Syiah dan Tanah Karbala

Apa itu tanah Karbala? Menurut kaum Syiah, Karbala adalah tempat yang paling terhormat dan mulia di muka bumi ini.

Lantas, bagaimana halnya dengan Baitullah al-Haram? Dalam pandangan Syiah, Karbala tetap lebih utama. Karbala adalah sebuah kota yang terletak di Irak. Karbala sangat bersejarah bagi pemeluk agama Syiah, tempat terbunuhnya seorang yang suci dari keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, al-Husain bin Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhuma.

Karena memiliki nilai sejarah yang tinggi bagi penganut Syiah, sudah barang tentu tanah Karbala memiliki nilai kesakralan dalam pandangan mereka. Sudah menjadi ciri, seseorang dikenal sebagai Syiah melalui lempengan tanah Karbala yang dijadikan tempat sujudnya.

Ada beberapa riwayat palsu yang mereka jadikan pijakan keyakinan sesat mereka. Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam kitab beliau Silsilah Ahadits Shahihah (4/146) membawakan riwayat dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha dan dari Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu tentang berita akan terbunuhnya al-Husain radhiallahu ‘anhu di Karbala. Riwayat tentang hal ini sahih dengan semua jalannya.

Setelah itu beliau menjelaskan bahwa tidak ada sedikit pun dari semua riwarat tersebut yang menunjukkan tentang sucinya Tanah Karbala, keutamaan sujud di atasnya, dan dianjurkannya mengambil satu lempeng Tanah Karbala untuk sujud saat shalat; sebagaimana yang dilakukan oleh Syiah di masa sekarang.

Kalaulah perbuatan itu dianjurkan, tentu tanah dari dua Tanah Suci (Makkah dan Madinah) lebih pantas. Perbuatan ini termasuk bid’ah yang ada pada Syiah. Selain itu, kenyataan ini juga menunjukkan sikap keterlaluan dan melampaui batas terhadap keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan peninggalan-peninggalan mereka.

Lebih mengherankan lagi, mereka menjadikan akal sebagai sumber syariat. Mereka menimbang baik dan jeleknya sesuatu sesuai dengan akal. Mereka membawakan riwayat-riwayat tentang keutamaan sujud di Tanah Karbala; riwayat yang dipastikan kebatilannya oleh akal sehat.

Asy-Syaikh al-Albani menemukan tulisan salah seorang mereka yang bernama Sayyid Abdur Ridha al-Mar’asyi asy-Syahrastani berjudul as-Sujud ‘Ala Turbatul Husainiyah. Pada halaman 15, dia mengatakan, “Terdapat riwayat bahwa sujud di atasnya lebih utama karena kemuliaan, kesucian, dan sucinya orang yang dimakamkan di tempat tersebut.

Terdapat hadits dari para imam ahli bait yang suci ‘alahimus salam bahwa sujud di atas tanahnya akan menerangi sampai bumi yang tujuh. Hadits yang lain menyebutkan bahwa—sujud di atasnya—akan melubangi hijab yang ketujuh. Hadits yang lain menyebutkan bahwa Allah menerima shalat orang yang sujud di atasnya melebihi orang yang shalat dan tidak sujud di atasnya. Hadits yang lain menyebutkan bahwa sungguh shalat di atas tanah kuburan al-Husain akan menerangi semua lapisan bumi.”

Tentu saja hadits seperti ini sangat jelas kebatilannya menurut kami. Para imam ahli bait pun berlepas diri darinya. Hadits-hadits tersebut tidak memiliki sanad yang bisa dikritisi melalui tinjauan ilmu hadits dan dasar-dasar ilmu hadits. Semuanya adalah riwayat mursal dan mu’dhal, yang termasuk bagian dari riwayat-riwayat yang lemah.

Bahkan, pengarangnya membawakan riwayat dengan penuh dusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti hadits, “Yang pertama kali menjadikan alas sujud lempengan Tanah Karbala adalah Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun ketiga hijriah tatkala terjadi perang yang mengerikan antara kaum muslimin dan kafir Quraisy di Uhud. Terbunuhlah seorang pilar terbesar Islam, yaitu Hamzah bin Abdul Muththalib, paman Rasulullah. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh setiap istrinya untuk meratap setiap sore, sampai ke taraf memuliakannya dan menjadikan tanah kuburnya untuk bertabarruk dan bersujud kepada Allah subhanahu wa ta’ala di atas tanahnya. Mereka menjadikan tanah tersebut alat bertasbih.”

Coba renungkan, bagaimana dia berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menganggap bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang pertama kali menjadikan lempengan Tanah Karbala sebagai tempat sujud. Dia tidak membawakan penopang ucapannya selain kedustaan lain bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah istri-istrinya untuk meratapi kematian Hamzah radhiallahu ‘anhu setiap sore. Ini semuanya jelas tidak ada keterkaitannya dengan lempengan Tanah Karbala.

Asy-Syaikh al-Albani lalu mengatakan, “Kedustaan dan penipuan kaum Syiah terhadap umat ini hampir-hampir tidak terhitung banyaknya.”

Beliau juga mengatakan, “Jelaslah bagimu benarnya ucapan para imam umat yang menyifati kaum Syiah: kelompok yang paling pendusta adalah Rafidhah.”

 

Syiah dan Bulan Muharram

Bulan Muharram adalah salah satu dari asyhurul hurum (bulan haram). Allah subhanahu wa ta’ala memuliakannya dengan tidak bolehnya melakukan pertumpahan darah pada bulan tersebut. Bahkan, pada 10 Muharram, hari Asyura’, Allah subhanahu wa ta’ala menganjurkan berpuasa dengan pahala yang sangat besar.

Bagi kaum Syiah, hari Asyura’ dinilai bersejarah karena bertepatan dengan terbunuhnya al-Husain bin Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhuma dengan penuh kezaliman pada 61 H.

Menurut umat Islam Ahlus Sunnah wal Jamaah, beliau meninggal sebagai syahid. Oleh sebab itu, beliau dimuliakan. Beliau dan saudaranya, al-Hasan, adalah dua pemuda surga. Ternyata kedudukan yang tinggi harus diperoleh dengan pengorbanan yang besar pula.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya,

        أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلَاءً؟ فَقَالَ: الْأَنِبْيَاءُ ثُمَّ الصَّالِحُونَ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ، يُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ صَلَابَةٌ زِيدَ فِي بَلَائِهِ، وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ خُفِّفَ عَنْهُ، وَ يَزَالُ الْبَلَاءُ بِالْمُؤْمِنِ حَتَّى يَمْشِيَ عَلَى الْأَرْضِ وَلَيْسَ عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ

“Siapakah yang paling berat cobaannya?”

Beliau menjawab, “Para nabi, kemudian orang-orang saleh, kemudian setelah mereka, dan setelah mereka. Seseorang diuji sesuai dengan kadar agamanya. Jika agamanya kokoh, ditambah ujiannya. Jika agamanya lembek, diringankan ujiannya. Terus-menerus bala menimpa seorang yang beriman hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan tidak berdosa.” (HR. Ahmad 1/172 dan ini lafadz beliau; at-Tirmidzi dalam Sunan-nya 4/28, “Abwabuz Zuhud” no. 2509 dan beliau mengatakan hadits hasan sahih; ad-Darimi dalam Sunan-nya, “Kitab ar-Raqaiq” 2/320; Ibnu Majah dalam Sunan-nya, “Kitab al-Fitan” 2/1334 no. 4023)

Sungguh, al-Hasan dan al-Husain radhiallahu ‘anhuma menyandang predikat yang mulia dan tinggi. Sebuah kenikmatan bagi keduanya tatkala mendapat ujian serupa dengan yang menimpa Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, yang dibunuh sebagai syahid dengan penuh kezaliman.

Setelah Abdurrahman bin Muljam al-Khariji membunuh Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu, para sahabat Nabi membaiat al-Hasan, putra beliau. Namun, beliau rela melepaskan kepemimpinan itu demi menjaga darah kaum muslimin agar tidak tidak tertumpah dalam perang saudara. Inilah sikap seorang pahlawan agama yang harus kita teladani.

Sikap ini adalah realisasi dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang beliau,

إِنَّ ابْنِي هَذَا سَيِدٌ وَسَيُصْلِحُ اللهُ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ عَظِيمَتَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Sungguh, putraku ini (cucu beliau, al-Hasan) adalah seorang pemimpin, dan dengan perantaraan dirinya Allah subhanahu wa ta’ala akan mendamaikan dua kelompok besar dari kalangan kaum muslimin.” (HR. al-Bukhari no. 2704, Ahmad 5/49, Abu Dawud, dan an-Nasai 3/107)

Allah subhanahu wa ta’ala telah mengatur perjalanan hidup setiap hamba. Apabila Allah subhanahu wa ta’ala telah memutuskan, pasti akan terjadi. Allah subhanahu wa ta’ala berbuat sekehendak-Nya, tidak terkait dengan kehendak makhluk-Nya sedikit pun. Allah subhanahu wa ta’ala telah memutuskan bahwa akhir kehidupan al-Husain menyedihkan dan memilukan.

Sebuah peristiwa yang tidak kita inginkan terjadi. Akan tetapi, Allah Mahabijaksana. Semua keputusan-Nya mengandung banyak hikmah. Dia subhanahu wa ta’ala telah menentukan bahwa al-Husain terbunuh dalam sebuah makar.

Terbunuhnya beliau juga menjadi ujian bagi dua kelompok manusia, yaitu yang benar-benar meniti jejak kebenaran dan kelompok yang mengikuti penyimpangan dan penyelewengan.

Setelah al-Hasan meninggal, sebagian penduduk Kufah menulis surat kepada al-Husain. Mereka berjanji memberi pertolongan dan pembelaan apabila al-Husain mau menjadi pemimpin mereka. Al-Husain mengutus putra paman beliau, Muslim bin Aqil bin Abu Thalib, kepada mereka. Ternyata mereka menyelisihi janji-janjinya. Mereka justru membantu dan bergabung dengan orang yang akan membunuh beliau.

Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma, Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma, dan selain keduanya telah menasihatinya agar tidak berangkat menuju mereka dan agar tidak menerima apa pun. Akan tetapi, terjadilah apa yang terjadi. Semuanya telah ada dalam ketentuan dan keputusan Ilahi yang tidak mungkin berubah.

Beliau sendiri menyaksikan makar di balik itu semua. Beliau meminta di hadapan mereka yang sudah bersiap membunuhnya agar membiarkan beliau kembali, bergabung dengan bala tentara yang berjaga di perbatasan atau bergabung dengan putra pamannya, Yazid.

Mereka menolak permintaan beliau dan tetap memeranginya. Beliau memberikan perlawanan bersama orang yang menyertainya sampai akhirnya terbunuh dalam keadaan terzalimi dan syahid.

Kematian beliau memunculkan berbagai bentuk kejelekan yang terjadi di tengah-tengah manusia. Muncul orang-orang bodoh, sesat, dan menyimpang. Mereka menampakkan diri sebagai orang yang cinta kepada keluarga beliau. Mereka menjadikan hari kematian beliau sebagai hari berkabung, bersedih, dan berduka. Pada hari itu, mereka menampakkan syiar-syiar jahiliah: memukul-mukul pipi, menyobek-nyobek kerah baju, dan meratap dengan ratapan kaum jahiliah. (Lihat Majmu’ Fatawa 25/302—307)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Dengan terbunuhnya al-Husain radhiallahu ‘anhu, setan mengambil kesempatan dengan memunculkan dua jenis kebid’ahan di tengah-tengah manusia, yaitu

(1) Bid’ah berduka dan meratap pada 10 Muharram dalam bentuk memukul pipi, berteriak histeris, menangis, menjadikan diri kehausan, mengucapkan kalimat-kalimat belasungkawa.

Buntutnya ialah mencela pendahulu yang saleh dan melaknat mereka, menggabungkan orang yang tidak berdosa ke dalam barisan para pendosa. Mereka mencela para pendahulu. Dibacakan pula syair-syair perjalanan hidup al-Husain yang kebanyakannya dusta. Tujuan orang yang menghidupkan bid’ah ini adalah membuka pintu fitnah dan memecah belah umat.

Semua ini tidak dianjurkan, apalagi diwajibkan, menurut kesepakatan kaum muslimin. Mengadakan acara hari berduka dan meratapi musibah yang telah lampau termasuk keharaman yang paling besar.

(2) (Jenis bid’ah yang dimunculkan oleh setan adalah) bid’ah bersenang-senang dan bergembira.” (Lihat Minhajus Sunnah 2/322—323)

 

Kesyirikan Karena Mengagungkan Manusia

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam Kitab at-Tauhid menulis bab “Sebab Kekufuran Bani Adam dan Sebab Mereka Meninggalkan Agama adalah Berlebih-Lebihan Menyikapi Orang-Orang Saleh” dan bab “Sikap Keras terhadap Seseorang yang Menyembah Allah subhanahu wa ta’ala di Sisi Kuburan Orang Saleh dan Bagaimana Jika Menyembahnya?”

