Bahaya Laten Terorisme

bahaya laten terorisme

Menangkal aksi terorisme tak semata dengan tindak represif aparat keamanan. Bisa saja kelompok teroris itu telah ditangkap, dipenjara, bahkan dihukum mati. Namun, jangan tumbuh anggapan bahwa terorisme telah lenyap. Sang teroris generasi baru dengan kemampuan dan peralatan yang lebih strategis bisa melangsungkan aksinya sewaktu-waktu. Sebab, aksi teror akan senantiasa tumbuh dari masa ke masa, seiring dengan tumbuh kembangnya terorisme sebagai paham dan ideologi.

Walau para teroris sekarang ini telah dibungkam aparat keamanan, tetapi paham dan ideologinya tidak serta-merta mati. Ideologi mereka akan terus bercokol di tengah masyarakat manakala umat tak dibekali kemampuan menolak melalui ilmu agama yang benar selaras pemahaman salafus saleh.

Baca juga:

Sepenggal Catatan tentang Terorisme

Para pendahulu mereka (kelompok teroris) adalah orang-orang yang secara fisik menampakkan dirinya sebagai ahli ibadah. Ketika Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma diutus untuk melakukan dialog dengan kelompok Khawarij, beliau mengungkapkan keadaan mereka. Beliau mengatakan bahwa kelompok Khawarij adalah orang-orang yang rajin beribadah. Mereka adalah orang-orang yang kuat menunaikan shalat malam, puasa, dan tak peduli pada pakaian yang dikenakannya. Pakaian mereka lusuh. Dahi mereka menghitam lantaran banyak sujud. Tangan-tangan mereka pun terasa kasar. Wajah mereka pucat karena seringnya beribadah di waktu malam.

Itulah gambaran mereka, pendahulu kelompok teroris. Mereka memisahkan diri dari pemerintahan yang sah saat itu, yaitu Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Tak hanya itu, pemerintah Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu pun dikafirkan dengan alasan tidak berhukum dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah Subhanahu wata’ala. Konsentrasi pasukan mereka ditempatkan di satu wilayah yang disebut Harura’ (atau ada pula yang menyebutkan di daerah Nahrawan).

Karena itu, kelompok Khawarij ini disebut juga dengan Haruriyah, yaitu orang-orang yang menetap di Harura’. Walaupun jumlah mereka ribuan —dalam sebagian riwayat disebutkan 12.000 orang, ada yang menyebutkan lebih sedikit dari itu—, tetapi tak seorang pun sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersama mereka. Tak ada seorang pun ulama yang mendukung aksi mereka. Tidak ada dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Padahal para sahabat Muhajirin dan Anshar adalah orang-orang yang paling paham tentang al-Qur’an. Mereka lebih mengetahui tafsir al-Qur’an.

Penyimpangan lainnya yang ada pada mereka adalah menghalalkan darah kaum muslimin.

Untuk melampiaskan keyakinan satu ini, kalangan Khawarij tak segan menghabisi nyawa kaum muslimin. Dari kalangan mereka, hadir pula manusia jahat yang membunuh para sahabat mulia. Di antara yang terbunuh adalah dua sahabat agung dan mulia, yaitu Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.

Pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, ada tiga orang Khawarij yang bersekongkol membunuh tiga sahabat mulia. Abdurrahman bin Amr, dikenal dengan Ibnu Muljam al-Himyari, berencana membunuh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu; al-Burak bin Abdillah menyanggupi membunuh Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu anhuma; dan Amr bin Bakr siap membunuh Amr bin al-Ash radhiallahu anhu.

Ketiganya merencanakan aksi menghalalkan darah kaum muslimin. Abdurrahman bin Amr alias Ibnu Muljam al-Himyari melakukan provokasi. Kecemburuan terhadap kelompok korban Nahrawan dibangkitkan oleh Ibnu Muljam. Peristiwa Nahrawan pun diungkit. Mereka mengenang saat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu memerangi teman-teman mereka di Nahrawan. Tak sedikit yang terbunuh di antara mereka.

Akhirnya, dengan lantang mereka berucap, “Apa yang akan kita perbuat setelah kematian teman-teman kita? Teman-teman kita yang terbunuh adalah manusia terbaik. Mereka adalah orang-orang yang banyak melakukan shalat. Mereka menyeru kepada Rabbnya. Tak pernah merasa takut walaupun manusia lain mencercanya. Kami telah menjual jiwa-jiwa kami. Para pemimpin sesat itu akan kami datangi. Kami akan bunuh mereka. Kami akan bebaskan negeri-negeri dari cengkeraman mereka. Kami akan membalas kematian teman-teman kami.”

Ibnu Muljam lantas berkata, “Saya akan membunuh Ali.”

Al-Burak bin Abdillah menyertai dan berucap, “Saya akan habisi Mu’awiyah bin Abi Sufyan.”

Amr bin Bakr kemudian angkat bicara, “Saya akan libas Amr bin al-Ash.”

Baca juga:

Manusia Paling Celaka Adalah Pembunuhmu, Wahai Ali

Mereka saling berjanji, berikrar setia, dan saling memercayai. Mereka tak akan sekali-kali mundur dari rencana ini. Tekad mereka adalah membunuh atau dibunuh. Api telah berkobar, tak mungkin untuk dipadamkan lagi.

Amarah telah memuncak, tak mungkin untuk diredam lagi. Hawa nafsu telah merasuk. Hati telah dipenuhi oleh kebencian membusuk. Dendam telah membara di atas dasar kebatilan. Barbar!

Masuk bulan Ramadhan, malam Jumat, malam ketujuh belas. “Malam ini adalah malam untuk menunaikan janjiku terhadap para sahabatku,” kata Ibnu Muljam.

Untuk melancarkan aksi terornya, Ibnu Muljam ditemani oleh dua orang, yaitu Wardan dan Syabib bin Bajarah al-Asyja’i al-Haruri. Seraya membawa pedang, ketiganya bersiaga. Mereka mengambil posisi menghadap pintu rumah tempat Ali bin Abi Thalib keluar. Saat yang dinanti tiba. Ali keluar dari pintu rumah itu. Sontak, serangan bertubi-tubi menghantam tubuhnya. Pedang yang berada di tangan Syabib berkelebat, mengenai bagian leher Ali bin Abi Thalib.

Selang tak berapa lama, giliran pedang Ibnu Muljam menebas bagian samping atas kepala. Darah pun bersimbah, mengucur membasahi janggut Ali. Saat melayangkan pedangnya, Ibnu Muljam berucap, “La hukma illa lillah (tiada hukum kecuali milik Allah). Tidak ada bagimu Ali, tidak ada pula bagi para sahabatmu.”

Sejarah telah ditulis dengan darah. Tak akan lekang dalam ingatan kaum muslimin atas tindakan barbar kaum teroris Khawarij. Mereka telah berani menumpahkan darah para sahabat mulia. Mereka telah lancang sebagaimana pendahulunya yang bersikap lancang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dzul Kuwaishirah mengucapkan, “Berbuat adillah, wahai Rasulullah!” Saat itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membagi sesuatu kepada para sahabat.

Inilah karakter kaum Khawarij, melawan penguasa atau mencelanya.

Apabila kita mencermati keadaan orang-orang Khawarij terdahulu, ternyata mereka adalah orang-orang yang rajin beribadah. Namun, kerajinan ibadah yang mereka lakukan tidak diiringi oleh pemahaman yang benar mengenai ibadah. Landasan ibadah kaum Khawarij hanyalah khauf, rasa takut. Ibadah yang mereka tunaikan tidak diiringi dengan raja’ (mengharap) dan mahabbah (cinta).

Hanya saja, secara lahir tergambar betapa mereka adalah kaum yang tekun beribadah. Setelah Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu anhuma melakukan dialog dengan mereka, sebagian mereka bertobat. Sebagian lainnya tetap dengan pemahamannya, lalu diperangi oleh pemerintah Ali bin Abi Thalib.

Apakah tindakan Ali bin Abi Thalib memerangi sebagian pengikut Khawarij yang tidak mau bertobat dianggap memerangi sesama muslim? Tentu tidak. Walau secara lahir mereka menampakkan amaliah sebagaimana kaum muslimin lainnya, tetapi di balik itu semua mereka memiliki keyakinan sesat. Keyakinan yang tak semata-mata akan merusak tatanan sosial masyarakat (dalam bentuk pembunuhan, perampasan hak, dan kekacauan). Lebih dari itu, keyakinan-keyakinan sesat mereka akan merusak ajaran Islam.

Kemuliaan Islam akan dihancurkan. Ajaran Islam yang penuh rahmah akan dicemari sehingga wajah Islam coreng-moreng. Islam diidentikkan dengan teror. Kaum muslimin yang dengan ikhlas dan benar-benar mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam secara lahir tampak mirip, disamakan dengan kaum barbar yang tak beradab. Bisa jadi, amaliah secara lahir tampak sama, atribut yang dikenakan juga persis.

Akan tetapi, keyakinan yang mendasari sikap dan perbuatan tidak bisa disamakan. Kaum teroris di masa sekarang mengusung nama sebagai pejuang dan pembela Islam serta kaum muslimin. Namun, itu hanya pengakuan sendiri secara sepihak. Sebab, tindakan mereka di tengah-tengah umat Islam menampakkan wajah aslinya. Apa yang selama ini mereka perbuat mencerminkan keyakinan yang batil. Klaim sebagai mujahid (pejuang) dan pembela Islam tak pantas disematkan kepada mereka. Sebab, pada kenyataannya perjuangan dan amaliah mereka di atas kebatilan.

Baca juga:

Menyikapi Aksi-Aksi Teroris Khawarij

Jubah, sorban boleh sama. Jenggot dan pakaian di atas mata kaki juga boleh sama. Tetapi, keyakinan yang tersimpan di hati tidak bisa disamakan. Itu semua akan tampak dari ucapan, perilaku, dan amaliah lainnya. Pemahaman yang mereka usung akan tampak dari perbuatannya yang tak terbimbing salafus saleh. Tindakan-tindakan anarkis yang mereka lakukan bukan cerminan dari ajaran Islam nan luhur.

Bahkan, bukan pula cerminan dari ajaran jihad yang mulia sebagaimana diajarkan oleh salafus saleh. Jihad yang diajarkan oleh salafus saleh, di antaranya harus dilakukan bersama penguasa. Hal ini dituntunkan oleh al- Imam al-Barbahari rahimahullah dan para imam lainnya bahwa, “Haji dan berperang dilaksanakan bersama pemerintah kaum muslimin (penguasa) akan senantiasa berlangsung (hingga akhir kiamat).” (Syarhus Sunnah. Pernyataan serupa dari para imam lain bisa dilihat pada majalah Asy-Syariah edisi 48)

Cara Identifikasi Teroris

  • Di antara cara mengidentifikasi seseorang yang berjubah, berjenggot, berpakaian di atas mata kaki, dan berkopiah putih atau bersorban, apakah termasuk jaringan sesat atau tidak, lihatlah teman seiring dalam beraktivitas dan mengaji ilmu agama.

Sebab, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan,

الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

“Seseorang tergantung atas agama temannya. Maka dari itu, perhatikan siapa yang menjadi teman dekatnya.” (lihat ash-Shahihah no. 927)

Saat Imam Sufyan ats-Tsauri tiba di Bashrah, beliau melihat kedudukan ar-Rabi’ bin Shubaih di tengah-tengah umat. Lantas beliau bertanya tentang mazhab (pemahaman) agama ar-Rabi’. Jawab mereka, “Tiada lain mazhabnya adalah as-Sunnah.”

Al-Imam Sufyan bertanya, “Siapa temannya?” Orang-orang menjawab, “Orangorang Qadariyah (yang ingkar terhadap takdir).” Kata al-Imam Sufyan ats-Tsauri, “Kalau begitu, dia seorang qadari.” (al-Ibanah, Ibnu Baththah. Lihat Ijma’ul Ulama ‘ala al-Hajr wa at-Tahdzir min Ahli al-Ahwa’, Syaikh Khalid bin Dhahwi azh-Zhafiri, hlm. 106)

  • Kemudian cermati buku-buku atau kitab-kitab yang dikaji, dibaca dan dijadikan rujukan dalam bersikap, bertindak, beramal, dan berucap.

Manakala buku atau kitab yang dijadikan pegangan melegalkan anarkisme, terorisme, mendorong untuk melakukan kemaksiatan, bid’ah, dan penyimpangan syar’i lainnya, akan semakin tampak arah kecenderungannya dalam beragama.

Di antara buku atau kitab yang berbahaya adalah tulisan Sayid Quthb, Salman al-Audah, Hasan al-Bana, Said Hawa, Fathi Yakan, Abu Muhammad al-Maqdisi (yang dijebloskan ke penjara di Jordania), dan Abdul Qadir bin Abdul Aziz alias Dr. Fadhl alias Sayid Imam Abdul Aziz asy-Syarif (dipenjara seumur hidup di Mesir atas perannya dalam kelompok Islamic Jihad, teman sekolah dan sahabat Aiman azh-Zhawahiri, pentolan al-Qaeda Usamah bin Ladin), serta buku-buku yang diterbitkan oleh jaringan teroris Khawarij.

Seseorang yang memiliki kecenderungan kepada al-haq akan menghindari buku-buku semacam itu. Dia akan mengikuti bimbingan salafus saleh. Dinukil oleh al-‘Allamah Ibnu Muflih rahimahullah dalam al-Adabu asy-Syar’iyah, mengutip apa yang disebutkan oleh Syaikh Muwaffiquddin rahimahullah bahwa salaf melarang bermajelis dengan ahli bid’ah, memerhatikan buku-buku mereka dan mendengarkan perkataannya. (Ijma’ul Ulama’, hlm. 69)

  • Untuk mengokohkan identifikasi, “Seseorang tergantung atas agama temannya. Maka dari itu, perhatikan siapa yang menjadi teman dekatnya.” berikutnya telusurilah kepada siapa dia mengambil pemahaman agamanya.

Dari sanalah akan diperoleh kepastian siapa sesungguhnya sosok berjenggot, berjubah di atas mata kaki, dan berkopiah putih tersebut. Sebab, bagi orang yang benar benar belajar Islam secara baik dan benar, tak semudah itu duduk bersimpuh di depan guru. Dia harus mengetahui jati diri dan paham apa yang dianut oleh gurunya.

Muhammad bin Sirin rahimahullah pernah menyatakan,

إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُو عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ

“Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Maka dari itu, perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.” (Mukadimah Shahih Muslim)

Nasihat emas Muhammad bin Sirin rahimahullah di atas adalah pegangan untuk tidak meremehkan penentuan sumber pengambilan Islam. Betapa banyak kaum muslimin yang memiliki pemahaman menyimpang karena keliru menentukan sumber rujukan. Bisa saja yang diajarkan adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah, tetapi saat orang yang dijadikan rujukan itu menafsirkan tidak berdasar pada bimbingan salaf, terjadilah penyimpangan.

Betapa mengambil dan menerima ilmu agama haruslah dari orang yang adil dan terpercaya, yaitu para ulama Ahlus Sunnah. Tidak kepada setiap orang hati dan pendengaran ini diserahkan. Ini semua dalam rangka menepis penyimpangan dalam berislam agar Islam yang bersemi di hati berasal dari sumber yang benar.

Baca juga:

Siapakah Ahlus Sunnah?

Siapakah ath-Thaifah al-Manshurah?

Setelah memahami permasalahan ini, maka sangat tidak baik apabila menyamaratakan setiap orang berjenggot, berjubah, bercadar, berkopiah putih, atau sorban (imamah) adalah kelompok teroris. Sebagai seorang muslim, hendaknya bijak dalam menyikapi keadaan. Benar adanya, kalangan teroris mengenakan pakaian atau atribut lainnya yang sama dengan yang dikenakan kaum muslimin pada umumnya.

Dalam beberapa hal yang mencocoki mereka, para ulama Ahlus Sunnah dijadikan rujukan. Karena itu, pantas apabila dalam mengenakan hal yang bersifat lahir yang melekat pada tubuh ada kesamaan dengan kaum muslimin lainnya.

Sebut saja salah seorang pelaku bom Bali, Imam Samudra. Dia mengambil fatwa para ulama Ahlus Sunnah berdasarkan seleranya. Terkait dengan urusan jilbab dan cadar, dia merasa lebih pas dengan fatwa ulama Saudi, meskipun ulama itu tak lepas dari cercaannya.

Sementara itu, dalam masalah musik dan alat hiburan, dia mengambil fatwa Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani. Sekali lagi, tak mengherankan apabila para istri pelaku bom Bali dan orang-orang yang berada dalam jaringannya berpakaian sama dengan kalangan wanita Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Kata Imam Samudra, “Secara pribadi dan keluarga, dalam masalah berpakaian misalnya, jilbab atau hijab atau cadar, aku lebih setuju dan “pas” dengan fatwa para ulama Saudi Arabia, seperti Syaikh Bin Baz, Syaikh Shalih Utsaimin, Syaikh Hamud at-Tuwaijiri, dan lainlain. Dalam menyikapi dan menjaga diri beserta keluarga dari musik dan alat hiburan lainnya, selain berpegang pada syaikh Muhaddits Nashiruddin al- Albani, aku juga berpegang pada fatwa para ulama anggota Dewan Fatwa Saudi Arabia….”(Aku Melawan Teroris, hlm. 64. Lihat Mereka Adalah Teroris, hlm. 181 dan 554—555)

Menyikapi keadaan ini, hendaklah seorang muslim tidak tergesa-gesa memberi penilaian negatif terhadap orang-orang yang berjubah, bercadar, berjenggot, dan yang semakna dengan itu.

Apalagi jika langsung menyamakan dan mengelompokkan setiap orang berjubah, berjenggot, atau wanita bercadar adalah bagian dari kelompok teroris. Sebab, sikap demikian bisa menimbulkan antipati terhadap ajaran Islam.

Bagaimana pun, berjubah, berjenggot, atau wanita bercadar adalah bagian dari ketentuan syariat Islam. Tak bisa dimungkiri bahwa semua itu ada tuntunannya dalam Islam. Faktor pendorong orang-orang untuk berpenampilan agamis adalah karena hal itu merupakan ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, terlepas dari perbedaan pendapat ulama dalam hal cadar, apakah wajib atau sunnah.

Semua itu tak ubahnya ajaran agama Islam semisal shalat, puasa, dan yang lainnya. Mereka para teroris Khawarij juga shalat dan puasa, bahkan bisa jadi lebih rajin dan semangat melakukannya. Lantas apakah kita akan menilai bahwa shalat dan puasa adalah ciri teroris? Tentu tidak demikian. Begitu pula masalah jenggot dan cadar.

Maka dari itu, ingatlah firman Allah Subhanahu wata’ala.

وَٱلَّذِينَ يُؤۡذُونَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ بِغَيۡرِ مَا ٱكۡتَسَبُواْ فَقَدِ ٱحۡتَمَلُواْ بُهۡتَٰنًا وَإِثۡمًا مُّبِينًا

“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (al-Ahzab: 58)

Baca juga:

Agar Anak Tidak Menjadi Teroris

Sisi yang lain, seorang muslim hendaknya tidak tertipu melihat tampilan para teroris mengenakan jubah, berjenggot dan kepala dibebat imamah (surban). Jangan ada anggapan sedikit pun dengan atribut keislaman yang lekat di tubuh mereka bahwa mereka para teroris adalah mujahid sejati. Ketahuilah, penampilan mereka berjubah, berjenggot, dan mengenakan imamah atau peci putih mereka lakukan setelah mereka dijebloskan ke dalam penjara. Saat mereka melakukan aksi teror di tengah-tengah masyarakat, tak sedikit pun ada keberanian untuk menampilkan syiar-syiar keislaman. Tak sedikit dari mereka yang mengenakan celana, kaos oblong, atau kemeja dengan jenggot dicukur habis, sementara topi pet ada di atas kepala. Ini semua dilakukan untuk mengelabui aparat keamanan.

Mereka meneriakkan diri sebagai mujahid yang hendak menegakkan syariat Islam, sementara syiar keislaman tak berani mereka tampakkan pada diri mereka. Aparat keamanan lebih mereka takuti daripada Allah Subhanahu wata’ala. Mereka tinggalkan Sunnah Rasul-Nya untuk menghilangkan jejak dan agar tidak teridentifikasi aparat keamanan. Allahu musta’an.

Baca juga:

Fatwa Ulama Arab Saudi tentang Radikalisme dan Terorisme

Tampak betapa kacau prinsip yang ada di dada mereka. Jelas, mereka bukan mujahidin sejati, bukan pejuang umat yang berada di atas landasan keislaman. Lebih tepat dikatakan mereka adalah teroris, pembuat tindakan anarkis dan kekacauan di tengah-tengah umat. Pantas apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyebut mereka anjing-anjing neraka.

كِلَابُ النَّارِ، كِلَابُ النَّارِ، كِلَابُ النَّارِ، هَؤُلَاءِ شَرُّ قَتْلَى قُتِلُوا تَحْتَ أَدِيم السَّمَاءِ، وَخَيْرُ قَتْلَى قُتِلُوا تَحْتَ أَدِيم السَّمَاءِ الَّذِينَ قَتَلَهُمْ هَؤُلَاءِ

“Anjing-anjing neraka, anjing-anjing neraka, anjing-anjing neraka. Mereka ini (kaum Khawarij Azariqah) sejelekjelek orang yang dibunuh di bawah kolong langit. Dan sebaik-baik orang yang terbunuh di bawah kolong langit adalah orang-orang yang dibunuh oleh mereka (Khawarij Azariqah).” (al-Jami’ ash-Shahih, 1/201)

Kesamaan Khawarij dahulu dan sekarang adalah mengafirkan pemerintah kaum muslimin dan orang-orang yang mendukungnya, melakukan pemberontakan terhadap pemerintah kaum muslimin, menghalalkan darah dan harta kaum muslimin, serta membolehkan membunuh anak-anak muslimin. Inilah ideologi mereka. Ideologi mereka telah diwujudkan dalam berbagai aksi “berbau darah” di sepanjang perjalanan sejarah. Tindakan-tindakan mereka senantiasa dihiasi onar, kacau, dan kerusakan di muka bumi. Para sahabat  pun dibunuh, ditumpahkan darahnya.

Mereka jahil, tak berilmu, tak paham fikih dan syariat Islam lantaran mereka berseberangan dengan para ulama Ahlus Sunnah. Di tengah-tengah mereka tidak ada ulama. Mereka hanya memiliki semangat ibadah dan beramal, tetapi ditegakkan dengan emosi dan kebodohan. Tidak di atas landasan ilmu yang benar. Itulah Khawarij. (Mereka Adalah Teroris, hlm. 698—699)

Strategi Kaderisasi

Setelah aksi-aksi teror mereka diberangus aparat keamanan, kini mereka menerapkan strategi baru. Keberadaan pondok pesantren yang masuk dalam jaringan mereka, diberdayakan untuk kaderisasi. Kader-kader muda yang telah disusupi paham-paham Khawarij dibekali pula dengan pelatihan berbau militer. Tujuannya menyiapkan pejuangpejuang untuk “jihad”, yaitu melakukan aksi teror, kekacauan, keonaran dengan dikemas bahasa jihad. Adapula dari mereka yang menyusup ke dalam badan amal usaha milik ormas tertentu. Mereka menggunakan fasilitas-fasilitas milik ormas tersebut untuk merekrut kaderkader baru.

Strategi lain yang mereka kembangkan adalah selalu melansir kata kunci “salaf” atau “ahlus sunnah” ke hadapan umat. Di sisi lain, mereka menghantam habis-habisan kaum muslimin–yang mereka bahasakan sebagai kelompok salafi. Tak sedikit buku-buku yang mereka terbitkan menyerang masyarakat yang benar-benar ingin mendakwahkan pemahaman Ahlus Sunnah yang selaras dengan apa yang diajarkan oleh salafus saleh.

Dari masa ke masa, paham Khawarij terus menggelinding. Kaum muslimin hendaknya mewaspadai gerakan mereka. Keyakinan batil yang ada pada mereka akan terus ditularkan ke tubuh umat Islam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

سَيَخْرُجُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ أَحْدَاثُ الْأَسْنَانِ سُفَهَاءُ الْأَحْلَامِ، يَقُولُونَ مِنْ خَيْرِ قَوْلِ الْبَرِيَّةِ يَقْرَأُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ

“Pada akhir zaman akan keluar satu kaum yang muda belia usianya, pendek akalnya. Mereka mengatakansebaik-baik ucapan manusia. Mereka membaca al-Qur’an, tetapi tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka lepas (melesat keluar) dari agama seperti melesatnya anak panah dari (tubuh) buruannya.” (HR. al-Bukhari no. 3611 dan Muslim no. 1066)

Mereka rajin membaca al-Qur’an, tetapi tidak bisa memahami dengan benar ayat-ayat yang mereka baca. Akibatnya, apa yang mereka baca tak bisa menembus hati. Secara bertahap mereka tergiring untuk keluar dari ketentuan-ketentuan Islam. Mereka terjatuh pada kebid’ahan dalam keadaan merasa yakin di atas kebenaran, yakin kalau sedang memperjuangkan Islam. Itulah kebodohan mereka. Sebab, sesungguhnya akal mereka itu dangkal.

Wallahu a’lam.

 

Ditulis oleh Ustadz Abulfaruq Ayip Syafrudin

Comments are closed.