Sepasang suami-istri bercerai, sementara mereka memiliki dua anak yang masih balita. Ketika awal perceraian, kedua anak tersebut mengikuti ibunya. Namun sekarang ayahnya ingin mengambil keduanya untuk diasuhnya. Pertanyaan kami: di dalam syariat Islam, siapa sebenarnya yang lebih berhak terhadap dua anak tersebut, ibunya ataukah ayahnya? Apakah ada syarat yang ditetapkan bagi pihak yang mengasuh anak tersebut? Jazakumullah khairan atas jawabannya.
(Ummu Fulan di bumi Allah)
Jawab:
Istri (ibu) adalah pihak yang paling berhak untuk mengasuh anaknya yang masih kecil apabila ia berpisah dengan suaminya. Namun sang ibu harus memenuhi beberapa syarat seperti yang ditetapkan oleh fuqaha. Bila si ibu tidak memiliki syarat yang telah ditentukan tersebut maka gugurlah haknya untuk mengasuh anaknya. Adapun syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut:
- Beragama Islam, tidak boleh ibu yang kafir diserahi pengasuhan anak
- Berakal
- Baligh
- Mampu untuk mendidik dan mengurusi anak tersebut
- Belum menikah lagi dengan pria lain (Zadul Ma’ad, 4/132)
Dari kasus yang ditanyakan di atas, maka yang berhak mengasuh anak tersebut adalah ibunya selama ia belum menikah atau memenuhi syarat-syarat di atas.
Ketika ada seorang wanita mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, dulunya perutku menjadi tempat tinggal bagi anakku ini. Air susuku menjadi minumannya, dan pangkuanku menjadi tempat meringkuknya. Ayah anak ini kemudian menceraikan aku dan dia ingin merebut anak ini dariku.”
Mendengar pengaduan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي
“Engkau lebih berhak terhadap anak ini selama engkau belum menikah.” (HR. Ahmad 2/182, Abu Dawud no. 2276, dan selainnya. Dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam al-Irwa’ no. 2187)
Al-Imam ash-Shan’ani rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan apabila si ibu menikah, gugurlah haknya untuk mengasuh anaknya. Demikian pendapat jumhur ulama.”
Ibnul Mundzir berkata, “Telah sepakat ulama yang kami hafal dari mereka akan hal ini.” Beliau rahimahullah juga menyinggung kedudukan hadits ini, bahwasanya hadits ini diterima dan diamalkan oleh para imam, seperti al-Bukhari, Ahmad, Ibnul Madini, al-Humaidi, Ishaq bin Rahuyah, dan semisal mereka, sehingga tidak perlu menoleh pada orang yang menganggap hadits ini cacat. (Subulus Salam, 3/353—354)
Demikian pula jawaban yang diberikan asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy-Syaikh rahimahullah dalam Fatawa wa Rasa’il Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh (11/219), sebagaimana dinukilkan dalam Fatawa al-Mar’ah (2/874).
Wallahu a’lam.