Keimanan tukang-tukang sihir itu bukannya membuat bangsa Qibthi beriman, melainkan semakin dendam dan jauh dari al-haq. Fir’aun sendiri semakin bertambah kekafiran dan keingkarannya.
Para pembesar kerajaan Fir’aun menghasut Fir’aun agar menghancurkan bani Israil. Allah Subhanahu wata’ala berfirman menceritakan makar mereka,
وَقَالَ الْمَلَاُ مِنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ اَتَدَرُمُوْسٰى وَقَوْمَهُ لِيُفْسِدُوا فِى الْاَرْضِ وَيَذَرَكَ وَاٰلِهَتَكَ ۗ قَالَ سَنُقَتِّلُ اَبْنَآءَهُمْ وَنَسْتَحْيِى نِسَآءَهُمْ ۚ وَاِنَّا فَوْقَهُمْ قَاهِرُوْنَ
“Berkatalah pembesar-pembesar dari kaum Fir’aun (kepada Fir’aun), “Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya untuk membuat kerusakan di negeri ini (Mesir) serta meninggalkan kamu dan sesembahanmu?” Fir’aun menjawab“, Akan kita bunuh anak-anak lelaki mereka dan kita biarkan hidup perempuan-perempuan mereka; dan sesungguhnya kita berkuasa penuh di atas mereka.” (al-A’raf: 127)
Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wata’ala menerangkan bahwa dengan tindakan kejamnya itu, Fir’aun merasa aman dari bani Israil. Bangsa Qibthi (pribumi Mesir) tidak akan terancam dengan berkurangnya jumlah bani Israil, lebih-lebih lagi yang tersisa adalah kaum wanita dan orang-orang yang lemah, sehingga mudah untuk menindas mereka.
Demikianlah. Dalam keadaan diselimuti oleh ketakutan itu, bani Israil dibimbing oleh Nabi Musa alaihis salam agar semakin dekat kepada Allah Subhanahu wata’ala, merendahkan diri, dan selalu meminta pertolongan kepada-Nya dengan shalat dan sabar.
Akhirnya, Allah Subhanahu wata’ala mengirim hujan yang sangat lebat hingga menenggelamkan tanaman dan sawah ladang mereka, kemudian belalang yang memakan tanaman dan buah-buahan mereka. Hilang azab yang satu, datang azab berikutnya. Muncullah darah yang memenuhi rumah-rumah mereka. Air yang mereka timba dari sungai Nil tidak lagi jernih, tetapi berubah menjadi darah. Setelah itu, datang katak yang mengisi bejana dan perabotan mereka, bahkan setiap kali mereka membuka tutup makanan mereka, yang ada adalah katak.
Semua itu tidak mengenai bani Israil sama sekali.
Setiap datang bencana yang sangat buruk ini, orang-orang kafir itu datang menemui Nabi Musa ‘alaihis salam dan meminta agar Nabi Musa ‘alaihis salam berdoa kepada Allah Subhanahu wata’ala supaya bencana itu dijauhkan dari mereka. Nabi Musa ‘alaihis salam memenuhi permintaan mereka dengan harapan mereka mau beriman. Berulang-ulang mereka meminta agar diselamatkan, dan berulang-ulang pula Nabi Musa ‘alaihis salam berdoa, tetapi mereka tidak juga beriman.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَلَمَّ وَقَعَ عَلَيْهِمُ الرِّجْزُ قَالُوْا يَا مُوْسَى ادْعُ لَنَارَبَّكَ بِمَا عَهِدَ عِنْدَكَ ۚ لَئِنْ كَشَفْتَ عَنَّا الرِّجْزَ لَنُؤْ مِنَنَّ لَكَ وَلَنُرْسِلَنَّ مَعَكَ بَنِى اِسْرَا ءِيْلَ فَلَمَّ كَشَفْنَا عَنْهُمُ الرِّجْزَ اِلٰى اَجَلٍ هُمْ بَالِغُوهُ اِذَا هُمْ يَنْكُثُوْن فَانْتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَاَ غْرَقْنَا هُمْ فِي الْيَمِّ بِاَنَّهُمْ كَذَّبُوْا بِاٰيَاتِنَاوَكَانُوْا عَنْحهَا غَافِلِيْنَ
“Dan ketika mereka ditimpa oleh azab (yang telah diterangkan itu) mereka pun berkata, “Hai Musa, mohonkanlah untuk kami kepada Rabbmu dengan (perantaraan) kenabian yang diketahui oleh Allah ada pada sisimu. Sesungguhnya jika kamu dapat menghilangkan azab itu dan pada kami, pasti kami akan beriman kepadamu dan akan kami biarkan bani Israil pergi bersamamu.” Setelah Kami hilangkan azab itu dari mereka hingga batas waktu yang mereka sampai kepadanya, tiba-tiba mereka mengingkarinya. Kemudian Kami menghukum mereka, maka Kami tenggelamkan mereka di laut disebabkan mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka adalah orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami itu.” (al-A’raf: 134-136)
Itulah Fir’aun dan pengikutnya. Setiap datang ayat Allah Subhanahu wata’ala kepada mereka, semakin bertambah keingkaran mereka. Akhirnya, Allah Subhanahu wata’ala menghukum mereka dengan menenggelamkan mereka semua di Laut Merah.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
فَلَمَّآ اٰسِفُوْ نَا انْتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَاَغْرَقْنَاهُمْ اَجْمَعِيْنَ فَجَعَلْنَا هُمْ سَلَفً وَمَثَلاً لِلْاٰ خِرِيْنَ
“Tatkala mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka lalu Kami tenggelamkan mereka semuanya (dilaut), dan Kami jadikan mereka sebagai pelajaran dan contoh bagi orang-orang yang kemudian.” (az-Zukhruf : 55-56)
Kejadian yang mereka alami itu diceritakan oleh Allah Subhanahu wata’ala Yang Maha Benar perkataan-Nya, agar orang-orang yang mau mengambil pelajaran dan nasihat menjadikan keadaan mereka sebagai pelajaran dan nasihat, lalu menjaga dirinya dengan menaati Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya ‘alaihis salam.
Asiah dan Masyithah
Kemurkaan dan dendam Fir’aun semakin memuncak, lebih-lebih lagi setelah mengetahui pula istrinya Asiah bintu Muzahim beriman kepada bekas anak angkatnya, Musa bin ‘Imran ‘alaihumas salam. Setiap hari Asiah dijemur di bawah terik matahari. Tetapi, setiap kali dia ditinggal sendirian oleh Fir’aun, para malaikat datang menaunginya dengan sayap-sayap mereka.
Akhirnya, Fir’aun memerintahkan prajuritnya mencari batu besar untuk dilemparkan ke tubuh Asiah yang sedang dijemur.
“Tanyai dia, kalau dia tetap beriman, lemparkan batu itu ke tubuhnya. Kalau dia menarik ucapannya, dia adalah istriku.”
Asiah tetap berpegang dengan keimanannya. Fir’aun dan beberapa pembesarnya melihat ke arahnya yang tersenyum. Mereka terheran-heran, “Dia sudah gila rupanya. Kita menyiksa dia dengan hebat, dia malah tersenyum.”
Ahli tafsir menyebutkan bahwa Asiah tersenyum karena doanya dikabulkan Allah Subhanahu wata’ala, sebuah rumah sudah disediakan untuknya di dalam surga, dan diselamatkan dari keganasan Fir’aun dan para pengikutnya. Setelah itu, Allah Subhanahu wata’ala mencabut ruhnya, menyelamatkannya dari kekejaman Fir’aun. Batu besar yang disiapkan untuk meremukkan tubuh Asiah akhirnya dilemparkan juga, tetapi hanya menimpa seonggok jasad yang sudah kaku.
Menurut sebagian ahli tafsir, Asiah beriman karena mengetahui keimanan Masyithah, istri seorang pembesar kerajaan yang sudah beriman. Kisah Masyithah ini disebutkan dalam sebagian
kisah Isra’ Mi’raj Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, tetapi melalui jalur Hammad bin Salamah yang meriwayatkannya dari Atha’ bin Saib yang kacau hafalannya. Oleh karena itu, sebagian ulama, seperti asy-Syaikh al-Albani menganggapnya lemah, meskipun rawi lainnya tsiqah.
Masyithah adalah tukang sisir putrid Fir’aun. Suatu hari, sisir yang ada di tangannya terlepas dari tangannya. Masyithah segera menyebut nama Allah Subhanahu wata’ala. Mendengar ucapannya, putri Fir’aun bertanya, “Apakah kamu punya tuhan selain ayahku?”
“Rabbku, Rabb ayahmu, dan Rabb segala sesuatu adalah Allah Subhanahu wata’ala.”
Putri Fir’aun marah besar. Dia menampar Masyithah dan menyiksanya, lalu melaporkan keimanan Masyithah kepada ayahnya. Masyithah dibawa menghadap Fir’aun dalam keadaan sudah yakin akan menerima siksaan yang sangat kejam dari Fir’aun.
“Apakah kamu menyembah sesuatu selain aku?”
“Ya, aku menyembah Allah, Rabbmu dan Rabb segala sesuatu.”
Fir’aun pun mengikatnya dan menakuti-nakutinya dengan ular yang besar. Namun, Masyithah tidak goyah. Fir’aun jengkel dan mengancam akan menyembelih anaknya di hadapan Masyithah.
“Lakukan apa yang ingin kau lakukan,” tantang Masyithah.
Fir’aun semakin murka. Dengan bengis, satu demi satu anak Masyithah disembelih di hadapan Masyithah. Tetapi, hal itu tidak membuat Masyithah goyah, hingga Allah Subhanahu wata’ala mencabut ruhnya.
Setelah itu, Fir’aun memerintahkan pasukannya untuk membantai seluruh laki-laki, tua muda, besar, dan kecil dari kalangan bani Israil, serta membiarkan kaum wanita mereka tetap hidup.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَاَوْحَيْنَآ اِلٰى مُوْسٰ اَنْ اَسْرِ بِعِبَادِى اِنَّكُمْ مُتَّبَعُوْنَ
“Dan Kami wahyukan (perintahkan) kepadaMusa,‘Pergilah dimalam hari dengan membawa hamba-hamba-Ku (baniIsrail), karena sesungguhnya kamu sekalian akan disusuli’.” (asy-Syu’ara : 52)
Begitu Fir’aun mengetahui bahwa permukiman bani Israil sudah kosong, dia segera memerintahkan pasukannya mengejar. Seluruh pasukan kerajaan Mesir dikerahkan untuk menangkap Nabi Musa ‘alaihis salam dan bani Israil. Bergeraklah mereka meninggalkan negeri Mesir, meninggalkan sawah ladang, kebun-kebun, gudang-gudang harta, dan kemewahan.
Sementara itu, Nabi Musa dan Harun ‘alaihimas salam bersama bani Israil sudah tiba di tepi Laut Merah. Sayup-sayup sudah terdengar pula derap kaki kuda bala tentara Fir’aun. Bani Israil mulai diselimuti rasa takut yang luar biasa. Berkali-kali mereka menoleh ke belakang. Tampaklah debu mulai membubung tinggi.
Mereka berteriak kepada Nabi Musa ‘alaihis salam, “Kita tersusul. Fir’aun pasti membasmi kita sampai habis.”
“Itu tidak akan pernah terjadi,” kata Nabi Musa ‘alaihis salam dengan tenang dan mantap. (insya Allah bersambung)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits