Pembelaa Terhadap Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah

Para pembaca yang mulia, predikat sebagai ulama yang menguasai urusan agama merupakan anugerah agung dari Allah Subhanahu wata’ala, Dzat Yang Mahaalim. Titian jalan yang ditempuhnya senantiasa diiringi barakah Ilahi. Kedudukannya di sisi Allah Subhanahu wata’ala pun berada pada tingkatan yang tinggi lagi mulia. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat.” (al-Mujadilah: 11)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Oleh karena itu, kita mendapati orang-orang yang berilmu selalu menyandang pujian. Setiap disebut (nama mereka), pujian pun tertuju untuk mereka. Ini merupakan bentuk diangkatnya derajat mereka di dunia. Adapun di akhirat akan meraih derajat yang tinggi lagi mulia sesuai dengan dakwah yang mereka lakukan di jalan Allah Subhanahu wata’ala dan realisasi ilmu yang mereka miliki.” (Kitabul Ilmi, hlm.14) Ulama adalah referensi utama dalam menyibak berbagai problem musykil yang terjadi di tengah umat. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Maka bertanyalah kepada orangorang yang berilmu jika kalian tidak mengetahui.” (an-Nahl: 43)

Oleh karena itu, keberadaan mereka di tengah umat sangatlah berarti, sedangkan ketiadaan mereka adalah musibah tersendiri. Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Selama para ulama masih ada, umat pun masih berada dalam kebaikan. Para setan dari kalangan jin dan manusia tidak akan leluasa untuk menyesatkan mereka. Karena para ulama tidak akan tinggal diam untuk menerangkan jalan kebaikan dan kebenaran sebagaimana mereka selalu memperingatkan umat dari jalan kebinasaan.” (Ma Yajibu Fit Ta’amuli Ma’al Ulama, hlm. 7)

Namun, menjadi ketetapan Allah Subhanahu wata’ala (sunnatullah) bahwa setiap orang yang baik, taat, dan istiqamah di atas kebenaran pasti mendapatkan ujian dan cobaan. Di antara bentuk ujian dan cobaan itu adalah adanya orang-orang jahat yang memusuhinya. Demikianlah yang telah dialami oleh para nabi dan rasul yang mulia, sebagaimana pula yang dialami oleh orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan sebaikbaiknya (terkhusus para ulama) hingga hari kiamat kelak. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا مِّنَ الْمُجْرِمِينَ ۗ وَكَفَىٰ بِرَبِّكَ هَادِيًا وَنَصِيرًا

“Dan demikianlah Kami jadikan untuk setiap nabi para musuh dari kalangan orang-orang yang jahat. Dan cukuplah Rabb-mu sebagai pemberi petunjuk dan pembela.” (al-Furqan: 31)

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah di Mata Orang-Orang yang Memusuhinya

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, seorang ulama besar yang kesohor akan kealiman dan ketokohannya di kalangan umat tak luput pula dari orang-orang jahat yang memusuhinya. Padahal memusuhi beliau itu tiada berguna. Berbagai permusuhan yang ditujukan kepada beliau itu justru semakin mengangkat derajat beliau dan membuat harum nama beliau. Laksana kayu gaharu yang sudah harum, akan semakin semerbak aroma harumnya ketika terkena panasnya api. Para pembaca yang mulia, bila mencermati ragam orang yang memusuhi asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah dapatlah disimpulkan bahwa mereka tidak keluar dari dua jenis manusia; orang bodoh yang tidak berilmu dan pengikut hawa nafsu. Jenis manusia yang pertama seringkali terjebak pada kasus menuduh tanpa bukti atau menyalahkan tanpa dasar. Sedangkan jenis manusia yang kedua seringkali terjatuh pada kasus memutarbalikkan fakta atau memotong perkataan sesuai yang dimaukan untuk memaksakan kesan buruk atau sesat tentang diri beliau. Di antara contoh kasus-kasus itu adalah pernyataan yang dimuat dalam blog Abu Syafiq al-Asy’ari (Malaysia), sebagai berikut:

– Menghina Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.

– Mengharamkan shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.