Dua bab ini mengingatkan kita tentang perbuatan Syiah yang mengaku mencintai keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengangkat para imam ahli bait pada martabat yang lebih tinggi dari martabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan sampai dituhankan. Mereka mengagungkannya, menyembah kuburannya, mengklaim bahwa ahlu bait mengetahui ilmu gaib, bahkan sebagai penjamin masuk ke dalam surga.

Bukankah ini adalah kesyirikan dan kekafiran yang sangat jelas?

Dari Aisyah radhiallahu ‘anha,

أَنَّ أُمَّ حَبِيبَةَ وَأُمَّ سَلَمَةَ ذَكَرَتَا كَنِيسَةً رَأَيْنَهَا بِالْحَبَشَةِ فِيهَا تَصَاوِيرُ فَذَكَرَتَا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنَّ أُولَئِكِ إِذَا كَانَ فِيهِمُ الرَّجُلُ الصَّالِحُ فَمَاتَ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا وَصَوَّرُوا فِيهِ تِلْكَ الصُّوَرَ، فَأُولَئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Ummu Habibah dan Ummu Salamah menceritakan tentang sebuah gereja yang mereka lihat di negeri Habasyah. Di dalamnya terdapat berbagai gambar. Kami menceritakannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya apabila ada orang saleh di antara mereka meninggal, mereka membangun masjid di atas kuburannya, melukis gambargambar tersebut. Mereka adalah sejahat-jahat makhluk di sisi Allah subhanahu wa ta’ala pada hari kiamat.” ( HR. al-Bukhari no. 427 dan Muslim no. 528)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Kesyirikan terhadap kuburan orang yang diyakini kesalehannya akan lebih dekat ke dalam jiwa dibanding dengan kesyirikan terhadap pohon atau batu. Kaum muslimin telah bersepakat berdasarkan apa yang mereka ketahui dari ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa dilarang shalat di sisi kuburan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menjadikan kuburan di atas masjid. Bahkan, termasuk kebid’ahan yang paling besar dan sebab-sebab kesyirikan adalah shalat di sisi kuburan, menjadikan kuburan itu sebagai masjid, dan membangun masjid di atasnya.” (Iqtidha ash-Shirath al-Mustaqim 2/674)

 

Kesyirikan Merusak Ibadah

Beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala adalah hikmah diciptakannya bangsa manusia dan jin. Kedua makhluk ini memiliki kewajiban untuk memikul semua beban syariat. Untuk keduanya diadakan hukuman dan ganjaran di dunia dan di akhirat. Allah subhanahu wa ta’ala telah menjelaskan dalam kitab-Nya,

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ ٥٦

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat: 56)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Sesungguhnya, Aku menciptakan mereka agar Aku perintah mereka beribadah kepada-Ku. Dan itu bukan karena Aku membutuhkan mereka.”

As-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Beribadah adalah tujuan diciptakannya jin dan manusia oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala mengutus para rasul untuk mengajak mereka beribadah, yang mencakup berilmu tentang Allah subhanahu wa ta’ala dan mencintai-Nya, kembali kepada Allah subhanahu wa ta’ala, menghadapkan diri kepada-Nya, dan menyingkirkan segala sesuatu selain-Nya.

Ibadah mencakup berpengetahuan tentang Allah subhanahu wa ta’ala. Sebab, kesempurnaan ibadah itu sesuai dengan kesempurnaan pengetahuan kita tentang Allah subhanahu wa ta’ala. Semakin bertambah pengetahuan hamba tentang Allah subhanahu wa ta’ala, ibadahnya kepada Allah subhanahu wa ta’ala semakin sempurna. Inilah yang menjadi tujuan Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan bangsa jin dan manusia. Allah subhanahu wa ta’ala tidaklah menciptakan mereka karena membutuhkan mereka.”

Ibadah akan nihil dari nilai tatkala dicampuri oleh perbuatan menyekutukan Allah subhanahu wa ta’ala.

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata dalam Qawa’id al-Arba’, “Apabila kamu telah mengetahui bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menciptakanmu untuk beribadah, ketahuilah bahwa ibadah tidak disebut ibadah melainkan bersama tauhid. Sebagaimana halnya shalat tidak dikatakan shalat melainkan dengan bersuci. Apabila kesyirikan masuk dalam sebuah ibadah, niscaya ibadah tersebut akan rusak, sebagaimana ketika hadats masuk dalam bersuci.”

Wallahu a’lam.

Ditulis oleh al-Ustadz Abu Usamah Abdur Rahman

While viewing the website, tap in the menu bar. Scroll down the list of options, then tap Add to Home Screen.
Use Safari for a better experience.