Syarat-Syarat Wajibnya Zakat

Betapa agung dan sempurna syariat Islam yang telah diridhai Allah subhanahu wa ta’ala yang Maha Mengetahui lagi Mahabijak untuk mengatur kehidupan umat manusia. Syariat yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk aspek yang terkait dengan harta benda mereka yang merupakan penopang keberlangsungan maslahat hidup manusia.

Hikmah Allah subhanahu wa ta’ala menghendaki adanya perbedaan nasib di antara hamba-hamba-Nya. Ada yang ditakdirkan sebagai orang kaya, ada pula yang ditakdirkan sebagai fakir miskin yang serba kekurangan. Maka dari itu, Allah subhanahu wa ta’ala mensyariatkan adanya zakat dan sedekah untuk menyantuni kaum fakir miskin dan golongan lainnya yang membutuhkan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ al-Fatawa (25/8) menjelaskan, “Syariat ini telah memahamkan kepada kita bahwasanya zakat mal (harta) disyariatkan dengan tujuan menyantuni orang-orang yang membutuhkan.”

Baca juga: Adab Pembayaran Zakat

Al-Allamah al-Faqih Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menerangkan dalam asy-Syarhul Mumti’ (6/11—12, terbitan Muassasah Asam) bahwa di antara faedah zakat adalah terciptanya suatu komunitas Islami layaknya sebuah keluarga yang satu. Yang mampu membantu mereka yang tidak mampu. Yang berpunya menyantuni mereka yang mengalami kesulitan hidup. Dengan zakat, seseorang beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan melaksanakan kewajiban. Bersamaan dengan itu, dia secara otomatis telah membantu saudara-saudaranya yang membutuhkan. Dengan demikian, saudaranya pun merasa bahwa dia mempunyai saudara-saudara yang suka memperhatikan dan berbuat baik kepadanya, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala telah berbuat baik kepada mereka.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَأَحۡسِن كَمَآ أَحۡسَنَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ

“Dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.” (al-Qashash: 77)

Definisi Zakat

Zakat menurut tinjauan bahasa (etimologi) artinya pertambahan, pertumbuhan, dan perkembangan. Namun, bisa pula berarti pembersihan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ al-Fatawa (25/8) menguraikan, “Jiwa orang yang berzakat jadi tumbuh, hartanya pun jadi bersih dan berkembang secara maknawi.”

Bahkan, Ibnu Utsaimin rahimahullah menyebutkan, di antara faedah zakat adalah,

“Zakat akan menjadikan harta berkembang secara indrawi dan maknawi. Jika seseorang berzakat dengan hartanya, sesungguhnya hal itu akan menjaga hartanya dari kemusnahan. Bahkan, boleh jadi Allah subhanahu wa ta’ala akan membukakan baginya tambahan rezeki dengan sebab zakat tersebut.

Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits,

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ

‘Tidaklah suatu sedekah mengurangi harta.’ (HR. Muslim no. 2588, dari Abu Hurairah radhiallahu anhu)

Ini adalah sesuatu yang nyata terlihat. Terkadang seorang yang bakhil (kikir) ditimpa musibah yang menguras harta bendanya atau memusnahkan sebagian besar kekayaannya. Musibah berupa kebakaran, kerugian besar, atau penyakit yang memaksanya untuk berobat dengan biaya yang besar.” (asy-Syarhul Mumti’, 6/13)

Adapun menurut tinjauan istilah (terminologi) syariat, al-Allamah Ibnu Utsaimin rahimahullah mendefinisikannya dalam asy-Syarhul Mumti’ (6/17) bahwa zakat adalah kadar (nilai) yang ditetapkan oleh syariat pada harta tertentu untuk diserahkan kepada golongan tertentu.

Hukum Zakat

Zakat mal (harta benda) memiliki kedudukan yang tinggi dan agung dalam Islam sebagai rukun Islam terpenting setelah shalat. Hukumnya wajib berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmak (kesepakatan) ulama.

Dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرۡكَعُواْ مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ

“Dirikanlah shalat dan bayarlah zakat serta rukuklah bersama orang-orang yang rukuk.” (al-Baqarah: 43)

Dalil dari As-Sunnah adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Umar radhiallahu anhuma,

بُنِىَ الْإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَالْحَجِّ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ

“Islam dibangun di atas lima perkara: syahadat laa ilaha illallah dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji, dan puasa Ramadan.” (HR. al-Bukhari no. 8, dan Muslim no. 16)

Baca juga: Hukum Ringkas Puasa Ramadhan

Demikian pula hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhuma bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengutus Mu’adz bin Jabal radhiallahu anhu ke negeri Yaman. Beliau bersabda kepadanya,

إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ، فَإِذَا جِئْتَهُمْ فَادْعُهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِى كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْـمَظْلُومِ، فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ

“Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum dari kalangan ahlul kitab (Nasrani dan Yahudi). Jika engkau mendatangi mereka, (yang) pertama kali (dilakukan) hendaklah engkau mengajak mereka untuk bersyahadat bahwasanya tidak ada sembahan yang haq (benar) selain Allah subhanahu wa ta’ala dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah.

Apabila mereka menaatimu, kabarkan kepada mereka bahwasanya Allah subhanahu wa ta’ala telah mewajibkan atas diri mereka shalat lima waktu setiap hari dan malamnya.

Jika mereka menaatimu, kabarkan kepada mereka bahwasanya Allah subhanahu wa ta’ala telah mewajibkan atas mereka zakat mal (harta) yang dipungut dari orang kaya dari mereka dan dibagikan kepada orang miskin dari mereka.

Jika mereka menaatimu, berhati-hatilah jangan sampai engkau mengambil harta mereka yang istimewa dan jagalah dirimu dari doa pihak yang terzalimi. Sebab, sesungguhnya tidak ada penghalang antara dia dengan Allah untuk dikabulkan.” (HR. al-Bukhari no. 1496, dan Muslim no. 19)

Baca juga: Kezaliman adalah Kegelapan pada Hari Kiamat

Adapun ijmak ulama akan wajibnya zakat mal, telah dinukilkan oleh lebih dari seorang ulama. Di antara yang menukilkannya adalah an-Nawawi rahimahullah dalam al-Majmu’ (5/297) dan Ibnu Qudamah rahimahullah dalam al-Mughni (2/359).

Oleh karena itu, barang siapa mengingkari wajibnya zakat mal, sementara dia hidup di tengah-tengah kaum muslimin, dia kafir meskipun dia membayar zakat. Sebab, seseorang yang hidup di tengah-tengah kaum muslimin tentulah mengetahui wajibnya zakat mal. Artinya, pengingkarannya merupakan pendustaan terhadap Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam serta ijmak kaum muslimin.

Berbeda halnya dengan muslim yang baru keislamannya atau muslim yang tinggal di pelosok terpencil yang jauh dari masyarakat. Yang seperti ini keadaannya tidak dihukumi kafir. Namun, diajari tentang wajibnya zakat. Setelah dia mengetahui hukumnya dan tetap mengingkarinya, barulah kemudian dihukumi kafir.

Baca juga: Pembatal-Pembatal Keimanan

Kewajiban zakat mal sendiri tidaklah dibebankan atas setiap muslim dan tidak pula pada seluruh jenis harta benda. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ al-Fatawa (25/8) menerangkan,

“Syariat ini telah memahamkan kepada kita bahwa zakat mal disyariatkan dengan tujuan menyantuni orang-orang yang membutuhkan. Hal ini tentu saja hanya dibebankan kepada para pemilik harta benda. Syariat pun menetapkan adanya aturan nisab[1] dan memberlakukannya pada jenis-jenis harta yang mengalami pertambahan. Ada yang bertambah dengan zatnya itu sendiri, seperti binatang ternak dan hasil bumi. Ada pula yang bertambah dengan pergantian zatnya dan penggunaannya, seperti emas.”

Kriteria Wajib Zakat

Ada beberapa syarat yang harus terpenuhi sehingga seseorang terkena kewajiban zakat mal. Syarat-syarat tersebut adalah:

  1. Beragama Islam

Zakat mal tidak wajib atas orang kafir asli yang asalnya memang kafir dan tidak pernah memeluk Islam. Demikian pula orang yang murtad setelah memeluk Islam, menurut pendapat yang rajih[2].

Dalilnya adalah hadits Ibnu Umar radhiallahu anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menulis kepada penduduk Yaman, yaitu kepada al-Harits bin Abdi Kilal dan yang bersamanya dari kalangan Ma’afir dan Hamdan,

عَلَى الْمُؤْمِنِينَ فِي صَدَقَةِ الثِّمَارِ أَوْ مَالِ الْعَقَارِ عُشْرٌ مَا سَقَتِ الْعَينُ وَمَا سَقَتِ السَّمَاءِ, وَعَلَى مَا يُسْقَى بِالْغَرْبِ نِصْفُ الْعُشْرِ.

“Wajib atas kaum mukminin untuk membayar sepersepuluh untuk zakat buah-buahan atau hasil pertanian yang diairi dengan mata air atau air hujan, dan seperdua puluh untuk yang diairi dengan al-gharb (timba besar yang terbuat dari kulit sapi).” (HR. Ibnu Abi Syaibah dan al-Baihaqi, dinyatakan sahih oleh Imam al-Albani rahimahullah menurut syarat al-Bukhari dan Muslim dalam ash-Shahihah, hlm. 142)

Baca juga: Zakat Biji-Bijian dan Buah-Buahan

Imam al-Baihaqi rahimahullah berkata setelah meriwayatkannya, “Hadits ini seakan menunjukkan bahwa zakat tidak dipungut dari ahludz dzimmah (orang kafir yang hidup di di wilayah muslimin, -red.).”

Syaikh al-Albani rahimahullah dalam ash-Shahihah menegaskan,

“Sesungguhnya siapa pun yang mempelajari sirah (perjalanan hidup) Nabi shallallahu alaihi wa sallam, sejarah Khulafaur Rasyidin, dan khalifah-khalifah serta penguasa-penguasa kaum muslimin, akan mengetahui dengan pasti bahwa mereka tidakl memungut zakat dari selain dari kaum muslimin setempat. Sesungguhnya mereka hanyalah memungut jizyah (upeti) dari ahludz dzimmah sebagaimana yang ditegaskan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah.”

An-Nawawi rahimahullah dalam al-Majmu’ (5/299) dan Ibnu Qudamah rahimahullah dalam al-Mughni (2/390) menyatakan bahwa tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hal ini, walhamdulillah.

Zakat hanya diwajibkan atas kaum muslimin karena zakat bertujuan untuk membersihkan pemilik harta yang terkena zakat. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

خُذۡ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمۡ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيۡهِمۡۖ إِنَّ صَلَوٰتَكَ سَكَنٌ لَّهُمۡۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Hendaklah engkau (wahai Muhammad) mengambil zakat dari harta-harta mereka yang dengannya engkau membersihkan mereka dari dosa dan memperbaiki keadaan mereka, serta bershalawatlah untuk mereka.” (at-Taubah: 103)

Baca juga: Doa untuk Pembayar Zakat

Sementara itu, orang kafir adalah najis dengan kekufurannya sehingga tidak ada manfaatnya dibersihkan. Al-Allamah Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam asy-Syarhul Mumti’ (6/19) mengatakan, “Orang kafir najis. Meskipun dicuci dengan air laut seluruhnya dan emas sepenuh bumi, dia tidak akan menjadi suci hingga bertobat dari kekufurannya.”

  1. Merdeka (bukan budak)

Zakat mal tidak wajib atas diri seorang budak sahaya karena seorang budak tidak punya hak milik. Diri seorang budak serta hartanya adalah milik tuannya.

Dalil yang menunjukkan hal ini hadits Ibnu Umar radhiallahu anhuma,

مَنِ ابْتَاعَ عَبْدًا وَلَهُ مَالٌ فَمَالُهُ لِلَّذِى بَاعَهُ إِلاَّ أَنْ يَشْتَرِطَ الْـمُبْتَاعُ

“Barang siapa membeli seorang budak dan pada budak itu ada harta, maka hartanya untuk (tuan) yang menjualnya, kecuali jika pembelinya mempersyaratkan (bahwa hartanya untuk dirinya).” (HR. al-Bukhari no. 2379, dan Muslim no. 1543)

  1. Harta yang dimiliki mencapai nisab

Nisab adalah kadar/nilai tertentu yang ditetapkan dalam syariat sebagai batas minimal suatu harta terkena kewajiban zakat. Nisab berbeda-beda pada setiap harta yang terkena zakat. Jika seseorang memiliki harta yang nilainya tidak mencapai nisab, hartanya tidak terkena zakat.