– Menghina Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai autsan yaitu patung berhala.

Tanggapan

1. Pernyataan Abu Syafiq al-Asy’ari di atas adalah tuduhan tanpa bukti bahkan kedustaan yang keji terhadap asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah. Sebab, berbagai karya tulis dan ceramah beliau sangat bertolak belakang dengan pernyataan tersebut.

2. Dengan demikian bisa jadi Abu Syafiq al-Asy’ari itu termasuk dari jenis manusia yang pertama yaitu orang bodoh yang tidak berilmu yang seringkali terjebak pada kasus menuduh tanpa bukti atau menyalahkan tanpa dasar. Bisa jadi juga termasuk jenis manusia yang kedua yaitu pengikut hawa nafsu yang seringkali terjatuh pada perbuatan memutarbalikkan fakta atau memotong perkataan sesuai yang dimaukan untuk memaksakan kesan buruk atau sesat tentang diri beliau rahimahullah.

3. Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah termasuk ulama yang getol mengajak umat untuk memuliakan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan menjadikan beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai teladan tertinggi dalam segenap sendi kehidupan ini. Menurut asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, dengan mengikuti beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam akan diraih petunjuk Allah Subhanahu wata’ala dan rahmat-Nya, kebahagiaan, serta kesudahan yang baik di dunia dan di akhirat. Simaklah perkataan beliau berikut ini,

“Beberapa ayat ini dan ayat-ayat lain yang semakna semuanya menunjukkan tentang kewajiban mengikuti Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam dan menaatinya. Demikian pula petunjuk Allah Subhanahu wata’ala dan rahmat-Nya, kebahagiaan, serta kesudahan yang baik, akan diraih dengan mengikuti dan menaati beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam. Barang siapa mengingkari hal ini berarti telah mengingkari Kitabullah. Barang siapa mengklaim bahwa dirinya hanya mengikuti al-Qur’an tanpa mengikuti Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam maka telah berdusta, keliru, dan kafir, karena al-Qur’an memerintahkan untuk mengikuti beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam. Barang siapa tidak mengikuti beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam berarti tidak beramal dengan al- Qur’an, tidak beriman dengannya, dan tidak patuh terhadap bimbingannya, karena di dalam al-Qur’an itu terdapat perintah untuk mengikuti beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam dan terdapat pula ancaman bagi siapa saja yang menyelisihi beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz 25/14)

Lebih dari itu, beliau memperingatkan umat dari semua perbuatan yang menyelisihi Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan menegaskan bahwa perbuatan tersebut merupakan sebab kebinasaan di dunia dan di akhirat. Simaklah perkataan beliau berikut ini, “Allah Subhanahu wata’ala menyebutkan bahwa orang yang menyelisihi perintah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam berada dalam bahaya yang sangat besar, yaitu akan ditimpa fitnah berupa penyimpangan, kesyirikan, kesesatan, atau azab yang pedih. Na’udzu billah min dzalik.” (Majmu’ Fatawa asy- Syaikh Abdul Aziz bin Baz 25/13—14)

4. Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah adalah seorang ulama yang sangat besar pembelaannya terhadap Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Lisan beliau selalu basah dengan sanjungan shalawat. Hampirhampir semua karya ilmiah atau ceramah beliau selalu didahului dengan memuji Allah Subhanahu wata’ala dan shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sikap beliau pun sangat tegas terhadap orang yang menghina Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Simaklah perkataan beliau berikut ini:

“Saya telah melihat apa yang dimuat oleh surat kabar Shautul Islam Mesir yang menukil dari surat kabar al-Masa’ al-Mishriyah yang terbit pada tanggal 29 Januari lalu. Isinya adalah sikap lancang terhadap sosok yang mulia nan berkedudukan agung, yaitu sayyiduna wa imamuna Muhammad bin Abdillah semoga shalawat dan salam yang tak terhingga tercurahkan kepada beliau, keluarga, dan para sahabat beliau. Sikap lancang itu adalah menyerupakan beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan seekor binatang yaitu ayam jantan. Seorang muslim tidak akan ragu bahwa perbuatan itu jelas-jelas kekafiran, penyimpangan yang nyata, dan penghinaan secara terang-terangan terhadap sosok pemimpin seluruh umat manusia, utusan Rabb alam semesta, dan pemuka orang-orang yang bercahaya di hari kiamat. Sungguh, ini merupakan sikap lancang yang meresahkan setiap muslim, melukai hati setiap mukmin.

Sikap lancang yang mengharuskan laknat, kehinaan, kekal di neraka, mendapatkan kemarahan dari Allah Subhanahu wata’ala Dzat yang Mahaperkasa lagi Mahakuasa, keluar dari lingkaran Islam dan iman menuju kesyirikan, kemunafikan, dan kekafiran bagi orang yang melakukannya atau yang menyetujuinya. Di dalam al-Qur’anul Karim telah ditegaskan kafirnya orang yang menghina Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, sesuatu dari al-Qur’an, atau syariat-Nya yang bijak. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ {} لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

“Mengapa kepada Allah, ayatayat- Nya, dan Rasul-Nya kalian (selalu) berolok-olok? Tidak perlu kalian meminta maaf, karena kalian telah kafir setelah beriman.” (at-Taubah: 66—65)

Maka ayat ini sebagai pernyataan yang jelas dan bukti yang kuat atas kafirnya orang yang menghina Allah Subhanahu wata’ala Dzat yang Mahaagung, Rasul-Nya yang mulia, atau kitab-Nya yang gamblang. Sungguh para ulama telah sepakat (ijma’) di setiap masa dan tempat tentang

kafirnya orang yang menghina Allah Subhanahu wata’ala, Rasul-Nya, kitab-Nya, atau sesuatu dari agama ini. Mereka juga sepakat bahwa seseorang yang asalnya muslim lalu melakukan perbuatan tersebut maka dengan itu dia menjadi kafir keluar dari Islam dan wajib dibunuh…—kemudian

beliau menukilkan perkataan para ulama seputar permasalahan ini.” (Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz 6/253)

5. Bagi orang yang berakal, perkataan asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah di atas cukuplah sebagai bukti bahwa pernyataan Abu Syafiq al-Asy’ari tersebut adalah tuduhan tanpa bukti dan kedustaan yang keji. Bagaimana tidak?! Ketika beliau dinyatakan sebagai orang yang menghina Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, justru beliaulah orang yang sangat tegas terhadap siapa saja yang menghina Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika beliau dinyatakan sebagai orang yang mengharamkan shalawat kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, justru beliaulah orang yang sangat memperhatikan shalawat dalam setiap karya tulis dan ceramahnya, termasuk pada perkataan beliau di atas “semoga shalawat dan salam yang tak terhingga tercurahkan kepada beliau, keluarga, dan para sahabat beliau”. Ketika dinyatakan bahwa beliau menghina Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai autsan yaitu patung berhala, justru sikap tegas beliau di atas terkait dengan penyerupaan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sesuatu yang hina. Wallahul musta’an

Para pembaca yang mulia, masih di blog Abu Syafiq al-Asy’ari, dia menyatakan bahwa asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengharuskan pakai lambang salib kristen.

Tanggapan

1. Dalam pandangan asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, Kristen dan semua agama selain Islam adalah batil. Hanya Islamlah satu-satunya agama yang diridhai oleh Allah Subhanahu wata’ala. Hal ini banyak didapati pada berbagai karya tulis dan ceramah beliau. Simaklah perkataan beliau berikut ini, “Sesungguhnya agama selain Islam: Yahudi atau Nasrani (Kristen) semuanya batil, tidak ada agama yang benar kecuali hanya agama Islam.” (Fatawa Nur alad Darb 1/295)

2. Pernyataan Abu Syafiq al-Asy’ari bahwa asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengharuskan memakai lambang salib Kristen hanyalah tuduhan tanpa bukti dan kedustaan yang keji. Sebab, sikap beliau tentang salib sangat jelas dan gamblang. Dengan tegas beliau melarang sesuatu yang ada lambang salibnya, apalagi memakainya. Simaklah perkataan beliau berikut ini, “Demikian pula salib, tidak boleh memakai jam tangan yang ada lambang salibnya kecuali setelah dihapus atau dihilangkan lambang salib tersebut darinya, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah melihat lambang salib kecuali menghapusnya.” (Majmu’ Fatawa asy- Syaikh Abdul Aziz bin Baz 10/417) “Demikian pula tidak boleh baginya memakai salib. Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah melihat lambang salib kecuali menghapusnya, karena hal itu menyerupai orang Kristen.” (Fatawa Nur alad Darb 7/288)

3. Jika demikian, dari manakah klaim Abu Syafiq al-Asy’ari bahwa beliau mengharuskan (tidak sekadar membolehkan, pen.) pakai lambang salib Kristen?! Usut punya usut ternyata sumbernya adalah berita dusta yang disandarkan kepada beliau rahimahullah. Bagaimana kisahnya? Kisahnya adalah sebagai berikut. Pada pertengahan tahun 1417 H beredar sebuah kaset di Yordania yang menyebutkan bahwa asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz membolehkan (bukan mengharuskan, pen.) memakai lambang salib. Ternyata hal ini mengganjal di hati salah seorang warga negara Yordania yang berinisial J.A.A, sehingga mendorongnya untuk menulis surat mengklarifikasi tentang kebenaran isi kaset tersebut. Ketika disampaikan isi surat tersebut kepada beliau, dengan serta-merta terucap dari lisan beliau inna lillahi wainna ilaihi raji’un, la haula wala quwwata illa billah, hasbunallah wa ni’mal wakil. Kemudian beliau membalas surat tersebut dengan berikut ini, “Dari Abdul Aziz bin Baz, untuk saudara yang mulia J.A.A semoga Allah Subhanahu wata’ala mencurahkan taufik kepadanya dalam semua hal yang diridhai-Nya dan mengokohkannya di atas agama-Nya. Amiin….

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, wa ba’du. Telah sampai kepada saya surat Anda tertanggal 14 Rabi’ul Awal 1417 H yang ditujukan kepada Dr. Muhammad bin Sa’ad asy- Syuwai’ir seputar kaset yang disandarkan kepada saya, yang memuat keterangan bahwa saya membolehkan memakai lambang salib. Perlu Anda ketahui bahwa fatwa tersebut belum pernah keluar dari saya. Sungguh ini adalah sebuah kedustaan terhadap saya yang tak berdasar sama sekali. Semoga Allah Subhanahu wata’ala membalas pelakunya dengan balasan yang setimpal. Kejadian semacam ini bukanlah hal baru bagi saya dan para ulama selain saya. Sudah berlalu sekian kedustaan yang diluncurkan oleh orang-orang yang tak suka dengan mengatasnamakan kami.” (Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz 28/242—243)

Demikianlah model Abu Syafiq al- Asy’ari yang asal comot dalam menukil berita. Wallahul musta’an.

Para pembaca yang mulia, kelompok teroris Khawarij tak ketinggalan pula dalam memusuhi asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz. Mereka memusuhi karena merasa gerah dengan berbagai fatwa beliau yang memorak-porandakan eksistensi terorisme yang mereka lakukan. Simaklah pernyataan mereka berikut ini. Usamah bin Laden saat memperingatkan umat dari fatwa-fatwa beliau rahimahullah berkata, “Oleh karena itu kami mengingatkan umat dari fatwa-fatwa batil seperti ini yang tidak memenuhi syarat.” (Surat Usamah bin Laden, tanggal 28-8-1415, MAT hlm. 264) Imam Samudra berkata, “Ia (yakni Raja Fahd) dan gerombolan pembisiknya

mengelabui Dewan Fatwa Saudi Arabia yang—dengan segala hormat—kurang mengerti trik-trik politik….” (Aku Melawan Teroris, hlm. 92)

Tanggapan

1. Terkait penyimpangan Usamah bin Laden dan Imam Samudra, silakan membaca Majalah Asy-Syari’ah edisi 13 Terorisme Berkedok Jihad dan edisi 86 Mengapa Teroris Tak Pernah Habis.

2. Pernyataan Imam Samudra bahwa Dewan Fatwa Saudi Arabia (yang ketika itu diketuai oleh asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah) kurang mengerti trik-trik politik sangat tidak mendasar. Karena siapa pun yang mengkaji perjalanan hidup asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah terkhusus kiprah beliau dalam perjuangan Islam dan berbagai pergolakan yang terjadi di banyak negeri pasti mengakui keandalan beliau di bidang politik, tentunya politik syar’i bukan politik ala teroris khawarij. Sepenggal darinya dapat dibaca pada sub kajian utama pada edisi ini yang berjudul asy- Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, Tonggak Perjuangan Umat Islam.

3. Tampaknya arah pembicaraan Imam Samudra tersebut berkaitan dengan kasus meminta bantuan kepada pasukan multinasional asing yang dipimpin oleh Amerika Serikat (AS) untuk membendung agresi pasukan Saddam Husain yang berpaham sosialis komunis terhadap Kuwait dan Saudi Arabia. Hal itu diketahui dari pernyataan Imam Samudra berikut ini,

“Pada saat mana ulama-ulama kian asyik tenggelam dalam tumpukan kitabkitab dan gema pengeras suara. Mereka tidak lagi peduli dengan penodaan, penistaan, dan penjajahan terhadap kiblat dan tanah suci mereka….” (Aku Melawan Teroris, hlm. 93)

4. Permasalahan meminta bantuan kepada orang kafir dalam hal ini adalah pasukan multinasional asing (walaupun hakikatnya ada yang dari negara-negara muslim) yang dipimpin oleh AS untuk membendung pendudukan pasukan Saddam Husain yang berpaham sosialis komunis merupakan masalah yang mempunyai porsi untuk didudukkan secara cermat dan ilmiah. Oleh karena itu, para ulama yang tergabung dalam Hai’ah Kibar Ulama dan diketuai oleh asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mendudukkannya dalam konteks pembahasan ilmiah yang kesimpulannya boleh. Terkhusus asy- Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, beliau membahas permasalahan ini secara ilmiah beserta dalil-dalilnya sebagaimana dalam Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz,

– (6/76—80) dengan judul Mauqif asy-Syari’ah minal Ghazwil Iraqi lil Kuwait.

– (6/183—186) dengan judul al-Isti’anah bil Kuffar fi Qitalil Kuffar.

– (6/142) dengan judul al-Ghazwul Iraqi Jarimah ‘Azhimah.

– (18/343) dengan judul Liqa’ ajrahu Mandub Majallah al-Mujtama’ Haula al-Ghazwil Iraqi lil Kuwait.

5. Tentunya fatwa beliau ini tidak hanya didukung oleh 16 ulama dari Hai’ah Kibar Ulama (Komite Ulama besar) dan para ulama Saudi Arabia yang tidak tergabung dalam Komite tersebut. Tokoh-tokoh muslim dunia pun banyak yang mendukungnya. Untuk lebih rincinya, silakan membaca kitab Fatawa wa Ara’ Ulama al-Alam al- Islami fi al-Ghazwil Iraqi lil Kuwait wa Atsaruhu al-Mudmirah. Berikutnya, dengan dikeluarkannya fatwa tersebut alhamdulillah kiblat dan tanah suci umat Islam hingga hari ini terlindungi dari penodaan, penistaan, dan penjajahan pasukan sosial komunis Saddam Husain atau pasukan kafir asing, tidak sebagaimana prediksi Imam Samudra.

Para pembaca yang mulia, di antara celaan yang ditujukan kepada asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah adalah bahwa beliau seorang ulama yang tidak mengerti waqi’ (realita kekinian) dan antijihad. Padahal beliau adalah seorang ulama yang sangat mengerti waqi’ (realita kekinian) dan sangat mendukung jihad di berbagai penjuru dunia. Berbagi karya tulis dan ceramah beliau sebagai saksi atas itu semua. Di antaranya perkataan beliau berikut ini, “Jihad Afghanistan adalah jihad yang syar’i untuk melawan negara kafir (Uni Soviet, pen.), maka wajib untuk dibantu dengan berbagai bantuan yang ada. Bagi saudara kita penduduk Afghanistan hukumnya fardhu ain membela agama, tanah air, dan saudara muslim setanah air. Sedangkan bagi selain mereka, hukumnya fardhu kifayah.” (Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz 5/151)

Tentu masih banyak perkataan dan perbuatan beliau yang menunjukkan bahwa sangat mengerti waqi’ (realita kekinian) dan sangat mendukung jihad di berbagai penjuru dunia. Tak heran, bila di antara poin yang dimuat dalam piagam Penghargaan Internasional Raja Faisal atas pengabdian Islam adalah Semangat beliau yang besar dalam memberikan berbagai solusi yang tepat untuk problematika Islam dan umat Islam di seluruh penjuru dunia. Bantuan beliau terhadap berbagai gerakan jihad (syar’i, bukan terorisme, -pen.) di berbagai belahan bumi ini. Para pembaca yang mulia, tentu masih ada (bahkan banyak) celaan, tuduhan, dan kedustaan yang disandarkan kepada sosok mulia asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah oleh ahlul batil yang memusuhi beliau.

Nama beliau tetap harum, sedangkan nama baik orangorang yang memusuhi beliau menjadi hancur. Laksana kambing bertanduk yang menghantamkan tanduknya ke batu besar dengan keyakinan dapat menghancurkannya. Bukannya batu besar itu yang hancur, justru tanduk kambing itulah yang menjadi hancur. Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Menggunjing ulama, melecehkan dan menjelek-jelekkan mereka merupakan jenis ghibah dan namimah yang paling berat, karena dapat memisahkan umat dari ulamanya dan terkikisnya kepercayaan umat terhadap mereka. Jika ini terjadi, maka akan terjadi kejelekan yang besar.” (Ma Yajibu Fit Ta’amuli Ma’al Ulama, hlm. 17)

Teladan as-Salafush Shalih dalam Memuliakan Ulama

Berikut ini beberapa contoh tentang keteladanan as-salafush shalih dalam memuliakan ulama. Kami meletakkannya sebagai khatimah yang mengakhiri kajian ini. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin.

• Sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu, suatu hari menuntun hewan tunggangan yang dinaiki oleh sahabat Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, seraya beliau berkata, “Seperti inilah kita diperintah untuk memuliakan ulama.”

• Ketika al-Imam al-Auza’i rahimahullah menunaikan ibadah haji dan masuk ke kota Makkah, maka al-Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah yang menuntun tali kekang untanya seraya mengatakan, “Berilah jalan untuk Syaikh!”. Sedangkan al-Imam Malik bin Anas rahimahullah yang menggiring unta tersebut (dari belakang) hingga mereka mempersilakan al-Imam al-Auza’i rahimahullah untuk duduk di sekitaran Ka’bah. Kemudian mereka berdua duduk di hadapan al-Imam al-Auza’i rahimahullah untuk menimba ilmu darinya.

• Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Dahulu aku membuka lembaranlembaran kitab di hadapan al-Imam Malik rahimahullah dengan perlahan-lahan agar tidak terdengar oleh beliau, karena rasa hormatku yang sangat tinggi kepada beliau.” (Dinukil dari Kitab Ad-Diin Wal ‘Ilm, hlm. 27)

Demikianlah seharusnya yang terpatri dalam hati sanubari setiap insan muslim. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Wajib bagi seluruh kaum muslimin—setelah mencintai Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya—untuk mencintai orangorang yang beriman sebagaimana yang telah disebutkan di dalam al-Qur’an, terkhusus para ulama pewaris para nabi yang diposisikan oleh Allah Subhanahu wata’ala seperti bintang-bintang di angkasa yang menjadi penunjuk arah di tengah gelapnya daratan maupun lautan. Kaum muslimin pun sepakat bahwa para ulama merupakan orang-orang yang berilmu dan dapat menunjuki mereka kepada jalan yang lurus.” (Raf’ul Malam ‘Anil Aimmatil A’lam, hlm.3)

Ditulis oleh Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi