Mau’izhah Saat Terjadi Nusyuz

(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah)

Suami adalah nakhoda yang mengatur jalannya bahtera rumah tangga kala mengarungi lautan kehidupan. Maka semestinya ia ditaati bukan dibangkangi, ia seharusnya diikuti bukan dikhianati. Lantas apa yang semestinya dilakukan sang nakhoda kala ada “penumpang”-nya yang menunjukkan sikap pembangkangan?

Perjalanan bahtera rumah tangga tak selamanya bertaburan bunga beraneka warna dengan aroma semerbaknya. Dan tak selalu jalan mulus terbentang di hadapan. Adanya onak duri, kerikil, aral melintang, ataupun badai adalah hal yang lumrah dialami oleh rumah tangga di dunia. Karena demikianlah sunnatullah yang berlaku bagi kehidupan yang fana ini. Hanya pernikahan di surga lah yang selalu indah, selalu bahagia, seiring bersama tanpa problema, berlimpah cinta dan kasih sayang dalam curahan nikmat dan rahmat dari Ar-Rahman. Adapun di dunia, ya… seperti yang telah dirasakan oleh mereka yang telah melalui ‘masa-masa pengantin baru’. Di sana ada ganjalan, di sana ada masalah, di sana ada keluh kesah…

Di antara masalah yang mungkin terjadi adalah ketidakpatuhan istri kepada suami. Mungkin dengan lisan ia berani membantah suaminya ataupun dengan perbuatan, ia berani melanggar perintah suaminya.

Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin t mengatakan, “Wanita itu berbeda-beda, di antara mereka ada yang shalihat, Allah k berfirman:

“Maka wanita-wanita yang shalihat adalah mereka yang taat kepada Allah, taat kepada suami-suami mereka sampai pun suami-suami mereka tidak ada di tempat (sedang bepergian)1, yang demikian itu (dapat mereka lakukan) disebabkan penjagaan Allah terhadap mereka (dan taufik dari-Nya).”2

Wanita-wanita shalihat (seperti yang disebutkan dalam ayat di atas) memiliki akhlak dan adab yang tinggi terhadap suami. Namun di antara wanita ada yang keberadaannya justru sebaliknya, di mana mereka berbuat nusyuz terhadap suami.” (Asy-Syarhul Mumti’, 5/392)

Secara bahasa nusyuz bermakna irtifa’, tinggi. Istri yang bermaksiat kepada suaminya diistilahkan nasyiz (orang yang berbuat nusyuz) karena pada perbuatannya tersebut ada sikap tinggi dan mengangkat dirinya dari menaati suaminya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “Nusyuz istri adalah ia tidak menaati suaminya apabila suaminya mengajaknya ke tempat tidur, atau ia keluar rumah tanpa minta izin suami dan perkara semisalnya yang seharusnya ia tunaikan sebagai wujud ketaatan kepada suaminya.” (Majmu’ Fatawa, 32/277

Bila terjadi nusyuz dari pihak istri, tindakan apa yang sepatutnya dilakukan oleh sang suami? Apakah langsung memukul si istri atau lebih jauh lagi ia langsung menjatuhkan vonis talak?

Tentunya seorang yang mengaku berpegang dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah akan mengembalikan permasalahannya kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah. Al-Qur`anul Karim telah berbicara tentang hal ini:

“Dan istri-istri yang kalian khawatirkan nusyuz mereka maka berilah mau’izhah kepada mereka, boikotlah mereka di tempat tidur, dan pukullah mereka. Namun bila kemudian mereka menaati kalian maka tidak boleh bagi kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka.” (An-Nisa`: 34)

Penyembuhan istri yang berbuat nusyuz dilakukan dengan tahapan, tidak langsung memakai cara kekerasan, sebagaimana dikatakan oleh sahabat yang mulia Ibnu Abbas c: “Istri itu diberi mau’izhah kalau memang ia mau menerimanya. Bila tidak, ia didiamkan di tempat tidurnya, bersamaan dengan itu ia tidak diajak bicara.” (Ruhul Ma’ani 5/25, Tafsir Ibnu Katsir, 1/504)

Al-Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t dalam tafsirnya berkata, “Allah l berfirman, ‘Dan istri-istri yang kalian khawatirkan nusyuz mereka’, maksudnya mereka menarik diri dari menaati suami mereka dengan bermaksiat (tidak patuh) kepada suami, baik dengan ucapan ataupun perbuatan, maka suami hendaknya memberikan ‘pengajaran’ kepada si istri dengan cara yang paling mudah/ringan kemudian yang mudah/ringan. Pertama, “berilah mau’izhah kepada mereka”, dengan menerangkan hukum Allah l dalam perkara taat dan maksiat kepada suami, memberikan anjuran untuk taat kepada suami serta menakuti-nakuti dengan akibat yang didapatkan bila bermaksiat kepada suami. Bila si istri berhenti dari perbuatannya maka itulah yang dimaukan. Namun bila tetap terus dalam perbuatannya, dalam artian nasihat sudah tidak mempan, barulah beranjak pada tahap berikutnya yaitu (kedua) diboikot/didiamkan di tempat tidur dengan tidak mau “tidur” bersamanya, tidak meng-”gauli”nya sekadar waktu yang dengannya tercapai maksud. Bila tidak berhasil juga, barulah pindah ke tahap selanjutnya yaitu dipukul dengan pukulan yang tidak keras. Apabila telah tercapai tujuan (istri tidak lagi berbuat nusyuz, –pent.) dengan salah satu dari beberapa tahapan di atas dan istri kalian kembali menaati kalian, “maka tidak boleh bagi kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka”, maksudnya adalah telah tercapai apa yang kalian sukai/inginkan, maka janganlah kalian mencela dan mencerca mereka dalam kesalahan-kesalahan mereka yang telah lalu, dan jangan menyelidiki/mencari-cari kesalahan yang akan bermudarat bila disebutkan serta menjadi sebab timbulnya kejelekan.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 177)

