Sebagian orang berkata bahwa wanita kurang akal dan agamanya, kurang pula haknya dalam warisan dan dalam memberikan persaksian. Sebagian lagi berkata, Allah subhanahu wa ta’ala menyamakan wanita dan laki-laki dalam mendapatkan pahala dan siksaan. Apa pendapat Anda, apakah memang wanita itu dianggap kurang dalam syariat Sayyidul Khalq (junjungan/tokoh para makhluk, yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) atau tidak?
Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiyyah wal Ifta’[1] menjawab,
Sungguh, syariat Islam memuliakan wanita, mengangkat kedudukannya, dan menempatkannya pada tempat yang pantas baginya, sebagai bentuk perhatian terhadapnya dan penjagaan terhadap kemuliaannya.
Diwajibkanlah kepada wali si wanita dan suaminya untuk memberinya nafkah, menjaganya dengan baik, memerhatikan urusannya, dan mempergaulinya dengan baik. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ
“Dan bergaullah (wahai para suami) kepada mereka (para istri) dengan cara yang ma’ruf.” (an-Nisa’: 19)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي
“Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik di antara kalian terhadap istrinya, dan aku adalah orang terbaik di antara kalian terhadap istriku.” (HR. at-Tirmidzi no. 3985, ad-Darimi no. 2160, Ibnu Hibban 9/484 no. 4177, al-Baihaqi 7/468, dan Abu Nu’aim dalam al-Hilyah 7/138; dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha.)
Islam memberi wanita seluruh hak dan peran-peran syar’i yang sesuai baginya.
وَلَهُنَّ مِثۡلُ ٱلَّذِي عَلَيۡهِنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيۡهِنَّ دَرَجَةٞۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ ٢٢٨
“Dan mereka (para wanita) memiliki hak yang seimbang dengan kewajiban mereka dengan cara yang ma’ruf, namun kaum lelaki memiliki derajat di atas mereka. Dan Allah Mahaperkasa lagi Memiliki hikmah.” (al-Baqarah: 228)
Islam juga memberikan kesempatan kepada wanita untuk melakukan berbagai muamalah: jual beli, perdamaian, perwakilan, pinjam meminjam, penitipan, dan sebagainya.
Islam pun memberinya kewajiban yang sesuai baginya berupa ibadah dan beban-beban syariat, seperti yang diwajibkan bagi lelaki baik dalam masalah thaharah, shalat, zakat, puasa, haji, dan ibadah lain semisalnya.
Akan tetapi, dalam hal warisan, syariat menetapkan bahwa wanita mendapat bagian setengah dari bagian lelaki. Sebab, wanita tidaklah dibebani menafkahi dirinya, tidak pula rumah tangga dan anak-anaknya. Yang dibebani dalam hal ini hanyalah lelaki (suami/wali si wanita –pen.)
Dalam persaksian juga demikian. Persaksian dua orang wanita sama dengan persaksian seorang laki-laki pada beberapa urusan. Sebab, wanita lebih sering lupa (daripada laki-laki) kodrat yang dimilikinya, berupa haid, hamil, melahirkan, dan mendidik anak-anak.
Semua ini terkadang menyibukkan pikirannya dan membuatnya lupa terhadap urusan yang semula diingatnya. Karena itulah, dalil-dalil syar’i menunjukkan agar ada wanita lain yang menyertainya saat memberi persaksian, sehingga lebih mantap baginya dan lebih kokoh dalam penyampaiannya.
Namun, dalam beberapa hal yang khusus bagi wanita, persaksian dari seorang wanita diterima (meski tanpa ada saksi yang lain –pen.), seperti dalam masalah penyusuan.
Wanita sama dengan laki-laki dalam hal menerima pahala, ganjaran atas keimanan dan amal saleh. Mereka sama pula dalam hal menikmati kehidupan yang baik di dunia dan mendapatkan pahala yang besar di negeri akhirat.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
مَنۡ عَمِلَ صَٰلِحٗا مِّن ذَكَرٍ أَوۡ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤۡمِنٞ فَلَنُحۡيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةٗ طَيِّبَةٗۖ وَلَنَجۡزِيَنَّهُمۡ أَجۡرَهُم بِأَحۡسَنِ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ٩٧
“Siapa yang beramal saleh dari kalangan laki-laki atau wanita dalam keadaan dia beriman, sungguh Kami akan hidupkan dia dengan kehidupan yang baik. Sungguh, Kami akan membalas mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang dahulu mereka amalkan.” (an-Nahl: 97)
Dengan demikian, wanita mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki. Hanya saja, ada beberapa hal yang hanya sesuai bagi laki-laki karena Allah subhanahu wa ta’ala menjadikannya demikian. Ada pula beberapa urusan yang hanya sesuai bagi wanita karena Allah subhanahu wa ta’ala menjadikannya demikian.
Allah subhanahu wa ta’ala-lah yang memberi taufik.
Wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam. (Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah Lil Buhuts al-‘Ilmiyyah wal Ifta’, 17/6—8, fatwa no. 11090)
[1] Ketua: asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, Wakil Ketua: asy-Syaikh Abdur Razzaq ‘Afifi, Anggota: asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan.
Comments are closed.