Ukhuwah yang Membuahkan Mahabbah dan Rahmah

Ukhuwah yang Membuahkan Mahabbah

Di dalam Al-Qur’an, Allah subhanahu wa ta’ala banyak memuji para sahabat, murid-murid Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Bahkan, Allah subhanahu wa ta’ala juga menyebutkan dan menceritakan keutamaan-keutamaan mereka dalam kitab Taurat dan Injil.

Allah berfirman,

مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ ٱللَّهِۚ وَٱلَّذِينَ مَعَهُۥٓ أَشِدَّآءُ عَلَى ٱلۡكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيۡنَهُمۡۖ تَرَىٰهُمۡ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبۡتَغُونَ فَضۡلًا مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضۡوَٰنًاۖ سِيمَاهُمۡ فِي وُجُوهِهِم مِّنۡ أَثَرِ ٱلسُّجُودِۚ ذَٰلِكَ مَثَلُهُمۡ فِي ٱلتَّوۡرَىٰةِۚ وَمَثَلُهُمۡ فِي ٱلۡإِنجِيلِ كَزَرۡعٍ أَخۡرَجَ شَطۡ‍َٔهُۥ فَ‍َٔازَرَهُۥ فَٱسۡتَغۡلَظَ فَٱسۡتَوَىٰ عَلَىٰ سُوقِهِۦ يُعۡجِبُ ٱلزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ ٱلۡكُفَّارَۗ وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ مِنۡهُم مَّغۡفِرَةً وَأَجۡرًا عَظِيمَۢا  

“Muhammad adalah utusan Allah. Orang-orang yang bersama dengannya keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya. Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (al-Fath: 29)

Mereka adalah generasi yang mendapatkan keutamaan-keutamaan yang tidak mungkin didapatkan oleh generasi sebelum maupun sesudahnya. Merekalah generasi yang terbaik setelah para nabi dan para rasul alaihimus salam.

وَٱلسَّٰبِقُونَ ٱلۡأَوَّلُونَ مِنَ ٱلۡمُهَٰجِرِينَ وَٱلۡأَنصَارِ وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحۡسَٰنٍ رَّضِيَ ٱللَّهُ عَنۡهُمۡ وَرَضُواْ عَنۡهُ وَأَعَدَّ لَهُمۡ جَنَّٰتٍ تَجۡرِي تَحۡتَهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدًاۚ ذَٰلِكَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡعَظِيمُ

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (at-Taubah: 100)

Baca juga:

Kedudukan Para Sahabat di Sisi Allah dan Rasul-Nya serta Kaum Mukminin

Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala memerintah kita untuk beriman sebagaimana keimanan para sahabat radhiallahu anhum. Terekam dalam firman-Nya,

فَإِنۡ ءَامَنُواْ بِمِثۡلِ مَآ ءَامَنتُم بِهِۦ فَقَدِ ٱهۡتَدَواْۖ وَّإِن تَوَلَّوۡاْ فَإِنَّمَا هُمۡ فِي شِقَاقٍۖ فَسَيَكۡفِيكَهُمُ ٱللَّهُۚ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ

“Jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk. Jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Baqarah: 137)

وَٱتَّبِعۡ سَبِيلَ مَنۡ أَنَابَ إِلَيَّۚ ثُمَّ إِلَيَّ مَرۡجِعُكُمۡ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ

Ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Aku beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Luqman: 15)

Imam Ibnul Qayim rahimahullah mengatakan, “Seluruh sahabat radhiallahu anhum adalah orang-orang yang kembali kepada Allah . Maka dari itu, kita wajib untuk mengikuti jalan, ucapan-ucapan, dan keyakinan mereka. Ini adalah perkara yang paling besarnya.” (I’lamul Muwaqqi’in, 4/120)

Allah subhanahu wa ta’ala melalui lisan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam memerintah kita untuk berdoa dalam setiap rakaat agar kita mendapatkan hidayah ke jalan mereka radhiallahu anhum.

ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ ٦ صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ

“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka.” (al-Fatihah: 6—7)

Ibnu Umar radhiallahu anhu berkata, “Barang siapa ingin mengambil teladan, hendaklah dia meneladani orang yang telah mati, yaitu para sahabat Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Mereka adalah generasi terbaik umat ini. Hati mereka paling bersih. Ilmu mereka paling mendalam dan yang paling sedikit takalluf-nya (membebani diri). Mereka adalah kaum yang Allah subhanahu wa ta’ala pilih untuk menjadi para sahabat Nabi-Nya shallallahu alaihi wa sallam. Mereka (berjalan) di atas petunjuk yang lurus, demi Allah subhanahu wa ta’ala, Dzat yang memiliki Ka’bah.”

Baca juga:

Jalan Salaf Jaminan Kebenaran

Allah subhanahu wa ta’ala juga menyatakan bahwa mengikuti jalan dan pemahaman yang tidak dijalani dan tidak dimiliki oleh para sahabat adalah kesesatan.

وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلۡهُدَىٰ وَيَتَّبِعۡ غَيۡرَ سَبِيلِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصۡلِهِۦ جَهَنَّمَۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرًا

Barang siapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam. Dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisa: 115)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyatakan dengan jelas dan tegas bahwa tidak ada jalan yang selamat kecuali jalan yang ditempuh oleh beliau dan para sahabat radhiallahu anhum. Terkhusus pada zaman merebaknya berbagai fitnah yang bersumber dari syubhat dan syahwat. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

“Barang siapa hidup di antara kalian, niscaya akan melihat perselisihan yang banyak. Ketika itu, hendaklah kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Peganglah ia dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian.”

Baca juga:

Siapakah Ahlus Sunnah?

Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata,

“Ini adalah berita dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang perkara yang pasti terjadi pada umatnya setelah beliau meninggal. Akan banyak terjadi perselisihan dalam prinsip-prinsip agama dan cabang-cabangnya, baik dalam hal ucapan, perbuatan, maupun keyakinan. Ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan dari beliau shallallahu alaihi wa sallam tentang perpecahan yang akan terjadi pada umatnya menjadi 73 golongan. Semuanya di dalam neraka kecuali satu golongan. Golongan tersebut adalah mereka yang berada di atas jalan yang ditempuh oleh beliau dan para sahabatnya.

Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintah kita agar berpegang teguh dengan Sunnah beliau dan sunnah Khulafaur Rasyidin setelah beliau meninggal. Hal ini mencakup seluruh perkara yang beliau dan para khalifahnya di atasnya, baik keyakinan, amalan, maupun ucapan. Inilah sunnah yang sempurna.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2/120)

Allah subhanahu wa ta’ala memuji jiwa pendidik dan sifat rahmat yang ada pada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam terhadap umatnya.

Tujuannya agar kita meneladani beliau dalam hal dakwah dan tarbiyah sehingga kita mendapatkan keberhasilan dan kesuksesan.

لَقَدۡ جَآءَكُمۡ رَسُولٌ مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ عَزِيزٌ عَلَيۡهِ مَا عَنِتُّمۡ حَرِيصٌ عَلَيۡكُم بِٱلۡمُؤۡمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaanmu. Dia sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu. Dia amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (at-Taubah: 128)

Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَثَلِي وَمَثَلُكُمْ كَمَثَلِ رَجُلٍ أَوْقَدَ نَارًا فَجَعَلَ الْجَنَادِبُ وَالْفَرَاشُ يَقَعْنَ فِيهَا وَهُوَ يَذُبُّهُنَّ عَنْهَا وَأَنَا آخِذٌ بِحُجَزِكُمْ عَنْ النَّارِ وَأَنْتُمْ تَفَلَّتُونَ مِنْ يَدِي

“Permisalan antara aku dan kalian seperti orang yang menyalakan api (pada malam hari di tempat terbuka). Mulailah serangga-serangga dan anai-anai masuk ke dalam api tersebut padahal orang itu telah menghalaunya (agar tidak masuk ke dalam api). Aku memegangi pinggang-pinggang kalian supaya kalian tidak masuk ke dalam api neraka. Akan tetapi, kalian senantiasa berusaha untuk melepaskan diri dari tanganku.” (HR. Muslim)

Para sahabat radhiallahu anhum dibimbing dan dididik oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam secara langsung. Dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala semata, mereka menjadi generasi yang terbaik dalam hal ilmu dan amalan. Mereka adalah generasi yang dimuliakan dan didamba-dambakan. Kalau kita membaca kisah-kisah yang sahih tentang mereka, tentu kita akan mendapatkan berbagai bimbingan dan pelajaran yang menakjubkan.

Baca juga:

Siapakah ath-Thaifah al-Manshurah?

Di antara ciri khas yang paling menonjol dalam muamalah di antara mereka adalah sikap saling mencintai (tahabbub) dan saling merahmati (tarahhum). Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang mereka,

مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ ٱللَّهِۚ وَٱلَّذِينَ مَعَهُۥٓ أَشِدَّآءُ عَلَى ٱلۡكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيۡنَهُمۡۖ

“Muhammad itu adalah utusan Allah. Orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (al-Fath: 29)

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَن يَرۡتَدَّ مِنكُمۡ عَن دِينِهۦ فَسَوۡفَ يَأۡتِي ٱللَّهُ بِقَوۡمٍ يُحِبُّهُمۡ وَيُحِبُّونَهُۥٓ أَذِلَّةٍ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى ٱلۡكَٰفِرِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir.” (al-Maidah: 54)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membuat permisalan tentang kehidupan kaum mukminin seperti satu tubuh, sebagaimana dalam sabdanya,

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

“Permisalan orang-orang yang beriman dalam cinta-mencintai, rahmat-merahmati, dan sayang-menyayangi di antara mereka ialah seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh merintih, niscaya seluruh anggota tubuh yang lain akan turut merasakannya dengan tidak bisa tidur pada malam hari dan rasa demam badannya.” (Muttafaq ‘alaih dari an-Nu’man bin Basyir radhiallahu anhu)

Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan tentang bukti kecintaan Anshar terhadap Muhajirin radhiallahu anhum dalam firman-Nya,

وَٱلَّذِينَ تَبَوَّءُو ٱلدَّارَ وَٱلۡإِيمَٰنَ مِن قَبۡلِهِمۡ يُحِبُّونَ مَنۡ هَاجَرَ إِلَيۡهِمۡ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمۡ حَاجَةً مِّمَّآ أُوتُواْ وَيُؤۡثِرُونَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ وَلَوۡ كَانَ بِهِمۡ خَصَاصَةٌۚ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفۡسِهِۦ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ٩ وَٱلَّذِينَ جَآءُو مِنۢ بَعۡدِهِمۡ يَقُولُونَ رَبَّنَا ٱغۡفِرۡ لَنَا وَلِإِخۡوَٰنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِٱلۡإِيمَٰنِ وَلَا تَجۡعَلۡ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ ءَامَنُواْ رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ ١٠

“Orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang’.” (al-Hasyr: 9—10)

Baca juga:

Kecemburuan Anshar (Fathu Makkah – bagian 5)

Abu Hurairah radhiallahu anhu menceritakan bahwa seseorang datang kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam kemudian berkata, “Sesungguhnya aku orang yang fakir (dan dalam kesulitan hidup).”

Beliau shallallahu alaihi wa sallam mengutus utusan kepada sebagian istri beliau. Istri beliau menjawab, “Demi Dzat yang mengutusmu dengan membawa kebenaran, saya tidak memiliki kecuali air minum.”

Kemudian beliau mengutus ke istri yang lainnya. Istri tersebut menjawab dengan jawaban yang sama. Istri-istri beliau semuanya menjawab dengan jawaban yang sama, “Demi Dzat yang mengutusmu dengan membawa kebenaran, saya tidak memiliki kecuali air minum.”

Kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam bertanya, “Siapa yang akan menjamu tamu ini?”

Ada seorang Anshar menjawab, “Saya, wahai Rasulullah.”

Dia lalu berangkat bersama dengan tamu tersebut ke rumahnya. Dia berkata kepada istrinya, “Muliakanlah tamu Rasulullah ini!”

Dalam riwayat yang lain, dia berkata kepada istrinya, “Apakah kamu memiliki sesuatu?”

Istrinya menjawab, “Tidak, kecuali makan malam anak-anak kita.”

Dia berkata, “Beri mereka (anak-anak) sesuatu yang membuat mereka lupa. Apabila mereka ingin makan malam, tidurkanlah mereka. Apabila tamu kita telah masuk, matikan pelita dan tampakkanlah bahwa kita telah makan!”

Kemudian anak-anak mereka tidur dan tamu tersebut makan hingga suami istri tersebut tidur dalam keadaan lapar. Tatkala masuk pagi hari, dia datang kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Beliau bersabda, “Sungguh, Allah subhanahu wa ta’ala takjub dengan perbuatan kalian terhadap tamu tersebut tadi malam.” (Riyadhus Shalihin, hlm. 569)

Baca juga:

Mencintai Orang Beriman dan Membenci Orang Kafir

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam senantiasa membimbing, menuntun, dan mengarahkan para sahabat radhiallahu anhum agar mereka saling merahmati dan saling mencintai karena Allah subhanahu wa ta’ala semata. Di antara bimbingan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam terhadap mereka radhiallahu anhum pada khususnya dan bagi umat secara umum adalah sabda beliau,

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

“Tidak sempurna keimanan salah seorang di antara kalian, sampai dia mencintai untuk saudaranya aoa yang dia cintai untuk dirinya sendiri.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiallahu anhu)

Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan,

“Dalam hadits Anas bin Malik radhiallahu anhu terdapat dalil yang menunjukkan bahwa seorang mukmin akan senang terhadap segala sesuatu yang menyenangkan saudaranya yang mukmin. Dia akan menginginkan berbagai kebaikan untuk saudaranya sebagaimana dia menginginkan untuk dirinya. Ini semuanya bersumber dari hati yang selamat dari penyakit khianat, iri, dan dengki.

Sebab, penyakit hasad (iri dan dengki) akan mengajak pemiliknya untuk membenci orang yang mengungguli dia dalam kebaikan atau menyamainya. Dia ingin menjadi orang yang berbeda dengan orang lain dengan keutamaan-keutamaan yang dia miliki.

Adapun keimanan menuntut perkara yang bertolak belakang dengan hal tersebut. Dia justru ingin seluruh saudara-saudaranya yang beriman sama-sama mendapatkan kebaikan yang Allah subhanahu wa ta’ala telah berikan kepada dirinya, tanpa mengurangi haknya.

Baca juga:

Hasad Sumber Kesesatan

Allah subhanahu wa ta’ala memuji hamba-Nya yang tidak menginginkan kesombongan dan kerusakan di muka bumi,

تِلۡكَ ٱلدَّارُ ٱلۡأٓخِرَةُ نَجۡعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فَسَادًاۚ

“Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi.” (al-Qashash: 83) (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1/171)

Sebagian salaf berkata, “Orang-orang yang mencintai karena Allah subhanahu wa ta’ala akan memperhatikan segala sesuatu dengan nur (ilmu) dari-Nya. Mereka akan bersikap belas kasih terhadap orang-orang yang bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, tetapi mereka membenci amalan-amalannya. Mereka belas kasihan terhadap pelaku maksiat itu agar meninggalkan perbuatan-perbuatan tersebut dengan nasihat-nasihat yang mereka lakukan. Sebab, mereka juga belas kasihan terhadap badan-badan pelaku maksiat kalau sampai disentuh api neraka.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1/172)

Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata,

“Seharusnya seorang muslim mencintai kebaikan untuk saudaranya sebagaimana dia mencintai kebaikan untuk dirinya. Seharusnya pula dia membenci apabila kejelekan menimpa saudaranya sebagaimana dia apabila kejelekan itu menimpa dirinya. Karena itu, apabila dia melihat kekurangan atau kesalahan pada saudaranya yang muslim, niscaya dia akan berusaha dengan sekuat tenaga untuk memperbaiki.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1/172)

An-Nawawi rahimahullah berkata,

“Sepantasnya hadits Anas bin Malik radhiallahu anhu (di atas) dipahami sesuai dengan keumuman persaudaraan (karena nasab ataupun agama), sehingga mencakup yang muslim maupun yang kafir. Jadi, seorang muslim mencintai sesuatu untuk saudaranya yang kafir sebagaimana dia mencintai sesuatu tersebut untuk dirinya. Dia mencintai saudaranya agar masuk Islam, sebagaimana dia mencintai untuk saudaranya agar tetap komitmen atau istiqamah dengan Islam. Oleh karena inilah, doa seorang muslim agar saudaranya yang kafir mendapatkan hidayah adalah hal yang disunnahkan.” (Syarh Arba’in lin Nawawi)

Agar Tumbuh Sikap Saling Mencintai

Faktor-faktor yang akan menumbuh-suburkan serta mengokohkan sikap saling merahmati dan saling mencintai karena Allah subhanahu wa ta’ala semata di antaranya,

  1. Akidah yang benar, manhaj (jalan) yang lurus, dan akhlak yang mulia

Dakwah salafiyah yang mencontoh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah dakwah yang menebarkan bibit-bibit saling merahmati dan saling mencintai karena Allah subhanahu wa ta’ala. Dakwah yang menyentuh hati hamba-Nya. Dakwah yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiallahu anhum. Firman-Nya,

وَٱعۡتَصِمُواْ بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُواْۚ وَٱذۡكُرُواْ نِعۡمَتَ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ إِذۡ كُنتُمۡ أَعۡدَآءً فَأَلَّفَ بَيۡنَ قُلُوبِكُمۡ فَأَصۡبَحۡتُم بِنِعۡمَتِهِۦٓ إِخۡوَٰنًا وَكُنتُمۡ عَلَىٰ شَفَا حُفۡرَةٍ مِّنَ ٱلنَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنۡهَاۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمۡ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَهۡتَدُونَ ١٠٣

“Berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Ali Imran: 103)

Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ؛ أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ

“Ada tiga perkara, barang siapa yang perkara tersebut ada pada dirinya, niscaya dia akan mendapatkan manisnya iman:

(1) Allah dan Rasul-Nya adalah lebih dia cintai daripada selain keduanya, (2) tidaklah dia mencintai seseorang kecuali karena Allah, dan (3) dia sangat benci kembali pada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya dari kekafiran tersebut, sebagaimana dia sangat benci untuk dilemparkan ke dalam api.”

Para dai yang mengajak umat untuk berakidah yang shahihah, ber-manhaj yang salimah (selamat), dan berakhlak yang jamilah, mereka adalah orang-orang yang paling peduli terhadap umat dan yang paling belas kasih terhadap mereka. Firman Allah,

وَمَنۡ أَحۡسَنُ قَوۡلٗا مِّمَّن دَعَآ إِلَى ٱللَّهِ وَعَمِلَ صَٰلِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ ٱلۡمُسۡلِمِينَ

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata, ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.’?” (Fushshilat: 33)

Allah subhanahu wa ta’ala memerintah Rasul-Nya (sebagai suri teladan mereka),

وَٱخۡفِضۡ جَنَاحَكَ لِمَنِ ٱتَّبَعَكَ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ

Rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.” (asy-Syu’ara: 215)

  1. Menebarkan salam di antara kaum muslimin

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلَا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا، أَوَ لَا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ؟ أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ

“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman (dengan iman yang sempurna) sampai kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu, yang apabila kalian melakukannya niscaya kalian akan saling mencintai? Tebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim)

Baca juga:

Arti Salam bagi Seorang Muslim

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata,

“Dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan bahwa

  • saling mencintai (mahabbah) karena Allah termasuk kesempurnaan iman,
  • iman seorang hamba tidak akan sempurna sampai dia mencintai saudaranya karena Allah,
  • termasuk sebab yang akan menumbuhkan kecintaan adalah menebarkan salam di antara saudara-saudaranya muslim, yaitu menampakkan salam tersebut kepada mereka. Dia mengucapkan salam kepada orang yang dijumpainya, baik dia kenal maupun

Inilah di antara sebab yang akan menumbuhkan mahabbah.” (Syarh Riyadhush Shalihin, 2/127)

  1. Saling membantu dalam kebaikan dan ketakwaan

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰۖ وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (al-Maidah: 2)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ

“Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa menolong hamba, selama hamba tersebut berusaha menolong saudaranya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu anhu)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata,

“Seorang muslim wajib senantiasa berusaha melakukan sebab-sebab yang akan menumbuhkan kasih sayang di antara kaum muslimin. Sebab, tidak masuk akal dan tidak termasuk adat kebiasaan bahwa seseorang bisa saling membantu dengan orang yang tidak dia cintai. Saling membantu (ta’awun) dalam kebaikan dan ketakwaan tidak mungkin terwujud kecuali dengan sebab saling mencintai. Oleh karena itu, mahabbah (saling mencintai) karena Allah subhanahu wa ta’ala termasuk tanda kesempurnaan iman.” (Syarh Riyadhush Shalihin, 2/127)

  1. Saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran

Makna nasihat ialah seorang muslim menginginkan kebaikan untuk saudaranya, mengajak, membimbing, menjelaskan, dan mendorong saudaranya tersebut untuk melakukan kebaikan itu. (Syarh Riyadhush Shalihin, 1/458)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ  

“Dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (al-Ashr: 3)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

الدِّينُ النَّصِيحَةُ. قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: لِلهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُولِهِ، وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ

“Agama itu adalah nasihat.” Kami bertanya, “Untuk siapa?” Beliau bersabda, “Untuk Allah, untuk kitab-Nya, untuk Rasul-Nya, dan untuk pemimpin muslimin serta orang-orang awamnya.” (HR. Muslim dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus ad-Dari radhiallahu anhu)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata,

“Nasihat bagi kaum muslimin secara keseluruhan diwujudkan dengan engkau menginginkan kebaikan untuk mereka sebagaimana engkau menginginkan kebaikan untuk dirimu. Engkau membimbing mereka kepada kebaikan. Engkau tunjukkan mereka kepada kebenaran apabila mereka tersesat dari kebenaran tersebut. Engkau ingatkan mereka dengan kebenaran kalau mereka lupa. Engkau jadikan mereka sebagai saudara-saudaramu. Sebab, Rasul shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ

“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya.” (Muttafaq alaih dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma)

Beliau rahimahullah juga menyatakan,

“Ketahuilah bahwa nasihat adalah pembicaraan yang dilakukan antara engkau dengan saudaramu secara diam-diam. Apabila engkau menasihatinya secara diam-diam, niscaya engkau akan dapat memengaruhinya dalam keadaan dia yakin bahwa engkau adalah pemberi nasihat.

Akan tetapi, apabila engkau berbicara tentang kekurangan atau kesalahannya di muka umum, rasa egonya bisa menyeret dia untuk berbuat dosa sehingga dia tidak akan menerima nasihat. Sebab, dia mengira bahwa yang engkau inginkan hanyalah balas dendam, mencela, atau menjatuhkan kedudukannya di hadapan manusia. Karena itu, dia tidak mau menerima nasihat.

Akan tetapi, kalau nasihat tersebut dilakukan secara diam-diam antara dirimu dan diriya, niscaya dia (insya Allah) akan menghargai dan menerimanya.” (Syarh Riyadhush Shalihin, 1/465—466)

  1. Saling mengunjungi

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

أَنَّ رَجُلًا زَارَ أَخًا لَهُ فِي قَرْيَةٍ أُخْرَى فَأَرْصَدَ اللهُ لَهُ عَلَى مَدْرَجَتِهِ مَلَكًا، فَلَمَّا أَتَى عَلَيْهِ قَالَ: أَيْنَ تُرِيدُ؟ قَالَ: أُرِيدُ أَخًا لِي فِي هَذِهِ الْقَرْيَةِ. قَالَ: هَلْ لَكَ عَلَيْهِ مِنْ نِعْمَةٍ تَرُبُّهَا؟ قَالَ: لَا غَيْرَ أَنِّي أَحْبَبْتُهُ فِي اللهِ عَزَّ وَجَلَّ. قَالَ: فَإِنِّي رَسُولُ اللهِ إِلَيْكَ بِأَنَّ اللهَ قَدْ أَحَبَّكَ كَمَا أَحْبَبْتَهُ فِيهِ

“Ada seseorang mengunjungi saudaranya di sebuah desa. Allah mengutus malaikat-Nya untuk menjaganya di dalam perjalanannya. Tatkala malaikat tersebut menemuinya, malaikat itu bertanya, “Engkau hendak pergi ke mana?” Dia menjawab, “Aku ingin mengunjungi saudaraku di desa ini.” Malaikat itu bertanya lagi, “Apakah kamu memiliki suatu kenikmatan yang bisa diberikan kepadanya?” Dia menjawab, “Tidak. Hanya saja aku mencintai dia karena Allah azza wa jalla.” Malaikat itu menyatakan, “Aku adalah utusan Allah kepadamu (untuk mengabarkan kepadamu) bahwa Allah sungguh mencintaimu sebagaimana kamu mencintainya karena-Nya.” (HR. Muslim)

Perhatikanlah kisah kunjungan mubarakah (penuh berkah) yang dilakukan oleh kedua amirul mukminin Abu Bakr dan Umar radhiallahu anhuma kepada Ummu Aiman radhiallahu anha. Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu,

Setelah Nabi shallallahu alaihi wa sallam meninggal, Abu Bakr berkata kepada Umar, “Berangkatlah bersama kami mengunjungi Ummu Aiman sebagaimana biasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengunjunginya.”

Setelah keduanya sampai, Ummu Aiman menangis. Keduanya bertanya, “Apa yang menjadikan engkau menangis? Tidakkah engkau yakin bahwa apa yang di sisi Allah subhanahu wata’al a itu lebih baik bagi Rasulullah?”

Ummu Aiman radhiallahu anha menjawab, “Aku menangis bukan karena aku tidak meyakini bahwa apa yang ada di sisi Allah subhanahu wa ta’ala lebih baik bagi Rasulullah. Akan tetapi, aku menangis karena wahyu telah terputus dari langit.” Hal itu pun menyebabkan keduanya (Abu Bakr dan Umar radhiallahu anhuma) menangis. Mulailah keduanya menangis bersamanya. (HR. Muslim, no. 3454)

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata,

“Kunjungan memiliki banyak faedah, di antaranya:

  • akan membuahkan pahala yang besar,
  • melunakkan dan menyatukan hati,
  • mengingatkan saudaranya yang lupa,
  • memperingatkan saudaranya yang lalai, serta
  • mengajarkan ilmu kepada saudaranya yang jahil.

Kunjungan mengandung kebaikan yang banyak. Orang yang mengamalkannya akan mengetahui kebaikan tersebut.” (Syarh Riyadhush Shalihin, 2/116)

Namun, yang harus kita perhatikan dan ingatkan adalah jangan sampai ibadah yang demikian mulianya ini dipalingkan oleh setan sebagai ajang untuk ghibah (mengumpat), namimah (adu domba), atau membicarakan hal-hal yang tidak ada faedahnya serta belum jelas kebenarannya.

Baca juga:

Nikmat Lisan untuk Apa Kita Gunakan?

Hal-hal inilah yang akan menyusahkan pertanggungjawaban kita di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala. Firman-Nya,

وَيَوۡمَ يُحۡشَرُ أَعۡدَآءُ ٱللَّهِ إِلَى ٱلنَّارِ فَهُمۡ يُوزَعُونَ ١٩ حَتَّىٰٓ إِذَا مَا جَآءُوهَا شَهِدَ عَلَيۡهِمۡ سَمۡعُهُمۡ وَأَبۡصَٰرُهُمۡ وَجُلُودُهُم بِمَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ٢٠

“Dan (ingatlah) hari (ketika) musuh-musuh Allah digiring ke dalam neraka, lalu mereka dikumpulkan (semuanya). Hingga apabila mereka sampai ke neraka, pendengaran, penglihatan, dan kulit mereka menjadi saksi terhadap mereka tentang apa yang telah mereka kerjakan. Dan mereka berkata kepada kulit mereka, “Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?” Kulit mereka menjawab, “Allah yang menjadikan segala sesuatu pandai berkata telah menjadikan kami pandai (pula) berkata, dan Dia-lah yang menciptakan kamu pada kali yang pertama dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan. Kamu sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari persaksian pendengaran, penglihatan, dan kulitmu terhadapmu bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan.” (Fushshilat: 19—22)

Di samping itu, kita harus menjauhi berbagai prasangka jelek terhadap saudara kita dan mencari-cari kelemahannya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱجۡتَنِبُواْ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمٌۖ وَلَا تَجَسَّسُواْ وَلَا يَغۡتَب بَّعۡضُكُم بَعۡضًاۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمۡ أَن يَأۡكُلَ لَحۡمَ أَخِيهِ مَيۡتًا فَكَرِهۡتُمُوهُۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ

“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (al-Hujurat: 12)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

يَا مَعْشَرَ مَنْ أَسْلَمَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يُفْضِ الْإِيمَانُ إِلَى قَلْبِهِ، لَا تُؤْذُوا الْمُسْلِمِينَ وَلَا تُعَيِّرُوهُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنْ تَتَبَّعَ عَوْرَةَ أَخِيهِ الْمُسْلِمِ تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ وَلَوْ فِي جَوْفِ رَحْلِهِ

“Wahai sekalian orang yang telah masuk Islam dengan lisannya dalam keadaan imannya belum masuk ke dalam hatinya. Jangan kalian menyakiti orang-orang muslim. Jangan kalian merendahkan mereka. Jangan pula kalian mencari-cari kelemahannya. Barang siapa mencari-cari kelemahan saudaranya yang muslim, niscaya Allah subhanahu wa ta’ala akan mencari-cari kelemahannya. Barang siapa yang Allah cari-cari kelemahannya, niscaya Allah subhanahu wa ta’ala akan membongkar kelemahan atau kekurangannya walaupun dia berada di dalam rumahnya.” (HR. at-Tirmidzi, no. 2032)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata,

“Termasuk tabiat manusia biasa, ada pada dirinya kekurangan, kelemahan, dan kesalahan. Maka dari itu, seorang muslim wajib menutupi kelemahan saudaranya dan tidak menyebarkan kelemahan tersebut kecuali dalam keadaan darurat. Apabila keadaan darurat tersebut mengharuskan untuk membongkar aibnya dan menyebarkannya, niscaya dia akan melakukannya (demi kepentingan syariat). Akan tetapi, kalau bukan karena keadaan darurat, yang lebih utama adalah menutupi kekurangan tersebut.

Dia adalah manusia biasa. Barangkali dia berbuat salah karena dorongan syahwat atau syubhat yang ada pada dirinya, saat al-haq tersamar baginya. Kemudian dia berbicara dengan ucapan yang batil atau melakukan perbuatan yang menyimpang.

Seorang mukmin diperintahkan untuk menutupi kekurangan saudaranya. Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

لَا يَسْتُرُ عَبْدٌ عَبْدًا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Tidaklah seorang hamba menutupi kekurangan hamba yang lainnya di dunia kecuali Allah akan menutupi kekurangan atau kesalahan dia pada hari kiamat.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu anhu)

  1. Menunaikan hak-hak saudara

Dengan ditunaikannya hak-haknya akan menguatkan ikatan persaudaraan dan kecintaan pada diri masing-masing. Di antara hak seorang muslim yang wajib ditunaikan adalah sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ؛ رَدُّ السَّلَامِ، وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ، وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ، وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ، وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ

“Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada lima: membalas salam, menjenguk orang sakit, mengikuti jenazah, memenuhi undangan, dan menjawab orang yang bersin.”

Dalam riwayat Muslim,

حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ. قِيلَ: مَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ، وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ، وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ، وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللهَ فَسَمِّتْهُ، وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ، وَإِذَا مَاتَ فَاتَّبِعْهُ

“Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada enam.” Ditanyakan, “Apa saja, wahai Rasulullah?” Beliau berkata, “(1) Apabila engkau bertemu dengannya, ucapkanlah salam kepadanya, (2) apabila dia mengundangmu, penuhilah undangannya, (3) apabila dia meminta nasihat, berilah dia nasihat, (4) apabila dia bersin lalu memuji Allah, jawablah, (5) apabila dia sakit, jenguklah, dan (6) apabila dia mati, ikutilah (jenazahnya).”

Penutup

Kita memohon kepada Allah subhanuhu wa ta’ala agar Dia melimpahkan hidayah taufik kepada kita semua untuk menerima segala sesuatu yang Dia cintai dan Dia ridhai. Kita juga memohon kepada-Nya agar menjadikan kita sebagai dai yang ikhlas. Kita memohon pula agar Dia menjauhkan kita dari berbagai tipu daya setan dari golongan jin dan manusia.

Kita pun memohon hanya kepada Allah semata agar melunakkan hati kita dan menyatukannya di atas kebenaran.

 

Ditulis oleh Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan

Comments are closed.