Hadits Larangan Berpuasa Setelah Pertengahan Sya’ban

Ada sebuah hadits yang berbunyi,

إِذَا كَانَ النِّصْفُ مِنْ شَعْبَانَ، فَأَمْسِكُوا عَنِ الصِّيَامِ حَتَّى يَدْخُلَ رَمَضَانَ

“Apabila telah masuk nisfu (pertengahan) bulan Sya’ban, berhentilah berpuasa sampai masuk bulan Ramadhan.”

Hadits Abu Hurairah ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad (2/442), Abu Dawud (no. 2337), at-Tirmidzi (no. 738), an-Nasai dalam as-Sunan al-Kubra (no. 2911), dan Ibnu Majah (no. 6151). Semuanya meriwayatkan dari sanad al-‘Alaa` bin Abdurrahman, dari ayahnya, dari Abu Hurairah radhiallahu anhu.

Sejatinya, hadits ini dinilai sahih oleh beberapa ahli hadits, seperti Imam at-Tirmidzi, Ibnu Hibban, Ibnu Hazm, Ibnu Abdil Bar, an-Nawawi, dan Syaikh al-Albani rahimahumullah. Namun, tidak sedikit juga ulama ahli hadits yang mengingkarinya dan menganggap cacat kesahihannya, di antaranya adalah

  • Abdurrahman bin Mahdi,
  • Affan bin Muslim,
  • Imam Ahmad,
  • Abu Zur’ah,
  • Yahya bin Ma’in,
  • al-Atsram,
  • an-Nasai,
  • Abu Hatim,
  • al-Khalil,
  • al-Baihaqi,
  • Ibnul Jauzi,
  • adz-Dzahabi,
  • Ibnu Rajab, dan
  • Syaikh Muqbil al-Wadi’i, rahimahumullah.
Baca juga: Menyambut Datangnya Bulan Sya’ban

Berikut ini beberapa alasan cacatnya kesahihan hadits di atas.

  1. Menyelisihi hadits-hadits yang lebih sahih yang menunjukkan disunnahkan berpuasa sepanjang bulan Sya’ban.

Hal ini sebagaimana yang dinukilkan oleh Imam Abu Dawud, beliau menyebutkan, “Dahulu Abdurrahman (ibnu Mahdi) menyampaikan hadits ini. Aku bertanya kepada Ahmad, ‘Mengapa?’ Beliau menjawab, ‘Karena menurut beliau (Ibnu Mahdi), Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyambung puasa Sya’ban dengan Ramadhan.’ Beliau juga berkata, ‘Hadits yang datang dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam berbeda dengannya’.” (Sunan Abu Dawud pada keterangan hadits no. 2337)

  1. Al-‘Alaa` bin Abdurrahman (perawi hadits ini) bersendirian meriwayatkan hadits ini dari ayahnya, dari Abu Hurairah radhiallahu anhu.

Artinya, tidak ada perawi lain yang menyertainya. Beliau adalah perawi yang shaduq (jujur), tetapi terkadang keliru dalam riwayatnya. Demikian kata al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab Taqribut Taqrib no. 5247.

Menurut para ulama hadits, apabila perawi seperti ini bersendirian dalam meriwayatkan, haditsnya dianggap gharib (asing) atau mungkar.

Setelah meriwayatkan hadits tersebut, Imam an-Nasai berkata, “Kami tidak mengetahui ada seorang pun yang meriwayatkan hadits ini selain al-‘Alaa` bin Abdurrahman.”

Imam adz-Dzahabi berkata tentang al-‘Alaa` bin Abdurrahman, “Di antara riwayat yang paling gharib adalah apa yang dia riwayatkan dari ayahnya, dari Abu Hurairah, secara marfu’,

“Apabila telah masuk setengah dari Sya’ban, janganlah kalian berpuasa.” (al-hadits) (Siyar A’lam an-Nubala, 6/187)

Baca juga: Menggabungkan Niat Puasa Qadha dan Puasa Sunnah

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Jumhur (mayoritas) ulama menganggap tetap boleh berpuasa sunnah setelah nisfu (pertengahan) Sya’ban. Mereka menilai bahwa hadits tersebut dha’if.” (Fathul Bari, 4/129)

Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata, “Kebanyakan ulama berpendapat bahwa hadits tersebut tidak diamalkan.” (Lathaiful Ma’arif 259)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Adapun yang berpuasa Sya’ban dari awal bulan, ulama bersepakat bahwa yang demikian itu tidak makruh. Yang tampak (bagiku), tidak mengapa untuk tetap berpuasa walaupun setelah nisfu Sya’ban.” (Syarah Bulughul Maram)

Pembahasan hadits ini dan fikihnya secara lebih terperinci, silakan membaca tulisan Syaikh Abu Yusuf Musthafa bin Muhammad Mubram hafizhahullah yang berjudul Fathur Rahman bi Takhrij Hadits Idza Intashafa Sya’ban.

Wallahu a’lam bish-shawab.

(Ustadz Abu Ishaq Abdullah Nahar)