وَمَآ أَرۡسَلۡنَا قَبۡلَكَ إِلَّا رِجَالٗا نُّوحِيٓ إِلَيۡهِمۡۖ فَسَۡٔلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ ٧
“Kami tiada mengutus rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka. Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (al-Anbiya’: 7)
Ayat yang serupa terdapat dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala surat an-Nahl: 43.
Asy-Syinqithi rahimahullah berkata bahwa pada kata نُّوحِيٓ mayoritas qurra’ (ulama ahli qiraah) membaca يُوحَى dengan ya’ dan menfathah huruf ha’.
Sementara itu, Hafsh bin Ashim menyendiri dalam membaca نُوحِي dengan nun dan mengkasrah huruf ha’. Demikian pula ayat yang terdapat pada surat an-Nahl: 43, akhir surat Yusuf: 109, dan awal surat al-Anbiya: 7, semua ayat di atas oleh Hafsh bin Ashim dibaca نُوحِي dengan nun dan mengkasrah ya’. Adapun yang lain membacanya يُوحَى dengan ya’ dan menfathah ha’.
Adapun pada surat al-Anbiya’: 25, ulama ahli qiraah seperti Hamzah, al-Kisa’i, dan Hafsh membaca نُوحِي dengan nun dan mengkasrah ha’, dan yang lain membaca يُوحَى dengan ya’ dan menfathah ha’.
Pada ayat yang mulia ini, Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa Dia tidaklah mengutus para rasul sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali dari kaum laki-laki (dari kalangan manusia), dan bukan malaikat.
Orang-orang kafir sangat heran dengan rasul utusan Allah subhanahu wa ta’ala yang berasal dari jenis manusia. Menurut mereka, Allah subhanahu wa ta’ala seharusnya lebih mampu daripada sekadar mengutus utusan dari jenis manusia yang memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. Seandainya benar-benar mengutus utusan, Dia pasti akan mengutus dari kalangan malaikat.
Ucapan orang-orang kafir ini disebutkan dalam banyak ayat al-Qur’an. Di antaranya,
أَكَانَ لِلنَّاسِ عَجَبًا أَنۡ أَوۡحَيۡنَآ إِلَىٰ رَجُلٖ مِّنۡهُمۡ
”Patutkah menjadi keheranan bagi manusia bahwa Kami mewahyukan kepada seorang laki-laki di antara mereka?” (Yunus: 2)
بَلۡ عَجِبُوٓاْ أَن جَآءَهُم مُّنذِرٞ مِّنۡهُمۡ
“(Mereka tidak menerimanya) bahkan mereka tercengang karena telah datang kepada mereka seorang pemberi peringatan dari (kalangan) mereka sendiri.” (Qaf: 2)
وَقَالُواْ مَالِ هَٰذَا ٱلرَّسُولِ يَأۡكُلُ ٱلطَّعَامَ وَيَمۡشِي فِي ٱلۡأَسۡوَاقِ
Dan mereka berkata, “Mengapa rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar?” (al-Furqan: 7)
وَمَا مَنَعَ ٱلنَّاسَ أَن يُؤۡمِنُوٓاْ إِذۡ جَآءَهُمُ ٱلۡهُدَىٰٓ إِلَّآ أَن قَالُوٓاْ أَبَعَثَ ٱللَّهُ بَشَرٗا رَّسُولٗا ٩٤
Dan tidak ada sesuatu yang menghalangi manusia untuk beriman tatkala datang petunjuk kepadanya, kecuali perkataan mereka, ”Adakah Allah mengutus seorang manusia menjadi rasul.” (al-Isra’: 94)
فَقَالُوٓاْ أَبَشَرٗا مِّنَّا وَٰحِدٗا نَّتَّبِعُهُۥٓ إِنَّآ إِذٗا لَّفِي ضَلَٰلٖ وَسُعُرٍ ٢٤
Maka mereka berkata, “Bagaimana kita akan mengikuti saja seorang manusia (biasa) di antara kita?” (al-Qamar: 24)
فَقَالَ ٱلۡمَلَؤُاْ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِن قَوۡمِهِۦ مَا هَٰذَآ إِلَّا بَشَرٞ مِّثۡلُكُمۡ يُرِيدُ أَن يَتَفَضَّلَ عَلَيۡكُمۡ وَلَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ لَأَنزَلَ مَلَٰٓئِكَةٗ مَّا سَمِعۡنَا بِهَٰذَا فِيٓ ءَابَآئِنَا ٱلۡأَوَّلِينَ ٢٤
Pemuka-pemuka orang yang kafir di antara kaumnya menjawab, “Orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, yang bermaksud hendak menjadi seorang yang lebih tinggi dari kamu. Dan kalau Allah menghendaki, tentu Dia mengutus beberapa orang malaikat. Belum pernah kami mendengar (seruan yang seperti) ini pada masa nenek moyang kami yang dahulu.” (al-Mu’minun: 24)
وَلَئِنۡ أَطَعۡتُم بَشَرٗا مِّثۡلَكُمۡ إِنَّكُمۡ إِذٗا لَّخَٰسِرُونَ ٣٤
“Dan sesungguhnya jika kamu sekalian menaati manusia yang seperti kamu, niscaya bila demikian, kamu benar-benar (menjadi) orang-orang yang merugi.” (al-Mu’minun: 34)
۞قَالَتۡ رُسُلُهُمۡ أَفِي ٱللَّهِ شَكّٞ فَاطِرِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۖ يَدۡعُوكُمۡ لِيَغۡفِرَ لَكُم مِّن ذُنُوبِكُمۡ وَيُؤَخِّرَكُمۡ إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗىۚ قَالُوٓاْ إِنۡ أَنتُمۡ إِلَّا بَشَرٞ مِّثۡلُنَا
Rasul-rasul mereka berkata, “Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, pencipta langit dan bumi? Dia menyeru kamu untuk memberi ampunan kepadamu dari dosa-dosamu dan menangguhkan (siksaan)mu sampai masa yang ditentukan?” Mereka berkata, “Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami juga.” (Ibrahim: 10)
Akan tetapi, Allah subhanahu wa ta’ala telah menjelaskan pula dalam banyak ayat bahwa Dia subhanahu wa ta’ala tidaklah mengutus kepada manusia kecuali seorang utusan dari kalangan manusia juga, yaitu seorang laki-laki yang memakan makanan, berjalan di pasar-pasar, menikah, dan memiliki sifat-sifat manusiawi lainnya.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ إِلَّا رِجَالٗا نُّوحِيٓ إِلَيۡهِمۡۖ
“Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka.” (an-Nahl: 43)
وَلَقَدۡ أَرۡسَلۡنَا رُسُلٗا مِّن قَبۡلِكَ وَجَعَلۡنَا لَهُمۡ أَزۡوَٰجٗا وَذُرِّيَّةٗۚ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” (ar-Ra’d: 38)
Dalam ayat-ayat di atas, Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa rasul yang Dia utus berasal dari kalangan manusia dan orang laki-laki. Hal ini tidak bertentangan dengan adanya sebagian malaikat yang menjadi rasul utusan Allah subhanahu wa ta’ala. Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
ٱللَّهُ يَصۡطَفِي مِنَ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ رُسُلٗا وَمِنَ ٱلنَّاسِۚ
“Allah memilih utusan-utusan-(Nya) dari malaikat dan dari manusia.” (al-Hajj: 75)
ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ فَاطِرِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ جَاعِلِ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ رُسُلًا
“Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, yang menjadikan malaikat sebagi utusan-utusan (untuk mengurus berbagai urusan).” (Fathir: 1)
Allah subhanahu wa ta’ala mengutus malaikat kepada para rasul, dan para rasul diutus kepada manusia. Yang diingkari oleh orang-orang kafir (dalam hal ini) adalah diutusnya para rasul (dari kalangan manusia) yang diutus kepada manusia. Inilah yang Allah subhanahu wa ta’ala khususkan (dalam pembahasan ayat ini), yaitu para rasul adalah orang laki-laki dari kalangan manusia.
