Kemenangan tentara kaum muslimin yang dipimpin Khalid radhiyallahu ‘anhu disambut oleh Khalifah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan penuh syukur. Sementara itu, di Persia, kekalahan Hurmuz telah mengobarkan dendam para pembesar dan sebagian rakyatnya. Raja Ardasyir mengirim pasukan lain di bawah pimpinan Qarin bin Qaryanus. Setibanya di Madzar, datanglah sebagian pasukan Hurmuz yang tadi melarikan diri dari Khalid dan pasukannya. Pasukan muslimin di bawah pimpinan Khalid tetap mengejar, dan bertemu dengan pasukan yang dipimpin oleh al- Mutsanna. Kedua pasukan pun bergabung. Sementara itu, tentara Persia yang melarikan diri dan bergabung dengan pasukan yang dikirim Ardasyir merasa mendapat kekuatan. Mereka mulai bergerak.
Di Madzar, kedua pasukan pembela dan pemuja api, mulai berhadapan dengan tentara Allah Subhanahu wata’ala. Pertempuran pun berlangsung hebat. Meskipun perlengkapan para pemuja api itu demikian hebat dan jumlah mereka lebih banyak, mereka tetap tidak mampu menghadapi tentara Allah Subhanahu wata’ala. Ahli sejarah menyebutkan ada kira-kira 30.000 orang tentara api yang tewas di tangan tentara Allah Subhanahu wata’ala, belum lagi yang mati di sungai ketika melarikan diri. Lebar dan dalamnya sungai ats- Tsana, anak sungai Tigris, menghalangi kaum muslimin menumpas pasukan lawan. Ghanimah yang diperoleh sangat banyak.
Tawanan yang terdiri dari wanita dan anak-anak juga banyak, salah satunya adalah ayahanda Al-Hasan al-Bashri rahimahullah yang ketika itu masih beragama Nasrani. Satu demi satu benteng Persia jatuh ke tangan kaum muslimin. Terakhir, di bawah pimpinan Khalid, adalah benteng Hirah. Setelah terjadi pertempuran dan pengepungan, penduduk Hirah menyerah dan menerima salah satu dari tiga pilihan yang ditawarkan kaum muslimin. Mereka lebih memilih membayar jizyah. Kebanyakan mereka yang berada di benteng Hirah adalah orang-orang Arab yang beragama Nasrani. Melihat mereka memilih jizyah,
Khalid mencela mereka, “Kalian benarbenar bodoh, kekafiran itu seperti padang sunyi yang menyesatkan, sebodoh-bodoh orang Arab adalah mereka yang lebih memilih kekafiran.” Si Pedang Allah benar. Bahkan, di dalam al-Qur’an disebutkan bahwa orang-orang kafir itu adalah orang-orang yang tidak berakal, dan lebih bodoh dari hewan ternak. Wal ‘iyadzu billahi.
Membebaskan Negeri Syam
Khalifah mulai berencana membebaskan Syam dari kesyirikan dan kezaliman. Lama beliau memikirkan, dan sama sekali belum beliau utarakan kepada ‘Umar bin al-Khaththab atau sahabat besar lainnya radhiyallahu ‘anhuma. Suatu hari, datanglah Syurahbil bin Hasanah radhiyallahu ‘anhu yang pernah memimpin kaum muslimin memerangi orangorang murtad. Setelah berhadapan dengan Khalifah, Syurahbil berkata, “Wahai Khalifah Rasulillah, apakah Anda berencana untuk mengirim pasukan ke Syam?” “Betul. Saya memang merencanakan hal itu dan belum ada yang mengetahuinya. Engkau tidak menanyakan hal ini kepada saya kecuali karena ada sebabnya?” “Betul.
Saya bermimpi, hai Khalifah Rasulullah, seakan-akan Anda berjalan bersama orang banyak di atas kharsyafah (jalan yang sulit) di sebuah bukit hingga Anda mendaki puncak yang tinggi lalu melihat ke arah orang banyak, dan Anda saat itu bersama para sahabat Anda. Kemudian Anda menuruni puncak itu ke tanah datar yang lembut. Di situ terdapat sawah ladang, perkampungan, dan benteng. Lalu Anda berkata kepada kaum muslimin, ‘Seranglah musuh-musuh Allah! Saya jamin kalian pasti memperoleh kemenangan dan ghanimah’,” tutur Syurahbil. “Sementara itu, saya ada di antara mereka sambil memegang bendera perang yang saya hadapkan ke arah penduduk kampung itu.
Kemudian mereka memintaku jaminan keamanan, dan saya memberikan jaminan keamanan untuk mereka. Kemudian saya melihat Anda telah tiba di sebuah benteng yang sangat besar, dan Allah Subhanahu wata’ala memberi Anda kemenangan, bahkan mereka pun meminta damai kepada Anda. Allah Subhanahu wata’ala meletakkan tempat duduk untuk Anda lalu Anda duduk di atasnya. Kemudian dikatakan kepada Anda, ‘Allah telah memberimu kemenangan, kamu juga sudah ditolong, maka bersyukurlah kepada Rabbmu dan kerjakanlah amal menaati- Nya.’ Kemudian dia membacakan,
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ () وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا () فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
‘Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondongbondong, maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepada- Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.’ (an-Nashr: 1—3)
Kemudian saya terbangun.” Khalifah berkata kepadanya, “Benar tertidur matamu. Semoga kebaikanlah yang kamu lihat dan semoga kebaikanlah yang terjadi, insya Allah.” Kemudian beliau berkata, “Kamu sudah menyampaikan berita gembira berupa kemenangan dan berita kematian kepada saya.” Setelah itu, air mata Khalifah bercucuran, beliau pun melanjutkan, “Adapun jalan yang sulit (kharsyafah) yang kamu lihat dan kita mendakinya sampai puncak lalu melihat kepada orang banyak, artinya kita memberi kesulitan kepada pasukan ini dan musuh, dengan kesulitan yang benar-benar mereka rasakan. Kemudian kita mengalahkan musuh dan urusan kita pun menjulang.
Adapun turunnya kita dari puncak itu ke tanah yang datar dan lembut, sawah ladang, mata air, kampung, dan benteng, artinya kita mendapatkan kemudahan, dengan kesuburan dan penghidupan yang baik.” Khalifah melanjutkan, “Adapun ucapan saya kepada kaum muslimin, ‘Seranglah musuh-musuh Allah! Saya jamin kemenangan dan ghanimah bagi kalian,’ artinya dekatnya kaum muslimin kepada negeri musyrikin dan dorongan saya agar memerangi mereka dan memperoleh pahala serta ghanimah yang dibagikan dan penerimaan mereka. Adapun bendera yang ada bersamamu, dan kamu hadapkan ke kampung itu lalu kamu memasukinya, kemudian mereka meminta jaminan keamanan darimu dan kamu memberinya, artinya kamu adalah salah seorang pemimpin kaum muslimin yang Allah Subhanahu wata’ala bukakan kemenangan lewat tanganmu.
Adapun benteng yang Allah Subhanahu wata’ala bukakan untuk saya adalah arah yang Allah Subhanahu wata’ala bukakan untuk saya. Dan singgasana yang kamu lihat saya duduk di atasnya, artinya sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala menaikkan derajatku dan merendahkan kaum musyrikin. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَرَفَعَ أَبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْشِ
‘Dan ia menaikkan kedua ibu bapaknya ke atas singgasana….’ (Yusuf: 100).”
Khalifah melanjutkan, “Adapun perintah kepadaku agar menaati Allah Subhanahu wata’ala dan membacakan surat itu kepada saya, itu adalah berita kematian saya. Sebab, Allah Subhanahu wata’ala memberitakan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang wafat beliau dengan turunnya surat ini, dan beliau mengetahui bahwa tanda kematiannya telah diberitakan.” Kembali air mata Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu mengalir, beliau pun berkata, “Benarbenar saya akan memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar. Saya akan benar-benar berjihad memerangi mereka yang meninggalkan perintah Allah Subhanahu wata’ala dan akan saya siapkan pasukan kepada orang-orang yang menyekutukan Allah Subhanahu wata’ala di timur dan barat bumi ini sampai mereka mengucapkan, ‘Allah itu Ahad (Maha Esa), Ahad, tidak ada sekutu bagi-Nya.’ Atau, mereka menyerahkan jizyah dengan tangan mereka sendiri dalam keadaan terhina. Inilah perintah Allah Subhanahu wata’ala dan sunnah Rasul-Nya. Kalau Allah Subhanahu wata’ala mewafatkan saya, semoga Allah Subhanahu wata’ala tidak melihat saya dalam keadaan lemah dan malas, atau tidak memerlukan pahala mujahid.”
Sebuah berita gembira yang merupakan satu bagian dari empat puluh bagian nubuwah, sebagaimana diberitakan ash-Shadiqul Mashduq Shallallahu ‘alaihi wasallam. Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu menafsirkannya dengan tepat, karena kejadian yang disebutkan itu benar-benar dialami oleh kaum muslimin. Setelah itu, Khalifah memanggil beberapa pembesar sahabat Muhajirin dan Anshar, termasuk ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Khalifah mengutarakan kepada mereka rencananya, setelah itu meminta pendapat dan saran mereka. Ternyata, hadirin setuju dan beliau pun menyampaikannya kepada seluruh kaum muslimin.
Khalid bin al-Walid Naik Haji
Tahun 12 H. Setelah membebaskan al-Faradh dan Hirah di wilayah Persia, serta yakin bahwa musuh telah takluk, tebersit kerinduan dalam hati Khalid untuk berkunjung ke Baitullah al-Haram di Tanah Suci Makkah. Muncul keinginan Khalid untuk menunaikan ibadah haji pada tahun itu. Kepada beberapa sahabat dekatnya, Khalid mengutarakan maksudnya, dan meminta mereka untuk tidak menceritakan
hal ini kepada siapa pun, termasuk Khalifah Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Para sahabatnya setuju, tetapi mereka harus segera kembali sebelum diketahui oleh Khalifah. Mereka pun sepakat, akan mencari jalan paling singkat untuk tiba di Makkah dan kembali ke Irak. Akhirnya, Khalid memerintahkan
pasukan muslimin kembali ke Hirah, dan dia sendiri menampakkan seolaholah bergerak bersama pasukan itu, di barisan paling belakang. Tanggal 25 Dzul Qa’dah tahun 12 H, Khalid segera bertolak, tanpa seorang penunjuk jalan. Dengan tekad kuat, Khalid dan para sahabatnya menembus padang pasir yang tandus. Mereka menempuh jalan yang tidak pernah dilalui oleh orang. Bukit-bukit cadas yang terjal mereka daki untuk mempersingkat waktu tiba di Makkah. Pada waktu itu, Khalifah ash-Shiddiq z juga berangkat menunaikan haji bersama kaum muslimin. Singkat cerita, Khalid dan beberapa sahabatnya itu tiba di Makkah tanpa dikenali oleh seorang pun. Mereka melihat rombongan Khalifah, tetapi Khalifah tidak mengetahui keberadaan mereka.
Setelah sempurna pelaksanaan ibadah haji, Khalid segera berangkat kembali ke pasukan muslimin yang sedang menuju Hirah. Ternyata, pasukan muslimin belum tiba di Hirah, maka Khalid dan rombongannya segera berbaur dengan pasukan. Kemudian, mereka bersamasama memasuki Hirah. Pasukan muslimin mengira bahwa selama ini Khalid tetap bersama mereka. Khalifah Abu Bakr juga tidak menyangka sama sekali. Beberapa waktu setelah itu, sampailah berita kepada beliau bahwa ketika beliau berhaji, Khalid juga berhaji dan meninggalkan pasukan muslimin. Khalifah menegur Khalid dan menghukumnya dengan mengirim Khalid untuk membantu kaum muslimin di Syam.
Kata Khalifah dalam suratnya kepada Panglima Khalid, “Berangkatlah sampai kamu bergabung dengan kaum muslimin di Yarmuk, karena mereka telah merasakan kesedihan dan membuat sedih (lawan). Jangan kamu ulangi perbuatanmu, karena tidaklah bersedih sekelompok orang dengan pertolongan Allah l, sebagaimana dirimu, dan tidak hilang kesedihan itu seperti halnya dirimu. Sebab itu, perbaikilah niat, hai Abu Sulaiman, dan sempurnakanlah, semoga Allah Subhanahu wata’ala menyempurnakan (pahala) untukmu. Janganlah kamu dihinggapi oleh rasa ujub sehingga kamu akan merugi dan menjadi hina. Jauhilah, jangan kamu merasa telah memberi jasa dengan amalanmu, karena sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala lah yang memiliki karunia dan Dia pula yang memberi balasan.” Setelah itu, Khalid segera bergerak bersama sebagian kaum muslimin menuju negeri Syam.
Wasiat Khalifah
Di kota Rasul, Madinah—semoga Allah Subhanahu wata’ala selalu menjaganya. Khalifah Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu jatuh sakit. Ada yang mengatakan beliau diracun oleh seorang Yahudi. Yang lain menyebutkan bahwa beliau radhiyallahu ‘anhu wafat karena mandi ketika musim dingin yang berat, hingga demam selama lima belas hari. Beberapa sahabat membesuk beliau yang sedang sakit dan menawarkan akan memanggilkan seorang tabib (semacam dokter di masa sekarang, -red.).
Namun, beliau radhiyallahu ‘anhu justru berkata, “Sudah datang tabibnya.” “Saya melakukan apa yang saya kehendaki,” lanjut beliau. Para sahabat memahami maksud beliau. Sebagian ahli sejarah meriwayatkan bahwa sebelum meninggal dunia, beliau berwasiat agar yang memandikan jenazahnya adalah istrinya, Asma’ bintu Umais radhiyallahu ‘anha, dan putranya, ‘Abdurrahman bin Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu. Beliau meminta dikafani dengan kain seperti yang dipakai untuk kafan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Khalifah meminta keluarganya agar mengembalikan sisa harta baitul mal yang pernah beliau terima ke baitul mal kembali.
(insya Allah bersambung)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits