Qadariyah dan Jabriyah sebagai Pemikiran

Melalui uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa qadariyah[1] dan jabriyah[2] adalah sebuah pemikiran yang mungkin saja dimiliki individual (orang per orang). Mungkin kita kesulitan untuk menemukan sebuah lembaga atau gerakan resmi yang terang-terangan mengusung paham qadariyah maupun jabriyah. Maka dari itu, setiap muslim dan muslimah haruslah waspada terhadap faktor-faktor penyebab kesesatan.

Faktor Penyebab Kesesatan

Ada beberapa faktor penyebab munculnya pemikiran qadariyah dan jabriyah. Di antaranya adalah:

  1. Mengiaskan perbuatan Allah subhanahu wa ta’ala dengan perbuatan makhluk.

Mereka menganggap perbuatan baik pada makhluk adalah baik pada perbuatan Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka juga beranggapan, sesuatu yang tercela pada perbuatan makhluk berarti tercela juga pada perbuatan Allah subhanahu wa ta’ala. Menurut mereka, keadilan adalah terpuji, kezaliman adalah tercela. Lalu, mereka menafsirkan keadilan dan kezaliman yang ada pada makhluk sama berlakunya pada hak Allah subhanahu wa ta’ala.

Misalnya, kemaksiatan dan kekufuran. Menurut mereka, perbuatan Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan kemaksiatan dan kekufuran adalah kezaliman, sebab hal itu adalah kezaliman jika dilakukan oleh manusia.

Syaikh Shalih Alu Syaikh berkata, “Hal ini hakikatnya merupakan faktor terbesar munculnya kesesatan dalam masalah ini (takdir dan qadha).”

  1. Tidak dapat membedakan antara iradah syar’iyah dengan iradah kauniyah.
    Mereka beranggapan, iradah syar’iyah dan iradah kauniyah adalah dua hal yang sama. Mereka mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidak mencintai adanya kekufuran, maka tidak mungkin kekufuran itu dapat terjadi pada makhluknya.
  2. Memberikan ruang bagi akal dalam hal menentukan baik dan buruk.
    Menurut mereka, perbuatan Allah subhanahu wa ta’ala yang dinilai oleh akal baik, maka baik. Jika dinilai buruk oleh akal, perbuatan Allah subhanahu wa ta’ala tersebut pun buruk.
  3. Membahas tentang perbuatan-perbuatan Allah subhanahu wa ta’ala, namun tidak disertai sikap tunduk dan patuh terhadap kemauan Allah subhanahu wa ta’ala.

Mereka selalu bertanya-tanya, “Mengapa Allah subhanahu wa ta’ala berbuat demikian? Mengapa Allah subhanahu wa ta’ala melakukan hal tersebut? Mengapa Allah subhanahu wa ta’ala menentukan seperti ini?”

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai.” (al-Anbiya’: 23)

Asy-Syaikh Shalih Alu Syaikh mengatakan, “Oleh karena itu, bentuk pertanyaan ‘mengapa’ adalah sebab munculnya kesesatan kalangan jabriyah, qadariyah, serta kelompok yang ragu dan bimbang. Mereka mengingkari syariat, tersesat, dan terjauhkan, karena membahas tentang takdir (secara batil).”
(Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, Shalih Alu Syaikh, hlm. 541—546)

Hanya dengan mengembalikan kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah serta pemahaman ulama salaf, permasalahan takdir akan menjadi terang, jelas, dan mudah. Sesungguhnya, tidak ada kemudahan dan petunjuk melainkan yang dimudahkan dan ditunjukkan Allah subhanahu wa ta’ala, Rabbul alamin.

Wal ‘ilmu ‘indallah.

Ditulis oleh al-Ustadz Mukhtar Ibnu Rifai

[1] Paham yang meyakini manusia berdiri sendiri dalam perbuatannya, tidak ada kaitannya antara perbuatan dia dengan masyi’ah dan khalq Allah subhanahu wa ta’ala, dan mengingkari takdir.

[2] Paham yang mengingkari adanya kehendak dan kemampuan pada hamba; si hamba “dipaksa” dalam perbuatannya karena telah dicatatkan takdir untuknya; si hamba ibarat kapas yang ditiup angin ke sana dan kemari.