Mengimani Takdir≠Menyerah pada Nasib

 

Takdir acap dituding sebagai biang yang membelenggu cara berpikir umat. Mengimani takdir hanya membuat umat mundur dan tidak mau berusaha. Bahkan dalam beberapa tulisan orientalis, kepercayaan kepada takdir dianggap sebagai salah satu faktor kejatuhan peradaban Islam.

Umat Islam yang memercayai takdir, oleh kalangan antiislam, diibaratkan sebagai daun kering dalam embusan badai. Artinya, kaum muslimin hidup di bawah bayang-bayang kekuasaan mutlak bernama takdir yang mencengkram segala sesuatu dalam hidupnya. Mereka “dipaksa” dalam setiap perilakunya, seolah-olah mengimani takdir identik dengan tidak mau berikhtiar (tidak ada kebebasan memilih).

Pertanyaannya, kalau kepercayaan kepada takdir dianggap sebagai sebab kemunduran Islam, mengapa generasi-generasi awal Islam yang keimanan mereka kepada takdir sangat kuat justru mampu membawa Islam pada puncak keemasannya? Kalau kemiskinan dianggap kemunduran dan kesuksesan duniawi dianggap kemajuan, mengapa generasi emas Islam tersebut mayoritasnya justru orang-orang miskin?

Artinya, ada kesalahpahaman dalam memahami takdir dan ada salah kaprah dalam memahami apa itu “kemajuan”. Dalam kesejarahan Islam, memang muncul dua kutub besar dalam masalah takdir. Kutub pertama: Qadariyah, Majusi umat ini, membatasi takdir pada “kebaikan” saja sementara “keburukan” di luar takdir. Sementara itu, kutub satunya: Jabriyah (determinisme), mencabut segala bentuk kebebasan pada diri manusia.

Islam (Ahlus Sunnah) sendiri berada di pertengahan di antara dua kutub ekstrem tersebut, yakni manusia wajib mengimani takdir baik atau buruk, dengan diberi kebebasan dalam menjalani (baca: memilih) hidupnya di dunia yang telah diatur rambu-rambunya dalam Islam. Siapa yang ingin selamat, tentu memilih jalan Islam. Oleh karena itu, orang-orang yang berbuat maksiat tidak bisa menyandarkan ulahnya pada takdir dengan mengabaikan sebabnya (kehendak manusia).

Orang-orang yang bunuh diri hanya karena soal “cinta”, orang-orang stres karena gagal jadi anggota dewan atau kepala daerah, ibu-ibu yang tega membuang bahkan membunuh bayi hasil hubungan gelapnya dengan orang lain, remaja-remaja bunuh diri karena hamil di luar nikah, merekalah justru orang-orang yang dihasilkan dari cara berpikir antitakdir.

Kalau mereka mau merenungi takdir, semestinya mereka akan mencoba memetik hikmahnya, memikirkan luasnya pintu taubat, dan tumbuh keinginan untuk memperbaiki diri. Ia justru lebih bisa menatap masa depan dengan selalu berharap Allah subhanahu wa ta’ala akan memberikan jalan keluar atau kemudahan dari masalah yang tengah ia hadapi.

Intinya, mengimani takdir bukan berarti menyerah pada nasib. Orang yang menyerah pada nasib memang membuat malas dan lamban, serta berhenti pada titik kegagalannya. Sementara itu, orang yang beriman pada takdir justru tak akan berlarut-larut dalam kesedihan dan tak akan tenggelam dalam kegagalan. Ia akan segera bangkit. Kala ia meraih kesuksesan atau kebahagiaan, ia pun tak berbangga diri. Ia sadar bahwa apa yang ia raih semata-mata karena takdir Allah subhanahu wa ta’ala.

Wallahu a’lam.