(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Ishaq al-Atsariyah)
Istri hendaklah menjadi penolong suami dalam hal menjaga iffah (kehormatan diri) dan menghalanginya dari godaan. Oleh karena itu, ia tidak boleh meninggalkan tempat tidur suaminya dan “menghalangi dirinya” dari suaminya. Rasulullah n bersabda,
إِذَا دَعَى الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَلَمْ تَأْتِهِ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Apabila seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya, namun si istri tidak mendatangi suaminya, lalu si suami bermalam dalam keadaan marah kepadanya, niscaya para malaikat akan melaknat si istri sampai pagi hari.” (HR. al-Bukhari no. 5193 dan Muslim no. 3526)
Hendaklah istri berteman dengan suaminya di dunia dengan cara yang ma’ruf. Hendaknya ia melakukan apa yang dicintai oleh suaminya walaupun ia sendiri tidak menyukainya. Hendaknya ia juga menjauhi segala sesuatu yang tidak disukai oleh suaminya walaupun ia sendiri sebenarnya menyenanginya, demi mengharapkan pahala dari Allah l dan menghadirkan rasa bahwa suaminya adalah tamu di sisinya yang hampir-hampir pergi meninggalkannya, sehingga ia tidak mau menyakitinya dengan ucapan atau perbuatan.
Nabi n bersabda,
لاَ تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ قَالَتْ زَوْجُهَا مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ: لاَ تُؤْذِيْهِ، قَتَلَكِ اللهُ! فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكِ دَخِيْلٌ يُوْشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا
Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya di dunia melainkan istri suaminya dari kalangan hurun ‘in1 akan mengatakan, “Jangan engkau sakiti dirinya, qatalakillah!2 Karena dia hanya tamu di sisimu dan sekadar singgah. Hampir-hampir ia akan berpisah denganmu untuk bertemu kami.” (HR. at-Tirmidzi no. 1174 dan Ibnu Majah no. 204, dinyatakan sahih dalam Shahih at-Tirmidzi)
Hendaklah seorang wanita mengetahui bahwa istri yang paling utama adalah yang selalu menganggap besar apa yang dilakukan oleh suaminya kepadanya walaupun sebenarnya kecil. Ia menyebut-nyebut suaminya di hadapan banyak orang dengan kebaikan walaupun sebenarnya suaminya kurang memenuhi haknya. Hendaknya ia yakin bahwa dengan berbuat demikian, kesudahan yang baik akan kembali kepadanya.
Istri harus bersih hatinya terhadap suaminya, walaupun mungkin suami kurang memenuhi haknya. Kalaupun suatu saat ia bermaksud menyampaikan kekurangan tersebut, maka dilakukannya dengan perlahan dan santun tanpa menyakiti suaminya, dengan mencari waktu yang tepat, di saat kosong pikiran dan dada lapang. Karena maksudnya menyampaikan bukanlah untuk mendebat suami atau menjadikannya lawan, tapi maksudnya adalah terlaksananya tujuan dan berbuah apa yang diinginkan.
Adapun suami, ia harus menjadi seorang yang penuh kasih sayang kepada istrinya. Ia syukuri apa yang dilakukan oleh istrinya untuknya, berupa melayaninya di rumah, menjaga anak-anaknya, serta menyimpan rahasianya. Hendaklah ia membantu istrinya dalam melakukan tugas-tugas tersebut dan membesarkannya di hadapan anak-anak, memujinya dengan kebaikan, memberikan nafkah kepadanya dengan nafkah yang membuatnya tidak lagi meminta kepada yang lain, apabila memang suami memiliki kelapangan. Ia tidak mencela istrinya dengan celaan yang melukai rasa malunya dan perasaannya sebagai perempuan, atau menyifatinya dengan sifat yang buruk.
Nabi n pernah ditanya,
يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ؟ قَالَ: أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّح ْوَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ
“Wahai Rasulullah, apakah hak istri salah seorang dari kami dari suaminya?” Rasulullah n menjawab, “Engkau beri makan istrimu jika engkau makan dan engkau beri pakaian jika engkau berpakaian. Jangan engkau pukul wajahnya, jangan engkau menjelekkannya3, dan jangan menghajr/memboikotnya kecuali dalam rumah4.” (HR. Abu Dawud no. 2142, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh Muqbil t dalam al-Jami’ush Shahih, 3/86)
Suami hendaknya menyadari bahwa kemuliaan istri adalah kemuliaannya juga, maka alangkah anehnya jika dia justru menghina istrinya?
Wajib bagi suami membaguskan pergaulannya dengan istrinya. Ia menegakkan istrinya di atas ketaatan kepada Allah l, mencegah dari istrinya seluruh ucapan dan perbuatan yang bisa mencacati rasa malunya, baik ucapan/perbuatan yang didengar maupun yang dilihat, karena istrinya akan menjadi pendidik bagi anak-anaknya, akan menjadi contoh bagi putri-putrinya, dan sebagai pembimbing bagi anak-anaknya di saat suami tidak ada. Istrilah yang paling sering bergaul dengan anak-anak karena suami tersibukkan dengan mencari penghidupan.
Seharusnya, suami memuliakan istrinya di hadapan anak-anaknya sehingga mereka segan kepada ibunya dan menghormatinya. Apabila sampai ia “menjatuhkan” ibunya di depan mereka, mereka akan mendurhakai ibunya. Apabila hal itu terjadi, anak-anak akan bertindak-tanduk yang buruk, saat ayahnya tidak di rumah, karena tidak ada orang yang mereka takuti.
Suami harus berlaku lembut dalam memberikan pengajaran dan pengarahan kepada istrinya, tidak keras dan kaku, atau dengan marah, atau dengan penghinaan. Nabi n bersabda,
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling bagus akhlaknya. Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.”5 (HR. at-Tirmidzi no. 1172, dinyatakan hasan dalam ash-Shahihul Musnad 2/336—337)
Beliau juga berkata tentang diri beliau sebagai teladan bagi para suami,
وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ
“Aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap istri-istriku.” (HR. at-Tirmidzi, dinyatakan sahih dalam ash-Shahihah no. 285)
Tidaklah yang kita maksudkan dengan mencintai istri adalah membiasakan istri hidup sebagai “nyonya besar” yang hanya bisa memerintah dan bermalas-malasan. Wanita yang menghabiskan siangnya dengan tidur dan di malam hari begadang, pindah dari satu restoran ke restoran lain, nongkrong di kafe, melancong dari satu tempat ke tempat lain, shopping atau sekadar jalan-jalan di mal, tidak pernah masak, tidak pernah membersihkan rumah, tidak ada perhatian terhadap suami dan anak-anak, serta tidak peduli dengan keadaan rumah. Kalau seperti ini keadaan seorang istri, lalu untuk apa seseorang menikah? Apa sekadar simbol saja bahwa ia sudah berstatus menikah?
Suami memikul tanggung jawab yang besar apabila membiasakan atau membiarkan istrinya berada di atas jalan yang jelek tersebut, kelak ia akan ditanya dan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah l. Maka dari itu, sebelum semuanya terlambat hendaknya ia “membenahi” istrinya.
Jadi, cinta tidak berarti memanjakan istri dengan dunia dan mempersilakannya berbuat semaunya. Tetapi cinta adalah membimbing tangannya dan mengarahkannya kepada kebaikan dengan penuh kelembutan.
Suami tidak boleh menganggap enteng apabila istrinya berbuat dosa atau melakukan sesuatu yang tercela dalam kebiasaan manusia. Jangan ia berdalih dengan kata “kasihan” untuk memperingatkan istrinya dari perbuatan salah atau menyimpang. Bahkan, apabila perlu, ia memberikan hukuman yang mendidik.
Suami harus punya rasa cemburu terhadap istrinya sehingga tidak membiarkan istrinya tabarruj (bersolek)dan bercampur baur dengan lelaki ajnabi atau membiarkan istrinya keluyuran, keluar masuk rumah semaunya. Suami yang tidak cemburu kepada istrinya dan membiarkan istrinya bermaksiat kepada Allah l adalah dayyuts.
Suami harus menyadari, segigih apa pun upayanya untuk memperbaiki istrinya, tetaplah pada diri sang istri ada kekurangan dan cacat. Hanya saja, selama cacat itu bukan dalam hal agama dan akhlak, hendaklah suaminya bersabar menghadapinya, karena memang mustahil ia bisa mendapatkan wanita yang sempurna, sama sekali tidak memiliki kekurangan dari satu sisi pun. Nabi n bersabda,
وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلْعٍ، وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلْعِ أَعْلاَهُ، فَإنْ ذَهَبْتَ تُقيْمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاء خَيْرًا
“Mintalah wasiat untuk berbuat kebaikan kepada para wanita (istri), karena mereka diciptakan dari tulang rusuk. Sungguh, bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah yang paling atasnya. Apabila engkau memaksa untuk meluruskan tulang rusuk itu, niscaya engkau akan mematahkannya. Namun, apabila engkau biarkan, ia akan terus-menerus bengkok. Oleh karena itu, mintalah wasiat kebaikan dalam hal para istri.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Rasulullah n juga bersabda,
الْمَرْأَةُ كَالضِلْعِ، إِنْ أَقَمْتَهُ كَسَرْتَهُ وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَفِيْهَا عِوَجٌ
“Wanita itu seperti tulang rusuk. Jika engkau meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Jika engkau ingin bersenang-senang dengannya, engkau bisa bersenang-senang dengannya, hanya saja padanya ada kebengkokan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dalam sebuah riwayat al-Imam Muslim t disebutkan dengan lafadz,
إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ، لَنْ تَسْتَقِيْمَ لَكَ عَلَى طَرِيْقٍ، فَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَبِهَا عِوَجٌ، وَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهَا كَسَرْتَهَا وَكَسْرُهَا طَلاَقُهَا
“Sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk sehingga ia tidak akan terus-menerus lurus untukmu di atas satu jalan. Jika engkau bernikmat-nikmat dengannya, engkau bisa melakukannya, namun padanya ada kebengkokan. Jika engkau memaksa meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Patahnya adalah talaknya.”6
Rasulullah n juga pernah bersabda,
إِنَّمَا النَّاسُ كَإِبِلٍ مِائَةً لاَ تَكَادُ تَجِدُ فِيْهَا رَاحِلَةً
“Manusia itu hanyalah seperti seratus ekor unta, hampir-hampir dari seratus ekor tersebut engkau tidak dapatkan seekor pun yang bagus untuk ditunggangi.” (HR. al-Bukhari no. 6498 dan Muslim no. 2547)
Maksud hadits di atas, kata al-Imam al-Khaththabi t, “Mayoritas manusia itu memiliki kekurangan. Adapun orang yang punya keutamaan dan kelebihan jumlahnya sedikit sekali. Oleh karena itu, mereka yang sedikit itu seperti keberadaan unta yang bagus untuk ditunggangi dari sekian unta pengangkut beban.” (Fathul Bari, 11/343)
Al-Imam an-Nawawi t menyatakan, “Orang yang diridhai keadaannya dari kalangan manusia, yang sempurna sifat-sifatnya, indah dipandang mata, kuat menanggung beban (itu sedikit jumlahnya).” (Syarhu Shahih Muslim, 16/101)
Ibnu Baththal t juga menyatakan hal serupa tentang makna hadits di atas, “Manusia itu jumlahnya banyak, namun yang disenangi dari mereka jumlahnya sedikit.” (Fathul Bari, 11/343)
Demikianlah… Sebagai akhir, hendaknya diketahui bahwa siapa yang telah menikah berarti ia telah menjaga dirinya. Maka dari itu, hendaknya ia bertakwa kepada Allah l sebagai Rabbnya, dengan tidak berbuat yang diharamkan. Hendaknya ia menjadi seorang ‘afif, yang membatasi pandangan matanya hanya kepada pasangannya yang sah. Karena di dalam pernikahan ada ketenangan bagi jiwa, dapat meredam syahwat yang menyimpang dan menjauhkan dari yang haram, bersama seseorang yang merupakan miliknya sendiri, yang telah diizinkan oleh Dzat Yang Maha Penyayang, Yang Mahatahu apa yang tersembunyi dalam dada. Hendaknya ia bersyukur kepada Allah l atas nikmat-Nya yang tiada terhitung, Dia telah memberikan sesuatu yang halal kepadanya dan menjaganya dari yang haram.
Rasulullah n bersabda,
إِذَا تَزَوَّجَ الْعَبْدُ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ نِصْفَ الدَّيْنِ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِيْمَا بَقِيَ
“Apabila seorang hamba telah menikah, sungguh ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Maka dari itu, hendaklah ia bertakwa kepada Allah l dalam separuh yang tersisa.” (HR. ath-Thabarani dalam al-Ausath [1/162/1], hadits ini hasan sebagaimana keterangan asy-Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 625)
Kita memohon kepada Allah l agar menegakkan rumah tangga kita di atas kebahagiaan, penuh sakinah, mawaddah dan rahmah, serta menjadikan kita sebagai orang-orang yang terbimbing. Amin ya Mujibas Sa’ilin.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Disusun dari tulisan di internet berjudul Walyasa’ki Baituki min Ajli Hayah Zaujiyah Hani’ah dan dari beberapa sumber/rujukan yang lain)
Catatan Kaki:
1 Al-hur jamak dari al-haur, yaitu wanita-wanita penduduk surga yang lebar matanya, bagian yang putih dari matanya sangat putih dan bola matanya sangat hitam. (Tuhfatul Ahwadzi, 4/283—284)
2 Artinya secara harfiah, “Semoga Allah l membunuhmu, melaknat, atau memusuhimu.” Namun, maknanya untuk menyatakan keheranan dan tidak dimaksudkan agar hal tersebut terjadi.
3 Maksudnya, mengucapkan ucapan yang buruk kepada istri, mencaci makinya atau mengatakan kepadanya, “Semoga Allah menjelekkanmu”, atau ucapan semisalnya. (Aunul Ma’bud, Kitab an-Nikah, bab “Fi Haqqil Mar’ah ‘ala Zaujiha”)
4 Memboikot istri dilakukan ketika istri tidak mempan dinasihati dalam hal kemaksiatan yang dilakukannya sebagaimana ditunjukkan dalam ayat,
“Istri-istri yang kalian khawatirkan nusyuznya maka berilah mau’izhah kepada mereka, boikotlah mereka di tempat tidur….” (an-Nisa: 34)
Pemboikotan ini bisa dilakukan di dalam atau di luar rumah, seperti yang ditunjukkan oleh hadits Anas bin Malik z tentang Rasulullah n yang meng’ila istrinya (bersumpah untuk tidak mendatangi istri-istrinya) selama sebulan dan selama itu beliau tinggal di masyrabahnya (loteng). (HR. al-Bukhari)
Hal ini tentu melihat keadaan. Apabila memang diperlukan boikot di luar rumah, hal itu dilakukan. Namun, apabila tidak diperlukan, cukup di dalam rumah. Bisa jadi, boikot di dalam rumah lebih mengena dan lebih menyiksa perasaan si istri daripada boikot di luar rumah. Namun, bisa juga sebaliknya. Akan tetapi, yang dominan, boikot di luar rumah lebih menyiksa jiwa, terkhusus jika yang menghadapinya kaum wanita karena lemahnya jiwa mereka. (Fathul Bari, 9/374)
Al-Imam an-Nawawi t berkata terkait dengan kisah Rasulullah n meng-ila’ istri-istrinya, “Suami berhak menghajr istrinya dan memisahkan diri dari istrinya ke rumah lain apabila ada sebab yang bersumber dari sang istri.” (al-Minhaj, 10/334)
5 Nabi n menyatakan, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya”, karena para wanita/istri adalah makhluk Allah l yang lemah sehingga sepantasnya menjadi tempat curahan kasih sayang. (Tuhfatul Ahwadzi, 4/273)
6 Hadits-hadits ini menunjukkan keharusan berlaku lembut kepada para wanita/istri, berbuat baik kepada mereka, bersabar atas kebengkokan akhlak mereka, menanggung kelemahan akal mereka dengan sabar, tidak disenanginya menalak mereka tanpa ada sebab, dan tidak boleh berambisi meluruskan mereka dengan paksa. (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 10/42