Berilmu Sebelum Beramal Rukun dan syarat pernikahan berpoligami secara umum sama dengan rukun dan syarat pernikahan pertama yang disyariatkan dalam Islam. Namun, ada beberapa syarat yang ditambahkan yang wajib dipenuhi ketika ingin menunaikan poligami.
Sebelum kita membicarakan syarat tersebut lebih jauh, kami menasihati diri kami pribadi secara khusus dan para pembaca secara umum bahwa agama Islam mewajibkan kita semua untuk berilmu dahulu sebelum mengerjakan suatu amalan. Agama ini pun tegak dan berdiri di atas prinsip yang agung tersebut: al-’ilmu qablal qauli wal ‘amal.
Inilah yang dinyatakan oleh al-Imam al-Bukhari t dalam satu bab dari “Kitab al-’Ilmi” pada kitab Shahih beliau. Artinya, ilmu dahulu sebelum ucapan dan amalan. Karena itu, seseorang tidak dianggap menunaikan amalan dengan benar dan di atas petunjuk/syariat yang benar apabila dia mengamalkan sebuah amalan tanpa mengetahui ilmunya terlebih dahulu.
Yang pertama kali dituntut dari orang yang hendak menikah adalah berilmu sebelum dia melangsungkan pernikahannya tersebut, sehingga dia dan istrinya bisa menjalaninya dengan lurus. Sebab, pernikahan pertama saja memiliki banyak masalah yang membutuhkan bimbingan ilmu, lebih- lebih bila hendak berpoligami. Dalam poligami akan dijumpai lebih banyak masalah dibandingkan dengan pernikahan dengan satu istri.
Maka dari itu, di dalam lubuk hati seorang muslim yang bijak semestinya tertanam prinsip yang sangat mendasar dan pokok ini, yang merupakan inti dan ushul dari manhaj yang haq, manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah, yakni tidak mengerjakan sebuah amalan sebelum dia mengetahui ilmunya.
Pihak yang akan berpoligami hendaknya benar-benar membekali diri dengan ilmu, baik sebelum maupun selama menjalaninya. Dengan demikian, jalannya akan lurus dan terbimbing, tidak serampangan dan tidak menjadi fitnah. Kenyataan yang kita saksikan, banyak suami yang berpoligami hanya bermodal semangat tanpa berdasar ilmu yang benar.
Akibatnya, rumah tangga yang lama hancur atau rumah tangga yang baru bubar. Istri tua dan istri muda adu mulut di depan orang banyak, pertengkaran antara dia dan istrinya tak terelakkan sehingga ribut-ributnya terdengar oleh tetangga. Ujung-ujungnya, orang menyalahkan poligami. “Itu semua akibat kawin lagi,” kata mereka. Orang yang antipoligami bertambah antipati, dan orang yang tadinya tidak tahu menjadi tidak suka dengan poligami. Ya, urusannya menjadi fitnah. Aturan Allah l dibenci karenanya, wallahul musta’an.
Sekali lagi, walaupun poligami adalah hak lelaki, namun tidak sepantasnya seorang suami melangkah serampangan tanpa bimbingan ilmu. Jangan karena salah melangkah dan tanpa bersikap hikmah, dia hancurkan semuanya: agama, rumah tangga, dan masa depan anak anaknya. Wallahul musta’an.
Rukun dan Syarat Poligami
Sebagaimana telah disampaikan di atas, rukun dan syarat pernikahan yang disyariatkan dan ditetapkan dalam Islam pada pernikahan pertama juga menjadi rukun dan syarat yang disyariatkan dalam pernikahan poligami. Sebab, keduanya sama-sama pernikahan yang disyariatkan dalam Islam. Jadi, ketika seseorang berpoligami, dia wajib memenuhi rukun dan syarat tersebut, ditambah beberapa syarat yang disebutkan oleh para ulama yang akan kami sebutkan, insya Allah.
Para ulama menyebutkan dua syarat yang Allah Subhanahu wata’ala sebut dalam al-Qur’an ketika seorang lelaki hendak berpoligami, dan syarat lainnya yang disebutkan dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
1. Jumlah istri yang paling banyak dikumpulkan adalah empat, tidak boleh lebih.
2. Dia bisa berbuat dan berlaku adil di antara para istri.
3. Adanya kemampuan jasmani dan nafkah dalam bentuk harta. Syarat yang pertama: Allah Subhanahu wata’ala membolehkan seorang lelaki yang hendak berpoligami untuk menikahi sampai empat perempuan. Dalilnya bisa kita lihat berikut ini.
1. Dalil dari al-Qur’anul Karim
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ
“Jika kalian khawatir tidak bisa berbuat adil terhadap perempuan yatim (bila kalian menikahinya), maka nikahilah perempuan-perempuan lain yang halal bagi kalian untuk dinikahi; (apakah) dua, tiga, atau empat….” (an-Nisa: 3)
Ibnu al-Anbari rahimahullah berkata, “Huruf wawu ( الوَاوُ ) di sini2 maknanya tafarruq/ pemisahan, bukan pengumpulan. Dengan demikian, maknanya adalah nikahilah oleh kalian (para lelaki) wanita-wanita yang kalian senangi sebanyak dua orang, dan nikahi tiga wanita selain keadaan yang pertama, dan nikahi empat orang wanita selain dua keadaan yang telah disebutkan.” (Zadul Masir fi Ilmit Tafsir, Ibnul Jauzi, 2/8)
Al-Hafizh Ibnu Katsir radhiyallahu ‘anhu menyatakan, ayat ini tidaklah membolehkan pengumpulan bilangan tersebut (yaitu jumlah 2, 3, dan 4). Kalau boleh, niscaya akan disebutkan. Sebab, ayat ini berisi pemberitaan tentang anugerah yang diberikan oleh Allah Subhanahu wata’ala dan kebolehan dari-Nya untuk menikahi lebih dari seorang wanita. (Tafsir al-Qur’anil Azhim, 2/149)
Dengan demikian, yang dimaukan oleh ayat adalah disuruh memilih di antara bilangan yang disebutkan, bukan mengumpulkan jumlah tersebut. (al- Majmu, 17/212)
Mengapa hal ini perlu ditekankan? Karena ada yang berpendapat, wawu tersebut menunjukkan pengumpulan, seperti anggapan al-Qasim bin Ibrahim dan kelompoknya, al-Qasimiyah. Mereka menguatkan pendapat mereka dengan perbuatan Nabi n mengumpulkan sembilan istri. Bahkan, ada satu sekte dari kelompok Syiah Rafidhah yang membolehkan lelaki menikahi berapa pun wanita yang diinginkannya. (al- Majmu, 17/212)
Selain itu, sebagian pengikut mazhab Zhahiri berpendapat boleh menikahi delapan belas perempuan dengan beralasan mengumpulkan bilangan 2, 3, 4 yang berulang sehingga menjadi 4 ditambah 6 ditambah 8. (lihat Tafsir al-Qurthubi, 5/13)
Al-Imam al-Qurthubi t menjawab pendapat ini dengan menyatakan, semua itu adalah kebodohan terhadap bahasa Arab dan as-Sunnah, serta menyelisihi kesepakatan umat. (Tafsir al-Qurthubi 5/13)
Demikian pula bantahan Ibnul Arabi rahimahullah dalam Ahkamul Qur’an (1/312—313). Adapun pembolehan bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengumpulkan sembilan istri, hal itu adalah kekhususan bagi beliau, tidak berlaku bagi umatnya.
