Selayang Pandang Hukum Waris Islam

(ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi)

 

Pengaturan Harta Waris Mutlak Di Tangan Allah l dan Rasul-Nya n

Bani Adam merupakan makhluk yang senantiasa berinteraksi dengan sesamanya. Keberadaannya yang majemuk; tua, muda, laki, perempuan, bersuku dan berbangsa, sungguh meramaikan kehidupan ini. Generasi demi generasi pun datang silih berganti seiring dengan berputarnya roda zaman. Semua itu mengingatkan kita akan kekuasaan Allah l, Pencipta alam semesta Yang Maha Kuasa lagi Maha Pengatur, Maha Memilihkan segala yang terbaik bagi hamba-Nya lagi Maha suci dan Maha Tinggi. Allah l berfirman:

“Dan Rabb-mu menciptakan segala apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia).” (Al-Qashash: 68)

Dengan kekuasaan-Nya yang mutlak Allah l menentukan segala aturan dan pilihan tersebut kepada para hamba-Nya. Baik ketentuan yang bersifat qadari/kauni (berkaitan dengan takdir Allah l yang terjadi di alam semesta) maupun yang bersifat diniy (berkaitan dengan prinsip-prinsip beragama), termasuk di dalamnya cara pembagian harta waris.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t berkata: “Allah l telah menentukan hukum waris tersebut dengan segala hikmah dan keilmuan-Nya. Dia mengatur pembagiannya kepada segenap ahli waris dengan cara terbaik dan teradil, yang itu merupakan konsekuensi dari hikmah-Nya yang tinggi, kasih sayang-Nya yang meliputi segala sesuatu, dan keilmuan-Nya yang luas. Sebagaimana pula Dia l menjelaskan cara pembagian tersebut dengan sebaik-baik penjelasan dan selengkap-lengkapnya. Sehingga didapatilah ayat-ayat dan hadits-hadits tentang waris benar-benar mencakup segala kemungkinan yang terjadi dalam permasalahan waris. Baik ayat-ayat dan hadits-hadits yang amat jelas dan dapat dipahami oleh semua orang ataupun yang membutuhkan perhatian khusus dalam memahaminya.” (Tashilul Faraidh, hal. 5)

Pembagian harta waris sendiri, merupakan masalah sensitif yang seringkali menjadi sumber konflik dalam sebuah keluarga. Maha Suci Allah Yang Pengasih lagi Maha Penyayang, manakala berkenan mengatur secara langsung cara pembagian harta waris tersebut sebagaimana dalam Al-Qur’an, ataupun melalui lisan Rasulullah n (sebagaimana dalam Sunnahnya). Dengan pembagian tersebut, masing-masing dari ahli waris akan mendapatkan bagian sesuai dengan porsinya, tak seorang pun dirugikan. Karena yang menetapkannya adalah Allah l Dzat Yang Maha Mengetahui, Maha Bijaksana lagi Maha Penyantun. Sebagaimana firman Allah l:

“Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisa’: 11)

“(Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.” (An-Nisa’: 12)

Manakala keharmonisan sebuah keluarga yang ditinggalkan si mayit (ahli waris) sangat bergantung pada penerapan aturan pembagian tersebut, maka Allah l menegaskan:

“(Batasan-batasan hukum) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Al-Jannah yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Maka barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam An-Nar sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (An-Nisa’: 13-14)

Dari ayat-ayat di atas dapatlah disimpulkan bahwa Allah l menetapkan hukum waris tersebut berdasarkan keilmuan dan hikmah-Nya. Oleh karena itu, hukum waris tersebut harus diterapkan dan tidak boleh ditambah ataupun dikurangi. Berikutnya, Allah l menjanjikan Al-Jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai bagi orang-orang yang menaati-Nya dalam hal ketetapan hukum waris tersebut dengan berjalan di atasnya, dan mengancam siapa saja yang melampaui batas-batas yang telah ditetapkan-Nya dengan dimasukkan ke dalam An-Nar dan diazab dengan siksa yang menghinakan. (Lihat Tashilul Faraidh, hal. 6)

 

Bentuk Perwarisan dalam Hukum Waris Islam

Hukum waris Islam sangat sesuai dengan prinsip keadilan, bahkan merupakan kebalikan dari hukum waris jahiliah yang diliputi kezaliman. Di masa jahiliah, sang ahli waris terbatas pada anak lelaki yang mampu menunggang kuda, cakap memanah, dan siap berlaga di medan tempur. Adapun anak perempuan ataupun anak lelaki yang masih kecil, tidak mendapatkan harta waris. Di sisi lain, anak angkat (hasil adopsi) justru bisa mendapatkan harta waris tersebut. Kemudian jika si mayit tak mempunyai anak lelaki dengan kriteria di atas, maka harta warisnya pun akan berpindah kepada saudara laki-lakinya atau pamannya. (Untuk lebih rincinya, lihat At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 17-21)

Dalam hukum waris Islam, (secara garis besar) ada dua bentuk perwarisan yang tak akan didapati pada hukum selainnya:

1. Dengan cara fardh (bil-fardhi), yaitu mendapatkan harta waris sesuai dengan jatah tertentu yang ditentukan Allah l dan Rasul-Nya n. Jatah waris yang ditentukan Allah l dan Rasul-Nya n ada enam; 1/2, 1/3, ¼, 1/6, 1/8, dan 2/3. Kemudian ditambah satu lagi, yaitu; tsulutsul baqi (1/3 dari harta yang tersisa) yang merupakan ijtihad Khalifah ‘Umar bin Al-Khaththab. Seseorang yang mewarisi harta warisnya dengan cara fardh ini disebut shahibul fardh, dan jika berjumlah banyak disebut ashhabul furudh1.

2. Dengan cara ta’shib (bit-ta’shib), yaitu mendapatkan harta waris dengan cara mengambil sisa harta yang telah dibagikan kepada ashhabul furudh, tanpa ada ketentuan jatahnya. Atau dengan mengambil seluruhnya manakala sendirian dan tidak ada ashhabul furudh yang bersamanya. Seseorang yang mewarisi harta warisnya dengan cara ta’shib ini disebut ‘ashib, dan jika berjumlah banyak disebut ‘ashabah.2

Jika dalam satu masalah waris terkumpul dua bentuk perwarisan di atas, maka yang dilakukan terlebih dahulu adalah cara fardh, kemudian setelah itu dengan cara ta’shib. Atas dasar itu, jika dalam satu masalah waris terkumpul ‘ashib/’ashabah dan shahibul fardh/ashhabul furudh, maka jatah shahibul fardh/ashhabul furudh dibagikan terlebih dahulu, kemudian yang tersisa menjadi milik ‘ashib/’ashabah. Hal ini berdasarkan bimbingan Rasulullah n:

اِقْسِمُوا الْمَالَ بَيْنَ أَهْلِ الْفَرَائِضِ عَلَى كِتَابِ الله، فَمَا تَرَكَتِ الْفَرَائِضُ فَلِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ

“Bagikanlah harta waris itu diantara ashhabul furudh (terlebih dahulu) sesuai dengan apa yang terdapat dalam Kitabullah, kemudian apa yang disisakan oleh ashhabul furudh adalah untuk lelaki yang terkuat (dari kalangan ‘ashabah, pen.). ” (HR. Al-Bukhari no. 6746 dan Muslim no. 1615, dari sahabat Abdullah bin Abbas c) [Lihat Al-Khulashah Fi Ilmil Faraidh, hal. 64-65]


1 Batasan minimal banyak (jamak) dalam ilmu al-faraidh adalah dua, bukan tiga.