Saat Ajal Menjemput

Menyaksikan orang di sekitar kita meninggal dunia, tentu bukan hal yang asing. Akan tetapi, pernahkah kita ikut terlibat mengurus jenazah orang yang meninggal itu? Untuk yang satu ini barangkali masih jarang yang melakukannya. Berikut ini tuntunan singkat menghadapi orang yang akan dan sudah meninggal dunia.

Kematian adalah suatu kepastian. Allah ‘azza wa jalla berfirman dalam Kitab- Nya yang mulia,

          كُلُّ نَفۡسٖ ذَآئِقَةُ ٱلۡمَوۡتِۗ

“Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati.” (Ali ‘Imran: 185)

          كُلُّ مَنۡ عَلَيۡهَا فَانٖ ٢٦ وَيَبۡقَىٰ وَجۡهُ رَبِّكَ ذُو ٱلۡجَلَٰلِ وَٱلۡإِكۡرَامِ ٢٧

“Semua yang ada di atas bumi ini akan binasa. Yang kekal hanyalah Wajah Rabbmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan.” (ar-Rahman: 2627)

        Dengan demikian, kematian bukanlah sesuatu yang asing bagi seorang hamba. Masing-masing tahu (walaupun ada yang pura-pura tidak tahu) bahwa setiap orang telah ditentukan umurnya dalam kehidupan dunia.

        Namun, seringnya hamba tetap tersentak saat menghadapi kematian orang dekat atau mendengar kabar kematian orang yang dikenal.

        Al-Imam Al-Mawardi rahimahullah berkata, “Allah ‘azza wa jalla menjadikan kematian sebagai suatu kepastian atas para hamba-Nya dan perjalanan akhir bagi seluruh makhluk-Nya. Dengan kematian, berakhirlah amalan-amalan dunia dan terbukalah balasan akhirat.

        Dalam urusan kematian, Allah menyamakan hamba yang taat dan yang durhaka (semuanya akan mati tanpa kecuali –pen.)

          وَلِلَّهِ مَا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِي ٱلۡأَرۡضِ لِيَجۡزِيَ ٱلَّذِينَ أَسَٰٓـُٔواْ بِمَا عَمِلُواْ وَيَجۡزِيَ ٱلَّذِينَ أَحۡسَنُواْ بِٱلۡحُسۡنَى ٣١

        “Agar Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan, dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik.” (an-Najm: 31)

        Orang yang mengakui adanya kematian sepantasnya mengambil pelajaran darinya. Orang yang meyakini adanya negeri akhirat sepantasnya segera beramal sebagai bekal menuju ke sana.

          فَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٍ خَيۡرٗا يَرَهُۥ ٧  وَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٖ شَرّٗا يَرَهُۥ ٨

        “Siapa yang beramal kebaikan seberat semut yang paling kecil sekalipun niscaya dia akan melihat balasannya. Dan siapa yang mengerjakan kejahatan seberat semut yang paling kecil pun niscaya dia akan melihat balasannya pula.” (az-Zalzalah: 78) [al-Hawi al-Kabir Syarh Mukhtashar al-Muzani, 3/3]

        Bisa jadi, di antara kita–para wanita–ada yang pernah menyaksikan salah seorang kerabat kita, tetangga, atau teman sedang menjemput ajalnya. Bisa jadi, saat itu kita hanya terpaku. Apa gerangan yang akan diperbuat terhadap orang yang sedang sakaratul maut? Amalan apa yang dituntunkan saat demikian?

        Ketika jasadnya telah terbujur kaku, tak memiliki ruh lagi, sekali lagi kita terpaku, bertanya dalam diam. Bagaimana cara pengurusan jenazah menurut ajaran Islam yang benar?

        Tulisan yang kami susun ini–dengan memohon pertolongan kepada Rabbul ‘Izzah–hendak memberi sedikit pengetahuan kepada pembaca, terkhusus kalangan muslimah tentang masalah ini. Semoga menjadi ilmu yang dapat diamalkan dan menjadi amalan saleh bagi penyusun untuk suatu hari kelak, yang tidak bermanfaat lagi harta dan anak turunan, selain hamba yang datang kepada Allah dengan qalbun salim.[1]

 

Saat Menjelang Maut

        Ketika sedang menemani anak, saudara, orang tua, atau suami yang hendak menjemput maut, kita disyariatkan melakukan beberapa amalan berikut ini.

  • Men-talqin-nya dengan kalimat syahadat

        Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan hal ini,

        لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ

        “Talqinlah orang yang hendak meninggal di kalangan kalian dengan La ilaha illallah.” (HR. Muslim no. 916)[2]

        Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjanjikan,

        مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ

        “Siapa yang akhir ucapannya (saat menjelang kematian) adalah kalimat La ilaha illallah, ia akan masuk jannah.” (HR. Abu Dawud no. 3166, dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil no. 687)

        Yang dimaksud talqin bukanlah para hadirin mengucapkan syahadat di hadapan orang yang akan meninggal dan memperdengarkan kepadanya, melainkan orang yang akan meninggal itu yang harus mengucapkannya.

Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu mengisahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguk seorang laki-laki dari kalangan Anshar. Beliau berkata,

        يَا خَالُ، قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. فَقَالَ :أَوَ خَالٌ أَنَا أَوْ عَمٌّ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ: لاَ، بَلْ خَالٌ .فَقَالَ لَهُ :قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ .قَالَ :هُوَ خَيْرٌ لِي؟ قَالَ: نَعَمْ

        “Wahai khal[3], ucapkanlah La ilaha illallah,” sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

        “Apakah saya khal atau ‘amm?” tanya orang itu

        “Tidak, engkau bukan ‘amm tapi engkau khal,” jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Ucapkanlah Laa ilaaha illallah,” kata beliau lagi.

        “Apakah kebaikan untukku jika aku mengucapkannya?” tanya orang tersebut.

        “Ya,” jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Ahmad, 3/152,154. Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah berkata tentang hadits ini dalam kitabnya Ahkamul Jana’iz hlm. 20, “Isnadnya sahih di atas syarat Muslim.”)

        An-Nawawi rahimahullah berkata, “Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam لَقِّنُوا maknanya adalah men-talqin orang yang menjelang wafat dengan mengingatkannya terhadap La ilaha illallah agar kalimat ini menjadi akhir ucapannya. Sebagaimana dalam hadits,

        مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ

        Perintah men-talqin ini hukumnya sunnah. Ulama bersepakat tentang pensyariatannya.

        Akan tetapi, mereka tidak suka mengulang-ulang dan terus-menerus mentalqin orang yang hendak wafat agar ia tidak bosan. Sebab, ia sedang menghadapi keadaan yang sempit dan musibah yang besar. (Jika diulang-ulang, dikhawatirkan) hatinya membenci kalimat tersebut. Akhirnya, ia justru berbicara dengan ucapan yang tidak pantas.

        Jika ia telah mengucapkannya sekali, itu cukup, tidak perlu men-talqin-nya lagi. Kecuali jika setelah itu mengucapkan kalimat yang lain, ia diingatkan kembali untuk mengucapkan kalimat tauhid agar kalimat ini menjadi akhir ucapannya (sebelum ruhnya berpisah dengan jasad –pen.).” (Syarhu Shahih Muslim, 2/580)

        Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Wajib men-talqin orang yang menjelang wafat dalam keadaan akalnya sehat, lidahnya dapat berbicara atau tidak, dengan syahadat Islam yaitu Laa ilaaha illallah Muhammadur Rasulullah.

        Beliau rahimahullah juga menyatakan, “Orang yang tidak berakal (seperti orang gila-pen.), tidak mungkin di-talqin karena ia tidak paham. Adapun orang yang tidak dapat berbicara, ia mengucapkannya dalam hati.” (al-Muhalla, 3/384)

        Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan, “Talqin dilakukan dengan lemah lembut, penuh perhatian, dan tidak mengulang-ngulanginya hingga membuat yang di-talqin jemu. Kecuali apabila ia mengucapkan satu perkataan, diulangi lagi talqin-nya hingga La ilaha illallah menjadi akhir ucapannya. Demikian dinyatakan al-Imam Ahmad.” (al-Mughni, 2/161)

        Ketika Abdullah ibnul Mubarak rahimahullah menjelang wafat, ada seseorang yang men-talqin-nya berulang-ulang dengan Laa ilaaha illallah. Ibnul Mubarak berkata kepada orang tersebut, “Apabila aku telah mengucapkannya sekali, aku mati di atas kalimat tersebut. (Itulah akhir ucapanku), selama aku tidak berbicara (yang lain).”

        Al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata, “Yang dimaksud Ibnul Mubarak adalah hadits yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

        مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ

        (Siapa yang akhir ucapannya adalah Laa ilaaha illallah maka ia pasti masuk jannah).” (Sunan at-Tirmidzi hlm. 233, setelah hadits no. 977)

        Adapun men-talqin mayat setelah meninggalnya, tidaklah disyariatkan dan justru termasuk perbuatan bid’ah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengerjakannya. Demikian pula para al-Khulafa’ ar-Rasyidun dan sahabat yang lainnya radhiallahu ‘anhum, sementara hadits yang menyebutkan hal ini tidak shahih. (Fatwa no. 3159 dan no. 7408 dari Fatawa al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyyah wal Ifta)[4]

  • Mendoakan kebaikan untuknya dan tidak mengucapkan di hadapannya selain kebaikan.

        Dalilnya adalah hadits Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

        إِذَا حَضَرْتُمُ الْمَرِيْضَ أَوِ الْمَيِّتَ فَقُوْلُوا خَيرًا، فَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ يُؤَمِّنُوْنَ مَا تَقُوْلُوْنَ

        “Apabila kalian menjenguk orang yang sakit atau (menghadiri) orang yang akan meninggal, ucapkanlah kebaikan. Sebab, para malaikat mengaminkan apa yang kalian ucapkan.” (HR. Muslim no. 919)

  • Adapun membacakan surat Yasin di sisi orang yang akan meninggal, tidak ada satu hadits pun yang sahih dalam hal ini. (Ahkamul Jana’iz, asy-Syaikh al-Albani, hlm. 20)

 

Menghadapkan Orang yang Menjelang Wafat ke Arah Kiblat

        Tidak ada hadits yang sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah ini. Akan tetapi, ada beberapa atsar salaf tentang hal ini. Di antaranya atsar dari al-Hasan al-Bashri rahimahullah,

        كَانَ يُحِبُّ أَنْ يَسْتَقْبِلَ بِالْمَيِّتِ الْقِبْلَةَ إِذَا كَانَ فِي الْمَوْتِ

        “Ia menyenangi menghadapkan orang yang akan meninggal ke arah kiblat.”

        Demikian pula atsar dari ‘Atha’ rahimahullah,

        كَانَ يَسْتَحِبُّ أَنْ يُوَجِّهَ الْمَيِّتَ عِنْدَ نَزَعِهِ إِلَى الْقِبْلَةِ

        “Ia menganggap sunnah menghadapkan orang yang sedang sakaratul maut ke arah kiblat.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, 2/447)

        Ibrahim an-Nakha’i, Malik, al-Auza’i, Ishaq, ulama Madinah dan ulama Syam juga menyenangi hal ini. (al-Mughni, 2/161)

        Sementara itu, Sa’id ibnul Musayyab rahimahullah tidak menyukainya. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al- Mushannaf, 2/447)

        Ketika ada seseorang masuk ke rumah Sa’id ibnul Musayyab yang sedang berbaring sakit, orang itu berkata, “Hadapkan dia ke arah kiblat.”

