Menjaga Kesucian Darah Harta dan Kehormatan Sesama Muslim

Di antara perkara yang sering merusak ukhuwah Islamiah ialah sikap sebagian kita yang tidak mau memaklumi apabila saudaranya berbuat salah atau keliru. Padahal kesalahan yang dilakukan oleh seseorang itu bisa jadi karena lupa, salah paham, bodoh, karena belum tahu ilmunya, atau karena terpaksa.

Sikap pukul rata (gebyah uyah) ini banyak terjadi di kalangan kaum muslimin, bahkan juga di kalangan Ahlus Sunnah. Ketika ada orang yang berbuat salah, tidak dinasihati atau diingatkan, tetapi justru dihadapi dengan sikap permusuhan. Terkadang digelari dengan sebutan-sebutan yang jelek atau malah ia dijauhkan dari kaum muslimin.

Sikap yang lebih ekstrem dalam masalah ini adalah apa yang ditunjukkan kelompok Khawarij. Mereka lebih tidak bisa melihat saudaranya yang berbuat kesalahan. Orang yang terjatuh dalam perbuatan dosa, dalam pandangan mereka, telah terjatuh dalam kekafiran hingga halal darah dan hartanya.

Baca juga: Bila Pengkafiran Menjadi Sebuah Fenomena

Kondisi ini tentu akan bermuara pada pecahnya ukhuwah di kalangan umat Islam. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

“Tidak boleh mengafirkan seorang muslim dengan sebab dosa atau kesalahan yang ia kerjakan, selama ia masih menjadi ahlul qiblat (masih shalat). Seperti dalam masalah-masalah yang masih diperselisihkan kaum muslimin; mereka memegang suatu pendapat yang kita anggap salah, maka tidak bisa kita mengafirkannya. Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala memberi uzur kepada mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

ءَامَنَ ٱلرَّسُولُ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيۡهِ مِن رَّبِّهِۦ وَٱلۡمُؤۡمِنُونَۚ كُلٌّ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَمَلَٰٓئِكَتِهِۦ وَكُتُبِهِۦ وَرُسُلِهِۦ لَا نُفَرِّقُ بَيۡنَ أَحَدٍ مِّن رُّسُلِهِۦۚ وَقَالُواْ سَمِعۡنَا وَأَطَعۡنَاۖ غُفۡرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيۡكَ ٱلۡمَصِيرُ٢٨٥ لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ لَهَا مَا كَسَبَتۡ وَعَلَيۡهَا مَا ٱكۡتَسَبَتۡۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذۡنَآ إِن نَّسِينَآ أَوۡ أَخۡطَأۡنَاۚ رَبَّنَا وَلَا تَحۡمِلۡ عَلَيۡنَآ إِصۡرًا كَمَا حَمَلۡتَهُۥ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِنَاۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلۡنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِۦۖ وَٱعۡفُ عَنَّا وَٱغۡفِرۡ لَنَا وَٱرۡحَمۡنَآۚ أَنتَ مَوۡلَىٰنَا فَٱنصُرۡنَا عَلَى ٱلۡقَوۡمِ ٱلۡكَٰفِرِينَ

“Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Rabb mereka, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan), ‘Kami tidak membeda-bedakan antara seorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya.’ Dan mereka mengatakan, ‘Kami dengar dan kami taat’. (Mereka berdoa), ‘Ampunilah kami ya Rabb kami dan kepada Engkau-lah tempat kembali.’

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa), ‘Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami pikul. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir’.” (al-Baqarah: 285—286)

Baca juga: Khawarij, Kelompok Sesat Pertama dalam Islam

Disebutkan dalam riwayat yang sahih (HR. Muslim dari Abu Hurairah) bahwa Allah telah mengabulkan doa para nabi dan doa orang-orang beriman ini. Jadi, diangkatlah pena dari orang-orang yang berbuat kesalahan karena lupa atau karena tidak mengerti ilmunya. Demikian juga dari orang yang tidak sanggup memikul suatu beban.

Orang-orang Khawarij tidak mau membedakan hal-hal tersebut. Menurut mereka, barang siapa berbuat dosa, dia menentang Al-Qur’an. Barang siapa menentang Al-Qur’an, berarti menentang Allah subhanahu wa ta’ala; dan barang siapa menentang Allah subhanahu wa ta’ala berarti dia kafir. Mereka menyamakan semua perbuatan salah dan menganggapnya sebagai kekafiran.

Syaikhul Islam melanjutkan, “Khawarij yang telah salah dalam hukum ini, oleh Rasulullah diperintahkan untuk diperangi. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لَئِنْ أَدْرَكْتُهُمْ لَأَقْتُلَنَّهُمْ قَتْلَ عَادٍ

“Sungguh jika aku sempat menjumpai mereka, aku akan perangi mereka, aku akan tumpas layaknya kaum Ad.” (Muttafaqun alaihi)

Allah subhanahu wa ta’ala juga memerintahkan untuk memerangi mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٱقۡتَتَلُواْ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَهُمَاۖ فَإِنۢ بَغَتۡ إِحۡدَىٰهُمَا عَلَى ٱلۡأُخۡرَىٰ فَقَٰتِلُواْ ٱلَّتِي تَبۡغِي حَتَّىٰ تَفِيٓءَ إِلَىٰٓ أَمۡرِ ٱللَّهِۚ

“Kalau ada dua kelompok kaum mukminin berperang, maka damaikanlah keduanya. Kalau salah satunya memberontak, maka perangilah mereka sampai mereka kembali kepada Allah.” (al-Hujurat: 9)

Ketika Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu benar-benar menjumpai orang-orang Khawarij, beliau bersama para sahabat pun memerangi mereka. Begitu pula seluruh imam, baik dari generasi sahabat, tabiin, maupun yang setelah mereka, bersepakat bahwa Khawarij itu harus diperangi. Namun, Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu tidak mengafirkan mereka.

Begitu pula sahabat yang lain seperti Saad bin Abi Waqqash radhiallahu anhu, mereka juga memerangi orang-orang Khawarij. Namun, mereka tetap menganggap Khawarij sebagai kaum muslimin. Jadi, cara memeranginya pun berbeda dengan memerangi orang kafir. Apabila orang kafir diperangi, harta mereka menjadi ganimah, wanita dan anak-anak mereka menjadi tawanan. Adapun memerangi Khawarij tidak demikian. Mereka hanya diperangi sampai mereka mau kembali ke jalan Allah subhanahu wa ta’ala dan kembali taat kepada penguasanya.

Baca juga: Kewajiban Taat Kepada Pemerintah

Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu memerangi Khawarij setelah terbukti mereka menumpahkan darah dan merampas harta kaum muslimin dengan zalim. Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu berkata, “Demi Allah, aku akan perangi mereka sampai tidak tersisa sepuluh orang pun di antara mereka.”

Ketika para sahabat menyebut mereka sebagai kafir, Ali radhiallahu anhu berkata,

لاَ، مِنَ الْكُفْرِ فَرُّوْا

“Tidak. Mereka justru lari dari kekufuran.”

Sikap orang-orang Khawarij yang demikian, yakni khawatir terjatuh pada kekafiran, yang menyebabkan mereka memiliki sikap ekstrem dalam melihat perbuatan dosa. Apa akibatnya? Terjadilah perpecahan dan pertumpahan darah di tengah-tengah kaum muslimin.

Baca juga: Kedudukan Penguasa dalam Syariat

Kesesatan Khawarij yang telah jelas diterangkan oleh nas (dalil) dan disepakati kaum muslimin—bahkan membuat mereka boleh diperangi—tidak menyebabkan mereka boleh untuk dikafirkan. Apalagi beragam kelompok lain yang bermunculan pada masa ini. Mereka dihinggapi berbagai kekeliruan dan kebodohan, maka mereka tidak bisa untuk dikatakan sebagai kafir. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang bodoh yang tidak tahu tentang apa yang diperselisihkan.

Inilah perbedaan antara Khawarij dengan Ahlus Sunnah. Khawarij menganggap kafir kaum muslimin, terkhusus Ahlus Sunnah, karena dianggap sebagai kelompok yang pro-thaghut (propemerintah). Meski demikian, kita tetap tidak mengafirkan mereka. Inilah bijaknya Ahlus Sunnah. Mereka berjalan dengan ilmu, bukan dengan emosi. Mereka mengetahui bahwa hukum asal darah kaum muslimin adalah terjaga. Begitu pula dengan kehormatan dan harta kaum muslimin, semuanya terjaga.

Baca juga: Membela Kehormatan Negeri Dua Tanah Suci

Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyatakan dalam hadits sahih yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim saat Haji Wada,

فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا إلَى يَوْمِ تَلْقَوْنَ رَبَّكُمْ

“Sungguh, darah, harta, dan kehormatan kalian adalah suci seperti sucinya hari ini (hari Arafah), seperti sucinya bulan ini (bulan Dzulhijjah), dan seperti sucinya negeri ini (Makkah), hingga hari kalian bertemu Rabb kalian.” (Muttafaqun alaih)

Karena itu, kita jangan sampai terjerumus ke dalam kesalahan yang sama dengan Khawarij, yaitu tidak membedakan orang yang salah karena lupa, tidak tahu atau terpaksa, dengan para penentang As-Sunnah. Akhirnya, kita menyamaratakan dan menyikapi mereka dengan sikap yang sama, yaitu memusuhi dan menjatuhkan kehormatannya.

Kita harus menjaga agar darah kaum muslimin tidak tertumpah dengan cara yang zalim. Begitu pula dengan harta dan kehormatan mereka. Darah, harta, dan kehormatan kaum muslimin adalah suci, sebagaimana sucinya hari Arafah, sucinya kota Makkah, dan bulan Dzulhijjah. Kita harus menjaga kemuliaan darah, harta, dan kehormatan sesama muslim sebagaimana kita menjaga kemuliaan hari Arafah, kota Makkah, dan bulan Dzulhijjah.

