السلام عليكم و رحمة الله و بركاته
“Konon”, “kabarnya”, “menurut sumber terpercaya”, “berdasarkan informasi yang masuk ke redaksi” adalah istilah-istilah yang jamak dipakai oleh media penyebar informasi kita saat ini. Di sini, kita tentu tak hendak mengulas itu semua dari perspektif kelayakan bahasa. Namun kita hendak menunjukkan betapa berita, kabar, atau apapun yang bersifat informatif yang beredar di masyarakat kita, sesungguhnya memiliki akurasi yang diragukan.
Selama ini, media banyak dicitrakan sebagai pengontrol kebijakan pemerintah, agen perubahan, penyambung lidah masyarakat, dan sebagainya. Namun kita sering lupa, bahwa yang namanya media sulit untuk bisa bersikap objektif dan independen. Media yang anti pemerintah atau TNI/Polri misalnya, di balik ‘keindahan’ redaksionalnya, tentu akan menebar amunisi –sekecil apapun– untuk menyerang ‘musuh’-nya. Demikian juga media yang ditunggangi (kepentingan) sekelompok LSM, dipastikan bakal mendewakan penggiatnya sebagai sosok yang bersih dan tanpa cela.
Berbeda dengan Islam. Sebagai agama ilmiah, Islam –bukan oknum pemeluknya– mengedepankan sikap kehati-hatian yang tinggi dalam menyebarkan informasi kepada umatnya. Hadits, atsar shahabat, perkataan ulama, tarikh (sejarah) dan sebagainya, semuanya merupakan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah kepada publik. Sehingga dalam Islam tidak dikenal istilah “legenda rakyat” atau “cerita mitos”, karena Islam memang bukan rekaan atau karya sastra.
Namun demikian bukan berarti Islam menihilkan perbedaan. Perbedaan dalam mengukur kesahihan informasi memang terkadang muncul tanpa bisa dielakkan. Tapi perbedaan yang ditolerir Islam di sini adalah perbedaan yang dilatari dalil-dalil ilmiah. Bukan dalil yang dibangun di atas fanatisme madzhab atau golongan. Bukan pula pembenaran yang dibangun di atas logika yang dangkal.
Nah, al-jarh wat ta’dil adalah bagian dari proses keilmiahan Islam ini. Dengan metode ini, kesahihan informasi didasarkan atas integritas dan kapabilitas penyampainya. Bukan laiknya media agitator di mana mata rantai informasinya berdasarkan katanya dan katanya. Siapa sesungguhnya pembawa informasi tidak begitu menjadi soal. Yang penting bombastis, layak jual, syukur-syukur bisa melahirkan polemik.
Selain sebagai dasar ilmu hadits, al-jarh wat ta’dil juga diterapkan sebagai benteng bagi tersebarnya pemikiran atau isme-isme menyimpang yang banyak dikumandangkan sejumlah ‘intelektual’ Islam, orientalis, para ‘penjaja’ dan pengekor ideologi Barat. Lebih jauh tentang apa dan bagaimana al-jarh wat ta’dil ini dapat anda simak dalam Kajian Utama.
Lembar Sakinah, masih menghadirkan kajian-kajian menarik seputar kewanitaan dan keluarga. Di rubrik Mengayuh Biduk, giliran “khidmat” menjadi tema ulasan. Sikap khidmat (bakti) istri kepada suami, secara teori, sepertinya memang bukan hal yang sulit dilakukan oleh seorang istri. Namun prakteknya justru jauh panggang dari api. Banyak kita jumpai fenomena rumah tangga di mana istri cenderung bermalas-malasan dan menyerahkan segalanya kepada pembantu. Padahal bagi suami, nilai ketulusan istri, meski itu hanya menyajikan secangkir teh setiap pagi bisa menjadi penyemai cinta suami kepada sang istri. Repotnya, jika sang suamilah yang selama ini justru melakukan rutinitas rumah tangga setelah seharian lelah bekerja. Sementara sang istri justru asyik ngrumpi di rumah tetangga. Bahkan, bagi yang sibuk meniti karir, sekedar berbincang dengan suami hanya bisa dilakukan saat sarapan dan akhir pekan.
Lanjutan dari edisi sebelumnya, Wanita dalam Sorotan kali ini masih mengulas hukum berhijab. Kali ini yang diulas adalah Hukum Berhijab di hadapan Pria Banci atau lazim disebut waria. Detilnya, pembaca dapat menyimaknya di halaman 68.
Nah pembaca, langsung saja anda buka majalah kesayangan anda ini, simak kajian menarik dan temukan lautan ilmu di dalamnya, karena ilmu adalah ciri khas kami!