        Mendengar hal itu, marahlah Sa’id seraya berkata, “Bukankah aku di atas kiblat ini?” Maksudnya, ia seorang muslim sekalipun tidak dihadapkan ke arah kiblat. (Diriwayatkan oleh Abdur Razzaq dalam al-Mushannaf, 3/392)

        Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan, yang utama dalam masalah ini adalah menghadapkan orang yang akan meninggal ke arah kiblat. Apa yang dilakukan oleh orang-orang terhadap Sa’id (dengan menghadapkannya ke arah kiblat) menunjukkan bahwa hal tersebut masyhur dilakukan oleh kaum muslimin terhadap orang yang akan meninggal di kalangan mereka. (al-Mughni, 2/161)

        Namun, karena dalam masalah ini tidak ada dalil dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita tidak dapat mengharuskan orang untuk melakukannya. Oleh karena itu, Ibnu Hazm rahimahullah menyatakan, “Menghadapkan mayit ke arah kiblat itu bagus. Apabila tidak dilakukan, tidak masalah.” (al-Muhalla, 3/405)

 

Ketika Ruh telah Berpisah dengan Jasad

        Ummu Salamah radhiallahu ‘anha berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menemui Abu Salamah (yang telah wafat). Matanya terbuka dan pandangannya melihat ke atas. Rasulullah pun menutupnya dan berkata,

        إِنَّ الرُّوْحَ إِذَا قُبِضَ تَبِعَهُ الْبَصَرُ

        “Sesungguhnya apabila ruh dicabut, diikuti oleh pandangan mata.”

        Gaduhlah orang-orang dari keluarga Abu Salamah. Mendengar hal itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mendoakan diri kalian kecuali dengan kebaikan. Sebab, para malaikat mengaminkan apa yang kalian ucapkan.”

        Kemudian beliau berdoa,

        اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِأَبِي سَلَمَةَ وَارْفَعْ دَرَجَتَهُ فِي الْمَهْدِيِّيْنَ وَاخْلُفْهُ فِي عَقِبِهِ فِي الْغَابِرِيْنَ وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهُ، يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ وَافْسَحْ لَهُ فِي قَبْرِهِ وَنَوِّرْ لَهُ فِيْهِ

        “Ya Allah, ampunilah Abu Salamah. Tinggikanlah derajatnya di kalangan mahdiyyin[5]. Gantikanlah dia dalam keturunannya dengan orang-orang yang masih tersisa (masih hidup). Ampunilah kami dan dia, wahai Rabbul Alamin. Lapangkanlah dia dalam kuburnya dan berilah cahaya baginya di dalam kuburnya.” (HR. Muslim no. 920)

        Dari hadits di atas, kita dapat mengambil pelajaran bahwa ketika orang yang sakaratul maut telah benar-benar meninggal, yang hadir di tempat tersebut disunnahkan[6] menutup kedua mata mayit dan mendoakan kebaikan untuknya.

        Setelahnya, pakaian yang dikenakan mayit dilepas agar tubuhnya tidak berubah karena pakaian tersebut. Hal ini dilakukan dengan lemah lembut[7].

        Setelah itu, mayit ditutup dengan kain yang menutupi seluruh tubuhnya[8], dengan dalil hadits Aisyah radhiallahu ‘anha,

        أَنّ رَسُوْلَ اللهِ حِيْنَ تُوُفِّيَ سُجِّيَ بِبُرْدِ حِبَرَةٍ

        “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, jasadnya ditutup dengan kain bergaris-garis dari katun.” (HR. al-Bukhari no. 1241 dan Muslim no. 942)

        Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Pertama kali yang dilakukan oleh kerabat mayit yang hadir adalah menutup kedua mata si mayit selembut mungkin. Setelah itu, bawah dagunya diikat dengan kain serban[9] yang lebar ke atas kepalanya agar tulang dagunya yang paling bawah tidak turun/kendor sehingga mulutnya terbuka lantas menjadi kaku dan tidak dapat tertutup lagi.

        Kedua tangannya dikembalikan hingga menempel dengan dua lengan atasnya, lalu dibentangkan, kemudian dikembalikan lagi, dan dibentangkan lagi berulang-ulang, agar kedua tangan tetap lemas, tidak kaku.

        Apabila kedua tangan lemas saat keluarnya ruh, akan tetap lemas sampai waktu penguburannya. Demikian pula jari jemarinya.

        Kedua kakinya dikembalikan dari dalam sampai menempel dengan bagian dalam kedua pahanya sebagaimana yang diperbuat pada kedua tangan.[10]

        Di atas perut si mayit diletakkan sesuatu dari tanah, batu bata, potongan besi, atau selainnya[11]. Sebab, sebagian orang yang berpengalaman menyatakan hal itu dapat mencegah mengembungnya perut si mayit….” (al-Umm, 1/248)

        Apabila si mayit meninggalkan utang, segera ditunaikan pembayarannya dari harta si mayit. Apabila si mayit tidak memiliki harta, utangnya boleh ditanggung oleh orang lain, baik kerabatnya maupun bukan. (al-Mughni, 2/162)

        Sa’d ibnul Athwal radhiallahu ‘anhu mengabarkan bahwa saudaranya wafat meninggalkan harta sebesar 300 dirham dan memiliki anak-anak. Sa’d berkata, “Aku ingin membagikan uang tersebut kepada anak-anaknya. Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku,

        إِنَّ أَخَاكَ مَحْبُوْسٌ بِدَيْنِهِ فَاذْهَبْ فَاقْضِ عَنْهُ

        “Sesungguhnya saudaramu itu tertahan dengan utangnya. Pergilah engkau membayar utangnya.”

        “Aku pun pergi untuk menunaikan utangnya,” kata Sa’d.

        Setelah itu, aku menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, aku telah menunaikan utang saudaraku, kecuali dua dinar yang diakui oleh seorang wanita sebagai piutangnya tanpa bukti.”

        “Berikanlah pada si wanita karena dia pengakuannya benar,” kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Ibnu Majah no. 2433 dan selainnya. Dinyatakan sahih oleh al-Bushiri dalam az-Zawaid, kata asy-Syaikh al-Albani di dalam Ahkamul Jana’iz, hlm. 26)

        Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma mengatakan bahwa seseorang lelaki meninggal. Mereka kemudian memandikan, mengafani, dan memberikan wangi-wangian padanya. Mereka meletakkannya untuk dishalati oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah itu, mereka mengundang beliau untuk menyalatinya.

        Beliau pun datang bersama mereka. Beliau melangkah satu langkah dan berkata, “Mungkin teman kalian ini punya utang?”

        Mereka menjawab, “Ya, dua dinar.”

        Beliau pun enggan menyalatinya.

        “Silakan kalian saja yang menyalatinya,” kata beliau.

        Seseorang di antara mereka yang bernama Abu Qatadah berkata, “Wahai Rasulullah, dua dinar itu jadi tanggunganku.”

        “Dua dinar itu menjadi tanggunganmu dan akan engkau bayarkan dengan hartamu. Berarti, si mayit telah terlepas dari tanggungan utang sebesar dua dinar tersebut?” tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menekankan.

        “Ya,” jawab Abu Qatadah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyalatinya. (HR. al-Hakim dan lainnya dengan sanad yang hasan, kata al-Haitsami sebagaimana dinukil asy-Syaikh al-Albani dalam Ahkamul Jana’iz, hlm. 2; diriwayatkan pula oleh at-Tirmidzi no. 1069 dari Abdullah bin Abi Qatadah dari ayahnya, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh Muqbil dalam al-Jami’ush Shahih Mimma Laisa fish Shahihain, 2/261)

Orang yang Boleh Membuka Penutup Wajah Si Mayit dan Menciumnya[12].

        Jabir radhiallahu ‘anhuma berkata, “Ketika ayahku terbunuh, aku menyingkap kain penutup wajahnya, lalu aku menangis. Orang-orang yang ada di tempat itu melarangku, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarangku.” (HR. al-Bukhari no. 1244 dan Muslim no. 2471)

        Aisyahx berkisah tentang meninggalnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Abu Bakr radhiallahu ‘anhu datang dari tempat tinggalnya di as-Sunh (daerah yang tinggi di luar kota Madinah) menunggangi kudanya. Ia turun dari kudanya lalu masuk ke masjid sementara Umar berbicara kepada manusia.

        Abu Bakr tidak mengajak bicara seorang pun hingga masuk ke rumah Aisyah radhiallahu ‘anha. Ia menuju ke jenazah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ditutupi dengan kain bergaris-garis dari katun. Dibukanya penutup wajah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian ia mencium beliau di antara kedua mata beliau. Abu Bakr pun menangis.” (HR. al-Bukhari no. 1241, 1242)

 

Memerhatikan Tanda-tanda Kematian

        Sebelum penyelenggaraan jenazah dilakukan, hendaknya dipastikan bahwa si mayit telah benar-benar meninggal, bukan sekadar pingsan.

        Jadi, beberapa tanda kematian perlu diketahui. Di antaranya, lemas/kendornya kedua kaki dan tidak bisa berdiri tegak, kedua pergelangan tangan dan lengan bawah terbuka, hidung yang miring, kulit wajah memuai, kedua pelipis cekung, dan lainnya.

        Apabila telah didapatkan tanda-tanda ini, hendaknya jenazah segera dimandikan, dikafani, dishalati dan dimakamkan. Tidak perlu menunggu kedatangan seorang pun dari kerabatnya yang jauh.

        Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Memuliakan mayit adalah dengan menyegerakan pengurusan jenazahnya.” (al-Umm, 1/243; al-Majmu’, 5/125; al-Mughni, 2/162; asy-Syarhul Mumti’, 2/480)

        Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyyah

 


[1]  Qalbun salim adalah hati yang selamat dari kesyirikan, keraguan, cinta kepada kejelekan dan terus-menerus melakukan kebid’ahan dan dosa. Konsekuensi orang yang memiliki qalbun salim adalah ia memiliki sifat yang berlawanan dari sifat-sifat jelek yang tersebut. Pada dirinya ada keikhlasan, ilmu, keyakinan, cinta kepada kebaikan, dan merasakan kebaikan itu indah di hatinya. Kehendak dan kecintaannya mengikuti kecintaannya kepada Allah, selera nafsunya mengikuti apa yang datang dari Allah. (Taisir al-Karimir Rahman, asy-Syaikh Abdur Rahman bin Nashir as-Sa’di, hlm. 593)

  [2]  Yang dimaksudkan dengan ucapan La ilaha illallah dalam hadits ini dan selainnya adalah dua kalimat syahadat, termasuk kalimat Muhammadur Rasulullah. Sebab, tidak diterima salah satu syahadat ini tanpa disertai dengan syahadat yang lain. (Fathul Bari 2/138, Subulus Salam, 2/144)

  [3]  Khal adalah paman dari pihak ibu, sedangkan ‘amm adalah paman dari pihak ayah.

[4]  Saat itu diketuai oleh asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Wakil Ketua: asy-Syaikh Abdur Razzaq ‘Afifi, dan anggota: asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud.

[5]  Orang–orang yang diberi hidayah oleh Allah ‘azza wa jalla, ditunjukkan kepada jalan kebenaran dan kelurusan dalam kehidupan mereka dan ketika mereka meninggal. (Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, 3/152)

[6]  al-Muhalla, 3/384, Subulus Salam, 2/145.

[7]  al-Mughni, 2/162, asy-Syarhul Mumti’, 2/478

[8]  Subulus Salam, 2/146, 3/34

[9]  Dengan tali atau pengikat lainnya. Ini sebenarnya tidak ada dalilnya, namun dilakukan untuk mencegah penampilan yang buruk dari si mayit. Sebab, jika mulut mayit tidak segera ditutup, niscaya ketika jasadnya telah kaku mulutnya akan tetap terbuka sehingga tidak bagus dipandang. (asy-Syarhul Mumti’, 2/477)

[10]  Ini juga tidak ada dalilnya. Hal ini dilakukan untuk kemaslahatan, yakni agar persendian tangan dan kaki si mayit tetap lemas sehingga memudahkan ketika dimandikan dan dikafani. (asy-Syarhul Mumti’, 2/477)

[11]  Atau benda-benda yang berat lainnya.

[12]  al-Muhalla, 3/371; Fathul Bari, 3/143