Ghuluw ( غُلُوٌّ ) artinya melampaui batas atau berlebih-lebihan. Adapun fiqhul waqi’ ( الْوَاقِعِ فِقْهُ ) artinya memahami kondisi kekinian atau realita yang ada. Yang dimaksud dengan fiqhul waqi’ di sini adalah menyibukkan diri dengan urusan-urusan politik dan mengikuti secara mendalam peristiwa-peristiwa kekinian.
Yang tercela dalam masalah fiqhul waqi’ ada beberapa hal:
- Tenggelam dalam mengikuti peristiwa politik dan beragam peristiwa yang terjadi sehingga melalaikan diri dari yang terpenting yaitu mempelajari sumber agama, yaitu al-Kitab dan as-Sunnah.
Sebagian mereka berkata, “Apa nilainya orang yang berilmu bila tidak menjelaskan kepada manusia problema politik yang mereka hadapi, yang itu adalah masalah terpenting yang mereka butuhkan.” (al-Ajwibah al-Mufidah, 141)
Karena menyibukkan diri dengan perkara yang umumnya bukan tugasnya untuk mendalaminya, akhirnya mereka tidak mengamalkan al-Kitab dan as-Sunnah. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
وَمَنۡ أَعۡرَضَ عَن ذِكۡرِي فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةٗ ضَنكٗا وَنَحۡشُرُهُۥ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ أَعۡمَىٰ ١٢٤
“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku (kitab-Ku), maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (Thaha: 124)
Saat sebagian orang mempelajari agama Allah ‘azza wa jalla, ternyata orang-orang yang ghuluw dalam fiqhul waqi’ sibuk menyimak dan mengikuti berita televisi, radio, membaca koran, dan yang semisal. Karena yang digeluti seperti ini, akhirnya yang mereka bicarakan adalah masalah perpolitikan. Seolah-olah mereka ingin mengatakan di majelis bahwa nash-nash syariat Islam tidak mampu menjawab tantangan zaman. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Aku tinggalkan di tengah-tengah kalian dua hal, yang kalian tidak akan tersesat setelah (berpegang teguh dengan) nya, yaitu kitab Allah (al-Qur’an) dan sunnahku.” ( HR. al-Hakim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dan dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’)
- Percaya dengan berita yang sumbernya dari orang kafir dan fasik.
Karena pijakan bersikapnya pada sesuatu yang tidak jelas ini, penilaian dan statement yang dikeluarkan tidak tepat. Bagaimana mungkin bayangan sebuah benda akan lurus kalau aslinya saja bengkok? Padahal Allah ‘azza wa jalla sudah mengingatkan kita dari menerima berita orang fasik secara serampangan. Lantas bagaimana kiranya kalau itu berita dari orang kafir?
- Menganggap kitab karya ulama sebagai sesuatu yang kering, tidak menarik, dan tidak bisa menjawab tantangan zaman.
Inilah pencetus firqah as-Sururiyyah, Muhammad Surur Zainal Abidin mengatakan dalam kitabnya (Manhajul Anbiya 1/18), “Aku memerhatikan kitab-kitab akidah; aku lihat ia ditulis bukan untuk zaman kita. Kitab-kitab itu untuk menjawab perkara dan problem yang pada masanya, sedangkan untuk zaman kita ada problem yang membutuhkan solusi baru. Oleh karena itu, metode penyampaian kitab akidah kebanyakannya kering, karena hanya berupa nash (dalil) dan hukum. Oleh karena itu, sebagian besar para pemuda berpaling dari kitab-kitab itu dan tidak suka.”
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengomentari ucapan Muhammad Surur, “Orang ini dengan ucapannya telah menyesatkan para pemuda dan memalingkan mereka dari kitab-kitab akidah yang benar, kitab-kitab salaf. Ia mengarahkan para pemuda kepada pemikiran yang baru dan buku baru yang membawa pemikiran yang campur aduk. Kejelekan kitab akidah menurut Muhammad Surur karena ia hanya memuat nash (dalil-dalil) dan hukum, padanya disebutkan firman Allah ‘azza wa jalla dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang diinginkan oleh Muhammad Surur adalah pemikiran fulan dan fulan, tidak ingin dalil dan hukum. Oleh karena itu, hendaklah kalian waspada dari pernyataan yang batil ini yang dimaukan darinya adalah memalingkan pemuda kita dari kitab-kitab salaf.” (al-Ajwibah al-Mufidah, Jamal al-Haritsi hlm. 52—56)
Apabila telah hilang sikap percaya kepada para ulama, kepada siapa lagi kaum muslimin akan merujuk untuk menjawab problem mereka dan menjelaskan hukum-hukum syariat?
- Meremehkan para ulama.
Karena merasa lebih banyak mengetahui perkara kekinian dan peristiwa yang ada di jagat ini melalui media massa, mereka menganggap para ulama adalah orang yang tidak mengenal realita. Para ulama dianggap cocok hidup di abad pertengahan yang tidak mampu menjawab problem kekinian.
Di antara tokoh yang tidak malu-malu merendahkan para ulama dan meghukumi mereka sebagai orang-orang kolot dan kuno adalah Abdurrahman Abdul Khaliq, salah satu sesepuh Jum’iyyah Ihya at-Turats al-Islami yang diagung-agungkan oleh para pengikutnya. Demikian pula Salman al-Audah, Safar Hawali, Nashir al-Umar, Muhammad Surur, dan lainnya yang satu pemikiran. Mereka adalah para pengusung fiqhul waqi’ yang sebagian mereka merendahkan ulama.
Inilah di antara ucapan Abdurrahman Abdul Khaliq, “Para ulama kita yang mulia tidak mengerti sedikit pun tentang organisasi rahasia yang dimiliki oleh musuh. Mereka tidak tahu banyak tentang perencanaan musuh dan tidak mempelajari syubhat para musuh dan tipu muslihat mereka. Para ulama tidak pantas sama sekali untuk membantah tipu daya musuh dan tidak mampu\ menyelamatkan para pemuda Islam dari cengkraman kekufuran yang tercela ini.” (Khuthuth Raisiyyah Liba’tsi al Ummah al-Islamiyah 101—103 melalui kitab Jama’ah Wahidah la Jama’at karya asy-Syaikh Rabi, 44).
Perkataan kotor Abdurrahman Abdul Khaliq ini menunjukkan bahwa dia tidak paham fiqhul waqi’. Bagaimana tidak, ulama telah membeberkan kepada umat tentang makar musuh Islam. Para ulama menyampaikan hal ini melalui ceramah atau tulisan.
Abdurrahman Abdul Khaliq juga berkata, “Apa nilainya seorang alim tentang syariat seandainya diseru kepada jihad dan menenteng senjata kemudian dia berkata, ‘Ini bukan urusan para ahli syariat, kita hanya bisa berfatwa tentang halal dan haram, tentang haid, nifas, dan talak?!’ Kita menginginkan para ulama yang sebanding dengan zaman yang ada dari sisi ilmu, wawasan, adab, akhlak, keberanian, berani maju, dan memahami trik makar (para musuh) terhadap Islam. Kita tidak ingin deretan ulama kolot yang tubuh mereka hidup di zaman kita, namun akal dan fatwa mereka hidup di selain masa kita.” (Jama’atun Wahidah La Jama’at, hlm. 40)
Dahulu, Abdurrahman Abdul Khaliq ini merendahkan gurunya sendiri yang telah banyak berjasa kepadanya, yaitu asy-Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi, dengan mengatakan bahwa beliau seperti perpustakaan keliling, tetapi cetakan lama yang butuh untuk direvisi. (Jama’ah Wahidah hlm. 42)
Ini tentu suatu contoh kedurhakaan seorang murid yang durhaka kepada Syaikhnya yang salafi yang telah mengajarinya agama Allah ‘azza wa jalla.
Dahulu ketika ulama berfatwa tentang bolehnya meminta bantuan kepada Amerika Serikat dan sekutunya dalam peristiwa Perang Teluk di mana Saddam Husain Presiden Irak kala itu menyerang Kuwait dan Saudi Arabia dengan senjata canggihnya (tentunya setelah para ulama mempelajari secara saksama kondisi yang ada dan meneliti dalil syariat tentang meminta bantuan keamanan kepada orang kafir, dengan syarat yang tidak melanggar aturan agama); muncullah komentar miring dari para pengusung fiqhul waqi’ terhadap para ulama.
Inilah Muhammad Surur pentolan kelompok Sururiyyah dalam majalah as-Sunnah (edisi 23 Dzulhijjah 1412 H hlm. 29—30) mencela para ulama dengan memberi julukan jelek bahwa ulama adalah para budak, intel-intel dakwah, dan munafik.
Dia juga mengatakan, “Wahai saudara-saudaraku, janganlah kalian tertipu dengan penampilan. Ketokohan seorang sebagai syaikh itu hanya buatan orang-orang zalim dan tugas dari syaikh yang mulia tidak beda dengan tugas petinggi kepolisian.”
Belum lagi ucapan Salman ‘Audah yang mencela para ulama bahwa mereka tugasnya hanya mengumumkan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan. Ketika mengomentari peristiwa Perang Teluk ia mengatakan bahwa peristiwa ini menyingkap tentang tidak adanya rujukan ilmiah yang benar dan tepercaya bagi kaum muslimin. (al-Quthbiyyah Hiya al-Fitnah fa’rifuha, hlm. 79—80)
Hal seperti ini memang di antara ciri-ciri ahli bid’ah, yaitu mencela ahlul atsar, orang yang berjalan di atas bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Penggiringan opini bahwa merekalah yang berhak ditimba ilmunya dan diikuti sarannya.
Saat mereka merendahkan ulama, tersirat dari situ bahwa merekalah orang yang paling paham tentang kondisi sehingga tertipulah sebagian pemuda yang lugu yang tidak tahu hakikat mereka.
Para pemuda digiring untuk melakukan demonstrasi dengan alasan bahwa hak rakyat tidak akan diberikan oleh penguasa kecuali dengan cara menekan mereka. Para pengusung “fiqhul waqi’” berlagak sok lebih alim, lebih bijak, dan lebih segala-galanya di atas ulama syariat. Akan tetapi, dengan berlalunya waktu, topeng jahat mereka tersingkap.
Kedudukan Ulama di Hadapan Syariat
Banyak sekali dalil syariat yang menyebutkan keutamaan ilmu dan para ulama. Suatu hal yang mengharuskan kita untuk mengerti posisi para ulama. Yang dimaksud dengan ulama di sini adalah ulama yang mengerti tentang syariat Allah ‘azza wa jalla. Para ulama syariat adalah orang yang paling paham tentang kondisi masyarakat dan apa yang dibutuhkan oleh mereka serta solusi dari problem yang dihadapi.
Adapun orang yang tahunya hanya permasalahan politik dan yang kekinian tanpa mempelajari lebih dalam tentang syariat Allah ‘azza wa jalla bukanlah yang dimaksud sebagai ulama.
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Menghormati ulama muslimin adalah wajib, karena mereka pewaris para nabi. Merendahkan mereka adalah bentuk meremehkan kedudukan mereka dan kedudukannya sebagai pewaris Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meremehkan ilmu yang mereka bawa para ulama harus dihormati karena ilmu dan kedudukan mereka di tengah umat dan karena tugas yang mereka emban untuk kemaslahatan Islam dan kaum muslimin.
Apabila seseorang tidak percaya kepada ulama, lalu kepada siapa lagi dia akan percaya?
Apabila telah hilang sikap percaya kepada para ulama, kepada siapa lagi kaum muslimin akan merujuk untuk menjawab problem mereka dan menjelaskan hukum-hukum syariat?
Ketika kondisi seperti ini, umat akan tersia-siakan dan kekacauan tersebar. Tiada seorang pun yang merendahkan ulama kecuali ia telah menghadapkan dirinya kepada hukuman Allah ‘azza wa jalla. Sejarah menjadi saksi yang terbaik tentang dihukumnya mereka baik dahulu maupun sekarang.” ( al-Ajwibah al-Mufidah, 140)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abdul Mu’thi Sutarman