Hukum Tidak Menunaikan Shalat karena Malas

Hukum Tidak Menunaikan Shalat karena Malas

Pertanyaan:

Apa hukum orang yang melalaikan shalat lima waktu karena malas padahal dia meyakini wajibnya?

Dijawab oleh Ustadz Abu Abdillah Muhammad Sarbini

Orang yang meyakini wajibnya shalat lima waktu tetapi melalaikannya karena bermalas-malasan berarti dia telah melakukan kefasikan. Berdasarkan dalil-dalil, dia disifati sebagai kekafiran dan wajib diperangi oleh pemerintah agar mau shalat.

Dalam memahami dalil-dalil itu, terdapat perbedaan pendapat di antara ulama; apakah ia menyandang kekafiran yang besar (kufrul akbar) yang menjadikannya kafir/murtad sehingga pantas dihukum mati ataukah hanya kefasikan sehingga hukuman mati yang diterimanya dianggap sebagai hukum had atas kefasikannya?

Baca juga: Perselisihan dan Adabnya
  1. Ada yang berpendapat bahwa vonis hukuman mati diperoleh karena kekafiran besar yang disandangnya. Ia berstatus kafir/murtad dan kekal di neraka.

Ini salah satu riwayat dari Ahmad yang dipilih oleh mayoritas fuqaha mazhab Hanbali dan menjadi pegangan dalam mazhab Hanbali. Ini juga merupakan salah satu pendapat dalam mazhab Syafi’i yang dianut oleh sebagaian fuqaha mazhab Syafi’i.

Pendapat ini yang difatwakan oleh Ibnu Utsaimin, al-Lajnah ad-Da’imah yang diketuai oleh Ibnu Baz, dan guru besar kami, Muqbil al-Wadi’i.

Mereka berdalil dengan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

a. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَإِن تَابُواْ وَأَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَوُاْ ٱلزَّكَوٰةَ فَإِخۡوَٰنُكُمۡ فِي ٱلدِّينِۗ  

“Apabila mereka bertobat dan menegakkan shalat serta membayar zakat, mereka adalah saudara-saudara kalian seagama.” (at-Taubah: 11)

Ayat ini menunjukkan bahwa seorang kafir/musyrik kendati telah bertobat dari syirik, ia tidak akan menjadi saudara seiman dan seagama sampai dia bershalat dan membayar zakat. Ini menunjukkan bahwa meninggalkan shalat lima waktu adalah kekafiran.

b. Hadits Ubadah bin ash-Shamit radhiallahu anhu, ia berkata,

دَعَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ، فَكَانَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ. قَالَ: إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memanggil kami lalu kami membaiatnya. Di antara isi baiat beliau adalah kami wajib mendengar dan taat kepada penguasa dalam keadaan semangat, tidak suka, sulit, mudah, mereka mengutamakan kepentingan mereka atas kami, dan kami tidak boleh merebut kekuasaan dari pemiliknya.

Beliau shallallahu alaihi wa sallam berkata, ‘Kecuali kalian melihat kekafiran yang nyata pada mereka yang menjadikan kalian memiliki hujah di sisi Allah dalam memerangi mereka.” (Muttafaq alaih)

Baca juga: Menyikapi Penguasa Yang Kejam

Hadits ini bersama hadits Ummul Mukminin, Ummu Salamah radhiallahu anha, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّهُ يُسْتَعْمَلُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ، فَمَنْ كَرِهَ فَقَدْ بَرِئَ، وَمَنْ أَنْكَرَ فَقَدْ سَلِمَ، وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَا نُقَاتِلُهُمْ؟ قَالَ: لَا مَا صَلَّوْا.

“Sesungguhnya diangkat amir-amir atas kalian. Lantas kalian mendapati mereka mengerjakan amalan makruf dan mungkar. Barang siapa membencinya, sungguh ia telah lepas dari dosa. Barang siapa mengingkari, sungguh ia telah selamat dari dosa. Akan tetapi, barang siapa ridha dan mengikuti, (dialah yang tercela).

Mereka berkata, ‘Apakah tidak boleh kami memerangi mereka?’

Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkata, ‘Tidak, selama mereka masih shalat’.” (HR. Muslim)

Kedua hadits ini menunjukkan bahwa meninggalkan shalat adalah kekafiran nyata yang menjadikan darah mereka halal untuk diperangi dan dibunuh.

Baca juga: Larangan Memberontak kepada Pemerintah Muslim

c. Hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu anhuma, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلَاةِ

“Antara seseorang dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim)

d. Hadits Buraidah bin al-Hushaib, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

الْعَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

“Perjanjian antara kami dan mereka adalah shalat. Barang siapa meninggalkannya, sungguh ia telah kafir.” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nasai, Ibnu Majah, al-Hakim, dan lainnya)

Hadits ini dinilai sahih oleh al-Albani dalam al-Jami’ ash-Shahih (no. 4143) dan beliau mengatakan dalam takhrij kitab al-Iman karya Ibnu Abi Syaibah (hlm. 15), “Sanadnya sahih menurut syarat Muslim.”

Kata Muqbil al-Wadi’i dalam al-Jami’ ash-Shahih min Ma Laisa fi ash-Shahihain (3/71—72), “Sahih menurut syarat Muslim.”

e. Abdullah bin Syaqiq al-Uqaili rahimahullah berkata,

كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَرَوْنَ شَيْئًا مِنْ الْأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلَاةِ

“Para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak melihat suatu amalan yang menyebabkan kekafiran jika ditinggalkan selain shalat.” (HR. at-Tirmidzi dalam Sunan at-Tirmidzi, “Kitab al-Iman” no. 2622; dinilai sahih oleh al-Albani)

Yang memilih pendapat ini, berbeda pandangan mengenai kriteria shalat lima waktu yang ditinggalkannya untuk divonis kafir dan hukuman mati apabila ia bersikeras dengan perbuatannya. Ada yang berpendapat meninggalkan satu shalat, ada yang berpendapat tiga shalat, dan pendapat lainnya.

Ibnu Utsaimin rahimahullah berpendapat, ia tidak dikafirkan sampai meninggalkan shalat lima waktu selamanya—termasuk shalat Jumat—dan tidak pernah shalat sama sekali. Ini yang terkuat dari seluruh pendapat sebelumnya.

Namun, perlu diketahui bahwa riwayat yang datang dari Ahmad dalam masalah ini menunjukkan bahwa vonis tersebut diberlakukan oleh penguasa setelah mengadilinya dan mengajaknya shalat, lantas ia bersikeras dengan perbuatannya. Hal ini telah diteliti dengan saksama oleh al-Albani dari seluruh riwayat yang datang dari Ahmad.

Baca juga: Berkah Allah dalam Hukum Had

Pernyataan paling jelas dari Ahmad adalah riwayat putranya, Abdullah dalam kitab Masa’il (hlm. 55), “Aku bertanya kepada ayahku tentang orang yang meninggalkan shalat secara sengaja. Beliau menjawab, ‘Yang meninggalkan shalat lima waktu dan yang melaksanakannya di luar waktu, aku mengajak dia sampai tiga kali agar shalat. Apabila ia melaksanakan shalat, (itulah yang diharapkan darinya). Apabila ia tidak mau, ditebas lehernya (eksekusi mati), karena menurutku ia telah murtad’.”

Al-Murdawi menjelaskan maksud pernyataan Imam Ahmad tersebut dalam kitab al-Inshaf, “Yang memanggilnya menghadap untuk diadili adalah penguasa atau wakilnya. Meskipun banyak shalat yang telah ia tinggalkan sebelum dipanggil menghadap, dia tidak wajib dibunuh dan tidak dikafirkan menurut pendapat yang benar dalam mazhab Hanbali dan pilihan jumhur sahabat kami (fuqaha mazhab Hanbali); bahkan banyak dari sahabat kami yang memastikan kebenaran pendapat ini.”

  1. Ada yang berpendapat vonis hukuman mati lantaran kefasikan yang disandangnya. Ia berstatus fasik dan nasibnya tergantung kehendak Allah antara diampuni atau diazab—tetapi tidak kekal di neraka.

