Tingkatan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar

Mengingkari Kemungkaran dengan Tangan

Mengingkari kemungkaran dengan tangan adalah tingkat pengingkaran yang paling tinggi, seperti menumpahkan miras, menghancurkan patung yang disembah, melarang orang dari berbuat jahat, dan lain-lain.

Pengingkaran dengan tangan dilakukan oleh pihak yang mempunyai kewenangan terhadap pelaku kemungkaran, seperti pemerintah atau yang mewakilinya, seperti satgas amar ma’ruf nahi mungkar (yang ditunjuk langsung). Semua sesuai dengan bidangnya masing-masing.

Begitu pun seorang muslim terhadap keluarga dan anak-anaknya. Ia menyuruh mereka menjalankan perintah Allah subhanahu wa ta’ala dan mencegahnya dari hal-hal yang diharamkan-Nya dengan tangan apabila tidak mempan dengan ucapan, sesuai dengan kelapangan dan kemampuan.

Di dalam Al-Qur’an, Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan pengingkaran terhadap kemungkaran yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan demi Allah, sungguh, aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu setelah kamu pergi meninggalkannya. Maka dia (Ibrahim) menghancurkan (semua berhala itu) berkeping-keping, kecuali yang terbesar (induknya), agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya.” (al-Anbiya: 57—58)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman:

Dia (Musa) berkata, “Pergilah kau! Maka sesungguhnya di dalam kehidupan (di dunia) engkau (hanya dapat) mengatakan, ‘Janganlah menyentuh (aku)!’ Dan engkau pasti mendapat (hukuman) yang telah dijanjikan (di akhirat) yang tidak akan dapat engkau hindari, dan lihatlah tuhanmu itu yang engkau tetap menyembahnya. Kami pasti akan membakarnya, kemudian sungguh kami akan menghamburkannya (abunya) ke dalam laut (berserakan).” (Thaha: 97)

Dalam ayat ini, Allah subhanahu wa ta’ala memberitakan tentang Nabi Musa ‘alaihissalam yang membakar seekor anak lembu yang disembah di samping Allah subhanahu wa ta’ala.

Sahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu meriwayatkan sebuah hadits, beliau berkata:

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke Makkah dalam keadaan di sekeliling Ka’bah ada 360 patung. Lalu beliau menusuknya menggunakan tongkat yang ada di tangan beliau, seraya membaca (firman Allah subhanahu wa ta’ala), ‘Telah datang kebenaran dan sirnalah kebatilan’.” (HR. al-Bukhari no. 2298)

Dari sahabat Anas radhiallahu ‘anhu, beliau berkata “Aku pernah menjamu suatu kaum dengan minuman di rumah Abu Thalhah. Saat itu, khamr (minuman keras) mereka adalah al-fadhikh (arak yang terbuat dari buah kurma). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah seorang penyeru untuk mengumumkan bahwa khamr telah diharamkan.” Anas berkata, “Abu Thalhah lalu berkata kepadaku, ‘Keluar dan tumpahkanlah!’ Aku pun keluar dan menumpahkannya. Khamr pun mengaliri jalan-jalan kota Madinah.” (HR. al-Bukhari no. 2284)

Sahabat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma juga meriwayatkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat sebuah cincin emas di tangan seorang laki-laki lalu beliau mencopot cincin tersebut dan langsung melemparkannya….” (HR. al-Bukhari no. 3897)

Dalil-dalil yang semisal di atas sangat banyak. Semuanya menunjukkan pencegahan kemungkaran dengan tangan.

Akan tetapi, mencegah kemungkaran dengan tangan menjadi tidak tepat jika dilakukan oleh setiap orang dalam setiap kemungkaran. Hal tersebut bisa berdampak kerusakan dan bahaya yang besar.

Semestinya, kewenangan untuk mengubah/mencegah kemungkaran dengan tangan itu ada pada pemerintah atau wakilnya yang ditunjuk langsung sebagai penegak amar ma’ruf nahi mungkar.

Bisa jadi, kewenangan itu ada dalam wilayah setiap orang. Seperti di dalam rumah, setiap kepala keluarga mencegah kemungkaran yang dilakukan anak, istri, atau pembantunya. Jadi, setiap orang memiliki wilayah kewenangan mencegah kemungkaran dengan tangan, dengan cara-cara yang bijak dan disyariatkan.

Syaikhul Islam rahimahullah berkata, “Tidak dibolehkan bagi siapa pun untuk menghilangkan kemungkaran dengan sesuatu yang justru lebih mungkar. Seperti, seseorang yang berkeinginan untuk memotong tangan pencuri, mencambuk peminum arak, atau menegakkan hukuman-hukuman lainnya. Kalau sampai dia melakukannya, tentu akan menyebabkan pertumpahan darah dan berbagai kerusakan. Karena setiap orang akan berusaha melayangkan pukulan kepada yang lainnya dan mengklaim orang lain lebih berhak mendapatkan (hukuman). Hal ini seharusnya dikembalikan pada kewenangan pemerintah.” (Mukhtashar Fatawa Mishriyyah)

Apa yang dikemukakan oleh Syaikhul Islam tadi, mengingatkan penulis kepada maraknya berbagai wacana saat ini untuk melokalisasi kemungkaran. Salah satu tujuannya, agar kemungkaran yang dimaksud tidak menyebar luas. Misalnya, menampung para pelacur atau Pekerja Seks Komersial (PSK) di sebuah tempat, yang akhirnya tempat tersebut menjadi tempat yang bebas untuk melakukan kemungkaran tadi. Ini sudah menjadi rahasia umum terjadi di kota-kota besar di wilayah negeri ini, yang sampai sekarang tetap eksis, seperti di Jakarta, Bandung, Solo, Semarang, Surabaya, dan kota lainnya.

Belum lagi perjudian, yang sekarang ini sedang marak diperbincangkan, apakah melokalisasi perjudian sebagai wujud pelegalan kemungkaran tersebut atau tidak. Memang, dahulu sekitar tahun 2006 pernah ada wacana untuk menjadikan kasino di Kepulauan Seribu, namun, walhamdulillah, masyarakat menolak keras wacana tersebut.

Namun, asal tahu saja, penjudi asal Indonesia tercatat menempati peringkat tiga besar di Singapura. Oleh karena itu, Musni Umar seorang Sosiolog UI, menilai secara sosiologis masyarakat Indonesia memang tidak menerima perjudian. Namun, perlu juga dilihat keuntungan dari kasino-kasino itu. Menurutnya, daripada uangnya lari ke luar negeri, lebih baik digunakan untuk pembangunan di dalam negeri. Subhanallah!

Intinya, kemungkaran tetaplah kemungkaran meskipun wujud dan sifatnya berbeda. Kemungkaran tidak boleh dicegah dengan kemungkaran lainnya meskipun bentuknya berbeda.

Mengingkari dengan Lisan

Setidaknya ada empat langkah yang harus ditempuh dalam mengingkari kemungkaran dengan lisan.

Pertama: Mengenalkan (bahaya dan jeleknya) kemungkaran dengan tenang dan lemah lembut.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala mencintai sikap lemah lembut pada setiap perkara.” (HR. al-Bukhari no. 5565)

Sekelompok Yahudi datang lalu mereka berkata, “As-samu ‘alaikum, wahai Muhammad! (Mereka maksudkan doa kematian).” ‘Aisyah mendengar ucapan mereka, ia pun berkata, “Alaikum as-samu wal la’nah’ (untuk kalian hal yang serupa dan laknat).” Dalam riwayat lain ‘Aisyah berkata, “La’anakumullah wa ghadiba ‘alaikum’ (semoga laknat dan kemurkaan Allah subhanahu wa ta’ala atas kalian).” Rasulullah bersabda, “Wahai ‘Aisyah, sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala mencintai sikap lemah lembut pada setiap perkara.” ‘Aisyah menjawab, “Bukankah engkau mendengar apa kata mereka?” Rasulullah menjawab, “Tidakkah engkau mendengar apa yang aku katakan kepada mereka?” Yaitu ‘wa ‘alaikum’ (Bagi kalian juga yang semisal). Sesungguhnya doa kita akan dikabulkan, sedangkan doa mereka tidak. (HR. al-Bukhari no. 5570)

Lihatlah bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menampakkan sikap lembut kepada mereka, padahal mereka Yahudi, dengan harapan mereka mendapat hidayah dan tunduk pada kebenaran. Lalu, bagaimana kiranya sikap beliau terhadap orang-orang yang beriman?!

Dengan demikian, yang lurus dalam beramar ma’ruf nahi mungkar akan selalu berusaha untuk menampakkan sikap lembut dan menggunakan ungkapan-ungkapan yang cocok, kata-kata yang baik, dan nasihat yang bijak di dalam sebuah majelis, di jalan atau di tempat mana pun.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, serta berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabbmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” (an-Nahl: 125)

Inilah metode yang ditempuh para pendahulu yang saleh (salaf) dalam beramar ma’ruf nahi mungkar: menampilkan sikap lembut, tenang dibarengi oleh ilmu, pemahaman terhadap situasi, kondisi, dan amal.

Kedua: Mencegah kemungkaran, yang dikemas dalam bentuk nasihat dan wejangan serta menanamkan rasa takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Langkah ini ditujukan kepada pelaku kemungkaran yang mengetahui hukum syariat terkait dengan perbuatannya.

Langkah ini berbeda dengan yang pertama, yang umumnya diterapkan kepada pelaku kemungkaran yang tidak mengetahui hukum syariat.

Ibaratnya, langkah kedua ini untuk mengingatkan kembali pelaku akan hukum syariat yang sudah diketahuinya. misalnya tentang janji Allah subhanahu wa ta’ala bagi orang-orang yang taat kepada-Nya dengan metode yang hikmah dan arahan yang baik. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (adz-Dzariyat: 55)

Ketiga: Teguran yang keras.

Langkah ini ditempuh ketika pelaku kemungkaran tidak jera dengan metode/langkah sebelumnya. Terapkan teguran yang keras dengan memerhatikan etika dan kaidah syar’i, tidak menyampaikan sesuatu melainkan dengan jujur, dan tidak melebar kesana-kemari jika tidak perlu.

Nabi Ibrahim ‘alaihissalam sebagai bapak para nabi menempuh langkah ini, seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala :

“(Ibrahim berkata), ‘Celakalah kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah! Tidakkah kamu mengerti?’.” (al-Anbiya: 67)

Keempat: Ancaman dan menakut-nakuti.

Langkah keempat ini adalah langkah terakhir yang bisa ditempuh dalam melakukan pengingkaran kemungkaran dengan lisan. Caranya, menyampaikan kepada pelaku kemungkaran, “Kalau engkau tidak menghentikan perbuatanmu, aku akan bertindak!” atau “Aku akan melaporkanmu kepada pihak berwajib agar menghukum dan memenjarakanmu.”

Tetapi, ancaman yang disampaikan harus benar-benar wajar dan masuk akal, supaya si pelaku memercayai ancaman dan tindakan yang akan diambil oleh pihak yang mengingkarinya.

Mengingkari dengan Hati

Para pembaca, sampailah kita pada tingkatan mengingkari kemungkaran dengan hati, yaitu bagi seorang mukmin yang tidak memiliki kemampuan untuk mengingkari dengan tangan dan lisannya.

Tidak ada jalan lain bagi siapa yang keadaannya demikian, selain membenci dan menampakkan ketidaksukaan kepada kemungkaran dan pelakunya dengan hatinya—dan Allah Maha Mengetahui hal tersebut.

Kewajiban ini tidak bisa gugur dari seorang mukmin, siapa pun dia, karena tidak ada halangan apa pun yang mencegahnya. Tidak ada lagi cara lain untuk mengingkari kemungkaran. Bahkan, pengingkaran dengan hati adalah akhir batas keimanan. Seperti sabda Nabi, “Dan mencegah dengan hati itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim no. 70)

Sahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu ditanya, “Siapakah yang disebut mayat hidup itu?” Beliau menjawab, “Orang yang tidak mengenal yang ma’ruf dan tidak mengingkari yang mungkar.”

Sebagai penutup pembahasan ini, saya (penulis) ingin menegaskan kembali bahwa amar ma’ruf nahi mungkar wajib bagi laki-laki dan wanita.

Bagi para wanita, ada kewajiban untuk mengingkari kemungkaran yang dilakukan oleh sesamanya dan oleh kerabatnya dari kaum lelaki.

Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, ia pernah melihat seorang wanita di antara Shafa dan Marwah mengenakan pakaian yang ada garis (berbentuk) salib. Beliau segera menegurnya dan berkata, “Lepaskan (jangan dipakai) pakaian ini!

Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat yang seperti ini di pakaian, beliau langsung memotongnya.” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, lihat Shahih al-Bukhari no. 5496)

Suatu ketika ‘Aisyah radhiallahu ‘anha pun pernah melihat saudara laki-lakinya (Abdurrahman) tampak tergesa-gesa ketika berwudhu supaya tidak tertinggal menyalati jenazah Sa’ad bin Abi Waqqas. ‘Aisyah pun menegurnya, “Wahai Abdurrahman, sempurnakan jika berwudhu, karena aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Celakalah bagi tumit-tumit (yang tidak terbasuh dengan air wudhu) dengan (ancaman) api neraka’.” (HR. Muslim no. 353 dan seterusnya)

Di dalam kitab Jami’ul ‘Uluum wal Hikam, al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Seluruh hadits ini (tentang amar ma’ruf nahi mungkar) menunjukkan wajibnya mengingkari kemungkaran sesuai dengan kemampuan. Adapun mengingkarinya dengan hati adalah suatu keharusan (dalam setiap keadaan).

Siapa yang hatinya tidak mengingkari kemungkaran, berarti telah hilang keimanan dari hatinya.” (Qawa’id Muhimmah fi al-Amri bil Ma’ruf wa an-Nahyi ‘anil Munkar)

Wal ’ilmu indallah.

Ditulis oleh al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf al-Atsari

 

 

Comments are closed.