Al-Qadariah, Majusi Umat ini

Siapakah yang tak mengenal Majusi? Aliran penyembah api atau lazim disebut Zoroaster ini, punya dualisme keyakinan tentang sumber kebaikan dan sumber kejahatan. Di umat ini, juga telah muncul aliran serupa. Dialah al-Qadariyyah.

Siapakah Mereka?

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Al-Qadariyyah adalah orang-orang yang ingkar terhadap takdir. Mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya apa yang terjadi di alam semesta ini bukan karena takdir dan qadha dari Allah subhanahu wa ta’la. Akan tetapi semua terjadi dikarenakan perbuatan hamba, tanpa ada takdir sebelumnya dari Allah subhanahu wa ta’la.’ Mereka ingkar terhadap rukun iman yang keenam.” (Lamhatun ‘Anil Firaqidh-dhallah, hlm. 29)

Kapan Munculnya dan Siapa Pelopornya?

Kelompok ingkar takdir ini belum pernah ada di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga di zaman al-Khulafa ar-Rasyidin. Mereka baru muncul di pertengahan abad pertama hijriyyah di akhir masa generasi terbaik umat ini (para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Pelopornya adalah Ma’bad bin Khalid al-Juhani, salah seorang penduduk kota Bashrah. Al-Imam Muslim bin al-Hajjaj  rahimahullah meriwayatkan dalam Shahih-nya hadits no. 1 dari Yahya bin Ya’mar, ia berkata, “Yang pertama kali memelopori (menyebarkan) paham ingkar takdir di Bashrah adalah Ma’bad al-Juhani.”

Dia menimba paham sesat ini dari Susan, seorang Nasrani yang masuk Islam namun kemudian kembali kepada agama Nasrani. Sebagaimana yang dikatakan oleh al-Imam al-Auza’i rahimahullah, “Yang pertama kali mencetuskan paham ingkar takdir adalah Susan, seorang penduduk Irak. Ia tadinya seorang Nasrani lalu masuk Islam, kemudian kembali kepada agamanya semula. Ma’bad al-Juhani menimba (paham sesat ini) darinya, kemudian Ghailan bin Muslim ad-Dimasyqi menimbanya dari Ma’bad.” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnati wal Jama’ah, karya al-Imam al-Lalika-i rahimahullah, 4/827)

Paham bid’ah ini memang lebih identik dengan sosok Ma’bad al-Juhani dan Ghailan ad-Dimasyqi daripada Susan, karena memang merekalah yang gencar dalam menyebarkannya. (lihat Manhaj al-Imam Malik fi Itsbaatil ‘Aqidah, karya Dr. Su’ud bin Abdul ‘Aziz Da’jan, hlm. 496)

Paham sesat ini akhirnya tersebar di Bashrah dan penduduknya banyak yang terpengaruh. Terlebih setelah melihat ‘Amr bin ‘Ubaid (orang yang mereka tokohkan) mengikuti paham ini.

Al-Imam as-Sam’ani rahimahullah berkata, “Penduduk Bashrah banyak yang terpengaruh dengan paham sesat ini setelah melihat ‘Amr bin ‘Ubaid mengikutinya.” (Dinukil dari al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, karya al-Imam an-Nawawi rahimahullah, 1/137)

Bagaimanakah Ideologi Mereka?

Al-Qadariyyah di awal kemunculannya, menampakkan ideologi:

لاَ قَدَرَ وَأَنَّ الْأَمْرَ أُنُفٌ

Yakni tidak ada takdir dan semua perkara yang ada merupakan sesuatu yang baru, di luar takdir dan ilmu Allah subhanahu wa ta’la (terjadi seketika, red.). Allah subhanahu wa ta’la baru mengetahuinya setelah perkara itu terjadi. (lihat al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, karya al-Imam an-Nawawi rahimahullah, 1/138)

Ketika bantahan dan pengingkaran as-Salafush Shalih terhadap paham sesat ini demikian gencar, sedikit demi sedikit ideologi ini sirna. Namun karena tidak sedikit dari ahlul ilmi dan ahli ibadah yang hanyut bersama mereka, ada yang justru bergeser kepada ideologi bid’ah lainnya.

Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Ideologi ini telah sirna, dan kami tidak mengetahui salah seorang dari muta’akhirin (yang datang belakangan, red.) yang berpaham dengannya. Adapun Al-Qadariyyah di hari ini, mereka semua sepakat bahwa Allah subhanahu wa ta’la Maha Mengetahui segala perbuatan hamba sebelum terjadi, namun mereka menyelisihi As-Salafush Shalih dengan menyatakan bahwa perbuatan hamba adalah hasil kemampuan dan ciptaan hamba itu sendiri.” (Fathul Bari, karya al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, 1/145)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ketika paham al-Qadariyyah telah merebak serta tidak sedikit dari ahlul ilmi dan ibadah yang hanyut bersama mereka, akhirnya mayoritas mereka menetapkan adanya ilmu Allah subhanahu wa ta’la tentang segala sesuatu sebelum terjadinya. Namun mereka mengingkari keumuman masyi’ah (kehendak Allah subhanahu wa ta’la) dan penciptaan.”[1] (Kitab al-Iman, hlm. 331)

Mengapa Disebut “Majusi Umat Ini”?

Sebutan ini sebenarnya berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam sabda beliau:

الْقَدَرِيَّةُ مَجُوْسُ هَذِهِ الْأُمَّةِ إِنْ مَرِضُوْا فَلاَ تَعُوْدُوْهُمْ وَإِنْ مَاتُوْا فَلاَ تَشْهَدُوْهُمْ

“Al-Qadariyyah itu Majusi umat ini. Jika mereka sakit, maka jangan dijenguk. Dan jika meninggal dunia, jangan disaksikan (dihadiri) jenazahnya.” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah, hadits no. 338 dan dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Zhilalul Jannah)

Juga sabda beliau:

إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ مَجُوْسًا وَإِنَّ مَجُوْسَ أُمَّتِيْ يَقُوْلُوْنَ: لاَ قَدَر، فَإِنْ مَرِضُوْا فَلاَ تَعُوْدُوْهُمْ وَإِنْ مَاتُوْا فَلاَ تَشْهَدُوْهُمْ

“Sesungguhnya tiap-tiap umat ada Majusinya, dan Majusi umatku adalah orang-orang yang mengatakan tidak ada takdir. Jika mereka sakit, maka jangan dijenguk, dan jika meninggal dunia jangan disaksikan jenazahnya.” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah, hadits no. 339 dan dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Zhilalul Jannah)

Al-Imam al-Khaththabi rahimahullah berkata, “Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyamakan al-Qadariyyah dengan Majusi, karena ideologi mereka serupa dengan ideologi orang-orang Majusi dalam hal (dua sumber kehidupan): cahaya dan kegelapan. Mereka (Majusi) menyatakan bahwa kebaikan bersumber dari cahaya sedangkan kejelekan bersumber dari kegelapan, sehingga mereka merupakan orang-orang yang mempunyai dualisme keyakinan.

Demikian pula al-Qadariyyah, mereka menyandarkan kebaikan kepada Allah subhanahu wa ta’la dan kejelekan kepada selain Allah subhanahu wa ta’la. Padahal Allah subhanahu wa ta’la adalah Pencipta kebaikan dan kejelekan itu, tidak akan terjadi sedikit pun dari kebaikan ataupun kejelekan kecuali dengan kehendak-Nya. Keduanya disandarkan kepada Allah subhanahu wa ta’la dari sisi penciptaan dan disandarkan kepada para pelaku yaitu hamba-hamba-Nya dari sisi yang mengerjakan dan mengupayakannya. Wallahu a’lam.” (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, 1/138—139)

Sebagian mereka (al-Qadariyyah, red.) mengatakan, “Justru kalianlah yang dimaksud dengan Majusi umat ini, karena al-Qadariyyah itu adalah orang-orang yang meyakini adanya takdir.”

Menanggapi syubhat ini, al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari rahimahullah berkata, “Al-Qadari adalah seseorang yang menetapkan bahwa dirinya mempunyai kemampuan untuk menentukan takdir (selain Allah subhanahu wa ta’la), dan bahwasanya dialah yang menakdirkan segala perbuatannya, bukan Penciptanya (Allah subhanahu wa ta’la). Demikian pula bila ditinjau dari sisi bahasa, karena yang disebut sebagai tukang emas adalah seseorang yang punya kemampuan menyepuh emas bukan orang yang disepuhkan. Seseorang disebut sebagai tukang kayu di saat ia sandarkan keahlian pertukangannya pada dirinya, bukan orang yang dibuatkan kerajinan kayu. Oleh karena itu, ketika kalian menyatakan bahwasanya kalianlah yang menakdirkan amal perbuatan kalian dan kalian berkemampuan untuk melakukannya tanpa ada campur tangan dari Rabb kalian (Allah subhanahu wa ta’la), maka jelas bahwa kalianlah yang disebut al-Qadariyyah. Sedangkan kami tidak bisa disebut al-Qadariyyah, karena kami belum pernah menyandarkan segala amal perbuatan pada diri-diri kami tanpa ada campur tangan dari Allah subhanahu wa ta’la. Kami tidak mengatakan bahwa kami yang menakdirkan amal perbuatan tersebut tanpa Allah subhanahu wa ta’la, namun yang kami katakan, ‘Sungguh amal perbuatan itu ditakdirkan untuk kami (oleh Allah subhanahu wa ta’la)’.” (lihat al-Ibanah ‘an Ushuliddiyanah, hlm. 141). Dan juga hadits kedua (di atas) dengan tegas menyatakan bahwa Majusi umat ini adalah orang-orang yang mengatakan tidak ada takdir.

Kafirkah Mereka?

Kelompok al-Qadariyyah yang mengingkari ilmu Allah subhanahu wa ta’la atas segala sesuatu sebelum terjadinya, telah dikafirkan oleh mayoritas ulama. Sebagaimana yang dinyatakan oleh sahabat Abdullah bin ‘Umar  radhiallahu ‘anhuma ketika disampaikan kepada beliau perihal mereka, “Jika engkau berjumpa dengan mereka, sampaikan bahwa aku berlepas diri dari mereka dan mereka berlepas diri dariku. Demi Zat yang Abdullah bin ‘Umar bersumpah dengan-Nya (Allah subhanahu wa ta’la), jika salah seorang dari mereka mempunyai emas sebesar gunung Uhud kemudian menginfakkannya, niscaya tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wa ta’la sampai ia beriman kepada takdir.” (Sahih, HR. Muslim, no. 1)

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Apa yang dikatakan oleh Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma ini, jelas sekali sebagai pengafiran beliau terhadap al-Qadariyyah. Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata, ‘Ini berlaku untuk al-Qadariyyah generasi awal yang mengingkari ilmu Allah subhanahu wa ta’la atas segala sesuatu sebelum terjadinya.’ Al-Qadhi ‘Iyadh juga berkata, ‘Yang mengatakan demikian, tidak diperselisihkan lagi kekafirannya’.” (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, 1/140)

Al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “…adapun yang mengingkari ilmu Allah Al-Qadim, maka al-Imam asy-Syafi’i dan al-Imam Ahmad rahimahumallah telah menyatakan dengan tegas akan kekafirannya. Demikian juga selain keduanya dari para imam kaum muslimin.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hlm. 23)

Adapun bagi al-Qadariyyah yang masih menetapkan ilmu Allah subhanahu wa ta’la, namun mengingkari keumuman penciptaan dan kehendak (bagi Allah subhanahu wa ta’la), maka masih diperselisihkan para ulama. Al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Tentang pengafiran mereka, terdapat perselisihan yang masyhur di antara para ulama.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hlm. 23)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Mereka adalah ahlul bid’ah yang sesat, dan tidak setingkat dengan mereka-mereka (yang mengingkari ilmu Allah subhanahu wa ta’la).” (al-Iman, hlm. 331)

Sikap Para Ulama dan Umara Terhadap Mereka

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Di zaman al-Khulafa ar-Rasyidin tidak ada seorang pun yang mengingkari takdir. Ketika muncul orang-orang yang mengingkarinya (di akhir-akhir masa sahabat, pen.), maka bangkitlah para sahabat yang tersisa untuk membantah mereka, seperti Abdullah bin ‘Umar, Abdullah bin ‘Abbas, dan Watsilah bin Asqa’ radhiallahu ‘anhuma. Paham sesat ini merebak di Bashrah, Syam, dan sedikit sekali di Hijaz. Maka as-Salafush Shalih demikian gencar membantah dan membongkar kedok mereka.” (al-Iman, hlm. 331)

Al-Imam al-Lalika-i rahimahullah meriwayatkan dari jalan Abu az-Zubair, ia berkata, (Suatu hari) kami thawaf bersama Thawus rahimahullah (salah seorang tabi’in, murid Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, pen.) dan kami pun melewati Ma’bad al-Juhani. Maka disampaikanlah kepada Thawus bahwa ini adalah Ma’bad yang mengatakan tidak ada takdir. Thawus pun kemudian berkata kepada Ma’bad, “Engkaukah orang yang berdusta atas nama Allah dengan apa yang kamu tidak tahu?!”

Ma’bad berkata, “Itu tuduhan kepadaku belaka.”

Abu az-Zubair berkata, “Akhirnya kami mengunjungi Ibnu ‘Abbas, kemudian Thawus berkata kepadanya, “Wahai Abu ‘Abbas (yakni Ibnu Abbas, pen.), ada orang-orang yang mengatakan tidak ada takdir.”

Ibnu Abbas berkata, “Tunjukkan kepadaku sebagian dari mereka.”

Thawus pun bertanya, “Apa yang akan engkau lakukan?”

Beliau menjawab, “Aku akan masukkan tanganku pada kepalanya, lalu aku patahkan lehernya.” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlissunnati wal Jama’ah, 4/787)

Al-Imam Abu Bakr Muhammad bin al-Husain al-Ajurri rahimahullah meriwayatkan dari jalan ‘Amr bin Muhajir, ia berkata, “Telah sampai informasi kepada Khalifah ‘Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah bahwa Ghailan bin Muslim mengatakan, ‘Takdir itu tidak ada’. Maka beliau mengutus seseorang untuk memanggil Ghailan. (Setelah datang), ia dibiarkan (tidak ditemui) selama beberapa hari. Kemudian setelah itu dibawa menghadap beliau. ‘Umar bin Abdul ‘Aziz berkata, ‘Ghailan, apa ini yang aku dengar tentang dirimu?!’

‘Amr bin Muhajir memberikan isyarat agar ia tidak menjawab, namun Ghailan tetap menjawabnya, ‘Ya, wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla berfirman:

هَلۡ أَتَىٰ عَلَى ٱلۡإِنسَٰنِ حِينٞ مِّنَ ٱلدَّهۡرِ لَمۡ يَكُن شَيۡ‍ٔٗا مَّذۡكُورًا ١  إِنَّا خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ مِن نُّطۡفَةٍ أَمۡشَاجٖ نَّبۡتَلِيهِ فَجَعَلۡنَٰهُ سَمِيعَۢا بَصِيرًا ٢ إِنَّا هَدَيۡنَٰهُ ٱلسَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرٗا وَإِمَّا كَفُورًا ٣

“Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum berupa sesuatu yang dapat disebut. Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), oleh karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (al-Insan: 1—3)[2]

‘Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah berkata, ‘Bacalah akhir dari surat tersebut!’

وَمَا تَشَآءُونَ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمٗا ٣٠ يُدۡخِلُ مَن يَشَآءُ فِي رَحۡمَتِهِۦۚ وَٱلظَّٰلِمِينَ أَعَدَّ لَهُمۡ عَذَابًا أَلِيمَۢا ٣١

 “Dan kalian tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. Dia memasukkan siapa yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Dan bagi orang-orang yang zalim, Ia sediakan azab yang pedih.” (al-Insan: 30—31)

Kemudian beliau berkata, ‘Bagaimana pendapatmu, wahai Ghailan?’

Ghailan berkata, ‘Sungguh sebelumnya aku buta lalu engkau menerangiku, aku tuli lalu engkau membuka pendengaranku, dan aku sesat lalu engkau menunjukiku.’

Maka ‘Umar bin Abdul ‘Aziz berkata, ‘Ya Allah, semoga hamba-Mu Ghailan jujur. Kalau tidak, maka saliblah ia!’

Maka Ghailan pun tidak lagi berkata tentang takdir, sehingga ia diangkat oleh ‘Umar bin Abdul ‘Aziz sebagai penanggung jawab kantor pembayaran kas khilafah di Damaskus. Ketika ‘Umar bin Abdul ‘Aziz wafat dan khilafah dipegang Hisyam bin Abdul Malik, ia kembali berbicara tentang tidak adanya takdir. Maka akhirnya Hisyam mengirim utusan untuk memotong tangannya. Ketika tangannya (setelah dipotong, pen.) sedang dikerumuni lalat, lewatlah seorang laki-laki seraya berkata kepadanya, ‘Wahai Ghailan, ini adalah qadha dan qadar.’ Maka ia menjawab, ‘Engkau berdusta, demi Allah ini bukan qadha dan bukan pula qadar.’ Maka Hisyam mengirim utusan kembali untuk menyalib Ghailan.” (asy-Syari’ah, hlm. 208—209)

Demikianlah sikap tegas ‘Umar bin Abdul ‘Aziz dan Hisyam bin Abdul Malik rahimahumallah di dalam menindak penyeru bid’ah dari kalangan al-Qadariyyah. Sikap keduanya ini didukung oleh para ulama sebagaimana diriwayatkan al-Lalika-i dari jalan Ibrahim bin Abu Ablah. Ia berkata, “Suatu saat aku berada di sisi ‘Ubadah bin Nusai, lalu datanglah seseorang seraya berkata, ‘Sesungguhnya Amirul Mukminin (Hisyam) telah memotong tangan dan kaki Ghailan serta menyalibnya. Bagaimana pendapatmu?’

‘Ubadah berkata, ‘Boleh-boleh saja. Demi Allah, tindakannya tepat dan mencocoki sunnah. Sungguh aku akan menulis surat kepadanya dan aku nyatakan bahwa pendapatnya benar-benar baik’.” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnati wal Jama’ah, 4/793)

Al-Imam Muhammad bin al-Husain al-Ajurri rahimahullah berkata, “Demikianlah seyogianya bagi para pemimpin kaum muslimin, jika terbukti bahwa seseorang berbicara tentang masalah takdir tidak seperti apa yang telah lalu (dari pemahaman as-Salafush Shalih), hendaknya menghukumnya seperti hukuman ini dan tidak memedulikan celaan orang yang mencela di dalam menjalankannya.” (asy-Syari’ah, hlm. 212)

Kata-Kata Mutiara

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Inti permasalahan ini, hendaknya seseorang mengetahui bahwa prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam hal ini dan yang lainnya adalah mengikuti apa yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta apa yang diyakini oleh generasi pertama dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Yaitu bahwa Allah subhanahu wa ta’la adalah pencipta, pengatur, dan pemilik segala sesuatu, di mana zat segala sesuatu dan sifat-sifat yang menyertainya dari perbuatan hamba dan selainnya masuk dalam ciptaan, aturan, dan kepemilikan ini. Juga bahwa segala yang dikehendaki Allah subhanahu wa ta’la pasti terjadi dan segala yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi. Maka tidaklah terjadi sesuatu di alam semesta ini melainkan dengan kehendak dan kekuasaan-Nya, tidak akan terhalangi (gagal) sesuatu pun yang dikehendaki-Nya. Bahkan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tidaklah Dia menghendaki sesuatu melainkan Dia mampu untuk mewujudkannya.

Dia subhanahu wa ta’la Maha Mengetahui apa yang (telah, red.) terjadi, apa yang akan terjadi, dan apa yang tidak terjadi, serta bagaimana jika terjadi. Termasuk dalam hal ini (adalah) segala perbuatan hamba dan selainnya. Allah subhanahu wa ta’la telah menetapkan untuk seluruh makhluk suatu takdir sebelum Dia ciptakan mereka. Dia telah takdirkan umur, rezeki, dan perbuatan-perbuatan mereka. Dia juga menulisnya serta menulis kesudahan dari mereka semua, apakah bahagia ataukah sengsara.

Maka (Ahlus Sunnah wal Jamaah) adalah orang-orang yang beriman tentang penciptaan Allah subhanahu wa ta’la terhadap segala sesuatu, kekuasaan-Nya atas segala sesuatu, Maha Berkehendak-Nya atas segala apa yang terjadi, pengetahuan-Nya terhadap segala sesuatu sebelum terjadi, penakdiran-Nya untuk segala sesuatu, dan penulisan takdir tersebut sebelum terjadinya.” (Majmu’ Fatawa, 8/449—450)

Nasihat dan Peringatan

Para pembaca yang dirahmati Allah subhanahu wa ta’la, dari apa yang telah lalu jelaslah bagi kita bahwa betapa indahnya manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah dan betapa buruk lagi jahat manhaj ahlul bid’ah (al-Qadariyyah). Oleh karena itu, sudah seharusnya bagi kita untuk istiqamah di atas manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah dan meninggalkan semua manhaj ahlul bid’ah, di antaranya adalah manhaj al-Qadariyyah. Terlebih lagi di saat manhaj al-Qadariyyah ini telah diadopsi dan disebarkan oleh kelompok Syi’ah Rafidhah dan kelompok Mu’tazilah, baik yang hidup di masa lalu maupun yang masih ada saat ini. Wallahul musta’an.

Ditulis oleh al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi, Lc.


[1] Yakni mereka beranggapan bahwa perbuatan hamba di luar kehendak Allah subhanahu wa ta’la dan bukan ciptaan-Nya. Para hambalah yang berkehendak secara bebas menentukan perbuatannya dan merekalah yang menciptakan amal perbuatan tersebut, tanpa ada campur tangan dari Allah subhanahu wa ta’la. (pen.)

[2] Ayat ini oleh Ghailan dijadikan sebagai dalil bahwa manusialah yang berkehendak untuk menempuh suatu jalan tanpa ada campur tangan (takdir) dari Allah subhanahu wa ta’la.