Ini adalah mazhab Malik, asy-Syafi’i, dan salah satu riwayat dari Ahmad[1]. Mereka adalah jumhur ulama. Ini yang dirajihkan oleh Abu Abdillah Ibnu Baththah, Ibnu Qudamah, dan al-Albani.

Asy-Syaukani juga merajihkan pendapat ini, tetapi ia menyebut pelakunya kafir, bukan fasik. Hal ini dibantah oleh al-Albani dan ia tidak setuju dengan penyematan status kafir padanya kendati disebut kekafiran.

Jumhur menilai masalah ini termasuk dalam keumuman makna firman Allah subhanahu wa ta’ala,

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُۚ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan akan mengampuni dosa yang lebih rendah itu bagi yang dikehendaki-Nya.” (an-Nisa: 48, 116)

Artinya, tidak ada sisi syirik besar padanya, berarti termasuk dalam keumuman dosa yang lebih rendah daripada syirik besar.

Baca juga: Syirik

Bahkan, terdapat sebuah hadits yang sangat gamblang menunjukkan bahwa hukumnya adalah kefasikan yang masih mungkin mendapat ampunan Allah subhanahu wa ta’ala, yaitu hadits yang dikeluarkan oleh Ahmad dan Abu Dawud sebagai berikut.

أَنَّ رَجُلًا مِنْ بَنِي كِنَانَةَ يُدْعَى الْمَخْدَجِيَّ سَمِعَ رَجُلًا بِالشَّامِ يُدْعَى أَبَا مُحَمَّدٍ يَقُولُ: إِنَّ الْوِتْرَ وَاجِبٌ. قَالَ الْمَخْدَجِيُّ: فَرُحْتُ إِلَى عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ فَأَخْبَرْتُهُ. فَقَالَ عُبَادَةُ: كَذَبَ أَبُو مُحَمَّدٍ، سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ عَلَى الْعِبَادِ، فَمَنْ جَاءَ بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ, وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ، إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ وَإِنْ شَاءَ أَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ.

Sesungguhnya seorang pria dari Bani Kinanah dipanggil al-Makhdaji telah mendengar seorang pria di negeri Syam yang dipanggil Abu Muhammad mengatakan bahwa sesungguhnya shalat witir hukumnya wajib.

Al-Makhdaji berkata, “Aku lantas pergi menemui Ubadah bin Shamit radhiallahu anhu lalu mengabarkan hal itu kepadanya.”

Kata Ubadah radhiallahu anhu, “Abu Muhammad telah berkata dusta (keliru). Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Ada lima shalat yang Allah wajibkan atas para hamba-Nya. Barang siapa mengerjakannya dan tidak melalaikan sedikit pun darinya karena meremehkannya, ada janji di sisi Allah baginya untuk dimasukkan dalam surga. Barang siapa tidak mengerjakannya, tidak ada janji masuk surga yang didapatkannya. (Nasibnya) akan diazab Allah jika Dia menghendaki atau akan masuk surga jika Allah menghendaki’.”

Hadits ini dinilai sahih oleh al-Albani dan dijadikan dalil terkuat dalam masalah ini dalam kitab ats-Tsamar al-Mustathab.

Baca juga: Wasiat untuk Pendamba Surga

Hal ini semisal dengan hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu yang menunjukkan bahwa orang yang enggan membayar zakat mal berstatus fasik, tidak kafir. Nasibnya tergantung kehendak Allah subhanahu wa ta’ala. Berikut ini teks hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu.

مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلَا فِضَّةٍ لَا يُؤَدِّي مِنْهَا حَقَّهَا إِلَّا إِذَا كَانَ يَوْمُالْقِيَامَةِ صُفِّحَتْ لَهُ صَفَائِحُ مِنْ نَارٍ، فَأُحْمِيَ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ، فَيُكْوَى بِهَا جَنْبُهُ وَجَبِينُهُ وَظَهْرُهُ، كُلَّمَا بَرَدَتْ أُعِيدَتْ لَهُ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ، حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ الْعِبَادِ فَيَرَى سَبِيلَهُ: إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلَى النَّارِ

“Tidak seorang pun dari pemilik emas dan perak yang tidak menunaikan zakatnya kecuali pada hari kiamat nanti akan dibuatkan setrika-setrika api yang dipanaskan di dalam neraka Jahannam untuknya. Lantas dia akan disetrika lambung, kening, dan punggungnya. Setiap kali setrika itu dingin kembali, diulangi lagi seperti itu dalam satu hari yang lamanya lima puluh ribu tahun kehidupan dunia, hingga selesai diadili antara seluruh hamba-hamba Allah, lantas ia mengetahui jalannya, apakah menuju surga atau menuju neraka.” (HR. Muslim)

Selain itu, ada pula hadits Abu Said al-Khudri radhiallahu anhu yang panjang tentang peristiwa yang terjadi pada hari kiamat hingga fase pemasangan jembatan di atas neraka untuk dilewati oleh orang-orang beriman. Orang-orang yang beriman terbagi menjadi tiga golongan: ada yang melewatinya dengan selamat, ada yang tersangkut pada pengait jembatan lalu dilepaskan, dan ada yang terjatuh ke dalam neraka. Kemudian kaum mukminin meminta izin kepada Allah subhanahu wa ta’ala untuk memberi syafaat bagi saudara-saudara mereka yang terjatuh ke dalam neraka.

Baca juga: Dahsyatnya Mahsyar

Rasulullah subhanahu wa ta’ala bersabda,

“Kaum mukminin berkata, ‘Wahai Rabb kami, di dunia mereka berpuasa, shalat, dan berhaji bersama kami.’

Lalu dikatakan kepada mereka, ‘Keluarkan siapa saja yang kalian kenal, neraka diharamkan membakar fisik mereka.’

Kemudian mereka mengeluarkan orang-orang yang telah masuk neraka sedalam pertengahan betisnya dan kedua lututnya dalam jumlah yang besar. Kemudian mereka berkata, ‘Wahai, Rabb kami, tidak tersisa seorang pun orang-orang yang Engkau perintahkan untuk kami keluarkan di dalam neraka.’

Lalu Allah subhanahu wa ta’ala berkata, ‘Kembalilah kalian ke neraka, siapa saja yang kalian temukan dalam kalbunya kebaikan seberat satu dinar, maka keluarkanlah.’

Kemudian mereka mengeluarkan jumlah yang besar.

Baca juga: Mengharap Syafaat pada Hari Kiamat

Kemudian mereka berkata, ‘Wahai Rabb kami, tidak kami sisakan dalam neraka seorang pun yang Engkau perintahkan.’

Lalu Allah subhanahu wa ta’ala berkata, ‘Kembalilah kalian ke neraka, siapa saja yang kalian temukan dalam kalbunya kebaikan seberat setengah dinar, maka keluarkanlah.’

Kemudian mereka mengeluarkan jumlah yang besar. Kemudian mereka berkata, ‘Wahai Rabb kami, tidak kami sisakan dalam neraka seorang pun yang Engkau perintahkan.’

Lalu Allah subhanahu wa ta’ala berkata, ‘Kembalilah kalian ke neraka, siapa saja yang kalian temukan dalam kalbunya kebaikan seberat semut terkecil, maka keluarkanlah.’

Kemudian mereka mengeluarkan jumlah yang besar. Kemudian mereka berkata, ‘Wahai Rabb kami, tidak kami sisakan dalam neraka seorang pun yang Engkau perintahkan.’

Lalu Allah subhanahu wa ta’ala berkata, ‘Para malaikat, para nabi, dan kaum mukminin telah memberi syafaat. Tidak tersisa selain Dzat yang Maha Pengasih.’

Lalu Allah subhanahu wa ta’ala menggenggam satu genggam dari neraka dan mengeluarkan dari neraka suatu kaum yang tidak pernah beramal sama sekali dengan kondisi telah hangus jadi arang. Kemudian Allah masukkan mereka ke dalam sungai yang ada di bagian depan surga, disebut sungai kehidupan. Kemudian mereka keluar darinya bagaikan tumbuhnya biji pada lumpur yang terbawa aliran air …. dst.” (Muttafaq alaih)

Kata al-Albani dalam kitab Hukmu Tarik ash-Shalah (hlm. 31),

“Pada hadits ini, terdapat banyak faedah yang agung. Di antaranya, syafaat orang-orang saleh dari kaum mukminin bagi saudara-saudara mereka yang mengerjakan shalat, yang telah dimasukkan ke dalam neraka akibat dosa-dosa mereka. Kemudian syafaat bagi selain mereka yang lebih rendah keimanannya dengan keragaman tingkat iman yang mereka miliki. Lalu Allah subhanahu wa ta’ala memberi karunia atas kaum mukminin yang tersisa dalam neraka, lantas Allah mengeluarkan mereka dari neraka tanpa amalan yang mereka kerjakan dan tanpa kebaikan yang pernah mereka persembahkan.”

Adapun dalil-dalil pendapat pertama masih mungkin dijawab sebagai berikut.

  • Jawaban atas pendalilan dengan surah at-Taubah ayat 11.

Ayat tersebut hanya menunjukkan bahwa orang kafir akan resmi menjadi saudara seiman yang terjaga darahnya dalam Islam apabila bertobat dari kekafirannya, menegakkan shalat lima waktu, dan menunaikan zakat mal.

Jika ia beriman tetapi melalaikan shalat dan menahan zakat, ia tetap diperangi dan dihalalkan darahnya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ.

“Aku diperintah memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada Rabb yang benar selain Allah dan Muhammad adalah rasul Allah, menegakkan shalat, dan membayar zakat. Apabila mereka mengerjakan hal itu, mereka telah menjaga darah dan harta mereka dariku kecuali karena hak Islam; dan perhitungan amalan mereka kembali kepada Allah.” (Muttafaq alaih dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma)

Baca juga: Menjaga Kesucian Darah Harta dan Kehormatan Sesama Muslim

Oleh karena itu, pemerintah yang tidak shalat diizinkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam untuk diperangi dan digulingkan[2] hadits Ubadah radhiallahu anhu dan hadits Ummu Salamah radhiallahu anha. Begitu pula, Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu anhu dan para sahabat memerangi orang-orang yang tidak mau menyerahkan zakat mal mereka kepada pemerintahan Abu Bakr radhiallahu anhu untuk dibagikan kepada yang berhak.

Bukti nyata bahwa ayat ini tidak menunjukkan kafirnya orang yang melalaikan shalat karena malas adalah dalil yang gamblang bahwa orang yang tidak membayar zakat mal—setelah meyakini wajibnya—tidak kafir, melainkan fasik; sebagaimana pada hadits Abu Hurairah di atas.

  • Jawaban atas pendalilan dengan hadits Jabir radhiallahu anhu.

Hadits tersebut hanya menunjukkan bahwa hal itu adalah perbuatan orang kafir atau wasilah/faktor yang sangat kuat untuk menyeret kepada kekafiran dan kesyirikan yang besar. Oleh karena itu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjadikannya sebagai batas antara seseorang dengan kekafiran dan kesyirikan.

  • Jawaban atas pendalilan dengan hadits Buraidah radhiallahu anhu.

Hadits tersebut bermakna ‘kufrun duna kufrin’ atau ‘kufrun ashghar’, yakni kekafiran kecil, bukan kekafiran akbar (besar) yang memurtadkan pelakunya dan mengekalkannya dalam neraka.

Begitu pula jawaban atas hadits Ubadah radhiallahu anhu tentang penguasa yang melakukan kekafiran yang nyata sehingga boleh diperangi.

Baca juga: Kapan Dibolehkan Memberontak?

Menurut al-Albani, tidak ada sama sekali pada hadits ini dan hadits lainnya penyematan gelar kafir bagi pelakunya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak berkata,

هُوَ كَافِرٌ

“Dia kafir.”

yang terang-terangan memvonisnya kafir.

Ada beberapa hadits sahih yang memvonis suatu dosa besar dengan kekafiran dan maksudnya adalah kekafiran kecil.

Di antaranya,

  • Hadits Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ

“Mencaci muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekafiran.” (Muttafaq alaih)

  • Hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

اثْنَتَانِ فِي النَّاسِ هُمَا بِهِمْ كُفْرٌ: الطَّعْنُ فِي النَّسَبِ وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ

“Ada dua hal di tengah-tengah manusia, keduanya adalah kekafiran pada mereka: mencela nasab dan meratapi jenazah.” (HR. Muslim)

  • Hadits Abu Dzar radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ مِنْ رَجُلٍ ادَّعَى لِغَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُهُ إِلَّا كَفَرَ

“Tidaklah seorang pria mengklaim nasabnya kepada selain ayahnya padahal dia tahu, kecuali dia telah kafir.” (Muttafaq alaih)

Baca juga: Pembatal-Pembatal Keimanan
  • Hadits Jarir radhiallahu anhu,

أَيُّمَا عَبْدٍ أَبَقَ مِنْ مَوَالِيهِ فَقَدْ كَفَرَ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَيْهِمْ

“Siapa pun budak yang melarikan diri dari tuannya, maka sungguh dia telah kafir hingga dia kembali kepada mereka.” (HR. Muslim)

  • Hadits Jarir dan Ibnu Umar radhiallahu anhuma bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ

“Janganlah kalian kembali menjadi orang-orang kafir setelahku; sebagian kalian menebas leher sebagian lainnya.” (Muttafaq alaih)

Ini pula yang menjadi jawaban atas pendalilan dengan pendapat sahabat yang memandang hal itu sebagai kekafiran.

Alhasil, tampak dari penjelasan di atas kuatnya dalil-dalil yang menunjukkan bahwa pelakunya hanya fasik. Akan tetapi, hal itu selama ia tidak diadili oleh penguasa dengan ancaman hukuman mati (eksekusi) jika bersikeras tidak mau mengerjakannya, lantas ia lebih memilih mati daripada shalat. Sebab, apabila hal itu terjadi, pada hakikatnya sulit dikatakan bahwa dia mati di atas kefasikan. Lebih tepat dikatakan bahwa ia mati di atas kemurtadan, sebagaimana pernyataan Ahmad pada riwayat putranya, Abdullah bin Ahmad yang dibawakannya dalam kitab Masa’il—yang telah kami nukil pada akhir penjelasan pendapat pertama.

Hakikatnya seperti kata al-Albani dalam kitab Hukmu Tarik ash-Shalah, “Ini adalah pernyataan yang jelas dari Ahmad bahwa sesungguhnya orang itu tidak menjadi kafir dengan semata meninggalkan shalat. Akan tetapi, sesungguhnya kekafirannya hanyalah karena ia enggan untuk shalat setelah mengetahui bahwa dirinya akan dieksekusi mati apabila ia bersikeras tidak mau shalat. Jadi, faktor yang menjadi alasan ia dibunuh ialah karena ia lebih memilih mati daripada shalat. Hal itu menunjukkan bahwa kekafirannya bersifat iktikad/keyakinan (mengingkari kewajiban shalat lima waktu), sehingga ia berhak dihukum mati.”

Keterangan al-Albani ini mengikuti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim.

  • Kata Syaikhul Islam dalam kitab Majmu’ al-Fatawa (22/48)—setelah pembahasan panjang mengenai masalah ini—,

“Apabila ia bersikeras hingga akhirnya dihukum mati, apakah ia terbunuh sebagai orang kafir yang murtad atau sebagai orang fasik seperti halnya orang-orang fasik lainnya dari kaum muslimin?

Ada dua pendapat masyhur, keduanya merupakan riwayat yang dihikayatkan dari Ahmad.

Apabila dia mengikrarkan secara batin dengan meyakini wajibnya shalat lima waktu, mustahil ia akan bersikeras meninggalkannya sampai ia harus mati dalam keadaan tidak shalat. Hal seperti ini tidak dikenal dari kalangan bani Adam dan kebiasaan mereka.

Oleh karena itu, hal ini tidak pernah terjadi sama sekali dalam Islam. Tidak diketahui seorang pun meyakini wajibnya shalat lima waktu ketika diultimatum dengan kalimat, ‘Shalatlah kamu! Jika tidak shalat, kami akan menghukummu dengan eksekusi mati,’ lantas ia bersikeras tidak mau shalat (sehingga benar-benar dieksekusi), padahal ia mengikrarkan wajibnya shalat lima waktu. Yang seperti ini tidak pernah terjadi sama sekali dalam Islam.

Ketika ia bertahan tidak mau shalat sampai akhirnya dieksekusi mati, tentulah dia tidak mengikrarkan wajibnya secara batin dan tidak pula menekuninya secara lahir. Orang semacam ini kafir menurut kesepakatan ulama, sebagaimana yang ditunjukkan oleh nas-nas yang ada dan atsar-atsar yang begitu banyak dari sahabat mengenai kekafirannya.”

  • Kata Ibnul Qayyim dalam kitab ash-Shalah,

“Termasuk hal yang mengherankan, adanya keraguan sebagian orang mengenai kekafiran orang yang bersikeras meninggalkan shalat, padahal ia telah diajak agar mengerjakannya di hadapan orang banyak. Ia melihat kilatan mata pedang siap menebas kepalanya dalam keadaan telah terikat dan ditutup kedua matanya, lantas diultimatum, ‘Kerjakan shalat! Jika tidak, kami akan membunuhmu,’ lalu ia menjawab, ‘Bunuh saja, aku tidak mau shalat selamanya’.”

Penutup

Terakhir, kami bawakan ucapan al-Albani dalam kitab ash-Shahihah,

“Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat karena malas hanyalah benar untuk dihukumi sebagai muslim, selama tidak ditemukan sesuatu yang menyingkap rahasia yang tersembunyi dalam kalbunya atau sesuatu yang menunjukkan hal itu; lantas ia mati di atas keadaan tersebut sebelum dituntut bertobat, sebagaimana realitas yang ada di zaman ini.

Adapun apabila dia diultimatum untuk memilih antara dieksekusi atau bertobat dengan kembali menekuni shalat, lantas ia lebih memilih dieksekusi, lalu ia dieksekusi karenanya; berarti ia mati kafir/murtad. Mayatnya tidak dikuburkan di perkuburan kaum muslimin dan tidak berlaku padanya hukum-hukum kaum muslimin.

Baca juga: Mempersiapkan Jenazah Menuju Alam Barzakh

Sebab, sangat tidak logis bahwa ia lebih memilih mati, apabila ia memang tidak mengingkari wajibnya shalat lima waktu dalam kalbunya. Ini mustahil terjadi dan sudah diketahui secara pasti dari tabiat insan. Penetapnya tidak perlu lagi diberi hujah.”

Inilah yang kami pilih dalam masalah ini setelah pembahasan yang panjang dan rumit.

Wallahu a’lam.

Referensi

  • al-Mughni (3/351—359, Dar ‘Alam al-Kutub),
  • al-Inshaf (1/401—403),
  • ash-Shalah wa Hukmu Tarikiha, Ibnul Qayyim,
  • asy-Syarh al-Mumti’ (2/2639),
  • Hukmu Tarik ash-Shalah, Ibnu Utsaimin,
  • Fatawa Nur ‘ala ad-Darb, Ibnu Utsaimin (124/7),
  • Fatawa al-Lajnah (2/39),
  • al-Majmu’ (3/17—20),
  • Nailul Authar (1/Kitab ash-Shalah, Bab “Hujjati Man Kaffara Tarik ash-Shalah” & “Hujjati Man lam Yukaffir Tarik ash-Shalah”),
  • ats-Tsamar al-Mustathab (hlm. 52—54),
  • Hukmu Tarikish Shalah, al-Albani, terbitan Darul Jalalaini,
  • ash-Shahihah (1/175—178), dan
  • Ijabatus Sa’il (hlm. 42—43)

Catatan Kaki

[1] Kami tidak menyebut Abu Hanifah dalam deretan mereka. Meskipun ia berpendapat fasik dan tidak kafir, tetapi ia menyelisihi mereka dengan pendapatnya bahwa pelakunya hanya dihukum penjara dan icambuk agar jera (takzir).

[2] Tentu saja dengan syarat-syarat yang telah disebutkan oleh ulama, tidak mutlak begitu saja tanpa syarat dan pertimbangan.