Dengan demikian, bila tampak kesalahan dan pelanggaran dari istri, yang seharusnya dilakukan suami adalah memberi mau’izhah padanya. Mudah-mudahan dengan cara pertama ini, si istri segera kembali dan memperbaiki diri. Makna mau’izhah adalah mengingatkan seseorang dengan pahala dan hukuman yang dengannya dapat melunakkan hatinya3.

Al-Imam Ibnu Qudamah t menyatakan: “Dalam mau’izhah itu ia ditakut-takuti kepada Allah k, diingatkan apa yang Allah l wajibkan kepadanya berupa keharusan memenuhi hak suami dan keharusan menaatinya, diperingatkan akan dosa bila menyelisihi suami dan bermaksiat kepadanya. Ia juga diancam akan gugur hak-haknya berupa nafkah dan pakaian bila tetap durhaka kepada suami, dan ia boleh dipukul serta di-hajr (diboikot) oleh suami bila enggan menerima nasihat.” (Al-Mughni, kitab ‘Isyratun Nisa`, masalah Idza Zhahara Minha Ma Yukhafu Ma’ahu Nusyuzaha Wa’azhaha…)

Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin t menerangkan bahwa makna mau’izhah adalah mengingatkan istri dengan pahala dari Allah l bila ia taat kepada suaminya dan sebaliknya ia pasti akan mendapatkan hukuman dari Allah k manakala menyelisihi suaminya (tidak taat dalam perkara kebaikan). Suami juga menasihati istrinya dengan menyatakan, “Jika engkau melakukan perbuatan seperti itu, tentunya akan menjadi sebab kebencian di antara kita.” Apabila mereka telah memiliki anak, maka si suami mengingatkan, “Perbuatanmu itu dapat menjadi sebab tercerai-berainya keluarga ini. Bila timbul saling benci di antara kita, sangat mungkin akan menjadi sebab perceraian. Dan kalau sampai kita bercerai, mungkin engkau tidak akan mendapatkan lelaki yang mau menikahimu.” Ataupun kalimat-kalimat yang semisal ini yang dapat membuat si istri insaf dan lunak hatinya untuk menerima nasihat serta peringatan (untuk kemudian berhenti dari perbuatan nusyuz-nya).” (Asy-Syarhul Mumti’, 5/393)

Pensyariatan mau’izhah ini selain ditunjukkan dalam Al-Qur`anul Karim, juga disebutkan dalam As-Sunnah, sebagaimana hadits Abu Hurrah Ar-Raqasyi4 dari pamannya z. Pamannya ini berkata, “Aku memegang tali kekang unta Rasulullah n di tengah-tengah hari Tasyriq….” Lalu ia menyebutkan hadits yang panjang, dalam hadits tersebut antara lain disebutkan bahwa Rasulullah n bersabda:

فَإِنْ خِفْتُمْ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ …

“…Maka apabila kalian mengkhawatirkan nusyuz mereka (para istri), berilah mau’izhah kepada mereka, boikotlah mereka di tempat tidur, dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak keras….” (HR. Ahmad dalam Musnadnya 5/72,73 dengan sanad yang shahih)

Para sahabat, tabi’in, dan ulama yang datang setelah mereka sampai hari kita ini sepakat disyariatkannya mau’izhah ketika istri berbuat nusyuz, tidak ada seorang pun yang mengingkari hal ini5.

Dengan demikian, mau’izhah merupakan kewajiban awal yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin dan kepala rumah tangga untuk meluruskan kebengkokan istrinya dan men-’didik’nya. Kewajiban ini dituntut dari dirinya pada setiap keadaan karena Allah k berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (At-Tahrim: 6)

Akan tetapi pada keadaan di mana istrinya berbuat nusyuz, pengarahan tertuju secara khusus untuk tujuan yang khusus yaitu mengobati nusyuz yang terjadi, sebelum bertambah besar dan parah. (Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil ‘Aziz, hal. 312)

Wallahul musta’an. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.


1 Ia menjaga diri dan harta suaminya. (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 177)

2  An-Nisa`: 34

3 Al-Muthli’ ‘ala Abwabil Muqni’, hal. 330, sebagaimana dinukil dalam kitab An-Nusyuz hal. 36, karya Asy-Syaikh Shalih bin Ghanim As-Sadlan.

4 Diperselisihkan namanya, ada yang mengatakannya namanya Hanifah. (Tahdzibul Kamal fi Asma’ir Rijal)

5 Al-Ifshah, Ibnu Hubairah, 2/143, sebagaimana dinukil dalam kitab An-Nusyuz hal. 37