Dalam permasalahan ini memang ada pengecualian. Misalnya, dibolehkan untuk menumpahkan darah kaum muslimin karena kisas, hukum rajam bagi pelaku zina yang sudah menikah, atau karena seseorang keluar dari agama Islam (murtad). Tentunya semua ini dilakukan oleh penguasa. Ini adalah perkara pengecualian yang dibolehkan untuk menumpahkan darah seorang muslim.

Baca juga: Berkah Allah dalam Hukum Had

Dalam permasalahan harta, dibolehkan mengambilnya dalam rangka menjalankan perintah zakat. Adapun dalam masalah kehormatan, dibolehkan untuk menerangkan keadaan seorang mubtadi’ (ahli bid’ah)—yang memiliki pemikiran berbahaya dalam masalah agama—di muka umum, sehingga umat Islam selamat dari pemikirannya.

Yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah masalah harta. Seluruh kaum muslimin harus saling menjaga harta saudaranya. Jangan sampai kita merampas harta orang lain secara zalim. Jangan menipu atau berutang dengan niat tidak membayar. Semua perbuatan ini juga terlarang sebagaimana terlarangnya menumpahkan darah kaum muslimin.

Sungguh, merupakan kejadian yang benar-benar memalukan, jika ada seorang yang mengaku Ahlus Sunnah memakan harta saudaranya dengan cara yang zalim dalam masalah perdagangan atau utang piutang hingga terjadi permusuhan di antara mereka. Terjadi saling boikot, saling tahdzir, saling mencela, dan sebagainya hanya karena semata-mata masalah uang. Masalah ini bisa menjadi besar dan berbahaya. Semuanya berawal hanya karena tidak dijaganya harta sesama muslim.

Baca juga: Sikap-Sikap Baik dalam Bermuamalah

Untuk urusan menumpahkan darah sesama muslim, barangkali Khawarij yang paling ahli. Namun, untuk urusan memakan harta sesama muslim dengan cara yang zalim, melanggar kehormatan saudaranya yang mestinya jangan sampai dilanggar, ternyata terjadi juga di kalangan orang-orang yang mengaku Ahlus Sunnah.

Karena itu, saya wasiatkan kepada kita semua dan kaum muslimin, takutlah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Kita bicara tentang Khawarij, bahwa mereka itu kelompok sesat yang telah melanggar hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang larangan menumpahkan darah sesama muslim dengan cara yang zalim. Sementara itu, pada saat yang sama kita pun melanggar hadits tersebut pada sisi yang lain.

Baca juga: Kezaliman adalah Kegelapan pada Hari Kiamat

Perbuatan mengambil harta sesama muslim dengan cara yang batil atau melanggar kehormatannya, merupakan dua keharaman yang memiliki kedudukan sama sebagaimana larangan menumpahkan darah seorang muslim dengan cara yang batil. Tiga masalah ini disebutkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits di atas sebagai perkara yang harus dijaga dan tidak boleh dilanggar.

Mari kita mulai dari yang kecil. Kita jaga kehormatan kaum muslimin. Kita hormati sesama Ahlus Sunnah dengan tidak saling menggibah dan mencari aib saudaranya. Apabila kita dapati saudara kita berbuat keliru atau melakukan sebuah kemaksiatan, yang pantas dilakukan adalah memberi nasihat kepadanya dengan cara yang baik. Inilah semestinya sikap seorang Ahlus Sunnah kepada saudaranya. Tidak mendiamkannya, tetapi kemudian menceritakan perbuatan saudaranya itu kepada orang banyak.

Baca juga: Jagalah Lisanmu

Di dunia ini tidak ada manusia yang terbebas dari kesalahan. Manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Apabila setiap orang dicari-cari kesalahannya, niscaya tidak ada seorang pun yang selamat. Yang terjadi kemudian adalah saling membongkar aib. Pada akhirnya, jatuhlah kehormatan kaum muslimin secara bersama. Akan jeleklah keadaan kaum muslimin di mata orang lain.

Lebih-lebih bagi yang menyandang nama Ahlus Sunnah, bisa menyebabkan dakwah ini jatuh. Karena itu, jangan sampai kita menganggap remeh perkara ini. Gibah terhadap sesama muslim akan menyebabkan kehormatan kaum muslimin jatuh. Begitu pula gibah terhadap para dai, lebih-lebih terhadap para ulama, juga akan menyebabkan kehormatan mereka jatuh. Ini semua bisa menyebabkan rusaknya dakwah dan hilangnya ukhuwah Islamiah.

Wallahu a’lam.

(Diambil dari ceramah Ustadz Muhammad Umar as-Sewed di Masjid Nurul Barokah, Yogyakarta, 27 Shafar 1428/19 Maret 2007)