
a. Hajb Hirman (menghalangi secara keseluruhan). Jika penghalangnya dari jenis pertama ini, maka dapat menghalangi seorang ahli waris dari jatah warisnya secara keseluruhan. Penghalang jenis ini bisa menimpa semua ahli waris kecuali enam orang; bapak, ibu, anak lelaki, anak perempuan, suami, dan istri.
b. Hajb Nuqshan (menghalangi dari jatah waris yang terbesar). Jika ada penghalang dari jenis kedua ini, maka dapat menghalangi seorang ahli waris dari jatah warisnya terbesar, sehingga ia bergeser dari jatahnya yang besar kepada jatahnya yang lebih sedikit. Penghalang jenis ini terbagi menjadi tujuh macam:
1) Menghalangi ahli waris tertentu dari jatah waris tertentu (fardh) dengan menggesernya kepada jatah waris tertentu (fardh) yang lebih sedikit. Misalnya, bergesernya suami dari jatah waris ½ kepada ¼. Demikian pula bergesernya satu orang istri atau lebih dari jatah waris ¼ kepada 1/8.
2) Menghalangi ahli waris tertentu dengan menggesernya dari suatu ta’shib kepada ta’shib yang lebih sedikit. Misalnya, saudara perempuan sekandung dan saudara perempuan sebapak yang bergeser dari ‘ashabah ma’al ghair kepada ‘ashabah bil ghair.
3) Menghalangi ahli waris tertentu dengan menggesernya dari jatah waris tertentu (fardh) kepada ta’shib yang lebih sedikit. Misalnya, bergesernya jatah waris ½ dari para pemiliknya kepada ‘ashabah bil ghair.
4) Menghalangi ahli waris tertentu dengan menggesernya dari ta’shib kepada jatah waris tertentu (fardh) yang lebih sedikit. Misalnya, bergesernya bapak dan kakek dari ta’shib kepada jatah waris tertentu (fardh).
5) Saling berserikat dalam jatah waris tertentu (fardh). Misalnya, berserikatnya para istri pada jatah waris ¼ dan 1/8, berserikatnya para pemilik jatah waris 1/3 dan juga para pemilik jatah waris 2/3 pada jatah tersebut.
6) Saling berserikat dalam ta’shib tertentu, seperti berserikatnya ‘ashabah pada suatu harta secara utuh atau pada apa yang tersisa dari ashhabul furudh.
7) Saling berserikat dalam masalah ‘aul5, di mana masing-masingnya mendapatkan jatah yang lebih (di atas kertas) namun dalam praktik nyatanya tidak demikian. (Lihat Al-Fawaidul Jaliyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 26-27 program Al-Maktabah Asy-Syamilah II)
Empat Hak yang Harus Didahulukan Sebelum Pembagian Harta Waris
Jika suatu permasalahan waris telah terpenuhi padanya rukun waris, syarat waris, sebab waris, dan tidak didapati penghalang waris, maka langkah selanjutnya adalah membagikan harta waris tersebut kepada ahli warisnya sesuai dengan apa yang dibimbingkan Allah l dan Rasul-Nya n.6
Namun perlu diketahui, ada empat perkara terkait dengan harta waris yang amat menentukan proses pembagian harta waris. Di mana proses pembagian harta waris tidak akan bisa dilakukan hingga benar-benar diselesaikan terlebih dahulu empat perkara tersebut. Empat perkara itu adalah:
1. Biaya pemakaman si mayit dan segala sesuatu yang berkaitan dengan pengurusan jenazahnya.
2. Utang dalam bentuk barang (berkaitan langsung dengan barang yang diwariskan). Seperti sepeda motor utang (kredit) milik si mayit, dll.
3. Utang secara mutlak yang tidak berkaitan dengan barang, baik utang tersebut berkaitan dengan hak Allah l seperti zakat, kaffarah, dan lain-lain, maupun yang berkaitan dengan hak manusia seperti pinjam uang, transaksi tertentu yang belum dilunasi, dan lain-lain.
4. Pelaksanaan wasiat yang ditujukan kepada selain ahli waris dengan nominal yang tidak lebih dari 1/3 harta waris. Namun jika semua ahli waris sepakat/ridha terhadap wasiat yang ditujukan kepada salah satu dari ahli waris atau jumlah nominalnya melebihi 1/3 dari harta yang diwaris, maka wasiat tersebut sah dan bisa dilaksanakan. (Untuk lebih rincinya, lihat Tashilul Faraidh, hal. 11-17)
Demikianlah empat perkara yang harus didahulukan sebelum pembagian harta waris. Jika empat perkara tersebut telah diselesaikan dengan baik, maka tibalah saatnya pembagian harta waris sesuai dengan yang dibimbingkan Allah l dan Rasul-Nya n.
1Lihat Al-Fawa’idul Jaliyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 26, program Al-Maktabah Asy-Syamilah II.
2 Dikecualikan darinya pembunuhan bil haq (dengan cara yang dibenarkan secara syar’i), misalnya seorang eksekutor yang ditugasi waliyul amr (pemerintah) untuk mengeksekusi seorang pembunuh sebagai bentuk qishash (balasan bunuh) baginya, seseorang yang membela diri hingga mengakibatkan terbunuhnya si pelaku aniaya tersebut, dll.
3 Contohnya seseorang memukul orang lain dengan menggunakan sandal, kemudian mati. Disebut semi sengaja karena di satu sisi sengaja memukul orang tersebut, namun di sisi lain tidak berniat untuk membunuhnya.
4 Contohnya seseorang membidikkan tembakan ke arah rusa, namun ternyata tembakan tersebut justru mengenai orang yang kebetulan sedang melintas di jalan tidak jauh dari rusa tersebut, hingga mati. Disebut keliru karena tidak ada niatan untuk membunuhnya dan tidak ada upaya sama sekali untuk melakukan sesuatu terhadap orang tersebut.
5 Masalah ‘aul adalah masalah berlebihnya jumlah jatah/saham ahli waris di atas jumlah ashlul mas’alah (pokok masalah), saat proses penghitungan.
6 Pembagian harta waris ini tentunya dengan melalui proses penghitungan tertentu, sebagaimana yang dirinci dalam ilmu al-faraidh.