Di antara dalil yang menunjukkan syarat ini adalah hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu anhu,

لَيْسَ فِيمَا دُوْنَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ، وَلاَ فِيْمَا دُوْنَ خَمْسِ ذَوْدٍ صَدَقَةٌ، وَلاَ فِيْمَا دُوْنَ خَمْسِ أَوَاقٍ صَدَقَةٌ

“Tidak ada zakat pada hasil tanaman yang takarannya kurang dari lima wasaq. Juga tidak ada zakat pada unta yang jumlahnya kurang dari lima ekor. Tidak ada pula zakat pada perak yang beratnya kurang dari lima uqiyah.” (HR. al-Bukhari, no. 1447, 1484, dan Muslim, no. 979)

Baca juga: Zakat Hewan Ternak
  1. Harta telah dimiliki secara tetap

Harta yang belum dimiliki secara tetap tidaklah terkena zakat. Contohnya, sewa rumah sebelum berakhirnya batas waktu penyewaan. Meskipun (uang) sewa rumah itu telah menjadi hak miliknya dengan terjadinya akad sewa, tetapi dia belum memilikinya secara utuh. Sebab, bisa saja rumah itu terkena musibah dan runtuh sehingga akad sewa batal dan (uang) sewanya kembali kepada pemiliknya semula (penyewa, -red.).

Baca juga: Adab Jual Beli
  1. Sempurnanya haul

Haul adalah masa satu tahun yang harus dilewati oleh nisab harta tertentu tanpa berkurang dari nisab hingga akhir tahun.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنِ اسْتَفَادَ مَالاً فَلاَ زَكَاةَ عَلَيْهِ حَتَّى يَحُوْلَ عَلَيْهِ الْـحَوْلُ

“Barang siapa menghasilkan harta, tidak ada kewajiban zakat pada harta itu hingga berlalu atasnya waktu satu tahun.”

Hadits ini diriwayatkan oleh beberapa sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, yaitu Ali bin Abi Thalib, Ibnu Umar, Anas, dan Aisyah radhiallahu anhum. Pada setiap riwayat tersebut ada kelemahan, tetapi gabungan seluruh riwayat tersebut saling menguatkan sehingga merupakan hujah. Bahkan, al-Albani rahimahullah menyatakan bahwa ada satu jalan riwayat yang sahih sehingga beliau menilai sahih hadits ini.

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan dalam al-Mughni (2/392), “Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam hal persyaratan haul.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa (25/14) menjelaskan,

“Sempurnanya haul merupakan syarat wajibnya zakat pada hewan ternak dan emas[3]. Sebagaimana halnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengirim amil (petugas resmi pemerintah) untuk memungut zakat setiap tahun. Kemudian para khalifah setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengamalkan persyaratan haul ini pada hewan ternak dan emas[4] berdasarkan pengetahuan mereka bahwa hal ini adalah Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Baca juga: Jenis-Jenis Harta yang Diperselisihkan Zakatnya

Imam Malik rahimahullah meriwayatkan dalam Muwaththa’ dari Abu Bakr ash-Shiddiq, Utsman bin Affan, dan Abdullah bin Umar radhiallahu anhum bahwa mereka berkata, ‘Bulan ini adalah bulan zakat kalian’, dan mereka mengatakan, ‘Tidak ada zakat pada suatu harta hingga sempurna haulnya.’

Abu Umar Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata, ‘Hal ini telah diriwayatkan dari Ali dan Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhuma’.”[5]

Perhitungan haul ini menurut tahun Hijriah dan bulan Qamariah yang jumlahnya 12 (dua belas) bulan dari Muharram sampai Dzulhijjah, bukan menurut tahun Masehi dan bulan-bulan selain bulan Qamariah. Hal ini ditegaskan oleh Ibnu Hazm rahimahullah dalam al-Muhalla (hlm. 670) dan al-Lajnah ad-Daimah dalam Fatawa al-Lajnah (9/200).

Ibnu Qudamah rahimahullah mengingatkan dalam al-Mughni (2/440) bahwa kekurangan satu jam, dua jam, atau semisalnya dari haul dianggap tidak berpengaruh. Sebab, jangka waktu semisal itu termasuk sangat singkat dibandingkan dengan jangka waktu setahun.

Baca juga: Zakat Uang

Namun, ada beberapa jenis harta yang tidak dipersyaratkan haul, yaitu hasil tanaman (biji dan buah), anak hewan ternak, dan laba harta perdagangan[6]. Hasil tanaman wajib dikeluarkan zakatnya jika mencapai nisab pada saat dipanen meskipun usianya hanya enam bulan. Hewan ternak wajib dikeluarkan zakatnya bersama induknya jika induknya mencapai nisab, berdasarkan perhitungan haul induknya. Laba harta perdagangan wajib dikeluarkan zakatnya bersama modalnya jika modalnya mencapai nisab, menurut perhitungan haul modalnya.

Sebagai contoh aplikasi syarat-syarat tersebut, kami sebutkan di sini beberapa permasalahan.

  1. Jika nisab yang dimiliki berkurang di tengah periode haul, haulnya terputus dan harta tersebut tidak terkena kewajiban zakat.

Dalam hal ini tidak ada perbedaan apakah berkurang karena digunakan, dihibahkan, dijual, dicuri, atau sebab-sebab lainnya. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama.

  1. Jika nisab yang ada seluruhnya dijual atau ditukar dengan nisab dari jenis harta yang lain, haulnya terputus.

Dia memulai perhitungan nisab harta yang baru dimilikinya sejak membelinya (jika jumlah kambing tersebut mencapai 40 ekor). Contohnya, seseorang membeli sekawanan domba yang jumlahnya mencapai nisab dengan nisab emas yang dimilikinya. Haul emas itu terputus dan dia memulai menghitung haul nisab domba yang baru dimilikinya sejak membelinya.

Demikian pula halnya jika seseorang menukar nisab emas yang dimilikinya dengan nisab perak atau sebaliknya, menurut pendapat yang rajih (terkuat) bahwa emas dan perak merupakan dua jenis harta zakat yang berbeda.

Namun, apabila seseorang secara sengaja melakukan sesuatu yang mengakibatkan berkurangnya nisab atau menukar/menjual nisab yang ada dengan jenis harta yang lain dengan maksud untuk menghindari kewajiban zakat, kewajiban zakat atas hartanya tersebut tidak gugur menurut pendapat yang rajih. Sebab dia melakukan hal itu sebagai rekayasa untuk menghindar dari kewajiban zakat.

Sementara itu, rekayasa untuk menghindari kewajiban tidaklah menggugurkan kewajibannya. Sebagaimana halnya rekayasa untuk menghalalkan sesuatu yang haram tidaklah menjadikannya halal, berdasarkan hadits,

لاَ تَرْتَكِبُوْا مَا ارْتَكَبَ الْيَهُوْدُ، فَتَرْتَكِبُوْا مَحَارِمَ اللهِ بِأَدْنَى الْحِيَلِ

“Janganlah kalian menempuh apa yang ditempuh oleh orang-orang Yahudi sehingga kalian melakukan apa yang diharamkan oleh Allah dengan rekayasa sekecil apa pun.” (HR. Ibnu Baththah pada Juz al-Khal’i wa Ibthal al-Hiyal, sanadnya dihukumi jayyid [bagus] oleh Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir Ibnu Katsir [tafsir surah al-Baqarah: 66], dan dibenarkan oleh al-Albani rahimahullah dalam adh-Dha’ifah [1/493])

Baca juga: Makar dan Tipu Daya Ahlul Kitab

Sebab, yang diperhitungkan adalah niat sebagaimana hadits,

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Hanyalah sesungguhnya setiap amalan itu dengan niat dan setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai niatnya.” (Muttafaqun alaih dari Umar radhiallahu anhu)

Contohnya, seseorang memiliki nisab emas yang sedang berjalan haulnya. Kemudian dengan emas itu dia membeli tanah untuk disewakan agar terputus haulnya dan terhindar dari kewajiban zakat. Dalam masalah ini, dia tetap terkena kewajiban zakat. Caranya, setiap tahun tanah itu dinilai harganya dengan emas untuk dikeluarkan zakatnya dalam bentuk emas atau uang.

  1. Jika nisab yang dimilikinya dijual atau ditukar dengan nisab yang sejenis, haulnya tidak terputus dan tetap berlanjut perhitungannya pada hartanya yang baru.

Hal ini menurut pendapat fuqaha mazhab Hambali, berbeda dengan pendapat fuqaha mazhab Syafi’i yang mengatakan haulnya terputus.

Contohnya, seorang wanita menukar nisab perhiasan emas yang dimilikinya dengan nisab perhiasan emas yang lain[7]. Dalam masalah ini, perhitungan haul nisab emas yang pertama tidak terputus dan tetap berlanjut pada nisab emas berikutnya.

  1. Jika seseorang meninggal sebelum haul dari nisab yang dimilikinya sempurna, perhitungan haulnya terputus dan harta tersebut tidak terkena kewajiban zakat.

Sebab, pemiliknya meninggal sebelum haulnya sempurna dan harta tersebut secara otomatis berpindah ke tangan ahli waris. Setelah menjadi milik ahli waris, jika harta yang diwarisi oleh seorang ahli waris mencapai nisab, dia mulai menghitung haulnya sejak hari kematian yang mewariskan harta tersebut.

  1. Jika harta yang dimiliki seorang muslim mencapai nisab dan sedang berjalan haulnya, tetapi dia murtad sebelum haulnya sempurna, haulnya terputus dan harta tersebut tidak terkena kewajiban zakat[8].

Jika dia bertobat, dia memulai kembali perhitungan haul harta tersebut dari awal keislamannya.

Wallahu a’lam.


Catatan Kaki

[1] Nisab merupakan faktor penyebab wajibnya zakat pada harta (dalam bentuk kadar tertentu dari harta). (-pen.)

[2] Maksudnya adalah seorang yang murtad sebelum terkena kewajiban zakat. Dalam permasalahan ini ada tiga pendapat. Pendapat yang rajih (kuat), dia tidak terkena kewajiban zakat selama statusnya murtad. Sebab, hak kepemilikan hartanya gugur secara otomatis akibat kemurtadannya. (al-Majmu’ 5/300)

Adapun seorang muslim yang telah terkena kewajiban zakat kemudian murtad, maka kewajiban zakat yang telah mengenai dirinya tidak gugur dan tetap wajib dibayarkan. Sebab, zakat tersebut adalah hak ahli zakat (yang berhak menerima zakat) yang harus diberikan kepada mereka. Sementara itu, tidak mungkin zakat itu dimasukkan ke dalam baitulmal yang akan disalurkan untuk maslahat/kepentingan umum yang meliputi maslahat/kepentingan ahli zakat dan selainnya. Hal ini menurut pendapat yang rajih, yang dipilih oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah. Lihat al-Majmu’ (5/299-300) dan asy-Syarhul Mumti’ (6/196-197). (-pen.)

[3] Demikian pula perak. (-pen.)

[4] Lihat catatan kaki no. 5. (-pen.)

[5] Atsar Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Abdullah bin Ahmad dalam Zawaid Musnad Ahmad. (Irwa’ al-Ghalil 3/255—256, -pen.)

[6] Menurut pendapat yang mengatakan adanya zakat pada harta perdagangan. Kami lebih condong pada pendapat yang mengatakan tidak adanya zakat harta perdagangan, sebagaimana telah kami bahas dengan pembahasan singkat pada majalah Asy Syariah Vo. IV/No. 45/1429 H/2008 rubrik “Problema Anda”. (-pen.)

[7] Tentu saja harus sama beratnya meskipun berbeda mutu. Jika berbeda beratnya, selisihnya adalah riba. (-pen.)

[8] Lihat kembali catatan kaki no. 4. (-pen.)

Ditulis oleh Ustadz Abu Abdillah Muhammad al-Makassari