Sifat Shalat Nabi : (4) Melihat ke Tempat Sujud

Semula dalam shalatnya Rasulullah n mengangkat pandangannya ke langit. Lalu turunlah ayat:

“(Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalat mereka.” (Al-Mu’minun: 2)

Beliau pun menundukkan kepala beliau. (HR. Al-Hakim 2/393. Al-Imam Al-Albani t mengatakan bahwa hadits ini di atas syarat Muslim, lihat Ashlu Shifah1/230)

Aisyah x berkata:

دَخَلَ رَسُولُ اللهِ n الْكَعْبَةَ مَا خَلَفَ بَصَرُهُ مَوْضِعَ سُجُودِهِ حَتَّى خَرَجَ مِنْهَا

“Rasulullah n masuk Ka’bah (untuk mengerjakan shalat, pen.) dalam keadaan pandangan beliau tidak meninggalkan tempat sujudnya (terus mengarah ke tempat sujud) sampai beliau keluar dari Ka’bah.” (HR. Al-Hakim 1/479 dan Al-Baihaqi 5/158. Kata Al-Hakim, “Shahih di atas syarat Syaikhan.” Hal ini disepakati Adz-Dzahabi. Hadits ini seperti yang dikatakan keduanya, kata Al-Imam Albani t. Lihat Ashlu Shifah 1/232)

Ulama berbeda pendapat, ke arah mana sepantasnya pandangan orang yang shalat tertuju. Al-Imam Al-Bukhari t dalam Shahihnya menyebutkan: “Bab Raf’ul bashar ilal imam fish shalah (mengangkat pandangan ke imam di dalam shalat). Lalu beliau membawakan beberapa hadits yang menunjukkan bahwasanya para shahabat dahulu melihat kepada Rasulullah n dalam keadaan shalat pada beberapa kejadian yang berbeda-beda. Seperti riwayat Abu Ma’mar, ia berkata: Kami bertanya kepada Khabbab z, “Apakah dulunya Rasulullah n membaca Al-Qur’an saat berdiri dalam shalat dhuhur dan ashar?” Khabbab menjawab, “Iya.” “Dengan apa kalian mengetahui hal tersebut[1]?” Khabbab menjawab lagi, “Dengan melihat gerakan naik turunnya jenggot beliau.” (no. 746)

Demikian pula kabar tentang shalat gerhana matahari seperti yang diberitakan Abdullah bin Abbas c. Di dalamnya disebutkan bahwa para sahabat bertanya kepada Rasulullah n, “Wahai Rasulullah, dalam shalat tadi kami melihatmu mengambil sesuatu pada tempatmu, kemudian kami melihatmu tertahan (tidak jadi mengambilnya).” (no. 748)

Al-Imam Malik t berpendapat, pandangan diarahkan ke kiblat. Adapun Al-Imam Asy-Syafi’i t dan orang-orang Kufah berpandangan disenanginya orang yang shalat melihat ke tempat sujudnya karena yang demikian itu lebih dekat kepada kekhusyuan.

Al-Hafizh t berkata, “Memungkinkan bagi kita memisahkan antara imam dan makmum. Disenangi bagi imam melihat ke tempat sujudnya. Demikian pula makmum, kecuali bila ia butuh untuk memerhatikan imamnya (guna mencontoh sang imam, pen.). Adapun orang yang shalat sendirian, maka hukumnya seperti hukum imam (yaitu melihat ke tempat sujud). Wallahu a’lam.” (Fathul Bari, 2/301)

Al-Imam Al-Albani t berkata, “Dengan perincian yang disebutkan Al-Hafizh t di atas dapat dikumpulkanlah hadits-hadits yang dibawakan oleh Al-Bukhari dalam babnya dan hadits-hadits yang menyebutkan tentang melihat ke tempat sujud. Ini merupakan pengumpulan yang bagus. Wallahu ta’ala a’lam.” (Ashlu Shifah 1/233)

 

Memejamkan mata ketika shalat

Al-Imam Ibnu ‘Utsaimin t berkata: “Yang benar, memejamkan mata di dalam shalat adalah perkara yang dibenci, karena menyerupai perbuatan orang-orang Majusi dalam peribadatan mereka terhadap api, di mana mereka memejamkan kedua mata. Dikatakan pula bahwa hal itu termasuk perbuatan orang-orang Yahudi. Sementara menyerupai selain muslimin minimal hukumnya haram, sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam t.

Oleh karena itu, memejamkan mata dalam shalat minimalnya makruh, kecuali jika di sana ada sebab, seperti misalnya di sekitarnya terdapat perkara-perkara yang bisa melalaikannya dari shalat kalau dia membuka matanya. Dalam keadaan seperti itu, dia boleh memejamkan mata untuk menghindari kerusakan tersebut.” (AsySyarhul Mumti’, 3/41)

 

Larangan melihat ke langit/ ke atas ketika shalat

Melihat ke langit/ke atas adalah perkara yang diharamkan dan termasuk dari dosa besar, sebagaimana hadits Jabir bin Samurah z bahwa Rasulullah n bersabda:

لَيَنْتَهِيَنَّ أَقوَامٌ يَرْفَعُوْنَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي الصَّلاَةِ أَوْ لاَ تَرجِعُ إِلَيهِم

“Hendaklah orang-orang itu sungguh-sungguh menghentikan untuk mengangkat pandangan mereka ke langit ketika dalam keadaan shalat, atau (bila mereka tidak menghentikannya) pandangan mereka itu tidak akan kembali kepada mereka.”

Dalam satu riwayat:

أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ

“Atau sungguh-sungguh akan disambar pandangan-pandangan mereka.” (HR. Muslim no. 965, 966)

Kata Al-Imam An-Nawawi t, “Hadits ini menunjukkan larangan yang ditekankan dan ancaman yang keras dalam masalah tersebut.” (Al-Minhaj, 4/372)

 

Larangan menoleh dalam shalat

Aisyah x pernah bertanya kepada Rasulullah n tentang menoleh ketika sedang shalat. Beliau menjawab:

هُوَ اخْتِلاَسٌ يَخْتَلِسُهُ الشَّيْطَانُ مِنْ صَلاَةِ الْعَبْدِ

“Menoleh dalam shalat adalah sambaran cepat, di mana setan merampasnya dari shalat seorang hamba.” (HR. Al-Bukhari no. 751)

Abu Dzar z berkata: Rasulullah n bersabda:

لاَ يَزَالُ اللهُ مُقْبِلًا عَلَى الْعَبْدِ فِي صَلاَتِهِ مَا لَمْ يَلْتَفِتْ، فَإِذَا صَرَفَ وَجْهَهُ انْصَرَفَ عَنْهُ

“Terus-menerus Allah menghadap kepada seorang hamba yang sedang mengerjakan shalat selama si hamba tidak menoleh. Bila si hamba memalingkan wajahnya, Allah pun berpaling darinya.” (HR. Abu Dawud no. 909. Dishahihkan dalam Shahih At-Targhib no. 552)

 

Menoleh karena sesuatu yang mengejutkan atau karena suatu kebutuhan

Anas bin Malik z berkisah, “Tatkala kaum muslimin sedang mengerjakan shalat fajar, tak ada yang mengejutkan mereka kecuali Rasulullah n (yang ketika itu sedang sakit sehingga tidak dapat hadir shalat berjamaah bersama mereka, pen.) tiba-tiba menyingkap tabir penutup kamar Aisyah, lalu memandang mereka dalam keadaan mereka berada dalam shaf-shaf. Beliau pun tersenyum lalu tertawa. Abu Bakr z yang saat itu mengimami manusia hendak mundur untuk bergabung dengan shaf di belakangnya, karena ia menyangka Rasulullah n ingin keluar (untuk mengimami mereka). Kaum muslimin pun hampir-hampir terfitnah dalam shalat mereka karena gembiranya mereka melihat Rasulullah n. Namun ternyata Rasulullah memberi isyarat kepada mereka yang bermakna, “Sempurnakanlah shalat kalian.” Setelah itu beliau mengulurkan kembali tabir penutup kamar Aisyah. Ternyata beliau wafat di akhir hari tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 754)

Hadits di atas menunjukkan bahwa tatkala Rasulullah n menyingkap tabir kamar Aisyah yang posisinya di kiri kiblat, para sahabat g menoleh ke arah beliau. Karena menolehlah mereka dapat melihat isyarat beliau n kepada mereka. Dengan tolehan tadi Rasulullah n tidak memerintahkan mereka untuk mengulang shalat mereka, bahkan menetapkan shalat mereka dengan isyarat agar mereka melanjutkannya. (Fathul Bari, 2/306)

Suatu ketika, Rasulullah n terlambat datang untuk mengimami manusia karena ada keperluan yang ingin beliau selesaikan. Abu Bakr Ash-Shiddiq z pun diminta menjadi imam. Di tengah shalat, datanglah Rasulullah n bergabung dalam shaf. Orang-orang pun bertepuk tangan ingin memperingatkan Abu Bakr z tentang keberadaan Rasulullah n. Sementara Abu Bakr z tidak pernah menoleh dalam shalatnya. Namun tatkala semakin ramai orang-orang memberi isyarat dengan tepuk tangan, Abu Bakr z pun menoleh hingga ia melihat Rasulullah n. Abu Bakr n ingin mundur, namun Rasulullah n memberi isyarat yang bermakna,“Tetaplah engkau di tempatmu.” (HR. Al-Bukhari no. 684)

Hadits di atas menunjukkan Abu Bakr z menoleh dalam shalatnya karena suatu kebutuhan, dan Rasulullah n tidak menyuruh Abu Bakr z mengulang shalatnya, bahkan mengisyaratkan agar melanjutkan keimamannya.

Dengan demikian, menoleh dalam shalat tidaklah mencacati shalat tersebut terkecuali bila dilakukan tanpa ada kebutuhan. (Fathul Bari, 2/305)

Dalil lain yang juga menunjukkan bolehnya menoleh bila ada kebutuhan adalah hadits yang berisi perintah Rasulullah n untuk membunuh ular dan kalajengking bila didapati oleh seseorang yang sedang mengerjakan shalat. Sementara membunuh hewan ini berarti membutuhkan gerakan-gerakan di luar gerakan shalat dan mungkin butuh untuk menoleh. Abu Hurairah z berkata:

أَمَرَ رَسُولُ اللهِ n بِقَتْلِ الْأَسْوَدَينِ فِي الصَّلاَةِ: الْحَيَّةِ وَالْعَقْرَبِ

“Rasulullah n memerintahkan untuk membunuh dua yang hitam di dalam shalat, yaitu ular dan kalajengking.” (HR. At-Tirmidzi no. 390, dishahihkan dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

Setelah membawakan hadits di atas, Al-Imam At-Tirmidzi t berkata, “Ini yang diamalkan oleh sebagian ahlul ilmu dari kalangan sahabat Nabi n dan selain mereka. Dengan ini pula Al-Imam Ahmad t berpendapat, demikian pula Ishaq. Sebagian ahlul ilmi yang lain membenci untuk membunuh ular dan kalajengking di dalam shalat. Kata Ibrahim An-Nakha’i, “Sesungguhnya dalam shalat itu ada kesibukan.” Namun pendapat pertama yang lebih shahih/benar.” (Sunan At-TirmidziKitab Ash-Shalah, Bab Ma ja’a fi qatlil hayyah wal ‘aqrab fish shalah)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab(insya Allah bersambung)

 


[1] Karena tidak terdengar suara disebabkan shalat dhuhur dan ashar adalah shalat sirriyah.

Comments are closed.