Hal ini tidak bertentangan dengan kenyataan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala juga menjadikan malaikat sebagai rasul utusan-Nya. Di antara mereka ada yang diutus membawa wahyu, menggenggam arwah (mencabut nyawa), menundukkan (mengatur) angin dan awan, mencatat amal perbuatan bani Adam, dan lainnya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
فَٱلۡمُدَبِّرَٰتِ أَمۡرٗا ٥
“Dan (malaikat-malaikat) yang mengatur urusan (dunia).” (an-Nazi’at: 5)
Dari ayat di atas dipahami juga bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidak mengutus seorang utusan pun dari kaum wanita. Firman-Nya subhanahu wa ta’ala,
وَمَآ أَرۡسَلۡنَا قَبۡلَكَ إِلَّا رِجَالٗا نُّوحِيٓ إِلَيۡهِمۡۖ
“Kami tiada mengutus rasul-rasul sebelum kamu, melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka.” (al-Anbiya’: 7) ( Adhwaul Bayan, pada tafsir surat an-Nahl: 43)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, ayat ini menjadi bantahan terhadap orang-orang yang mengingkari adanya utusan Allah subhanahu wa ta’ala yang berasal dari manusia. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Kami tiada mengutus rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang kami beri wahyu kepada mereka.”
Semua rasul yang terdahulu adalah manusia dari jenis laki-laki, tidak ada seorang pun dari kalangan malaikat. Dalam ayat yang lain, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ إِلَّا رِجَالٗا نُّوحِيٓ إِلَيۡهِم مِّنۡ أَهۡلِ ٱلۡقُرَىٰٓۗ
“Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri.” (Yusuf: 109)
قُلۡ مَا كُنتُ بِدۡعٗا مِّنَ ٱلرُّسُلِ
Katakanlah, “Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul.” (al-Ahqaf: 9)
Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan tentang umat terdahulu yang mengingkari adanya rasul dari kalangan manusia,
ذَٰلِكَ بِأَنَّهُۥ كَانَت تَّأۡتِيهِمۡ رُسُلُهُم بِٱلۡبَيِّنَٰتِ فَقَالُوٓاْ أَبَشَرٞ يَهۡدُونَنَا فَكَفَرُواْ وَتَوَلَّواْۖ وَّٱسۡتَغۡنَى ٱللَّهُۚ وَٱللَّهُ غَنِيٌّ حَمِيدٞ ٦
Hal itu karena sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka (membawa) keterangan-keterangan lalu mereka berkata, “Apakah manusia yang akan memberi petunjuk kepada kami?” Lalu mereka ingkar dan berpaling, dan Allah tidak memerlukan (mereka) lagi Maha Terpuji. (at-Taghabun: 6)
Oleh karena itu, pada kelanjutan ayat di atas, Allah subhanahu wa ta’ala berfiman, “Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.”
Maksudnya, bertanyalah kepada orang yang berilmu dari umat yang ada dari kalangan Yahudi, Nasrani, dan semua golongan; Apakah rasul-rasul yang pernah datang kepada mereka itu manusia ataukah malaikat? Mereka itu tiada lain hanyalah manusia (bukan malaikat).
Itulah sebagian dari kesempurnaan nikmat Allah subhanahu wa ta’ala atas ciptaan-Nya (manusia). Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri agar mereka bisa mengambil apa yang disampaikan oleh para rasul tersebut.
Untuk mempertegas bahwa rasul-rasul itu adalah manusia yang berjasad, memerlukan makan, dan tidak kekal, pada ayat berikutnya Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَا جَعَلۡنَٰهُمۡ جَسَدٗا لَّا يَأۡكُلُونَ ٱلطَّعَامَ وَمَا كَانُواْ خَٰلِدِينَ ٨
“Dan tiadalah Kami jadikan mereka tubuh-tubuh yang tiada memakan makanan, dan tidak (pula) mereka itu orang-orang yang kekal.” (al-Anbiya’: 8)
Maknanya, mereka adalah jasad yang memakan makanan. Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَمَآ أَرۡسَلۡنَا قَبۡلَكَ مِنَ ٱلۡمُرۡسَلِينَ إِلَّآ إِنَّهُمۡ لَيَأۡكُلُونَ ٱلطَّعَامَ وَيَمۡشُونَ فِي ٱلۡأَسۡوَاقِ
“Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar.” (al-Furqan: 20
Maknanya, mereka seperti manusia yang lain, memerlukan makan dan minum. Mereka berjalan di pasar-pasar untuk mencari pendapatan dan berdagang.
Hal ini sama sekali tidak memudaratkan dan mengurangi keberadaan mereka (sebagai rasul), sebagaimana anggapan orang-orang musyrik. Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَقَالُواْ مَالِ هَٰذَا ٱلرَّسُولِ يَأۡكُلُ ٱلطَّعَامَ وَيَمۡشِي فِي ٱلۡأَسۡوَاقِ لَوۡلَآ أُنزِلَ إِلَيۡهِ مَلَكٞ فَيَكُونَ مَعَهُۥ نَذِيرًا ٧ أَوۡ يُلۡقَىٰٓ إِلَيۡهِ كَنزٌ أَوۡ تَكُونُ لَهُۥ جَنَّةٞ يَأۡكُلُ مِنۡهَاۚ وَقَالَ ٱلظَّٰلِمُونَ إِن تَتَّبِعُونَ إِلَّا رَجُلٗا مَّسۡحُورًا ٨
Dan mereka berkata, “Mengapa rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar malaikat itu memberikan peringatan bersama dengan dia? Atau (mengapa tidak) diturunkan kepadanya perbendaharaan, atau (mengapa tidak) ada kebun baginya yang dia dapat makan dari (hasil)nya?” (al-Furqan: 7—8)
Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Dan tidak (pula) mereka itu orang-orang yang kekal”, maknanya mereka hidup di dunia kemudian mereka wafat. Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَمَا جَعَلۡنَا لِبَشَرٖ مِّن قَبۡلِكَ ٱلۡخُلۡدَۖ أَفَإِيْن مِّتَّ فَهُمُ ٱلۡخَٰلِدُونَ ٣٤
“Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu (Muhammad), maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal?” (al-Anbiya: 34). (Tafsir al-Qur’an al- ‘Azhim, pada tafsir surat al-Anbiya: 7)
Asy-Syaikh Abdur Rahman as-Sa’di rahimahullah berkata bahwa ayat ini membantah pernyataan orang-orang yang mendustakan rasul. Mereka berkata, “Mengapa dia bukan malaikat, hingga tidak butuh dengan makanan dan minuman dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa dia tidak kekal? Jika tidak demikian, berarti dia bukan rasul.” Syubhat ini terus bercokol pada diri para pendusta rasul. Kekufuran mereka serupa, demikian pula pemikiran mereka.
Allah subhanahu wa ta’ala menjawab syubhat tersebut berdasarkan kenyataan bahwa mereka mengakui adanya para rasul sebelumnya. Seandainya hanya Nabi Ibrahim ‘alaihissalam (yang mereka akui sebagai rasul)—dalam keadaan seluruh golongan menetapkan bahwa beliau adalah nabi dan kaum musyrikin mengaku berada di atas agama dan ajarannya—(tentu hal ini sudah cukup).
Mereka mengakui bahwa para rasul sebelum Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (berasal dari kalangan manusia), memakan makanan, berjalan di pasar-pasar. Mereka juga mengakui bahwa para rasul tersebut tertimpa hal-hal yang biasa dialami manusia, berupa kematian dan lainnya. Mereka juga mengakui bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mengutus para rasul tersebut kepada umat dan kaumnya. Sebagian umat membenarkan mereka, sebagian yang lain mendustakan.
Mereka juga mengakui bahwa Allah subhanahu wa ta’ala membenarkan janji para rasul tersebut, yaitu keselamatan dan kebahagiaan baginya berikut para pengikutnya, serta membinasakan orang-orang yang melampaui batas lagi mendustakannya.
Jika demikian, apa bedanya dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam? Mengapa dimunculkan syubhat yang batil untuk mengingkari kerasulan beliau? Padahal, hal yang sama juga ada pada para rasul sebelum beliau yang mereka akui keberadaannya.
Jawaban ini sangat jelas dan mengandung tuntutan bagi mereka. Mereka mengakui adanya rasul dari kalangan manusia, namun (di sisi lain) tidak mengakui kerasulan dari selain manusia. Tentu saja ini adalah sebuah syubhat yang batil. Mereka sendiri yang menyanggahnya, karena mengakui kerusakan dan kontradiksinya.
Jika mereka beralih dari syubhat ini, lantas justru mengingkari sama sekali adanya nabi dari kalangan manusia, dan tidak dianggap sebagai nabi jika dia bukan malaikat yang kekal dan tidak memakan makanan; Allah subhanahu wa ta’ala pun telah menjawab syubhat ini dengan firman-Nya,
وَقَالُواْ لَوۡلَآ أُنزِلَ عَلَيۡهِ مَلَكٞۖ وَلَوۡ أَنزَلۡنَا مَلَكٗا لَّقُضِيَ ٱلۡأَمۡرُ ثُمَّ لَا يُنظَرُونَ ٨ وَلَوۡ جَعَلۡنَٰهُ مَلَكٗا لَّجَعَلۡنَٰهُ رَجُلٗا وَلَلَبَسۡنَا عَلَيۡهِم مَّا يَلۡبِسُونَ ٩
Dan mereka berkata, “Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) seorang malaikat? Dan kalau Kami turunkan (kepadanya) seorang malaikat, tentu selesailah urusan itu, kemudian mereka tidak diberi tangguh (sedikit pun). Dan kalau Kami jadikan rasul itu (dari) malaikat, tentulah Kami jadikan dia berupa laki-laki dan (jika Kami jadikan dia berupa laki-laki), Kami pun akan jadikan mereka tetap ragu sebagaimana kini mereka ragu.” (al-An’am: 8—9)
Di samping itu, manusia tidak memiliki kemampuan mengambil wahyu dari malaikat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
قُل لَّوۡ كَانَ فِي ٱلۡأَرۡضِ مَلَٰٓئِكَةٞ يَمۡشُونَ مُطۡمَئِنِّينَ لَنَزَّلۡنَا عَلَيۡهِم مِّنَ ٱلسَّمَآءِ مَلَكٗا رَّسُولٗا ٩٥
Katakanlah, “Kalau seandainya ada malaikat-malaikat yang berjalan-jalan sebagai penghuni di bumi, niscaya Kami turunkan dari langit kepada mereka seorang malaikat menjadi rasul.” (al-Isra’: 95)
Jadi, jika kalian masih ragu dan tidak mengetahui perihal rasul-rasul yang terdahulu, “Tanyakanlah kepada orang-orang yang berilmu,” dari kalangan ahlul kitab terdahulu yang memiliki kitab Taurat dan Injil (Yahudi dan Nasrani). Mereka pasti akan mengabarkan kepada kalian bahwa rasul-rasul itu seluruhnya manusia yang Allah subhanahu wa ta’ala utus kepada mereka.
Meskipun sebab perintah bertanya kepada ulama adalah tentang para rasul yang terdahulu, namun ayat ini bermakna umum. Artinya, masalah apa pun yang terkait dengan agama yang tidak diketahui ilmunya, baik yang prinsip maupun yang cabang, hendaknya ditanyakan kepada orang yang mengajari agama.
Jadi, ayat di atas mengandung perintah untuk belajar agama dan bertanya kepada ahlinya. Tidaklah manusia diperintahkan untuk bertanya kepada para ulama kecuali karena para ulama itu wajib mengajarkan agama dan menjawab sesuai dengan ilmu yang mereka ketahui.
Perintah bertanya masalah agama hanya kepada ahli ilmu (ulama), sekaligus mengandung larangan bertanya kepada orang yang dikenal jahil dan tidak memiliki ilmu. Selain itu, perintah ini juga mengandung larangan bagi orang yang jahil (tidak tahu) untuk tampil (menjawab pertanyaan tentang agama).
Ayat ini juga menunjukkan bahwa tidak ada satu pun dari kaum wanita yang menjadi nabi. Tidak Maryam, tidak pula yang lainnya. (Taisir Karimur Rahman, pada tafsir surat al-Anbiya’: 7)
Asy-Syaukani rahimahullah berkata bahwa ayat ini, “Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu…,” dijadikan dalil (oleh sebagian orang) tentang bolehnya taklid. Ini suatu kesalahan. Kalau memang benar, maka makna ayat ini adalah (perintah kepada) mereka untuk bertanya kepada ahli ilmu tentang penjelasan dari al-Kitab dan sunnah, bukan tentang pendapat (ra’yu) mereka semata. Taklid ialah menerima pendapat orang lain tanpa ada hujah (dalil). (Fathul Qadir, pada tafsir surat al-Anbiya’: 7)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin