السلام عليكم ورحمة الله و بركاته
Jilbab (baca: kerudung) telah menjadi komoditas mode. Banyak wanita yang lantas latah mengikuti perkembangan mode kerudung. Sejumlah artis pun menjadi trendsetter (acuan) berkerudung. Muncullah kerudung Inneke, kerudung Manohara, kerudung Marshanda, dsb.
Produsen-produsen kerudung dengan teramat santai mengemasnya dengan slogan trendi dan syar’i, smart dan syar’i, praktis dan Islami, syar’i dan girlie, funkies namun syar’i, dsb. Karena laris, bisnis kerudung pun menjanjikan untung segunung. Yang menyedihkan, segala kerudung itu turut dikampanyekan sejumlah media Islam. Iklan kerudung hampir memenuhi seluruh isi majalah. Iklan kerudung bikin untung, memang. Namun, sadarkah kita sebagai media Islam, iklan itu menjadi semacam tazkiyah (rekomendasi) akan berbusana seperti ini? Belum dengan model menawan yang bisa mengundang godaan bagi laki-laki yang memandangnya.
Apakah kita siap mempertanggungjawabkan semua itu di hadapan Allah Subhanahu wata’ala? Bicara “fikih” mending, memang mending pakai kerudung daripada tidak sama sekali. Daripada mengumbar aurat lebih mending jika “menutup” aurat. Namun, masalahnya adalah munculnya jilbabjilbab gaul telah membelokkan semangat berpakaian yang syar’i. Banyak “hijaber” dengan kerudung seperti itu telah merasa menutup aurat, walaupun hakikatnya hanya menutup kepala. Tanpa disadari, kita bahkan menjadi “iklan berjalan” dari makar musuhmusuh islam yang berupaya membelokkan makna hijab yang syar’i. Alih-alih memakai jilbab yang longgar dan menutup dada, malah muncul model “berjilbab” yang ala kadarnya. Atasnya kerudung mini, bawahnya koboi.
Atasnya kerudung, bawahnya transparan. Atasnya kerudung, bawahnya celana pensil. Jilbab yang sedianya demi menjaga kehormatan diri tanpa mengundang daya tarik laki-laki mengalami anomali. Kini berjilbab itu justru wajib good looking (enak dilihat), modis, atau stylish. Belum dengan aksesoris yang Syar’i atau Trendi? “mempermanis” penampilan. Pernahkah kita sejenak merenung, kita sudah merasa menutup aurat namun nyatanya kita masih giat mengundang daya tarik laki-laki? Alhasil, tak hanya beranomali, gaya “berjilbab” sekarang benar-benar belok kiri. Di sisi lain, ada orang-orang yang tidak mau mengenakan jilbab dengan dalih yang penting ketakwaan bukan penampilan. Kalau penampilan dianggap tidak penting, mengapa wanita yang beralasan semacam itu tiap pekan ke salon dan spa; dan kenapa tiap keluar rumah selalu bermake-up? Pakaian takwa memang yang paling utama. Namun jangan lupa, pakaian yang tampak adalah bagian dari ketakwaan seseorang.
Lebih lebih, berhijab adalah perintah Allah Subhanahu wata’ala, dan tanda ketakwaan adalah ketaatan kita dalam menjalankan perintah-Nya. Problem yang sama juga dialami kaum pria. Sekarang banyak busana pria yang hanya meniru-niru model yang sedang ngetren, entah itu berasal dari Barat atau Korea. Belum rasa malu yang sudah tanggal, laki-laki kemana-mana menggunakan celana yang menampakkan aurat, entah itu celana pendek, ketat, atau yang berlubang di sanasini. Belum dengan model potongan yang melebihi mata kaki. Sekali lagi, kesadaran menutup aurat atau taat kepada aturan syar’i tenggelam dalam gempita fesyen.
Giliran ketemu jilbab syar’i atau jubah dituding adat Arab, seakan-akan celana jeans atau jas lengkap dengan dasinya adalah adat asli Indonesia. Intinya, memang ada rasa minder dalam hal ini. Oleh karena itu, mari kita perbaiki diri, sempurnakan hijab atau busana kita sesuai aturan syar’i. Semakin kita menutup rapat aurat kita, semakin tinggi harga diri kita sebagai seorang muslim/ muslimah. Lebih-lebih, hijab adalah suatu kebaikan besar, kehormatan, kemuliaan, sekaligus identitas seorang muslimah. Ketidaksiapan tidaklah pantas dijadikan alasan. Jika niat kita lurus, Allah Subhanahu wata’ala lah yang akan memberikan kita kesiapan dan kemantapan. Kata “syar’i” dan “trendi” bagaimanapun sulit bersenyawa. Jadi, kita pun diharuskan memilih: syar’i atau trendi?