Qishash, Keadilan di Akhirat

Qishash, Keadilan di Akhirat

Adil adalah salah satu sifat Allah subhanahu wa ta’ala yang mulia dan sempurna. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala mengharamkan kezaliman atas diri-Nya dan di antara hamba-hamba-Nya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman di dalam hadits qudsi,

يَا عِبَادِي، إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلَا تَظَالَمُوا

“Wahai para hamba-Ku, Aku mengharamkan kezaliman bagi diri-Ku dan Aku menjadikannya haram di antara kalian. Maka dari itu, janganlah kalian saling menzalimi.” (HR. Muslim dari Abu Dzar radhiallahu anhu)

Bahkan, kezaliman adalah salah satu sebab yang akan mendatangkan kesulitan bagi pelakunya nanti di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala, apabila belum terselesaikan di dunia. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Hindarilah perbuatan zalim karena kezaliman itu akan mendatangkan kegelapan (kesulitan) pada hari kiamat nanti.” (HR. Muslim dari Jabir radhiallahu anhuma)

Di antara kegelapan (kesulitan) yang akan menimpa pelaku kezaliman pada hari kiamat adalah diberlakukannya qishash (pembalasan yang sepadan). Para pelaku kezaliman yang bisa selamat di dunia, tidak akan selamat di akhirat kelak.

Baca juga:

Mengharap Syafaat pada Hari Kiamat

Sebagian ulama Ahlus Sunnah membagi qishash yang akan terjadi di akhirat nanti—berdasarkan dalil-dalil dari Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang sahih—menjadi dua macam:

  1. Qishash yang Umum

Qishash secara umum terjadi di antara orang-orang zalim, baik orang-orang yang beriman maupun orang-orang kafir.

Hal ini terjadi sebelum shirath. Ada pula yang berpendapat pada waktu hisab.

Baca juga:

Hisab, Pasti Terjadi

Adapun dalil yang menunjukkan terjadinya qishash secara umum adalah sebagai berikut.

  • Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

أَوَّلُ مَا يُقْضَى فِيهِ بَيْنَ النَّاسِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي الدِّمَاءِ

“Perkara pertama yang akan diputuskan di antara umat manusia pada hari kiamat adalah masalah darah.” (Muttafaqun alaih)

  • Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهَا، فَإِنَّهُ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُؤْخَذَ لِأَخِيهِ مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ أَخِيهِ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ

“Barang siapa telah melakukan kezaliman terhadap saudaranya (muslim), hendaklah dia meminta kehalalan dari saudaranya (dimaafkan), karena di sana (akhirat) tidak ada lagi dinar atau dirham. (Akan ditegakkan qishash). Pada awalnya, akan diambil kebaikan-kebaikan dari pihak yang menzalimi dan diberikan kepada saudaranya yang dizalimi. Apabila orang yang zalim itu sudah tidak memiliki kebaikan, kejelekan-kejelekan orang yang dizalimi akan diambil dan diberikan kepadanya (orang yang menzaliminya).” (Muttafaqun alaih)

Baca juga:

Memaafkan Kesalahan dan Mengubur Dendam

  • Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bertanya,

أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ؟ قَالُوا: الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ. فَقَالَ: إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا، وَقَذَفَ هَذَا، وَأَكَلَ مَالَ هَذَا، وَسَفَكَ دَمَ هَذَا، وَضَرَبَ هَذَا، فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ، فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ

“Tahukah kalian, siapakah orang yang bangkrut itu?”

Para sahabat menjawab, “Orang yang sudah tidak memiliki dirham atau dinar.”

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata, “Orang yang bangkrut dari umatku (kaum muslimin) adalah orang yang datang pada hari kiamat membawa pahala shalat, puasa, dan zakat. Akan tetapi, dia juga membawa dosa-dosa (karena) dia telah mencela orang ini, memakan harta orang ini, menumpahkan darah orang ini, dan memukul orang ini. Lantas, orang yang dizalimi ini diberi sebagian kebaikan-kebaikannya, dan yang lain juga diberi sebagian kebaikan-kebaikannya. Apabila kebaikannya sudah habis dan seluruh kewajibannya belum tertunaikan, sebagian dosa-dosa mereka (orang-orang yang dizaliminya) akan dipikulkan kepadanya, lalu dia dilempar ke dalam neraka.” (HR. Muslim)

Baca juga:

Orang yang Bangkrut

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata,

“Hadits ini tidaklah berarti seorang muslim yang zalim akan kekal di dalam neraka. Namun, dia akan diazab sesuai dengan kadar perbuatan kezalimannya terhadap orang lain yang belum tertunaikan sehingga diberikan kejelekan-kejelekan orang lain itu kepadanya. Setelah itu, dia akan masuk ke dalam surga, karena seorang muslim tidak akan kekal di dalam neraka.

Akan tetapi, (yang harus kita ingat), neraka itu apinya sangat panas. Seseorang tidak mungkin bisa sabar bertahan menghadapi panas api di dunia walaupun hanya sesaat saja, apalagi api neraka. Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala menyelamatkan kita semua darinya.” (Syarh Riyadhus Shalihin 1/532)

  1. Qishash yang Khusus

Qishash yang khusus akan terjadi setelah shirath. Qishash ini khusus bagi orang-orang beriman yang sudah selamat dari shirath dan akan masuk ke dalam surga.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

يَخْلُصُ الْمُؤْمِنُونَ مِنَ النَّارِ فَيُحْبَسُونَ عَلَى قَنْطَرَةٍ بَيْنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ فَيُقَصُّ لِبَعْضِهِمْ مِنْ بَعْضٍ مَظَالِمُ كَانَتْ بَيْنَهُمْ فِي الدُّنْيَا حَتَّى إِذَا هُذِّبُوا وَنُقُّوا أُذِنَ لَهُمْ فِي دُخُولِ الْجَنَّةِ، فَوَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَأَحَدُهُمْ أَهْدَى بِمَنْزِلِهِ فِي الْجَنَّةِ مِنْهُ بِمَنْزِلِهِ كَانَ فِي الدُّنْيَا

“Orang-orang beriman yang telah selamat dari api neraka akan tertahan di Qantharah (sebuah tempat di antara surga dan neraka). Kemudian ditegakkanlah qishash terhadap sebagian mereka akibat kezaliman yang terjadi di antara mereka di dunia. Setelah dibersihkan dan dibebaskan (dari kezaliman), barulah mereka diizinkan masuk surga. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh salah seorang di antara mereka lebih paham terhadap tempat tinggalnya di surga daripada tempat tinggalnya di dunia.” (HR. al-Bukhari)

Syubhat Mu’tazilah

Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata,

“Sebagian orang yang lalai—yaitu orang yang mengikuti hawa nafsu tanpa petunjuk dari Allah subhanahu wa ta’ala karena memuja-muja akalnya serta menghukumi Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Muhammad shallallahu alaihi wa sallam dengan akal yang lemah dan dengan pemahaman-pemahaman yang lemah pula—mengatakan, ‘Tidak mungkin terjadi pada hikmah dan keadilan-Nya bahwa Dia subhanahu wa ta’ala memberikan kejelekan orang yang melakukannya kepada orang yang tidak melakukannya, lalu diambil kejelekan itu dari pemiliknya kemudian diberikan kepada orang yang tidak melakukannya.’

Menurut anggapan mereka, ini adalah tindakan penganiayaan. Mereka menakwil firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزۡرَ أُخۡرَىٰۗ

“Seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain.” (al-Isra: 15)

Mereka berkata, ‘Bagaimana hadits-hadits ini menjadi sahih, padahal menyelisihi zahir Al-Qur’an, ditambah lagi hal tersebut mustahil menurut akal?’.”

Baca juga:

Mu’tazilah, Kelompok Sesat Pemuja Akal

Jawabannya, kata beliau rahimahullah,

“Allah subhanahu wa ta’ala tidak membangun agama ini di atas akal para hamba. Dia tidak berjanji dan tidak pula mengancam menurut sesuatu yang dianggap mungkin oleh akal mereka atau menurut pemahaman yang mampu mereka jangkau. Justru, mereka diberi janji-janji yang sesuai dengan kehendak dan keinginan-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala memerintah dan melarang sesuai dengan hikmah-Nya. Seandainya seluruh perkara yang tidak mampu dijangkau oleh akal itu tidak bisa diterima, niscaya mayoritas syariat itu mustahil, kalau diukur dengan akal para hamba’.”

Misalnya, Allah subhanahu wa ta’ala mewajibkan mandi karena keluarnya air mani. Padahal, air mani itu suci, menurut sebagian sahabat Rasulullah dan para imam agama.

Dia subhanahu wa ta’ala mewajibkan bersuci/istinja karena buang air besar—sesuatu yang tidak ada khilaf tentang najis, kotor, dan bau busuknya di antara para imam dan orang-orang yang berakal sehat.

Dia subhanahu wa ta’ala juga mewajibkan wudhu karena keluarnya angin dari dubur, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala juga mewajibkan wudhu karena keluarnya air besar yang banyak dan menjijikkan.

Lantas, dengan akal yang mana hal ini bisa sebanding? Logika mana yang mewajibkan penyamaan antara angin yang tidak ada wujudnya dengan buang air besar yang ada wujudnya, berbau busuk, dan kotor/najis?

Baca juga:

Kedudukan Akal dalam Islam

Allah subhanahu wa ta’ala mewajibkan hukum potong tangan karena mencuri seharga sepuluh dirham, atau menurut sebagian ahli fikih tiga dirham, atau kurang dari itu. Hukum potong tangan karena mencuri dengan kadar ini disamakan dengan potong tangan bagi yang mencuri berkadar seratus ribu dinar. Keduanya sama-sama diberikan hukuman potong tangan.

Misal yang lain. Seorang ibu mendapat warisan dari anaknya yang meninggal sebanyak sepertiga dari hartanya. Apabila anak yang meninggal itu memiliki saudara, ibu itu hanya mendapat seperenam. Padahal saudara-saudaranya tidak mendapatkan warisan darinya sedikit pun.

Dengan akal mana seseorang bisa menjangkau hal-hal ini?

Tidak ada yang bisa dilakukan selain berserah diri dan tunduk terhadap Pemilik syariat.

Demikian pula logika tentang qishash terhadap amalan yang baik dan buruk. Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman dalam hal ini, sedangkan firman-Nya adalah benar,

وَنَضَعُ ٱلۡمَوَٰزِينَ ٱلۡقِسۡطَ لِيَوۡمِ ٱلۡقِيَٰمَةِ فَلَا تُظۡلَمُ نَفۡسٌ شَيۡ‍ًٔاۖ وَإِن كَانَ مِثۡقَالَ حَبَّةٍ مِّنۡ خَرۡدَلٍ أَتَيۡنَا بِهَاۗ وَكَفَىٰ بِنَا حَٰسِبِينَ

“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang sedikit pun. Jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi pun, pasti Kami mendatangkan (pahala) nya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.” (al-Anbiya: 47)

Baca juga:

Penundukan Ajaran Agama di Bawah Kendali Akal

وَقَالَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ لِلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّبِعُواْ سَبِيلَنَا وَلۡنَحۡمِلۡ خَطَٰيَٰكُمۡ وَمَا هُم بِحَٰمِلِينَ مِنۡ خَطَٰيَٰهُم مِّن شَيۡءٍۖ إِنَّهُمۡ لَكَٰذِبُونَ

Orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman, “Ikutilah jalan kami, dan nanti kami akan memikul dosa-dosamu.” Mereka (sendiri) sedikit pun tidak (sanggup) memikul dosa-dosa mereka. Sesungguhnya mereka adalah benar-benar orang pendusta. (al-Ankabut: 12)

لِيَحۡمِلُوٓاْ أَوۡزَارَهُمۡ كَامِلَةً يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ وَمِنۡ أَوۡزَارِ ٱلَّذِينَ يُضِلُّونَهُم بِغَيۡرِ عِلۡمٍۗ أَلَا سَآءَ مَا يَزِرُونَ

“(Ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat, dan sebagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikit pun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, amat buruklah dosa yang mereka pikul itu.” (an-Nahl: 25)

Firman Allah subhanahu wa ta’ala di atas menjelaskan makna firman-Nya,

وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزۡرَ أُخۡرَىٰۗ

“Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain.” (al-Isra: 15)

Maknanya, kata beliau rahimahullah, “Kamu tidak akan memikul beban/dosa orang lain apabila kamu tidak berbuat zalim. Adapun apabila kamu berbuat zalim, akan dipikulkan kejelekan-kejelekan itu dan akan diambil kebaikan-kebaikan itu tanpa persetujuanmu.” (at-Tadzkirah, hlm. 310—311)

Wallahu a’lam.

Ditulis oleh Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan