Yang Tercecer dari IAIN (7) – Mengusung Tokoh Kafir dan Bid’ah

Di antara bukti kecintaan seorang muslim kepada Allah subhanahu wa ta’ala adalah ia selalu berusaha mencintai orang yang Allah subhanahu wa ta’ala cintai dan membenci siapa yang Allah subhanahu wa ta’ala benci. Sungguh aneh bila ia mengaku mencintai-Nya akan tetapi dia membenci siapa yang Allah subhanahu wa ta’ala cintai dan mencintai siapa yang Allah subhanahu wa ta’ala benci. Penyair Arab mengatakan:

   تَعْصِي اْلِإلَهَ وَأَنْتَ تَزْعُمُ حُبَّهُ

 هَذَا لَعَمْرِي في اْلقِيَاس بَدِيْعُ

لَوْ كَانَ حُبُّكَ صَادِقًا لَأَطَعْتَهُ

إِنَّ اْلمُحِبَّ لِمَنْ يُحِبُّ مُطِيْعُ

Kamu bermaksiat kepada Ilah sementara kamu mengaku cinta kepada-Nya

Aku bersumpah, ini sungguh kias yang aneh

Seandainya pengakuan cintamu jujur, tentu kamu akan menaatinya

karena seorang yang mencintai itu akan menaati yang dicintainya. (al-Qaulul Mufid, 3/55)

Atas dasar itu, siapa yang dicintai Allah subhanahu wa ta’ala, baik para nabi, shiddiqin, syuhada, maupun para shalihin, kita harus mencintai mereka sebagai konsekuensi cinta kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Siapa saja yang dibenci oleh Allah subhanahu wa ta’ala maka kita harus membencinya. Siapa yang dihinakan Allah subhanahu wa ta’ala kita pun tidak boleh menyanjungnya. Di antara yang Allah subhanahu wa ta’ala benci dan Allah subhanahu wa ta’ala hinakan adalah orang kafir dengan berbagai jenisnya, ahli bid’ah, dan ahli maksiat. Oleh karena itu, para ulama menyebutkan bahwa di antara akidah Ahlus Sunnah wal Jamah adalah:

Mereka (Ahlus Sunnah) membenci ahli bid’ah yang membuat-buat sesuatu yang diada-adakan dalam agama yang tidak berasal darinya. Ahlus Sunnah tidak mencintai mereka, tidak berteman dengan mereka, tidak mendengarkan ucapan mereka, tidak duduk-duduk bersama mereka, tidak berdebat dengan mereka dalam urusan agama dan menjaga telinga dari kebatilan-kebatilan. Mereka yang bila melewati telinga akan menancap dalam kalbu dan menyeret kepadanya bisikan-bisikan (setan) yang rusak, dan dalam hal itu turun ayat:

وَإِذَا رَأَيۡتَ ٱلَّذِينَ يَخُوضُونَ فِيٓ ءَايَٰتِنَا فَأَعۡرِضۡ عَنۡهُمۡ حَتَّىٰ يَخُوضُواْ فِي حَدِيثٍ غَيۡرِهِۦۚ وَإِمَّا يُنسِيَنَّكَ ٱلشَّيۡطَٰنُ فَلَا تَقۡعُدۡ بَعۡدَ ٱلذِّكۡرَىٰ مَعَ ٱلۡقَوۡمِ ٱلظَّٰلِمِينَ ٦٨

“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” (al-An’am: 68) (Aqidatus Salaf Ashhabil Hadits hlm. 114—115)

Menjadi sebuah problem besar ketika sebuah sekolah tinggi justru mengambil guru-guru dari orang-orang yang menyimpang dan juga menjadikan orang-orang kafir sebagai narasumber. Nama Nashr Abu Zaid, Muhammad Arkoun, dan Fazlur Rahman, bukanlah nama-nama asing di kampus tersebut. Berkiblat ke perguruan tinggi di Eropa adalah satu hal biasa atau bahkan kebanggaan. Lihat saja hasilnya, seperti Harun Nasution yang mengawali perubahan di IAIN, lalu disusul berikutnya oleh yang lain.

Mereka biasa menggunakan ayat yang kurang jelas untuk memelintir maknanya, padahal Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman:

          هُوَ ٱلَّذِيٓ أَنزَلَ عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ مِنۡهُ ءَايَٰتٞ مُّحۡكَمَٰتٌ هُنَّ أُمُّ ٱلۡكِتَٰبِ وَأُخَرُ مُتَشَٰبِهَٰتٞۖ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمۡ زَيۡغٞ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَٰبَهَ مِنۡهُ ٱبۡتِغَآءَ ٱلۡفِتۡنَةِ وَٱبۡتِغَآءَ تَأۡوِيلِهِۦۖ

“Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an; dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat yang mutasyabihat (belum jelas) untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya. (Ali Imran: 7)

Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat:

هُوَ ٱلَّذِيٓ أَنزَلَ عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ مِنۡهُ ءَايَٰتٞ مُّحۡكَمَٰتٌ هُنَّ أُمُّ ٱلۡكِتَٰبِ وَأُخَرُ مُتَشَٰبِهَٰتٞۖ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمۡ زَيۡغٞ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَٰبَهَ مِنۡهُ ٱبۡتِغَآءَ ٱلۡفِتۡنَةِ وَٱبۡتِغَآءَ تَأۡوِيلِهِۦۖ

إِلَى قَوْلِهِأُولُو الأَلْبَابِ، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ الله: فَإِذَا رَأَيْتِ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ، فَأُولَئِكَ الَّذِينَ سَمَّى اللهُ، فَاحْذَرُوهُمْ

“Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepadamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an, dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat yang mutasyabihat (belum jelas) untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya….” Hingga firman-Nya, “kecuali orang-orang yang berakal.”

Aisyah berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bila kamu melihat mereka yang mengikuti ayat yang belum jelas, maka mereka itulah orang yang Allah subhanahu wa ta’ala sebut, maka berhati-hatilah dari mereka.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Ulama pun mengingatkan, sebagaimana diucapkan oleh Muhammad bin Sirin rahimahullah, “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka periksalah dari siapakah kalian mengambil agama kalian.”

Apabila ini dilanggar, sehingga kenyataannya justru orang kafir atau yang telah menyeleweng yang diambil ilmunya, disanjung, dibanggakan, dijadikan rujukan, bagaimana kiranya keadaan muridnya? Apa yang akan mereka peroleh di bangku kuliah dari seorang guru yang semacam itu?

Buahnya antara lain ialah berbagai kesesatan dan penyimpangan yang kita lihat dan kita saksikan tercecer di sekolah tinggi tersebut.

Ditulis oleh Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc