Wanita Menikah Tanpa Izin Wali

Seorang pemuda yang taat beragama sekaligus memiliki sifat-sifat yang terpuji melamar saya. Akan tetapi, ayah saya menolak lamarannya dengan alasan tidak sekufu dengan saya dari sisi kedudukan dan nasab. Ayah menginginkan saya menikah dengan seorang pemuda dari keluarga ningrat yang kaya dan punya martabat/kedudukan.

Sementara itu, saya telah ridha dengan pemuda yang melamar saya dan tidak menginginkan yang selainnya. Apakah dibolehkan bagi saya menikah dengannya tanpa sepersetujuan wali saya? Saya pernah membaca dalam Fiqh as-Sunnah, bahwa Abu Hanifah membolehkan pernikahan yang demikian.

Sungguh Allah ‘azza wa jalla menyerahkan urusan seorang hamba kepada dirinya sendiri, termasuk di antaranya urusan pernikahan. Apabila ayah saya menghalangi saya untuk menikah dengan lelaki yang sesuai bagi saya, seorang lelaki yang begitu bersungguh-sungguh ingin menjaga kemuliaan saya, menjaga kehormatan saya, dan dia sendiri seorang yang berpegang teguh dengan agama, namun ayah saya justru ingin saya menikah dengan lelaki yang tidak memiliki sifat-sifat yang saya sebutkan; bukankah berarti saya berhak untuk tidak meminta izinnya dalam urusan pernikahan saya dengan seorang yang salih tersebut?

Saya urusi sendiri pernikahan saya di hadapan qadhi (hakim) atau saya meminta izin kepada salah seorang kerabat saya yang lain yang mau menerima pandangan saya dan menjadi wali dalam urusan pernikahan saya?

Jawab:

Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berfatwa sebagai berikut.

Seorang wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri. Siapa pun yang melakukannya, pernikahan tersebut batil, menurut mayoritas ulama, baik yang terdahulu maupun yang belakangannya. Sebab, dalam urusan pernikahan, Allah ‘azza wa jalla menujukan pembicaraan kepada para wali yang mengurusi para wanita (bukan wanita yang diajak bicara).

Allah ‘azza wa jalla berfirman,

وَأَنكِحُواْ ٱلۡأَيَٰمَىٰ مِنكُمۡ وَٱلصَّٰلِحِينَ مِنۡ عِبَادِكُمۡ وَإِمَآئِكُمۡۚ

“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendiri (belum punya pasangan) di antara kalian dan orang-orang salih dari kalangan budak-budak kalian.” (an-Nur: 32)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إذَا أَتَاكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ ديْنَهُ وَحُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ

“Apabila datang kepada kalian (untuk melamar wanita kalian) seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, nikahkanlah dia (dengan wanita yang berada di bawah perwalian kalian).”[1]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

لاَ نكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ

“Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil.”[2]

Adapun pendapat yang Anda baca dalam sebagian kitab fiqih bahwa wanita boleh menikahkan dirinya sendiri, itu adalah pendapat yang dhaif/lemah dan marjuh (tidak kuat, lawan dari rajih). Pendapat yang benar, yang tegak di atas dalil, adalah pendapat yang menyelisihinya, sehingga pendapat yang lemah tersebut tidak boleh diamalkan.

Penanya mengajukan pertanyaan terkait dengan adanya perselisihan pendapat antara dia dan ayahnya. Ayahnya menginginkannya bersuamikan seseorang yang punya martabat, dari keturunan yang sekufu dengan dirinya, sementara si wanita sendiri tidak memandang demikian. Dia hanyalah condong untuk menikah dengan seorang lelaki yang dipandangnya memiliki agama, walaupun tidak memiliki kedudukan dan tidak bernasab tinggi.

Dalam hal ini, kebenaran bersama ayahnya karena ayahnya lebih jauh pandangannya daripada dirinya. Terkadang dibayangkan oleh si wanita bahwa lelaki yang datang melamarnya tersebut sesuai untuknya padahal sebenarnya tidak sesuai.[3] Oleh karena itu, tidak sepantasnya dia menentang ayahnya selama si ayah menginginkan kemaslahatan putrinya.

Namun, jika ternyata dipastikan lelaki yang datang melamar si wanita itu memang sesuai, pantas dan cocok dengannya, sekufu dalam hal kedudukan, martabat, dan agamanya, sementara si ayah enggan menikahkan putrinya dengan lelaki yang demikian, si ayah menjadi ‘adhil.[4] Jika demikian, perwalian dalam pernikahan berpindah kepada wali yang berikutnya setelah sang ayah.

Akan tetapi, urusan ini harus dengan pertimbangan qadhi/hakim yang nantinya memindahkan perwalian dari ayah yang berbuat ‘adhal kepada wali yang setelahnya dari kalangan para lelaki yang berhak menjadi wali si wanita.

Dalam hal ini, si wanita tidak boleh mengurusi sendiri urusan seperti ini. Tidak boleh pula salah seorang wali mengurusinya tanpa ada keridhaan dari ayahnya. Jadi, dalam urusan ini harus kembali kepada qadhi yang syar’i. Hakim yang akan melihat permasalahan dan menilai fakta yang ada. Apabila dia memandang bolehnya perpindahan wali kepada yang lain, dipindahkan sesuai kemaslahatan. Oleh karena itu, dalam hal pernikahan ini harus dipastikan perkaranya.

Para wanita tidak boleh mengurus sendiri urusan pernikahannya. Urusan ini harus ditangani dengan semestinya oleh walinya yang berhak. Sebab, wanita itu pandangannya terbatas/dangkal, tidak jauh ke depan. Para wali dari kalangan lelaki yang mengurus wanita tentu harus memiliki semangat untuk memberikan penjagaan kepada wanita yang di bawah perwaliannya dan punya kecemburuan terhadap mereka. Semua ini tentu tidak dimiliki oleh para wanita. Oleh karena itu, sepantasnya hal ini menjadi perhatian.”

(Majmu’ Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, 2/536—537)


[1] HR at-Tirmidzi (no. 1085), Ibnu Majah (no. 1968), dinyatakan sahih dalam Shahih al-Jami no. 270.

[2] HR ad-Daraquthni dalam as-Sunan (3/226), Ibnu Hibban (no. 1247) dinyatakan sahih dalam Shahih al-Jami’ (no. 7557).

[3] Sebab, wanita lebih sering menilai dengan perasaannya, tanpa pertimbangan yang matang dan jauh ke depan sebagaimana halnya kaum lelaki.

[4] Lafadz ‘adhal, yang pelakunya disebut ‘adhil, terambil dari ayat,

فَلَا تَعۡضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحۡنَ أَزۡوَٰجَهُنَّ

“… maka janganlah kalian (para wali) berbuat ‘adhal/mencegah atau menghalangi mereka (wanita yang di bawah perwalian kalian) untuk menikah kembali dengan (mantan) suami-suami mereka.” (al-Baqarah: 232)

Makna ‘adhal sama dengan mana’a, yaitu menahan, mencegah, atau menghalangi.

Apabila seorang ayah mencegah, melarang, atau tidak menerima pinangan seorang lelaki terhadap putrinya dan enggan menikahkannya, padahal si lelaki sekufu dengan putrinya dalam hal agama, akhlak, atau harta, dalam keadaan putrinya sendiri ridha/suka dengan si lelaki, perwalian ayah bisa dipindahkan kepada wali berikutnya. Misalnya, saudara laki-laki si wanita, paman (dari pihak ayah/saudara lelaki ayah), atau keponakan lelaki dari saudara lelakinya. Sebab, tidak ada hak bagi si ayah untuk menolak pinangan lelaki baik-baik tersebut. Sebagai wali, seharusnya dia melakukan apa yang paling bermaslahat atau yang terbaik untuk putrinya. Apabila si ayah tidak mau melakukannya, hak perwaliannya berpindah kepada selainnya. Demikian keterangan dalam asy-Syarhu al-Mumti’ (12/86).