Tahun Perutusan (bagian 2)

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits)

Karena banyaknya utusan yang datang pada tahun itu, sangatlah pantas tahun itu dinamakan Tahun Perutusan. Selain itu, para utusan tersebut adalah bukti nyata gema Islam telah menembus tembok-tembok keangkuhan jahiliah yang selama ini bertakhta di sanubari bangsa Arab ketika itu. Tatkala mereka mendengar panggilan Islam itu, mereka merasa tenteram lalu menyambutnya dengan antusias. Akhirnya, mereka pun masuk Islam secara berduyun-duyun.

Utusan Bani Tamim
Di antara para utusan yang paling baik adalah utusan Bani Tamim. Setelah bertemu dengan Rasulullah n, mereka mulai berbicara, “Kami utusan dari Tamim, datang bersama ahli syair dan orasi. Kami mengajak Anda bersyair dan saling membanggakan diri.”
Rasulullah n berkata, “Bukan dengan syair kami diutus, dan bukan pula untuk berbangga kami diperintah.”
Setelah selesai shalat zhuhur, berkumpullah di sekeliling beliau para utusan itu saling membanggakan dirinya dan pendahulu mereka. Lalu mereka meminta agar beliau n mengizinkan ahli pidato dan penyair mereka berbicara. Beliau mengizinkan.
Ahli pidato mereka waktu itu adalah ‘Utharid bin Hajib. Dia mulai berpidato, katanya, “Segala puji hanya milik Allah, yang mempunyai karunia dan pemberian yang wajib atas kami (mensyukurinya), dan Dialah yang pantas. Dialah yang telah menjadikan kami sebagai raja-raja. Dia memberi kami harta yang berlimpah, agar kami berbuat baik dengannya. Dia menjadikan kami penduduk timur yang paling mulia, paling banyak, dan paling mudah bekalnya. Siapakah yang menyamai kami di antara manusia? Bukankah kami layak menjadi pemimpin manusia dan lebih utama dari mereka? Siapa yang hendak menyaingi kami, sebutlah apa yang telah kami sebutkan.”
Rasulullah n pun berkata kepada Tsabit bin Qais bin Syammas z, “Berdirilah, jawablah pidatonya.”
Dengan tenang Tsabit z berdiri lalu berbicara, “Segala puji hanya milik Allah. Dzat Yang di langit dan di bumi ada ciptaan-Nya. Dia menetapkan pada keduanya dengan perintah-Nya. Kemudian, di antara kekuasaan-Nya, Dia menjadikan kami sebagai raja-raja dan memilih makhluk-Nya yang paling baik sebagai rasul… lalu menurunkan kepada beliau Kitab-Nya, serta memercayakan kepada beliau urusan makhluk-Nya, hingga jadilah beliau pilihan Allah di antara seluruh manusia. Kemudian, beliau mengajak manusia agar beriman kepadanya, maka berimanlah kepada Rasulullah, kaum Muhajirin di antara kaumnya. Lalu kami pun, kaum Anshar, Para Pembela Allah, pembantu Rasul-Nya, juga beriman. Kami memerangi orang lain sampai mereka beriman kepada Allah. Siapa yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, terjagalah harta dan darahnya. Siapa yang kafir, kami perangi dia di jalan Allah, selama-lamanya dan itu mudah bagi kami…
Saya mengatakan hal ini dan mohon ampun kepada Allah untuk saya dan kaum mukminin, laki-laki dan perempuan.”
Lalu berdirilah Zibarqan bin Badr melantunkan syairnya di hadapan Rasulullah n dan kaum muslimin:
Kami orang-orang mulia, tak ada yang menyamai
Kamilah para raja dan kepada kami bai’at digelar
Tak ada yang menyamai kami yang kami tahu
Mereka akan kembali sedangkan beritanya terdengar
Kami menolak, dan tak seorang pun menolak kami
Itulah kami dengan kebanggaan, kami mulia
Setelah Zibarqan selesai membacakan syair yang mengangkat derajat kaumnya setingkat para raja dan menjelaskan bahwa tidak ada satu pun yang menyamai mereka dalam hal itu, Rasulullah n berkata kepada Hassan bin Tsabit, “Berdirilah, hai Hassan. Balaslah syairnya.”
Hassan pun berdiri dan berkata,
Dzawaib berasal dari Fihr dan saudaranya
Mereka mengadakan sunnah yang diikuti
Yang diridhai oleh semua yang jalan hidupnya
bertakwa kepada Allah dan berbuat baik
Akhirnya mereka masuk Islam dan baik keislaman mereka. Mereka menetap di Madinah beberapa hari mempelajari Al-Qur’an dan mendalami ajaran Islam.

Kisah Dhimam bin Tsa’labah
Di antara utusan itu, ada seorang badui bernama Dhimam bin Tsa’labah, dari Bani Sa’d bin Bakr. Kedatangannya menemui Rasulullah n bukan bertanya tentang Islam sebagai sesuatu yang baru, tetapi untuk memantapkan keimanan yang sudah bersemi di dalam hatinya.
Itulah Dhimam bin Tsa’labah. Kata-katanya didengar oleh masyarakatnya dan ditaati. Sebab itulah, mereka menyambut seruannya ketika dia mengajak mereka kepada Islam sekembalinya dari Madinah menemui Nabi n.
Inilah kisahnya.1
Seorang laki-laki telah sampai di Madinah, segera menuju Masjid Nabawi. Setibanya di depan pintu masjid, dia turun dari untanya lalu menambatkannya. Setelah itu dia masuk ke masjid. Saat itu, Rasulullah n sedang duduk-duduk bersama para sahabat.
Dhimam adalah seorang laki-laki kekar dengan rambut dijalin menjadi dua. Dhimam melangkah masuk sampai berdiri di depan Rasulullah n. Dengan suara lantang, Dhimam bertanya, “Siapa di antara kalian putra Abdul Muththalib?”
Rasulullah n berkata, “Sayalah putra Abdul Muththalib.”
Dhimam mengejar, “Apakah (kamu) Muhammad?”
“Ya,” kata beliau.
Suara Dhimam kembali memecah keheningan, “Hai putra Abdul Muththalib. Sungguh, aku akan menanyaimu dan keras kepadamu dalam masalah ini. Karena itu, janganlah kamu menyimpan sesuatu terhadapku dalam hatimu.”
“Tidak ada sesuatu dalam hati saya. Tanyakanlah apa yang ingin Anda tanyakan,” kata beliau.
“Saya sumpahi kamu demi Allah, Ilahmu dan Ilah orang-orang sebelum kamu, serta Ilah (sesembahan) orang-orang yang datang sesudah kamu. Betulkah Allah telah mengutus kamu kepada kami sebagai rasul?” tanya Dhimam dengan tegas.
Dengan tenang tetapi tegas, Rasulullah n menjawab, “Ya Allah. Benar.”
Dhimam melanjutkan, “Saya sumpahi kamu demi Allah. Benarkah Allah memerintahkan kamu agar menyuruh kami menyembah-Nya satu-satunya, tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun juga? Dan agar kami meninggalkan tandingan-tandingan yang dahulu biasa disembah (dipuja-puja, dijadikan tempat bergantung, ed.) oleh bapak moyang kami di samping Allah?”
“Ya Allah. Benar,” kata beliau.
Kemudian Dhimam menyebutkan beberapa kewajiban dalam Islam, seperti shalat lima waktu sehari semalam, puasa, zakat, dan haji, serta beberapa syariat Islam lainnya. Semua itu ditanyakannya sambil bersumpah, seolah-olah menuntut agar Rasulullah n menjawab dengan jujur. Itulah sebagian watak kaum badui: lugas, terus terang, sederhana, dan berani.
Setelah semua dijawab oleh Rasulullah n, Dhimam berkata, “Sesungguhnya, aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Aku beriman dengan ajaran yang engkau bawa. Aku tidak akan menambah atau menguranginya sedikitpun. Aku adalah utusan kaumku, aku adalah Dhimam bin Tsa’labah dari Bani Sa’d bin Bakr.”
Lalu, Dhimam berbalik menuju unta yang ditambatkan, dan bersiap meninggalkan Madinah menuju kampungnya. Perjalanan yang menyenangkan, hati yang ringan dan lapang. Seribu satu harapan Dhimam dari kaumnya, Bani Sa’d yang dicintainya dan mencintainya. Semoga mereka mau menerima Islam, mungkin itulah bisikan doa dalam hatinya untuk kaumnya.
Rasulullah n bersabda:
لَئِنْ صَدَقَ لَيَدْخُلَنَّ الْجَنَّةَ
“Kalau dia jujur, pasti dia masuk surga.”
Tak terasa, sampailah Dhimam di kampungnya. Kalimat pertama yang terucap dari lisannya adalah, “Alangkah buruknya Latta dan ‘Uzza.”
Mendengar ucapan itu, kaumnya terperanjat dan berseru, “Diamlah, hai Dhimam. Awas, kau bisa tertimpa sopak dan kusta, atau gila!”
Kata Dhimam, “Celakalah kalian. Dua patung ini—demi Allah—sama sekali tidak dapat memberi manfaat ataupun mudarat. Sungguh, Allah telah mengutus seorang rasul dan menurunkan sebuah Kitab kepada-Nya, yang akan menyelamatkan kamu dari apa yang kamu anut. Sungguh, aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq selain Allah, satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Aku datang dari hadapan beliau, membawa perintah dan larangan beliau.”
Mereka terkesima mendengar penuturan Dhimam. Tidak sampai sore, penduduk Sa’d bin Bakr, laki-laki dan perempuan semuanya masuk Islam. Allahu Akbar.
Itulah Dhimam, tidak ada utusan yang lebih utama daripada dia. Seperti itu pula penilaian Ibnu ‘Abbas c.
Wallahu a’lam.
(Insya Allah bersambung)