Shaffiyah Binti Huyai Cinta dari Tanah Khaibar

Benteng-benteng Khaibar menyisakan kemenangan bagi kaum muslimin setelah terkepung selama 20 hari. Pasukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tak hanya pulang membawa kegemilangan, namun juga membawa cinta seorang wanita, Shafiyyah bintu Huyai radhiallahu ‘anha.

Tergurat dalam sejarah perjalanan hidup manusia, pada tahun ketujuh setelah hijrah, Allah subhanahu wa ta’ala membukakan Khaibar bagi pasukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di sana terbentang kebun-kebun kurma yang menjadi harta rampasan yang sangat berharga. Sementara para wanita Yahudi Bani Nadhir menjadi tawanan di tangan kaum muslimin. Di antara mereka ada seorang wanita berparas cantik, putri pemimpin Bani Nadhir.

Wanita itu bernama Shafiyyah bintu Huyai bin Akhthab an-Nadhiriyah. Wanita mulia dari keturunan Nabi Allah subhanahu wa ta’ala, Harun bin ‘Imran, saudara Musa bin ‘Imran ‘alaihimassalam. Ibunya bernama Barrah bintu Samual.

Wanita itu baru saja melangsungkan pernikahannya dengan Kinanah bin Abil Huqaiq, salah seorang penyair dari kalangan Yahudi, setelah sebelumnya menjanda dari suaminya, Salam bin Misykam. Namun bara peperangan Khaibar telah merenggut Kinanah dari sisinya.

Usai peperangan, Dihyah al-Kalbi meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, berikanlah kepadaku seorang tawanan wanita.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Pergi dan ambillah!” Dari sekian tawanan wanita, Dihyah menjatuhkan pilihannya pada Shafiyyah.

Sementara itu, kabar tentang kecantikan Shafiyyah merebak di kalangan kaum muslimin, hingga orang-orang memuji-muji Shafiyyah di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak ada di antara para tawanan yang secantik dia.”

Saat itu, di antara para sahabat ada yang menyampaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, tidak ada yang pantas memiliki Shafiyyah kecuali engkau.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun kemudian memanggil Dihyah bersama Shafiyyah. Kala itu, beliau melihat Shafiyyah, kemudian memerintahkan kepada Dihyah untuk mengambil salah seorang tawanan yang lain.

Tercatatlah sebuah peristiwa berharga. Pada bulan Ramadhan tahun ketujuh setelah hijrah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerdekakan Shafiyyah dan menikahinya dengan mahar kemerdekaan dirinya.

Setelah itu, pasukan kaum muslimin pun bergerak menempuh perjalanan pulang menuju Madinah. Di tengah perjalanan, pasukan ini singgah di Saddus Shahba’, suatu tempat di antara Khaibar dan Madinah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan Shafiyyah kepada Ummu Sulaim radhiallahu ‘anha, sambil berpesan, “Riaslah dia.” Malam di persinggahan itu menjadi milik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama Shafiyyah.

Tatkala bertemu dengan Shafiyyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat warna lebam kehijauan di mata Shafiyyah, hingga beliau bertanya tentang itu. Shafiyyah pun bertutur, “Saat itu, aku tengah tidur di pangkuan Kinanah. Aku bermimpi, bulan jatuh di pangkuanku. Ketika terjaga, kuceritakan mimpiku itu kepada Kinanah. Kinanah pun marah dan menempelengku, sembari mengatakan, ‘Engkau mengangan-angankan penguasa Yatsrib[1] (maksudnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, red.)?’.”

Tiga malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama Shafiyyah dalam persinggahan. Pada pagi harinya, beliau berkata kepada para sahabatnya, “Barang siapa yang memiliki sisa perbekalan, berikanlah kepada kami.” Serta-merta para sahabat datang. Di antara mereka ada yang datang membawa kurma, ada yang membawa sawiq[2], kemudian diolah menjadi hais[3]. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengundang para sahabat untuk makan bersama. Itulah walimah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk seorang wanita yang mulia, Shafiyyah bintu Huyai radhiallahu ‘anha.

Mereka mulai bertanya-tanya, apakah Shafiyyah termasuk salah satu Ummahatul Mukminin ataukah hanya sebagai sahaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Di antara mereka ada yang berkata, “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memakaikan kepadanya hijab, berarti dia ummul mukminin. Jika tidak, berarti dia hamba sahaya beliau.”

Perhelatan telah usai. Pasukan kaum muslimin bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan ke Madinah. Saat itulah pertanyaan mereka terjawab. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelubungkan hijab, menutupi Shafiyyah bintu Huyai radhiallahu ‘anha. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlutut di sisi untanya, memberikan pijakan kepada istrinya untuk naik ke atas tunggangan. Shafiyyah bintu Huyai radhiallahu ‘anha meletakkan kakinya di atas lutut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga naik dan duduk di atas unta. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memboncengkannya menuju negeri Madinah yang telah menanti kedatangan pasukan kaum muslimin yang membawa kemenangan.

Mulai saat itu, Shafiyyah bintu Huyai radhiallahu ‘anha memasuki rumah tangga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para istri beliau yang lain, dalam bimbingan seorang suami yang mulia, dalam tuntunan cahaya nubuwwah.
Terkadang letupan-letupan kecil terjadi di antara para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pun Shafiyyah bintu Huyai radhiallahu ‘anha, seorang wanita cantik di antara para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tak urung mengalaminya pula.

‘Aisyah bintu Abu Bakr radhiallahu ‘anha mengatakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, cukuplah engkau dari Shafiyyah. Dia itu seorang wanita yang pendek!”

Mendengar ucapan itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang telah menodai kehormatan Shafiyyah radhiallahu ‘anha, “Engkau telah mengucapkan suatu kalimat yang bila tercampur dengan lautan, pasti lautan itu akan tercemari!”

Pada kali yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapati Shafiyyah tengah berurai air mata. Manakala melihat istrinya menangis, diiringi dengan kelembutan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa yang membuatmu menangis, wahai Shafiyyah?”

Shafiyyah mengadukan kesedihannya, “Aku mendengar ‘Aisyah dan Hafshah mencaci diriku dan mengatakan, ‘Kami lebih mulia daripada Shafiyyah di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami putri-putri paman beliau sekaligus istri-istri beliau’.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Mengapa tidak engkau katakan, ‘Bagaimana bisa kalian berdua lebih mulia dariku, sementara suamiku Muhammad, ayahku Harun dan pamanku Musa?’.”

Suatu saat, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menderita sakit menjelang wafat beliau, para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkumpul di sisi beliau. Kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Shafiyyah bintu Huyai radhiallahu ‘anha mengatakan, “Demi Allah, wahai Nabi Allah, sungguh aku bisa merasakan apa yang kaurasakan.”

Ucapan Shafiyyah radhiallahu ‘anha itu membuat para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saling mengerdipkan mata, sehingga beliau menegur, “Hendaknya kalian berkumur-kumur!”

Para istri beliau pun merasa heran dan bertanya, “Berkumur-kumur karena apa, wahai Rasulullah?”

Beliau menjawab, “Karena kerdipan mata di antara kalian terhadap Shafiyyah. Demi Allah, dia berkata jujur.”

Shafiyyah bintu Huyai bin al-Akhthab radhiallahu ‘anha memang pemilik nasab yang mulia, berdampingan dengan suami yang paling mulia. Wanita ini juga dikenal sebagai wanita yang cerdas, mulia, dan amat penyantun. Peristiwa-peristiwa yang dilaluinya menunjukkan ketenangan dan kesantunannya.

Bahkan suatu ketika, budak perempuan Shafiyyah mendatangi ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu. Dia melemparkan tuduhan terhadap Shafiyyah bintu Huyai radhiallahu ‘anha di hadapan ‘Umar, “Shafiyyah menyukai hari Sabtu[4] dan memiliki hubungan dengan orang-orang Yahudi.”

‘Umar pun kemudian mengutus seseorang untuk menanyakan hal itu kepada Shafiyyah. Shafiyyah radhiallahu ‘anha menjelaskan, “Mengenai hari Sabtu, aku tidak lagi menyukainya semenjak Allah subhanahu wa ta’ala menggantikan bagiku hari Jum’at. Adapun mengenai orang-orang Yahudi itu, aku memiliki hubungan kekerabatan dengan mereka hingga aku menyambungnya.”

Setelah itu, Shafiyyah memanggil budak perempuannya itu dan bertanya, “Apa yang mendorongmu untuk melakukan itu semua?”

Jawab budak perempuan itu, “Setan.”

Jauh dari sangkaan, jawaban budak itu bukan membuat Shafiyyah bintu Huyai radhiallahu ‘anha berang. Sebaliknya dia mengatakan, “Pergilah, engkau sekarang merdeka.”

Shafiyyah bintu Huyai bin al-Akhthab radhiallahu ‘anha meriwayatkan ilmu dari suaminya yang mulia, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Banyak orang yang mengambil ilmu itu darinya. Shafiyyah bintu Huyai radhiallahu ‘anha terus menjalani kehidupannya hingga tiba saat dia harus menghadap Rabbnya, pada bulan Ramadhan tahun kelima puluh setelah hijrah, dalam masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma. Shafiyyah bintu Huyai, semoga Allah  subhanahu wa ta’ala meridhainya….

Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Abdirrahman bintu Imran

Sumber Bacaan:

  1. al-Ishabah, al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani (7/741)
  2. al-Isti’ab, al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr (4/1871—1872)
  3. Nashihati lin-Nisa’, Ummu ‘Abdillah al-Wadi’iyyah (hlm. 26—27)
  4. Shahihus Sirah an-Nabawiyyah, Ibrahim al-’Ali (hlm. 350—352)
  5. Siyar A’lamin Nubala’, al-Imam adz-Dzahabi (2/231—238)
  6. Tahdzibul Kamal, al-Imam al-Mizzi (35/210)

 


 

[1] Yatsrib adalah asal nama kota al-Madinah an-Nabawiyyah.

[2] Salah satu jenis gandum.

[3] Makanan yang terbuat dari kurma, samin, dan gandum.

[4] Hari Sabtu adalah hari yang dimuliakan oleh orang-orang Yahudi.