Mengutamakan Orang Lain Atas Diri Sendiri

Mengutamakan Orang Lain Atas Diri Sendiri

Di tengah persaingan hidup yang semakin ketat, orang yang memiliki kepedulian terhadap nasib orang lain pun juga semakin sulit didapat. Sikap egois telah mendominasi kebanyakan manusia, kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

Secara umum, memang terasa sangat berat bagi seseorang untuk memberikan hartanya, mencurahkan tenaganya, dan yang semisalnya tanpa adanya imbal balik.

Namun, berbeda halnya dengan seorang mukmin. Sifat egois itu bisa disingkirkannya. Hal itu karena dia beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Hari Pembalasan. Dia menjadikan ridha Allah subhanahu wa ta’ala sebagai tujuan, sedangkan dunia beserta perhiasannya sebagai penopang dalam ketaatan kepada-Nya.

Baca juga:

Mengutamakan Akhirat di Atas Dunia

Dia yakin bahwa manfaat yang ia berikan kepada orang lain, akan dibalas di sisi Allah subhanahu wa ta’ala, sebagaimana dalam firman-Nya,

وَمَا تُقَدِّمُواْ لِأَنفُسِكُم مِّنۡ خَيۡرٍ تَجِدُوهُ عِندَ ٱللَّهِ هُوَ خَيۡرًا وَأَعۡظَمَ أَجۡرًاۚ وَٱسۡتَغۡفِرُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمُۢ

“Kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampun kepada Allah; sungguh, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Muzammil: 20)

Keindahan ajaran Islam yang diserapnya mampu membentuk kepribadiannya menjadi seorang muslim yang mencintai orang lain, seperti ia mencintai dirinya sendiri. Apabila dia melihat kesempatan untuk mendahulukan orang lain, dia akan mendahulukannya atas dirinya. Terkadang dia rela kelaparan agar orang lain bisa merasa kenyang. Adakalanya dia harus menahan dahaga agar orang lain tidak kehausan. Bahkan, dia siap mati demi kehidupan seseorang.

Inilah mukmin sejati. Dia bergembira ketika mampu menyuguhkan yang terbaik untuk orang lain. Masa hidupnya yang indah dilalui dengan pendekatan yang tulus kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan pengorbanan demi maslahat manusia. Orang seperti ini adalah orang yang paling baik, sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

“Sebaik-baik orang ialah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR. ath-Thabaraniad-Daraquthni, dll. Hadits ini dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’, no. 3289)

Konsekuensi Iman

Iman tidak hanya dinyatakan dengan lisan, tetapi juga harus tecermin dalam amalan sehari-hari. Seseorang belum bisa dikatakan sebagai mukmin yang sempurna keimanannya jika ia masih bersikap tidak acuh terhadap saudaranya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

“Salah seorang dari kalian belum (dikatakan) beriman (dengan sempurna) sampai dia mencintai untuk saudaranya, apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri.” (Muttafaqun alaihi)

Baca juga:

Ukhuwah yang Membuahkan Mahabbah dan Rahmah

Ingatlah, kaum muslimin ibarat satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh itu sakit, anggota tubuh yang lain akan ikut merasakannya. Oleh karena itu, derita yang dialami oleh saudara kita, adalah derita kita semua; sebagaimana kebahagiaan yang mereka rasakan, juga merupakan kebahagiaan kita semua. Semangat kebersamaan dan jiwa setia kawan harus selalu dipupuk. Akankah seseorang tega jika dia merasa kenyang, sementara saudaranya kelaparan?!

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الْمُؤْمِنُ الَّذِي يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائِعٌ

“Bukanlah seorang mukmin; seseorang yang merasa kenyang, sementara tetangganya kelaparan.” (Shahih al-Adabul Mufrad, no. 82)

Orang yang tidak memedulikan kondisi orang lain, tak ubahnya seperti binatang. Dia tahu temannya sedang sakit atau bahkan mati, tetapi dia tidak menghiraukannya. Sebab, yang ada di benaknya hanyalah bagaimana perutnya bisa kenyang dan syahwatnya tersalurkan.

Keutamaan Itsar (Mengutamakan Orang Lain)

Al-Itsar (الْإِيثَارُ) adalah mendahulukan orang lain daripada dirinya sendiri. Sifat ini termasuk akhlak mulia yang akan mendatangkan kecintaan Allah subhanahu wa ta’ala dan kecintaan manusia.

Allah subhanahu wa ta’ala memuji orang-orang Anshar karena mereka memiliki sifat-sifat kemuliaan, di antaranya adalah sifat itsar. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَٱلَّذِينَ تَبَوَّءُو ٱلدَّارَ وَٱلۡإِيمَٰنَ مِن قَبۡلِهِمۡ يُحِبُّونَ مَنۡ هَاجَرَ إِلَيۡهِمۡ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمۡ حَاجَةً مِّمَّآ أُوتُواْ وَيُؤۡثِرُونَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ وَلَوۡ كَانَ بِهِمۡ خَصَاصَةٌۚ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفۡسِهِۦ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ

“Dan orang-orang (Anshar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidaklah menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas diri mereka sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orangorang yang beruntung.” (al-Hasyr: 9)

Orang-orang Anshar termasuk pendahulu umat ini, yang kita diperintah untuk meneladaninya. Sifat-sifat mereka, seperti cintanya mereka terhadap orang-orang yang berhijrah ke negeri mereka, telah diabadikan dalam Al-Qur’an. Hal ini karena mereka mencintai Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya sehingga mereka juga mencintai para kekasih-Nya dan para pembela agama-Nya. Orang-orang Anshar tidak pernah menaruh kedengkian terhadap saudara-saudara mereka, kaum Muhajirin.

Di antara sifat mereka yang istimewa pula adalah mereka lebih mendahulukan orang lain daripada diri mereka sendiri. Inilah bentuk kedermawanan tertinggi.

Baca juga:

Membantu Kebutuhan Seorang Muslim

Mengutamakan orang lain dalam hal yang jiwa ini sebenarnya menyukainya, bahkan sangat membutuhkannya, hanya mampu dilakukan oleh orang yang bersih akhlaknya. Kecintaan Allah subhanahu wa ta’ala lebih ia dahulukan melebihi kecintaannya kepada apa yang ia senangi. Inilah orang yang telah terhindar dari kebakhilan. Inilah yang membuatnya meraih predikat sebagai orang yang beruntung.

Apabila seseorang dijauhkan dari sifat bakhil, dia akan bermurah hati untuk menjalankan perintah Allah subhanahu wa ta’ala dan menjauhi larangan-Nya. Akan mudah pula baginya untuk mendermakan harta dan tenaganya kepada orang lain. (Lihat Tafsir as-Sa’di, pada surah al-Hasyr)

Baca juga:

Buah Kedermawanan

Allah subhanahu wa ta’ala juga menerangkan sifat orang-orang yang mulia dalam firman-Nya,

وَيُطۡعِمُونَ ٱلطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ مِسۡكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا

Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan.” (al-Insan: 8)

Abu Hurairah radhiallahu anhu bercerita,

Seorang laki-laki mendatangi Rasulullah dan berkata, Sungguh, saya sedang ditimpa kesulitan hidup.

Rasulullah pun segera menemui istri-istrinya. Namun, beliau tidak mendapatkan apa pun dari mereka (yang bisa diberikan kepadanya). Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Siapa yang mau menjamu orang ini pada malam ini?

Seorang Anshar menjawab seruan beliau, Saya, wahai Rasulullah.

Orang Anshar tersebut menemui istrinya dan berkata, (Ini adalah) tamu Rasulullah. Janganlah kamu menyimpan sesuatu (yang harus disuguhkan kepadanya).

Istrinya menjawab, Demi Allah, aku hanya memiliki makanan untuk anak-anak.

Si Anshar kembali berkata, ‘Apabila anak-anak kita ingin makan, buatlah mereka tidur; dan kemarilah kamu (membawa hidangan) lalu matikan lampu. (Tidak mengapa) malam ini kita lapar. Sang istri pun menjalankan perintahnya.

Pada keesokan harinya, orang Anshar itu pergi menemui Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Sungguh, Allah merasa kagum kepada fulan dan fulanah (si Anshar dan istrinya). Lalu Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat-Nya,

وَيُؤۡثِرُونَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ وَلَوۡ كَانَ بِهِمۡ خَصَاصَةٌۚ

‘Dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas diri mereka sendiri, meskipun mereka juga memerlukan.’” (al-Hasyr: 9) (Shahih al-Bukhari no. 4889)

Baca juga:

Adab Diri pada Lisan, Tetangga, dan Tamu

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah memuji orang-orang Asy’ariyin, kabilah Abu Musa al-Asy’ari, seorang sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Beliau bersabda,

إِنَّ الْأَشْعَرِيِّيْنَ إِذَا أَرْمَلُوا فِي الْغَزْوِ أَوْ قَلَّ طَعَامُ عِيَالِهِمْ بِالْمَدِينَةِ جَمَعُوا مَا كَانَ عِنْدَهُمْ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ ثُمَّ اقْتَسَمُوا بَيْنَهُمْ فِي إِنَاءٍ وَاحِدٍ بِالسَّوِيَّةِ فَهُمْ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ

“Sesungguhnya orang-orang (kabilah) Asy’ari, apabila perbekalan perang mereka hampir habis atau persediaan makanan keluarganya di Madinah telah menipis, mereka akan mengumpulkan apa yang mereka miliki pada satu kain. Kemudian mereka akan membagikannya di antara mereka dengan sama rata pada satu wadah. Mereka adalah golonganku dan aku adalah golongan mereka.” (Muttafaqun alaih)

Sikap Itsar yang Menakjubkan

Ketika iman telah mengakar pada jiwa seseorang, ia akan memunculkan berbagai keajaiban. Dengan bermodalkan iman yang tulus, seseorang mampu melakukan sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh para raja, hartawan, bahkan orang yang kuat lagi perkasa.

Lihatlah bagaimana dahulu para sahabat Nabi radhiallahu anhum, yang tulus berhijrah meninggalkan Makkah, tanah kelahiran dan tempat harta bendanya, menuju Madinah demi mempertahankan agamanya. Bahkan, sahabat Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu, pada malam hijrahnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam, tidur di ranjang Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Padahal saat itu rumah tersebut telah dikepung oleh musuh. Ali rela mengorbankan nyawanya di jalan Allah subhanahu wa ta’ala.

Baca juga:

Rasulullah Hijrah ke Madinah

Pada 18 H, di masa pemerintahan Umar bin Khaththab radhiallahu anhu, terjadi kekeringan dan paceklik yang dahsyat di wilayah Hijaz (Madinah, Makkah, dan sekitarnya). Umar mengulurkan bantuan kepada orang-orang Badui berupa unta, gandum, dan minyak hingga perbendaharaan di Baitul Mal habis. Beliau pun berdoa memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar diturunkan hujan. Allah subhanahu wa ta’ala mengabulkan permohonannya.

Umar berkata, “Alhamdulillah, demi Allah! Seandainya Dia tidak menghilangkan musibah kekeringan ini, niscaya aku tidak akan membiarkan sebuah keluarga kaum muslimin yang mempunyai keluasan rezeki, kecuali aku akan memasukkan sejumlah orang-orang fakir ke dalam rumah mereka. Sebab, dua orang manusia tidak akan binasa apabila mereka memakan makanan yang cukup untuk satu orang.” (Lihat Shahih al-Adab al-Mufrad no. 438; dan al-Bidayah wan Nihayah, 7/103—105)

Kebijakan Umar ini sangat sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Disebutkan dalam sabda beliau shallallahu alaihi wa sallam,

طَعَامُ الْوَاحِدِ يَكْفِي الْإِثْنَيْنِ وَطَعَامُ الْإِثْنَيْنِ يَكْفِي الْأَرْبَعَةَ وَطَعَامُ الْأَرْبَعَةَ يَكْفِي الثَّمَانِيَةَ

“Makanan untuk satu orang, bisa mencukupi dua orang. Makanan untuk dua orang, bisa mencukupi empat orang. Makanan untuk empat orang, bisa mencukupi delapan orang.” (HR. Muslim dari sahabat Jabir radhiallahu anhu)

Baca juga:

Makan Ala Islam

Dahulu, Aisyah memiliki sepetak tanah di sisi kuburan Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan bapaknya (Abu Bakr). Tanah tersebut ia persiapkan untuk mengubur dirinya jika suatu saat ia dipanggil oleh Sang Khaliq. Namun, ketika Umar, pada detik-detik akhir menjelang wafatnya, meminta izin kepada Aisyah untuk dikuburkan di tempat tersebut; Aisyah mengizinkannya. Aisyah memberikan tanah tersebut kepada Umar. (Siyar al-Khulafa’ ar-Rasyidin, karya adz-Dzahabi, hlm. 91)

Mengutamakan Orang Lain dan Macamnya

Melebihkan orang lain atas diri sendiri dianjurkan dalam urusan duniawi. Adapun dalam masalah ketaatan, kita justru diperintah untuk berlomba-lomba. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَٱسۡتَبِقُواْ ٱلۡخَيۡرَٰتِۚ

“Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan.” (al-Baqarah: 148)

Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda,

لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الْأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلاَّ أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لَاسْتَهَمُوا

“Seandainya manusia mengetahui (keutamaan) yang ada pada azan dan shaf pertama, sedangkan mereka tidak bisa mendapatkannya kecuali dengan berundi, niscaya mereka akan berundi (untuk mendapatkannya.” (Muttafaqun alahi)

Baca juga:

Berlomba dalam Kebaikan

Oleh karena itu, mendahulukan orang lain daripada diri sendiri terbagi mejadi tiga:

  1. Dilarang, yaitu ketika Anda mendahulukan orang lain pada perkara yang syariat mewajibkannya atas Anda.

Misalnya, Anda dan seorang teman dalam keadaan batal wudhunya. Anda memiliki air yang hanya cukup untuk dipakai berwudhu oleh satu orang. Apabila Anda memberikannya kepada teman Anda, Anda tidak lagi memiliki air untuk berwudhu. Anda terpaksa harus tayamum. Dalam keadaan seperti ini, Anda tidak boleh memberikan air itu kepadanya karena Anda yang memiliki air tersebut dan air itu milik Anda.

Maka dari itu, mendahulukan orang lain pada perkara yang diwajibkan oleh syariat hukumnya haram. Sebab, hal tersebut akan menggugurkan kewajiban yang dibebankan atas Anda.

  1. Makruh, yaitu mendahulukan orang lain pada perkara sunnah.

Sebagai contoh, Anda mampu berdiri di shaf pertama dalam shalat. Namun, Anda justru mempersilakan orang lain untuk menempatinya. Hal ini makruh karena menandakan bahwa Anda kurang bersemangat terhadap kebaikan. Padahal, berdiri di shaf pertama dalam shalat sangat besar keutamaannya.

Bagaimana mungkin Anda akan mendahulukan orang lain, padahal Anda berhak mendapatkan keutamaan itu?

  1. Boleh dan terkadang dianjurkan, yaitu mendahulukan orang lain pada perkara selain ibadah.

Misalnya, Anda memberikan makanan kepada orang yang kelaparan, padahal Anda sendiri juga merasa lapar. Ini adalah perbuatan yang terpuji.

(Lihat Makarimul Akhlaq, karya Syaikh Ibnu Utsaimin hlm. 54—55)

 

Ditulis oleh Ustadz Abu Muhammad Abdulmu’thi, Lc.