2. Dalil dari as-Sunnah
Hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu yang menyebutkan bahwa Ghailan ibnu Salamah ats-Tsaqafi radhiyallahu ‘anhu masuk Islam dalam keadaan memiliki sepuluh istri yang dinikahinya di masa jahiliah, dan para istrinya ini masuk Islam bersamanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pun memerintahkan agar Ghailan memilih empat dari mereka (dan menceraikan yang lain). (HR. at-Tirmidzi no. 1128, dinyatakan sahih dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi)
Sisi pendalilan hadits di atas adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Ghailan untuk memilih hanya empat dari sepuluh istrinya. Artinya, tidak boleh mengumpulkan lebih dari empat istri berdasar perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, padahal asal perintah dari Penetap syariat memberi faedah wajibnya perkara yang diperintahkan, selama tidak ada perkara atau dalil lain yang memalingkannya.Untuk masalah ini, tidak ada dalil yang memalingkannya dari hukum wajib kepada hukum yang lain.
3. Dalil dari ijma’
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menukilkan dari al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah adanya ijma’ atau kesepakatan ahlul ilmi tentang tidak bolehnya selain Rasulullah n mengumpulkan lebih dari empat wanita/istri. (Tafsir al-Qur’anil Karim, 2/149)
Syarat yang kedua: bisa berbuat dan berlaku adil.
Secara bahasa, adil adalah inshaf, yaitu memberi seseorang apa yang menjadi haknya dan mengambil darinya apa yang menjadi kewajibannya. (al-Mu’jamul Wasith, 2/588)
Adapun adil di antara para istri dalam bahasa syariat adalah menyamakanpara istri dalam hal mabit (bermalam/ menginap), makan, minum, tempat tinggal, dan pakaian. (Raddul Mukhtar, Ibnul ‘Abidin, 3/378)
Hukum berlaku adil dalam urusan yang disebutkan di atas adalah fardhu atau wajib (Ahkamul Qur’an, 1/313). Jadi, meninggalkannya adalah dosa dan pelanggaran. Dalil tentang syarat yang kedua ini jelas sekali dari firman Allah Subhanahu wata’ala,
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
“Namun, bila kalian khawatir tidak bisa berlaku adil (di antara para istri bila sampai kalian memiliki lebih dari satu istri) maka nikahilah satu istri saja atau mencukupkan dengan budak perempuan yang kalian miliki….” (an-Nisa: 3)
Ada dua pendapat tentang firman Allah Subhanahu wata’ala,
فَإِنْ خِفْتُمْ
Pendapat pertama mengartikannya عَلِمْتُمْ , yakni kalian yakin (tidak bisa berbuat adil). Adapun pendapat kedua memaknainya خَشِيتُمْ , yakni kalian khawatir (tidak bisa berbuat adil). (Zadul Masir fit Tafsir, Ibnul Jauzi, 2/9)
Dengan demikian, apabila seorang lelaki yakin atau khawatir tidak bisa berlaku adil, cukup baginya beristri satu. Sebab, kebolehan memperistri lebih dari seorang wanita berporos pada keadilan. Dengan demikian, ketika kalian bisa adil, lakukanlah! Jika tidak, cukuplah satu atau budak perempuan yang kalian miliki. (Tafsir ath-Thabari, 3/579—580)
Berkaitan dengan ayat 129 dalam surat an-Nisa,
وَلَن تَسْتَطِيعُوا أَن تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ ۖ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ
“Kalian tidak akan mampu berbuat adil di antara para istri, walaupun kalian sangat ingin berbuat adil. Maka janganlah kalian condong dengan sebenar-benarnya kepada istri yang lebih kalian cintai sehingga kalian membiarkan istri yang lain terkatung-katung.” (an-Nisa: 129)
Yang Allah Subhanahu wata’ala maksudkan adalah adil yang tidak dimampui dan tidak disanggupi dilakukan oleh seorang hamba karena bukan hamba yang mengusahakannya, namun semata-mata pemberian Allah Subhanahu wata’ala, yaitu adil dalam masalah cinta dan kecondongan hati. Karena itu, ahli tafsir mengatakan bahwa makna ayat di atas adalah kalian tidak akan sanggup menyamakan rasa cinta kalian di antara para istri, karena hal itu bukan hasil usaha kalian walaupun kalian sangat ingin berbuat adil dalam hal itu. (Fathul Qadir, 1/695)
Karena ketidakmungkinan berbuat adil dalam perasaan cinta, Allah Subhanahu wata’ala melarang seorang suami mengistimewakan istri yang lebih dicintainya dalam hal nafkah dan pembagian giliran sehingga istri yang lainnya terkatung-katung: tidak menjanda, tidak pula seperti perempuan yang memiliki suami. Allah Subhanahu wata’ala menutup ayat di atas dengan firman-Nya,
وَإِن تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَّحِيمًا
“Dan bila kalian mengadakan perbaikan dan bertakwa maka sungguh Allah itu adalah Dzat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (an-Nisa: 129)
Firman Allah Subhanahu wata’ala,
وَإِن تُصْلِحُوا
“Dan bila kalian mengadakan perbaikan,”
yakni dengan berlaku adil dalam hal pembagian giliran.
وَتَتَّقُوا
“dan bertakwa,”
maksudnya menjaga diri dari berbuat zalim.
فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَّحِيمًا
“Maka sungguh Allah adalah Dzat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”,
terhadap kecondongan hati tersebut apabila memang ada. (Zadul Masir fit Tafsir, Ibnul Jauzi, 2/220; Tafsir al-Qur’anil Azhim, 2/317)
Al – Imamath – Thabari t menyatakan dalam tafsirnya terhadap ayat di atas, kaum lelaki atau para suami tidak akan mampu untuk menyamakan istri-istri mereka dalam hal cinta di kalbu mereka, sehingga para suami
tidak bisa berlaku adil dalam hal ini. Pasti ada istri yang lebih mereka cintai daripada yang lain karena memang hal ini di luar kuasa mereka, walaupun mereka berusaha sungguh-sungguh untuk menyamakan cinta di antara istri mereka. Meski demikian, para suami tidak boleh mengikuti hawa nafsunya dengan menampakkan kecenderungan kepada istri yang lebih mereka cintai lantas meninggalkan yang lainnya, sehingga si suami jatuh pada perbuatan zalim terhadap istri yang tidak/kurang dicintai, dengan tidak menunaikan hak mereka berupa beroleh giliran, nafkah, dan pergaulan yang baik. Sebab, kecondongan yang berlebihan kepada istri yang dicintai menyebabkan istri yang lain layaknya perempuan yang tidak bersuami, namun tidak pula menjanda (terkatung-katung). (Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, 4/312)
Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah juga menyebutkan bahwa keadilan yang tidak dimampui adalah dalam hal kecondongan secara tabiat, yaitu rasa cinta, jima’, dan tempat dalam kalbu. (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 5/261)
Al-Allamah asy-Syinqithi rahimahullah juga menyebutkan demikian karena kecondongan secara tabiat tersebut di luar kuasa manusia. Berbeda halnya dengan berlaku adil dalam hak-hak syar’i, hal itu mampu dilakukan oleh para hamba. (Adhwaul Bayan, 1/425)
Haruskah Adil dalam Urusan Jima’ (Berhubungan Badan)? Al-Imam Ibnu Qudamah t berkata, “Kami tidak mengetahui perbedaan pendapat di kalangan ahlul ilmi tentang tidak wajibnya menyamakan di antara para istri dalam hal jima’. Ini adalah mazhab Malik dan asy-Syafi’i.
Sebab, jima’ itu jalannya adalah syahwat dan kecondongan, serta tidak ada jalan untuk menyamakan di antara para istri dalam hal ini karena kalbu seseorang terkadang lebih condong kepada salah seorang istrinya dan rasa itu tidak ada terhadap yang lainnya.” (al-Mughni, “Kitab ‘Isyratun Nisa”, mas’alah “Walau wathi’a Zaujatahu wa lam yatha al-Ukhra, fa laisa bi’ashin”)
Demikian pula yang dinyatakan oleh al-Imam an-Nawawi t dalam al-Majmu’ (18/119).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, suami tidak boleh melebihkan salah seorang dari dua istrinya dalam hal bagian giliran. Namun, jika ia mencintai salah satunya melebihi yang lain dan menggaulinya lebih banyak dari yang lain, tidak ada dosa bagi si suami. (Majmu’ Fatawa, 32/269)
Lebih Baik Menyamakan
Walaupun menyamakan jima’ tidak wajib, namun disenangi apabila mampu untuk menyamakannya/berlaku adil pula dalam hal ini. Hal ini dinukilkan oleh sejumlah ulama, seperti al-Imam Ibnu Qudamah t. Beliau menyatakan, apabila si suami bisa menyamakan urusan jima’ di antara istrinya, itu lebih bagus dan lebih utama karena lebih nyata dalam berbuat adil.
Demikian juga yang dinyatakan oleh al-Imam an-Nawawi rahimahullah, karena lebih sempurna dalam hal keadilan. (al- Majmu’ 18/119)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam Berbuat Adil
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sangat adil terhadap istri-istrinya dalam urusan yang memang dituntut untuk adil. Adapun dalam urusan yang tidak dimampui oleh manusia, beliau pun tidak bisa menyamakannya, seperti rasa cinta beliau terhadap Aisyah x yang lebih besar daripada istri-istri beliau yang lain.
Namun, seperti yang telah disinggung di atas, dalam urusan yang dimampui hamba, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah teladan dalam keadilan tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membagi dengan adil tanpa melebihkan satu dari yang lain dalam hal giliran bermalam di antara istri-istri beliau, terkecuali Saudah bintu Zam’ah radhiyallahu ‘anha yang telah menghadiahkan gilirannya untuk Aisyah x, demi mencari keridhaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang semula hendak menceraikannya, namun urung dengan ishlah yang dilakukan oleh Saudah berupa menggugurkan sebagian haknya asal tetap menjadi istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam hendak safar, beliau mengundi di antara para istrinya. Siapa yang namanya keluar, dialah yang menemani beliau safar. Seandainya beliau mau, niscaya beliau akan selalu membawa Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam safar beliau, karena Aisyah sangat beliau cintai melebihi yang lain. Kenyataannya, beliau tidak melakukannya. Aisyah radhiyallahu ‘anha mempersaksikan hal ini dalam haditsnya yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya.
Saking inginnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam selalu berbuat adil, sampai-sampai saat sakit menjelang ajalnya, beliau tetap menggilir istri-istrinya semalam-semalam. Beliau datang dan menginap di rumah istri yang sedang mendapat giliran. Sampai di saat sakit beliau bertambah parah sehingga beliau tidak sanggup lagi berjalan, beliau meminta izin kepada istri-istrinya untuk beristirahat di rumah Aisyah radhiyallahu ‘anha dan dirawat di sana.
Para istri beliau yang salehah lagi penuh kelapangan hati pun mengizinkan. Ketika beliau yakin mereka ridha, beliau pun tinggal di rumah Aisyah radhiyallahu ‘anha, tidak di tempat istri yang lain, sampai ajal menjemput beliau. Aisyah radhiyallahu ‘anha menyampaikan,
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ كَانَ يَسْأَلُ فِي مَرَضِهِ الَّذِي, مَاتَ فِيْهِ: أَيْنَ أَنَا غَدًا، أَيْنَ أَنَا غَدًا؟ يُرِيْدُ يَوْمَ عَائِشَةَ، فَأَذِنَ لَهُ أَزْوَاجُهُ يَكُوْنُ حَيْثُ شَاءَ فَكاَنَ فِي بَيْتِ عَائِشَةَ حَتَّى مَاتَ عِنْدَهَا.
Di saat sakit yang mengantarkan kepada wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau biasa bertanya, “Di mana aku besok, di mana aku besok?” Beliau menginginkan tiba hari giliran Aisyah. Istri-istri beliau pun mengizinkan beliau untuk berdiam di mana saja yang beliau inginkan. Lantas beliau tinggal di rumah Aisyah sampai meninggal di sisi Aisyah. (HR. al-Bukhari no. 5217)
Tidak Disalahkan Apabila Suami Lebih Mencintai Salah Satu Istrinya
Kita telah mengetahui adil yang dituntut dari seorang hamba dan adil yang tidak dimampui olehnya. Telah diterangkan juga, adil yang tidak dimampui adalah dalam hal cinta atau kecondongan/ kecenderungan hati. Sehingga tidaklah berdosa bila ada seorang suami yang memiliki sekian istri, namun kadar cintanya kepada istri-istrinya tidak sama, ada yang disenangi dan dicintaimelebihi yang lain.
Kita pun tahu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia lebih mencintai Aisyah radhiyallahu ‘anha daripada istri-istri beliau yang lain. Salah satu hadits yang menunjukkan hal ini adalah hadits Amr ibnul Ash yang dikeluarkan dalam ash-Shahihain. ‘Amr mengabarkan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengutusnya untuk memimpin pasukan Dzatu as-Salasil. Amr mengatakan bahwa dirinya mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya, “Siapakah orang yang paling Anda cintai?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Aisyah.” Kataku, “Dari kalangan laki-laki?” “Ayahnya,” jawab beliau.
Namun, jangan sampai rasa cinta yang lebih tersebut mendorong seorang suami untuk berlaku tidak adil—dalam hal yang dimampui—di antara istri-istrinya. Jika jatuh dalam perbuatan tersebut, ia terkena ancaman hadits yang akan disebutkan di bawah ini.
Ancaman bagi Suami yang Tidak Berbuat Adil
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma menyampaikan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا، جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَ شِقُّه مَائِلٌ.
“Siapa yang memiliki dua istri lantas condong kepada salah seorang dari keduanya (berlaku tidak adil) maka ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan sebelah tubuhnya miring.” (HR. Abu Dawud no. 2133, an-Nasa’i no. 3942, dinyatakan sahih dalam Shahih Abi Dawud, Shahih an-Nasa’i, dan Irwa’ul Ghalil no. 2017 ) Dalam Aunul Ma’bud (“Kitab an Nikah”, bab “Fi ‘al-Qasmi Baina an- Nisa’”)
dinyatakan hadits ini adalah dalil wajibnya suami menyamakan di antara istri-istrinya dan haram ia condong/ melebihkan salah satunya. Diterangkan pula dalam penjelasan hadits di atas bahwa yang tampak, hukum yang berlaku tidak hanya dibatasi pada dua istri, tetapi juga untuk orang yang memiliki tiga atau empat istri. Ia condong kepada salah satunya dalam perbuatan yang zahir (tampak), bukan dalam bentuk kecondongan hati, sehingga melebihkan istri yang dicondonginya tersebut dalam hal pemberian makan (nafkah), tempat tinggal, atau pergaulan yang baik (husnul ‘usyrah).
Orang yang seperti ini akan datang pada hari kiamat dalam keadaan tidak sama dua sisi tubuhnya sebagai balasan dari perbuatannya yang tidak adil dengan melebihkan satu istrinya daripada yang lain. (Hasyiyah al-Imam as-Sindi ‘ala Sunan an-Nasa’i, 7/63)
Gambaran Keadilan Salaf
Ibnu Abi Syaibah rahimahullah meriwayatkan dari Muhammad ibnu Sirin , bahwa ia berkata tentang seorang lelaki yang memiliki dua istri, “Dibenci ia berwudhu di rumah salah seorang istrinya, sementara itu di rumah istri yang lain tidak dilakukannya.” (al-Mushannaf, 4/387)
Ibrahim an-Nakha’i rahimahullah berkata tentang seorang lelaki yang mengumpulkan istri-istri (madu dengan madu), “Para salaf menyamakan perlakuan di antara istri-istrinya, sampai-sampai apabila tersisa sawiq (sejenis gandum) dan makanan yang bisa ditakar, mereka tetap membagi-bagikan di antara istriistri mereka; setelapak tangan demi setelapak tangan, jika memang sisa makanan tersebut tidak mungkin lagi ditakar (karena sedikitnya).” (Mushannaf Ibni Abi Syaibah, 4/387)
Syarat yang ketiga: Adanya kemampuan fisik dan materi atau nafkah, berupa makan, minum, pakaian, tempat tinggal, dan perabotan rumah yang memang harus ada. Syariat mengisyaratkan ‘kemampuan’ ini kepada seseorang yang ingin menikah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ…
“Wahai sekalian pemuda, siapa di antara kalian yang memiliki ba’ah maka hendaknya ia menikah.…” (HR. al- Bukhari no. 5065 dan Muslim no.3384, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)
Ada dua pendapat ulama tentang makna ba’ah dalam hadits di atas, kata an-Nawawi rahimahullah, namun keduanya sebenarnya kembali pada satu makna,
1. Berhubungan badan/jima’.
Dengan demikian, makna hadits adalah siapa di antara kalian yang mampu melakukan jima’ karena punya kesanggupan memenuhi keperluan nikah, hendaknya ia menikah.
2. Kebutuhan pernikahan.
Jadi, makna hadits adalah siapa di antara kalian yang punya kemampuan memenuhi kebutuhan pernikahan, hendaknya ia menikah. (al-Minhaj, 9/177)
Kebutuhan materi yang diperlukan dalam pernikahan atau hidup berkeluarga mencakup makanan, minuman, dan tempat tinggal. Semua ini adalah nafkah yang wajib ditunaikan oleh seorang suami terhadap istrinya sesuai dengan dalil dari al-Qur’an, as-Sunnah, dan kesepakatan ulama. (al-Mughni, “Kitab an-Nafaqat”)
Demikian pula halnya apabila diterapkan dalam pernikahan poligami. Suami dituntut bertanggung jawab memberikan kebutuhan hidup para istrinya. Karena itu, apabila seorang lelaki tidak mampu menafkahi lebih dari satu istri, tidak halal baginya secara syariat untuk menikah lagi (berpoligami). Kewajiban menafkahi ini bertambah jelas dengan khutbah yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam haji wada’. Beliau mengatakan kepada kaum muslimin,
فَاتَّقُوْا اللهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوْهُنَّ بِأَمَانِ اللهِ، وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ، وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَلاَّ يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُوْنَهُ، فَإنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوْهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ، وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Bertakwalah kalian kepada Allah dalam urusan para istri, karena kalian mengambil mereka dengan amanat Allah dan kalian menjadikan halal kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian atas mereka adalah mereka tidak memperkenankan seseorang yang kalian benci menginjak hamparan kalian. Kalau mereka lakukan apa yang kalian benci, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak keras dan mencederai. Hak mereka atas kalian adalah (memperoleh) rezeki dan pakaian dengan cara yang ma’ruf.” (HR. Muslim no. 1216)
Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang hak istri kepada suaminya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,
أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ
“Kamu beri dia (istrimu) makan jika kamu makan dan memberinya pakaian bila kamu berpakaian. Jangan memukul wajah, jangan menjelekkan, dan jangan memboikotnya selain di dalam rumah.” )HR. Abu Dawud no. 2142, dinyatakan sahih dalam al-Jami’ ash-Shahih, 86/3)
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan fuqaha tentang wajibnya suami menunaikan kebutuhan primer seorang atau beberapa istrinya, yaitu makanan yang sesuai, pakaian, dan tempat tinggal yang layak, serta kebutuhan-kebutuhan lain yang menyertainya. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq