Antara Tradisi dan Akhlak Islami

Antara Tradisi dan Akhlak Islami

Seiring dengan jauhnya umat dari ajaran yang benar, keindahan syariat Islam pun acap terkacaukan dengan tradisi yang berkembang di masyarakat, lebih-lebih ritual yang menggunakan simbol-simbol Islam.

Manusia secara umum, walaupun bersih fitrahnya, sangat membutuhkan penjelasan mengenai akhlak dan adab yang sesuai dengan syariat. Hal ini hanya bisa mereka dapatkan melalui dalil-dalil dari Al-Quran dan As-Sunnah.

Baca juga:

Meneladani Akhlak Nabi

Oleh sebab itu, pernyataan sebagian orang bahwa permasalahan adab tidak perlu menengok dalil syariat adalah hal yang sangat keliru; dengan dua alasan:

Pertama: Banyak akhlak yang hukumnya tidak diketahui oleh manusia sehingga sesuatu yang jelek terkadang dianggap baik dan yang baik dianggap jelek.

Sungguh, setinggi apa pun derajat keilmuan, kesalehan, dan adab seseorang, tentu ada sejumlah akhlak yang tidak  diketahuinya, terlebih dengan adanya perbedaan kebiasaan di antara manusia. Sebab, biasanya orang-orang akan mencampuradukkan antara adat dan adab.

Sebagai contoh, yaitu tatkala sahabat Muadz bin Jabal radhiallahu anhu datang dari Syam, kemudian menghadap Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Ia lantas sujud di hadapan Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Beliau shallallahu alaihi wa sallam pun menegurnya, “Apa ini, wahai Muadz?”

Muadz radhiallahu anhu mengatakan bahwa tatkala ia datang ke Syam, ia mendapati orang-orang sujud kepada para uskup dan pendeta mereka. Muadz radhiallahu anhu juga ingin melakukan hal itu terhadap Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Beliau shallallahu alaihi wa sallam lalu bersabda,

لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا عَزَّ وَجَلَّ حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا

“Jangan kamu lakukan! Seandainya aku boleh memerintah seseorang untuk sujud kepada orang lain, niscaya aku akan memerintah seorang wanita untuk sujud kepada suaminya. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya (demi Allah), seorang wanita belum (dikatakan) menunaikan hak Rabbnya sampai ia menunaikan hak suaminya. (Lihat Shahih Sunan Ibnu Majah, no. 1515)

Baca juga:

Hak Suami dalam Islam

Perhatikanlah! Kalau para sahabat saja, generasi terbaik umat ini, tidak mengetahui sebagian permasalahan adab sehingga Nabi shallallahu alaihi wa sallam sampai perlu memberikan bimbingan, tentu orang-orang selain mereka jelas lebih membutuhkan bimbingan tersebut.

Kedua: Adanya penyelewengan terhadap syariat Allah subhanahu wa ta’ala pada benak sebagian orang.

Ini terjadi karena jauhnya mereka dari masa kenabian, kakunya hati, serta adanya perbauran dengan umat selain kaum muslimin.

Hal ini terlihat jelas pada kehidupan suatu masyarakat yang menjadikan hawa nafsu sebagai pijakan untuk menghalalkan dan mengharamkan sesuatu. Dengan percaya diri, mereka membuat aturan tentang adab dan meyakinkan manusia akan kebenarannya, padahal kenyataannya tidak sedikit yang bertentangan dengan syariat.

Baca juga:

Hanya Allah Yang Berhak Menghalalkan dan Mengharamkan

Berikut sebagian contohnya:

  1. Membangun monumen untuk mengenang pahlawan dan orang besar

Masyarakat yang mengaku “modern”, dahulu dan sekarang, sama-sama meyakini bahwa mendirikan monumen pahlawan dan orang-orang besar, serta menampakkan kekhusyukan di sisinya; sebagai bentuk ungkapan terima kasih atas jasa-jasa mereka.

Bahkan, terkadang disertai dengan perbuatan mereka yang sengaja mendatangi kuburan orang-orang besar tersebut untuk berdoa di sisinya atau meminta pertolongan kepada penghuninya.

Mereka memandang bahwa jika hal itu tidak dilakukan, berarti sama saja dengan tidak memperhatikan peninggalan sejarah. Ini merupakan krisis peradaban—kata mereka.

Syariat justru memandang bahwa itu bukanlah akhlak mulia, melainkan akhlak yang jelek. Namun, tidak berarti kami mengajak untuk tidak menghormati mereka. Menghormati jasa mereka tidak demikian caranya. Sebab, meskipun hal tersebut mengandung penghormatan kepada para pahlawan, juga mengandung perampasan hak Allah subhanahu wa ta’ala, yaitu tulusnya peribadahan hanya kepada-Nya.

Baca juga:

Syirik

Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga melarang umatnya membuat gambar atau patung orang-orang saleh. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

أُولَئِكَ قَوْمٌ إِذَا مَاتَ فِيهِمُ العَبْدُ الصَّالِحُ، أَوِ الرَّجُلُ الصَّالِحُ، بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا، وَصَوَّرُوا فِيهِ تِلْكَ الصُّوَرَ، أُولَئِكَ شِرَارُ الخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ

“Mereka (kaum Nasrani) itu, apabila orang saleh mereka mati, mereka akan membangun sebuah masjid (tempat ibadah) di atas kuburannya, lalu mereka akan menggambar rupa orang saleh tersebut padanya. Mereka adalah sejelek-jelek makhluk di sisi Allah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

  1. Membatasi kelahiran

Pada zaman sekarang, membatasi kelahiran dianggap sebagai kesadaran dalam menata perekonomian dan peradaban yang maju. Sampai-sampai ada di antara mereka (rumah tangga) yang lebih suka memelihara anjing dan tidak mau mengasuh anak.

Baca juga:

Menikah, Memperbanyak Umat Rasul

Padahal banyaknya keturunan merupakan wasiat Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada umatnya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ

“Nikahilah (wanita) yang penyayang dan subur rahimnya, karena aku akan berbangga dengan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat.” (HR. Abu Dawud dan dinilai sahih oleh al-Albani rahimahullah dalam al-Irwa`, no. 1784)

  1. Perbauran laki-laki dengan perempuan yang bukan mahram (ikhtilath)

Hal ini dianggap sebagai keterbukaan sikap, bahkan terkadang dijadikan sebagai sarana terbaik bagi para lelaki dan perempuan untuk terhindar dari sikap minder. Lebih parah lagi, ada yang mengatakan bahwa itu adalah cara untuk menstabilkan birahi.

Masih menurut mereka pula, pelecehan seksual bisa diminimalkan dengan semakin dekatnya hubungan di antara dua jenis manusia. Falsafah mereka ini terilhami dari ucapan sebagian orang bahwa “banyak gesekan akan menghilangkan perasaan.”

Sungguh, realitas telah mendustakan falsafah ini. Bahkan, orang yang melihat angka kriminalitas yang berkaitan dengan kesusilaan, akan bisa memberikan kesimpulan; bahwa negeri Barat yang telah mempraktikkan ikhtilath secara total, tak ubahnya seperti hutan rimba yang penuh dengan hewan.

Baca juga:

Wanita Adalah Aurat

Nabi kita, Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, orang yang paling memahami kejiwaan manusia, telah bersabda,

مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلىَ الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

“Aku tidaklah meninggalkan, sepeninggalku, suatu fitnah (ujian) yang lebih berbahaya bagi laki-laki, daripada (fitnah yang disebabkan) kaum wanita.” (Muttafaqun alaih)

Supaya umatnya terhindar dari fitnah yang berbahaya ini, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sangat bersungguh-sungguh mencegah terjadinya campur-baur antara laki-laki dan perempuan, meskipun di tempat yang paling suci, yaitu masjid. (Diambil secara ringkas dari kitab Raf’u adz-Dzul wa ash-Shaghar anil Maftunin bi Khuluqil Kuffar, hlm. 53—60)

Namun, hal ini tidak berarti melarang adat kebiasaan yang tidak menyelisihi syariat. Sebab, yang dilarang adalah membuat suatu peraturan tentang adab yang bertentangan dengan syariat Islam.

Wallahu a’lam bis-shawab.

 

Ditulis oleh Ustadz Abu Muhammad Abdul Mu’thi, Lc.